Jumat, 08 Mei 2020

Keterkaitan antara Sistem Pers dan Sistem Politik di Sebuah Negara

Sistem politik dan komunikasi dalam hal ini pers, merupakan dua istilah yang selalu beriringan dan berhubungan satu sama lain. 

Suatu sistem mengandung unsur-unsur (sub-sistem) yang saling berinteraksi satu sama lainnya. Pengertian sistem politik seperti yang dikemukakan David Easton (dalam Masfadi Rauf, 1993) adalah seperangkat interaksi yang diabsraksikan dari totalitas kelakuan sosial, dimana nilai-nilai otoritatitatif dialokasikan kepada masyarakat. Sebagai suatu sistem, maka sistem politik terdiri dari subsistem-subsistem yang mempunyai fungsi tertentu. Subsistem-subsistem itu dikenal dengan struktur politik yang terdiri dari infrastruktur politik dan suprastruktur politik. Untuk berjalannya suatu sistem politik, maka diperlukan suatu mekanisme, dimana setiap struktur politik dapat berhubungan atau berinteraksi dengan struktur politik lainnya berdasarkan fungsi yang melekat pada setiap struktur politik.

Interaksi di antara struktur-struktur politik dalam suatu sistem politik itu dapat dilihat sebagai unsur-unsur dari sistem komunikasi, meskipun tidak selamanya dan tidak semua unsur suatu sistem komunikasi merupakan bagian struktural dari sistem politik. Oleh karena itu setiap sistem politik mengembangkan jaringan komunikasi politiknya sendiri. Karenanya, setiap negara dengan sistem politiknya yang yang berlainan akan menampilkan pola-pola komunikasi dan sistem pers yang berbeda.

Sistem pers, merupakan bagian atau subsistem dari sistem komunikasi. Sedangkan sistem komunikasi itu sendiri merupakan bagian dari suatu sistem sosial. Oleh karena itu untuk mengetahui sistem pers kita tidak bisa lepas dari bentuk sistem sistem sosial dan bentuk pemerintahan pemerintahan negara yang ada, dimana sistem pers itu berada. John C. Merrill (dalam Rachmadi, 1990) secara lebih tegas menyatakan, bahwa ”a nation’s press or media system is closely tied to the political system”.

Keberadaan media dalam sistem politik tidak dapat dilepaskan. Trias Politica yang dicetuskan oleh Charles Louis de Secondet Baron de Montesquieu (1689 - 1755) membagai kekuasaan negara menjadi 3 (tiga) yakni; Eksekutif, legiskatif, dan Yudikatif. Sementara Fred S. Siebert melalui bukunya Four Theories of the Press (1963) memperkenalkan pers sebagai pilar keempat demokrasi.

Peran media massa disini sebagai kontrol kepada tiga lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pers ini disini berhak untuk mengkritik dan mengawasi kebijakan yang sudah ditetapkan oleh penguasa. Sistem politik suatu negara akan menentukan Sistem Pers Negara tersebut.

Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm (1956) dalam karya mereka mengenai teori Pers menggunakan basis-basis/elemen-elemen dasar pembeda untuk masing-masing sistem, yaitu sebagai berikut.

 a. Hakikat manusia.

 b. Hakikat masyarakat dan negara.

 c. Hubungan manusia dengan negara. d. Hakikat pengetahuan dan kebenaran. 

Berdasarkan elemen-elemen ini maka terdapat karakter pembeda di antara masing-masing sistem. Mereka membagi sistem komunikasi pada empat model pers, yaitu pers otoritarian, pers libertarian, pers tanggung jawab sosial, dan pers Soviet komunis. Berdasarkan kategorisasi di atas maka peran pers dalam tiap-tiap sistem komunikasi yang dikembangkan akan berbeda-beda yaitu sebagai berikut.

Dalam perbandingan sistem pers, dikenal adanya pembagian sistem pers menurut tipologi klasik. Menurut tipologi ini sistem pers yang ada di dunia dibagi dalam 4 (Empat) sistem pers besar, yaitu sistem pers otoritarian, sistem pers libertarian, sistem pers Komunis, dan sistem pers tanggungjawab sosial. Sistem pers tanggungjawab sosial merupakan hasil pengembangan dari sistem pers komunias merupakan pengembangan dari sistem pers otoritarian.

Tipologi ini disebut klasik karena ialah yang mendasari terbentuknya tipologi-tipologi lain. Dikemukakan oleh Fred S. SIebert, theodore Peterson dan Wilbur Schramm dalam buku Four Theories of the Press pada tahun 1963, tipologi ini secara gamblang memetakan sistem pers yang ada di dunia. Berikut sistem pers menurut tipologi ini:

1. Sistem Pers Otoriterian

Sistem ini dianggap sebagai sistem yang paling tua dan banyak dipakai sebagai landasan bagi pengontrolan negara terhadap pers di banyak negara. Teori ini tumbuh pada abad ke-15 hingga 16 saat mesin cetak diciptakan oleh Johannes Gutenberg pada tahun 1454 dan masa itu kebanyakan negara otoriter. 

Ada beberapa asumsi filosofis dasar yang mealndasi terbentuknya sistem ini. Menurut kaum otoritarian, manusia tidak akan mencapai potensi yang sepenuhnya apabila berdiri sendiri sebagai individu. Manusia hanya akan tampil maksimal apabila ia menjadi bagian dari masyarakat atau negara. Oleh karenanya peran negara menjadi sangat penting. Negara adalah puncak dari ekpresi dan keinginan manusia, dan pada akhirnya negara menjadi sesuatu yang memiliki kekuasaan untuk menentukan tujuan dan cara pencapaian tujuan suatu masyarakat.

Karena kaum otoritarian percaya bahwa negara adalah elemen terpenting dalam suatu masyarakat, maka peranan pers pun diarahkan untuk menunjang tujuan itu. Agar peran itu dapat terwujud, maka dibutuhkan bentuk-bentuk pengontrolan terhadap aktifitas pers.

Ada beberapa bentuk pengendalian pers.

Pertama, dengan memebrikan paten-paten eksklusuf kepada individu-individu yang dipercaya oleh pemerintah untuk menjalankan fungsi pers. Para pemegang paten tersebut diperbolehkan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari usaha perss yang dilakukan, namun dengan suatu syarat yaitu jangan mengguncangkan pemerintahan. Bila syarat ini dilanggar, lisensi si pelanggar akan dicabut. Cara ini dilakukan di Inggris pada abas XVI dan dianggap sangat efisien karena tidak terlalu membutuhkan banyak dana. Yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan pengontrolan dengan ketat terhadap kegiatan pers tersebut.

Kedua, melalui sensor. Cara ini diambil karena penerbit dianggap tidak cukup dipercaya untuk menyeleksi sendiri kakrya-karya yang diterbitkan. Untuk itulah maka karya-karya penerbitan tertentu seperti politik dna agama diserahkan dulu ke pemerintah sebelum diterbitkan.

Ketiga, melalui pendakwaan di pengadilan. Cara ini dipakai belakangan setelah hak paten dan sensor tidak lagi mempan dilakukan. Dua landasan hukum yang dipakai untuk menuntut pihak penerbit adalah pasal penghianatan (treason) dan pasal hasutan (sedition).

Dalam tradisi otoritarian, penghianatan terhadap negara merupakan suatu kejahatan besar. Dalam negara-negara yang menerapkan sistem pers ini, kebebasan pers dianggap bukan sebagai prioritas tertinggi, sehingga kasus-kasus pembredelan, penangkapan atau intimidasi terhadap wartawan, seringkali dijumpai. Pengendalian ini tidka hanya diberlakukan bagi media yang beraal dari negara tersbeut, melainkan juga media dari negara-negara lain yang beroperasi di negara tersebut. 

2. Sistem Pers Libertarian

Bertolak belakang dengan kaum otoritarian, filsuf-filsuf libertarian berpendapat bahwa manusia adalah insan yang rasional dan memiliki tujuan sendiri. Manusia mampu mengatur hidupnya sendiri dan tahu tentang apa yang menajdi tujuan hidupnya. Oleh karena itu, tujuan individu sangat dihargai. Bahkan, dikatakan bahwa tercapainya tujuan individu merupakan tujuan akhir, tujuan manusia, masyrakat dan negara. Kaum libertarian dengan tegas membantah pernyataan bahwa negara adalah ekspresi tertinggi dari individu. Mereka mengetahui bahwa negara memang dibutuhkan, tetapi fungsinya adalah untuk mencapai tujuan individu. Jika negara tidak berhasil menjalankan fungsi itu, maka negara dianggap gagal dan oleh karenanta harus diubah secara drastis.

Meskipun demikian dalam sistem libertarian dikenal cara kontrol terhadap pers yang diilai sangat natural, yaitu apa yang disebut "proses pelurusan sendiri" (self ringhting process). Caranya adalah dengan membiarkan publik mengkonsumsi pemberitaan yang mungkin saja sebgaian benar, sebagian salah atau mengandung keduanya. Publik dianggap dapat dipercaya untuk memilih yang benar dan meninggalkan salah satunya. Sehingga hal-hal yang secara alamiah akan tersingkir dnegan sendirinya. Cara lain yang juga sering dipakai adalah melalui pengadilan. Melalu pengadilan suatu perkara pers dibutuskan apakah ia menjalankan kebebebasannya secara proporsional atau tidak.

Ciri dari sistem libertarian adalah fungsi pers sebagai kekuatan pengontrol pemerintah. Dengan fungsi ini, maka campur tangan pemerintah terhadap pers harus dimininimalkan. Semakin sedikit campur tangan pemerintah, semakin baik. Dalam sistem pers ini, pers harus dilepaskan sejauh mungkin dari kemungkinan menghadapi pembatasan. Termasuk di dalamnya soal pemilikan pers. Siapapun yang memiliki cukup modal dan berkeingan mendirikan usaha pers, pemerintah tak boleh menghalang-halanginya. Demikian pula dengan arus informasi antar negara. Pemerintah tak boleh menghalangi aktifitas wartawan asing maupun penyebaran informasi asing di dalam negeri. Kecuali fitnah atau informasi yang dapat mengancam keselamatan asas kebebasan itu sendiri.

3. Sistem Pers Tanggungjawab Sosial

Sebagaimana telah disebutkan di atas, sistem pers tanggungjawab sosial merupakan pengembangan dari sitem pers libertarian. Munculnya sistem pers ini dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pers tidak saja memiliki kebebasan dalam mengungkapkan suatu fakta sosial namun harus pula bertanggungjawab terhadap masyarakat mengenai apa yang diungkapkan.

Menurut pendukung sistem ini, kebebasan yang dikembangkan dalam sistem libertarian adalah kebebasan yang negatif. Artinya, kebebasan tersebut lebih ditekankan pada kebebasan "kendala-kendala eksternal". Kebebasan menurut konsep tanggungjawab sosial adalah kebebasan yang menekankan pada kebebasan "untuk mencapai yang dicita-citakan". Menurut teori tanggungjawab sosial, kebebasan negatif saja tidaklah cukup, karena hanya seorang individu yang dilepaskan dari segala kendala ekkternal, tidak dengan sendirinya akan mengakibatkan ia berbuat yang terbaik bagi masyarakatnya. Karena itu kebebasan hanya diberikan bila itu berada dalam keasatuan pencapaian kesejahteraan bersama. Sebuah pers yang bebas adalah pers yang bebas dari segala bentuk paksaan, namun tidak bebas dari rasa tanggungjawab. Pers yang bebas adalah pers yang dalam emnajalankan kebebasannya itu dituntun oleh etika-etika tertentu.

Pelaksanaan dari sistem pers tanggungjawab sosial misalnya, dilakukan dengan menyelenggarakan organisasi-organisasi non-pemerintah yang komposisi anggotanya terdiri dari berbagai wakil masyarakat dan pers sendiri, yang berfungsi dalam hal pengawasan sepak terjang pers. Tugas badan tersebut adalah menggugat dan mengumumkan kegiatan-kegiatan pers yang diragukan, menyelidiki hal-hal yang dikeluhkan masyarakat dan memberi teguran apabila keluhan ini benar serta memberi jawaban aoabila keluhan ini salah. Di Indonesia dewasa ini, peran semacam itu diemban oleh Dewan Pers. 

Pengontrolan lebih halus dilakukan dengan penciptaan Kode Etik, yang malaupun tidak memiliki otoriitas hukum namun memiliki pengaruh moral.

4. Sistem Pers Komunis

Menurut Lenin, tidak ada kebebasan yang mutlak, "Suatu kebebasan pasti ada batasnya". Di negara barat yang sering dijadikan tolak ukur, kebebasan pun pada dasarnya tidak bebas karena mereka dibatasi materialisme, individualisme, dan dominasi kaum pemodal. Selain itu dalam pandangan pemikir-pemikir negara komunis, yang berguna adalah kebebasan untuk menyatakan apa yang mereka anggap benar, dan kebenaran itu berpusat pada partai.

Dalam negara komunis, lembaga komunikasi massa tidak dapat lepas dari tangan-tangan partai, apa yang diinginkan negara, itulah yang harus dilakukan oleh media massa. Atau dengan kata lain, media massa tidak punya integritas sendiri, keberadaannya merupakan instrumen dari negara.

Komunikasi massa di negara komunis terintegrasi dengan instrumen lainnya, Artinya kita tidak bisa mengharapkan media massa menjadi kekuatan yang paralel dengan kekuatan-kekuatan negara lain dalam membentuk pendapat umum. Istilah media sebagai kekauatan keempat tidak pernah ada, media adalah bagain dari pemerintah dan karenanya hanya menjadi penyalur suara pemerintah.

Tak hanya itu, media massa juga dipandang sebagai instrumen persatuan. Kemampuan media massa yang paling dihargai adalah sebagai alat pemersatu. Untuk menjalankan fungsi itu harus ada keseragaman isi media massa dan oleh karenanya kontrol terhadap isi media sangat ketat. Perbedaan isi media massa dianggap sebagai memecah belah persatuan bangsa. Kesamaan isi merupakan ciri dari media massa yang sehat.

Komunikasi massa di negara komunis juag dipandang sebagai instrumen pewahyuan (dalam bahasa lain fungsi ini sering disebut sebagai ‘penyadaran politik” massa). Wahyu politik itu ialah setiap doktrin-doktrin politik pemerintah dengan segala implementasinya, baik berupa contoh-contoh mana peristiwa yang baik menurut doktrin itu dan mana contoh yang tidak baik. 

Di negara yang menerapkan sistem otoriter, komunikasi massa sebagai agitator, propagandis, dan pengorganisir. Fungsi ini memberi pengertian bahwa media massa tidak dapat menyajikan isi pemberitaannya secara independen. Ia adalah propagandis yang membentuk pendapat umum berdasarkan kehendak pemerintah. 

Referensi:

- Armadno, Ade. (2007). Komunikasi Internasional. Jakarta: Universitas Terbuka.

- Parajarto, Nunung. (2013). Sistem Sosial, Sistem Politik, dan Sistem Komunikasi. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.

- Rauf, Maswadi, dan Mappa Nasrun. (1993). Indonesia dan Komunikasi Politik, Gramedia, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line