Politik pencitraan adalah cara-cara berpolitik yang mengedepankan citra. Sebagian besar usaha diarahkan untuk menciptakan citra yang baik, bahkan diusahakan sekuat tenaga untuk bisa menciptakan citra yang lebih baik dari kondisi yang sebenarnya.
Berbeda dengan cara berpolitik pada umumnya yang mengejar prestasi kerja maksimal agar bisa membuahkan citra yang bagus di mata masyarakat, politik pencitraan berkonsentrasi menciptakan citra yang baik walaupun prestasi kerja sedang-sedang saja atau bahkan tidak berprestasi sama sekali. Tekniknya bermacam-macam, antara lain memanfaatkan momentum dengan cara membesar-besarkannya, atau dengan cara menempelkan diri dan bekerja sama dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya.
Dalam politik (pemilu), pencitraan selalu identik dengan “show off” pamer, menonjolkan diri maupun partai dengan mengedepankan ideologi, visi, berbagai macam perubahan hingga simbol-simbol tertentu yang akan memudahkan massa pemilih dalam mengingat partai maupun calon legislatifnya. Politik pencitraan intinya ingin membuat orang lain (pemilih) terpesona, kagum, memunculkan rasa ingin tahu, memunculkan kedekatan yang memang sengaja dibangun demi popularitas. Selama ini apabila berbicara tentang pencitraan mau tidak mau selalu kita identikan dengan media, iklan televisi, radio. Pencitraan juga identik dengan selebriti, pejabat yang menginginkan penampilan terbaik. (positif) yang akan selalu diingat dan mengubah citra negatifnya.
Dalam demokrasi, pencitraan menjadi penting karena adanya representasi suara yang disematkan ketika seseorang berlomba-lomba menjadi “wakil rakyat”. Seseorang yang ingin menjadi wakil rakyat paling tidak harus dikenal oleh massa pemilih dan kepentingan untuk menampilkan sosok dirinya dengan harapan massa pemilih akan memilih dirinya. Konteks wakil rakyat sendiri bisa diperdebatkan. Idealnya, semua orang memiliki kans yang sama untuk menjadi wakil rakyat. Masyarakat sebagai warga negara biasa mempunyai akses sama ke politik. Dalam kenyataanya, akses ini dibagi secara tidak merata. Pembagian itu ditentukan berdasarkan tingkat pendidikan, kepemilikan pada kelompok/agama dan posisi geografis. Ketiga faktor itu mencerminkan besarnya kapital yang dimiliki (kapital budaya, sosial, ekonomi, dan simbolik). Kepemilikan kapital menentukan hubungan kekuasaan yaitu daya tahan terhadap hak-hak mereka (Haryatmoko, 2008).
Sebagaimana diketahui, Pemilu dalam area demokrasi merupakan prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat (Huntington, 1997). Dengan kata lain, pemilu memang merupakan proses untuk menemukan wakil rakyat dengan kompetisi memperebutkan suara rakyat. Pada tataran ini, tidak heran kiranya, menjelang pemilu selalu ramai dengan hiruk pikuk calon wakil rakyat yang menggalang dukungan dengan mengunakan berbagai cara, melalui media, baik iklan, baliho, poster hingga mengadakan pertemuan setiap hari dengan harapan mendapatkan dukungan rakyat yang sebanyak-banyaknya.
Pemilu menjadi ladang untuk membeli suara rakyat, politisi calon wakil rakyat kemudian berlomba- lomba untuk mem”populerkan” partai, nama dan nomor urut. Kampanye menjadi langkah awal politisi untuk berlari dan menjala suara yang mungkin bisa didapatkan dengan cara menyakinkan, memberi pengaruh hingga perang iklan politik. Bagi mereka, kampanye politik wajib dilakukan, karena inilah start awal perjuangan mereka meraih dukungan suara demi melanggengkan dan mendudukan mereka ditangga kekuasaan. Kemudian dalam perspektif ini, politik pencitraan menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari proses demokratisasi di Indonesia, terutama ketika dikaitkan dengan kampanye politik menjelang pemilihan, baik pemilihan calon legislatif, pemilihan kepala daerah, maupun pemilihan presiden.
Pencitraan identik dengan menonjolkan diri, membentuk persepsi masyarakat baik itu tentang partai maupun orang-orang berkepentingan di belakang partai. Pencitraan diperlukan sebagai sarana menjual “komoditas” partai dan cara efektif mengubah stigma negatif yang ada dalam masyarakat. Kampanye jelang pemilu kemudian menjadi ajang lomba untuk membentuk citra diri dan citra partai demi mengejar ambisi duduk di kursi panas wakil rakyat.
Pencitraan penting dilakukan karena Pencitraan merupakan salah satu bentuk penanaman ideologi, perpektif ke dalam benak orang lain, dalam kontek politik pencitraan kemudian lebih melihat pada bagaimana menampilkan citra diri yang baik bagi masyarakat. Politik pencitraan kemudian banyak digunakan dalam berbagai kampanye politik. Kehadirannya boleh jadi bersamaan dengan kemunculan dunia politik itu sendiri. Bahkan, sejarah politik Roma mencatat tentang pengaruh pencitraan politik dengan modal rangkaian kata yang terus diucapkan saat kampanye mampu menggiring opini masyarakat dalam memilih.
Representasi citra diri dalam iklan-iklan politik mencerminkan keinginan kandidat untuk menampakkan diri mereka sebagai representasi masyarakat umum yang memiliki sesuatu yang wajib dan harus diberi apresiasi untuk mewakili masyarakat.
Istilah representasi sosial mengacu pada produk dan proses yang menandai pemikiran pada masyarakat awam (diambil dari kata common sense dan untuk selanjutnya akan disebut sebagai pikiran awam), suatu bentuk pemikiran praktis, secara sosial dielaborasi, ditandai oleh suatu gaya dan logika khas, dan dianut oleh para anggota sebuah kelompok sosial atau budaya (Jodelet, 2006). Iklan politik yang merupakan bagian dari representasi sosial, diproduksi untuk menciptakan image yang mendorong orang memunculkan ketertarikan. Pencitraan kemudian dimaknai sebagai alat untuk mengapai kekuasaan.
Pencitraan yang ditampilkan melalui iklan politik menabiskan bahwa selama ini ada kecenderungan calon legislative elit partai tidak dekat dengan konstituennya. Elit politik malah sibuk dengan kepentingan pribadi dan kepentingan partainya masing- masing. Pada kenyataannya, Parpol masih melihat rakyat sebagai “supporter” bukan sebagai “voters” yang sesungguhnya. Celakanya lagi, orientasi partai untuk merebut voters tidak dengan memperjuangkan kepentingan- kepentingan vital mereka, tetapi lebih dengan memanipulasi sentimen-sentimen primordial seperti etnisitas dan agama, penggunaan politik uang, hingga memanage psikologi masyarakat dengan penampakan citra diri.
Referensi:- Bungin, Burhan. (2018). Komunikasi Politik Pencitraan, The Social Construction Of Public Administration (Scopa) Konstruksi Sosial Atas Citra Pemimpin Publik Dan Kebijakan-Kebijakan Negara Dalam Perspektif Post-Modern Public Communication And New Public Administration. Jakarta: Prenamedia Group.
- Hendrastomo, Grendi. (2009). Demokrasi dan Politik Pencitraan Perang Iklan Politik Menuju Demokratisasi Di Indonesia. Dalam Jurnal DIMENSIA, Volume 3, No. 2, September 2009.
- Setiyono, Budi. (2008) Iklan dan Politik, Menjaring Suara Dalam Pemilihan Umum, Yogyakarta: Galang Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar