Empirisisme merupakan suatu aliran di dalam dunia filsafat yang menitikberatkan pengalaman inderawi sebagai sumber utama dan asal-usul pengetahuan manusia. Aliran yang berkembang pesat pada masa Renaisan ini dirintis oleh seorang filsuf Inggris, Francis Bacon de Verulam (1561-1626), dan kemudian dilanjutkan oleh filsuf-filsuf lain seperti John Locke, George Berkeley, Thomas Hobes dan David Hume. Empirisisme muncul pada saat itu sebagai reaksi atas kelemahan paham rasionalisme – sebuah aliran filsafat yang berkembang lebih dahulu daripada empirisisme, yang beranggapan bahwa pengetahuan manusia yang sejati hanyalah berasal dari rasio atau akal semata, sementara pengalaman inderawi hanya dianggap sebagai pengenalan dan justru sering diabaikan.
Istilah empirisisme sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu en (di dalam dan peira (suatu percobaan). Dari makna awal itu kemudian empirisisme diartikan sebagai suatu cara menemukan pengetahuan berdasarkan pengamatan dan percobaan (Nasoetion, 1988). Suatu pernyataan dianggap benar apabila isi yang dikandungnya memiliki manifestasi empiris, yaitu perwujudan nyata di dalam pengalaman. Atau dengan kata lain, pengalaman inderawi dianggap menjadi sumber utama pengetahuan atau kebenaran.
Secara lebih detail, paham empirisisme dapat diindikasikan oleh pemikiran sebagai berikut (Sudaryono, 2001):
1. Dunia merupakan suatu keseluruhan sebab akibat.
2. Perkembangan akal ditentukan oleh perkembangan pengalaman empiris (sensual).
3. Sumber pengetahuan adalah kebenaran yang nyata (empiris)
4. Pengetahuan datang dari pengalaman (rasio pasif waktu pertama kali pengetahuan didapatkan)
5. Akal tidak melahirkan pengtahuan dari dirinya sendiri
6. Mengajukan kritik terhadap rasionalisme yang dianggap tidak membawa kemajuan apapun.
7. Asas filsafatnya bersifat praktis (bermanfaat)
8. Awal digunakannya prosedur ilmiah dalam penemuan pengetahuan, karena sesungguhnya hakikat ilmu pengetahuan itu adalah pengamatan, percobaan, penyusunan fakta, dan penarikan hukum- hukum umum.
9. Metoda yang dipakai adalah metode induktif.
Pengaruh empirisisme di dalam penelitian
Paham empirisisme banyak digunakan sebagai dasar di dalam proses penemuan pengetahuan. Paradigma penelitian yang berdasarkan pada empirisisme dikenal sebagai fenomenologi. Ciri-ciri paradigma fenomenologi ini bisa dikelompokkan menjadi tiga yakni:
1. Ciri ontologis: adanya realitas ganda, realitas yang terikat setingnya, konteks natural, menolak menggunakan teori (teori hanya sebagai latar pengetahuan), dan pendekatan holistik.
2. Ciri epistemologi: bersatunya ilmuwan dan objek, membangun ilmu lokal/idiografis, adanya hubungan reflektif, memakai metoda induksi, mengakui kebenaran sensual, logik, etik dan transendental
3. Ciri aksiologi: terikat nilai /hanya berlaku lokal, kontekstual
Pemikiran Kaum Interpretivis
Paradigma interpretivis ialah salah satu paradigma non positivisme adalah paradigma interpretif. Paradigma ini dikenal juga dengan sebutan interaksionis subyektif (subjective interactionist). Pendekatan alternatif ini berasal dari filosof-filosof jerman yang menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman dalam ilmu sosial. Paradigma ini mempunyai basis pemikiran bahwa kaidah-kaidah yang berlaku dalam ilmu alam (natural science) tidak dapat diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Cara pandang yang digunakan milik kaum nominalis yang melihat realitas sosial sebagai sesuatu yang hanya merupakan label, nama atau konsep yang digunakan untuk membangun realitas dan tidak ada sesuatu yang nyata.
Ada tiga prinsip dasar yang menjadi landasan dalam pengembangan studi interpretif (Soetriono dan Hanafie, Dalam Agung Budi Sulistiyo Tiga prinsip dasar tersebut adalah :
1. Individu menyikapi sesuatu atau apa saja yang ada di lingkungannya berdasarkan makna sesuatu tersebut pada dirinya;
2. Makna tersebut diberikan berdasarkan interaksi sosial yang dijalin dengan individu lain ;
3. Makna tersebut dipahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interpretif yang berkaitan dengan hal-hal lain yang dihadapinya.
Berdasarkan pada tiga prinsip dasar tersebut sebenarnya dapat kita pahami lebih dalam bahwa terdapat asumsi penting yang melatarbelakanginya. Asumsi pertama bahwa individu dapat melihat dirinya sendiri sebagaimana ia melihat orang lain. Yang kedua individu tidak dianggap pasif melainkan memiliki kemampuan untuk secara aktif membaca situasi dan kondisi di sekitarnya.
Oleh karena itu, kata kuncinya adalah bagaimana seorang individu dapat menafsirkan situasi yang dihadapinya sehingga suatu aktifitas sosial dikembangkan melalui pola-pola interaksi yang mendalam. Dengan mendasarkan pada beberapa prinsip dasar tersebut maka paradigma interpretif menekankan pada pemahaman makna melalui proses empati terhadap sesuatu aktifitas dan menempatkan suatu aktifitas yang ada dalam masyarakat sehingga dari satu aktifitas akan melahirkan banyak penafsiran dan analisis.
Bagi paradigma ini, tidak ada satupun ilmu pengetahuan yang objektif dan bebas nilai sepanjang dalam proses konstruksinya manusia masih terlibat di dalamnya (Triyuwono, 2006b). Manusia memiliki subjektivitas yang secara sadar atau tidak akan mempengaruhi proses konstruksi ilmu pengetahuan. Jika subjektivitas tersebut menyatu dalam proses, maka dengan sendirinya ilmu pengetahuan tersebut akan sarat dengan nilai-nilai humanisme.
Penamaan sesuatu atau sesuatu yang diciptakan oleh manusia merupakan produk dari pikiran yang berupa ide, konsep, gagasan dan sebagainya. Sehingga realitas sosial bukan sesuatu yang berada di luar manusia, (not „out there‟), melainkan sesuatu yang sudah inherent dalam pikiran manusia (Sarantakos, 1993). Artinya, realitas sosial adalah kenyataan yang dialami secara internal, dibangun melalui interaksi sosial dan diinterpretasi oleh manusia sebagai pihak yang aktif membangun realitas tersebut. Dengan demikian, realitas sosial bersifat subjektif, tidak objektif sebagaimana yang dialami oleh paradigma positivisme.
Kesadaran kontektual ini dapat dianggap sebagai kekuatan yang dimiliki oleh paradigma interpretivisme. Kesadaran ini mencerminkan pemahaman bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan dipraktikkan tidak dalam kondisi yang tanpa mengakomodasi nilai lokal atas kondisi lingkungan dimana ia digunakan. Ilmu pengetahuan dibentuk dan dipraktikkan melalui proses konstruksi sosial (social construction). Proses konstruksi yang demikian ini jelas terkait dengan nilai-nilai lokal dari lingkungannya dan dengan subjektivitas praktisi akuntansi dan masyarakat bisnis.
Adapun contoh penelitiannya adalah sebagai berikut:
Empirisme: Pengaruh Tayangan Kekerasan terhadap perilaku agresifitas anak di lingkungan SMPN 56 Jakarta
Interpretativ: Kontruksi Makna 'Terorisme' pada Harian Kompas, edisi 7 April 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar