Rabu, 20 Mei 2020

Pertarungan incumbent dengan penantang, dalam pemilu presiden di Indonesia.

Pertarungan antara incumbent  (petahana) dan penantang dalam  pemilu di Indonesia memang menarik untuk dikaji. Terlebih, sejak pemilihan umum presiden diselenggarakan dan dipilih oleh rakyat langsung, Indonesia telah memiliki 3 (kali) kali masa pertarungan yang mempertemukan petahana dan penantang, yakni:

  1. Pilpres 2004 yang mempertemukan petahana Megawati Soekarno Putri yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi, berhadapan dengan penantang utama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berpasangan dengan Jusuf Kalla.
  2. Pilpres 2009 yang mempertemukan petaha Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berpasangan dengan Boediono, dengan Megawati Soekoarno Putri yang berpasangan dengan Prabowo Subianto, dan Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wiranto.
  3. Pilpres 2019 mempertemukan petahana Joko Widodo sebagai pemenang pada Pilpres 2014 dan berpasangan dengan Ma'ruf Amin pada Pilpres 2019, berhadapan dengan penantangnya yang kalah pada Pilpres 2014 yakni Prabowo Subianto yang kali ini berpasangan dengan Sandiaga Uno.
Meski dalam catatan sejarah demokrasi kita, tidak semua penantang memiliki catatan kemenangan dalam kontestasi pemilu. Misalnya saja pada Pillpres 2004, petahana Megawati dikalahkan oleh penantangnya SBY di putaran kedua dengan perolehan suara yang cukup telak yakni 60.62% dan 39.38%. Namun, kemenangan petahana pada 2 contoh kasus berikutnya yakni pada Pilpres 2019 dan Pilpres 2019 menjadi menarik perhatian.

Petahana, dinilai memiliki relasi kuasa yang menguntungkan pihaknya dalam perjalanan kampanye dan merebut hati pemilih. Terlebih, petahana juga memiliki sumber daya yang dapat digunakan pihaknya sebagai ajang  "kampanye gratis." Hal ini, dari segi biaya,  tentu memiliki keuntungan tersendiri dibandingkan dengan penantangnya untuk kampanye. Disisi lain, dukungan yang dimiliki incumbent atau petahana juga dapat  menimbulkan keuntungan yang unik dengan kemampuan untuk terlibat dengan kelompok kepentingan atau elit di tingkat lokal maupun nasional.

Mengutip (Ristian, 2016: 193-194) menyebutkan bahwa pada umumnya ada beberapa keuntungan yang diperoleh incumbent dalam pertarungan dalam kompetisi pemilu yakni:
Pertama, kelesuan politik: pemilih cenderung memilih incumbent yang relevan dengan pepatah "Jika tidak pecah, jangan memperbaikinya". 
Kedua, dapat belajar dari pengalaman kampanye pemilu sebelumnya ke- berhasilan biaya, apapun pekerjaan politik selama masa jabatannya, dan kesalahan perbaikan untuk bersaing lagi.
Ketigaincumbent mampu menyatukan pihak, sehingga kesulitan penantang memperbaiki keretakan pada saat pemilu
Keempat mampu mengendalikan setiap peristiwa, merangsang ekonomi, dan mampu mengendalikan agenda. 
Kelima, harus mampu kampanye tanpa kampanye  “Kampaye siluman” hal ini biasanya dilakukan menjelang pemilu dengan pemasangan iklan layanan masyarakat yang itu dibiayai oleh APBN. 
Keenam, mengklaim sebagai calon yang mampu melewati perubahan “Beribukti bukan janji atau lanjutkan…!”

Pada Pilpres 2019, keuntungan itu semakin terasa manakala Mahkamah Konstitusi (MK) menolak secara keseluruhan tuntutan enam mahasiswa dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945, terkait aturan kampanye bagi calon presiden petahana. Dengan kata lain, MK memutuskan bahwa presiden tak perlu cuti kampanye. Mahkamah Konstitusi menyatakan aturan dalam pasal 299 ayat (1) UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), terkait dengan aturan kampanye calon presiden-wakil presiden bagi petahana adalah konstitusional. 
Mahkamah Konstitusi berpendapat pasal 299 ayat (1) UU Pemilu secara tegas menjamin bahwa hak kampanye bagi calon presiden-wakil presiden petahana tidak akan dikurangi. Menurut Mahkamah Konstitusi, bila calon presiden-wakil presiden petahana tidak diberi hak untuk melaksanakan kampanye, justru akan menjadi bertentangan dengan semangat Pemilu karena akan menimbulkan perlakuan berbeda terhadap para capres dan cawapres. Dengan demikian, hal ini juga bisa menjadi keuntungan tersendiri bagi petahana untuk melakukan 'kampanye terselubung' di tengah jabatannya sebagai presiden. 

Kampanye petahana juga kerap disebut sebagai Kampanye permanen (permanent campaign),adalah bentuk kampanye yang dilakukan oleh pejabat yang tengah memerintah (incumbent) dengan memanfaatkan posisi dan kantor pemerintahnnya (lihat Steger, 1999). Berbeda dengan kandidat lain, kandidat politik (DPR, presiden, kepala daerah) yang tengah memerintah (tengah menjabat)  mempunyai kedudukan yang memungkinkan mereka melakukan kampanye secara terus menerus sepanjang masa pemerintahannya. Kunjungan kerja, mendatangi pemilih, membuat kebijakan, mendengarkan keluhan dan aspirasi publik, selain menjadi tugas pejabat yang tengah memerintah juga bisa dilihat sebagai bentuk kampanye agar kandidat bisa terpilih kembali dalam periode pemilihan berikutnya. Incumbent juga bisa memanfaatkan sumber daya yang terdapat di kantor (kantor, staf, dana) untuk menjangkau pemilih. Karena kampanye itu punya potensi dilakukan secara terus menerus, bentuk kampanye ini disebut sebagai kampanye permanen (permanent campaign). Ini untuk membedakan dengan kampanye yang dilakukan oleh kandidat yang bukan incumbent. Umumnya kampanye dilakukan menjelang pemilihan. Kampanye juga tidak dilakukan melalui kantor pemerintahan, seperti halnya dalam kampanye yang diakukan oleh incumbent.

Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line