Rabu, 20 Mei 2020

Implementasi Propaganda Politik yang dilaksanakan di Tingkat Pilpres atau Pilkada. (Berikut Contoh)

Propaganda menjadi salah satu topik yang menarik, karena sampai saat ini. Para politikus dan pemimpin opini memahami media sebagai salah satu aspek yang kuat dalam mempengaruhi pemilih. Sehingga banyak pemilik media merasa mempunyai kekuatan dalam konstelasi politik. Dalam pileg 2014 nampak dari sejumlah pemilik media yang mencoba peruntungan dalam pileg untuk maju menjadi kandidat dengan modal kekuatan media. Konglomerasi media Nampak menonjol dalam pileg ini. Misalkan Hary tanoesoedibyo mencoba peruntungan menjadi cawapres Partai Hanura dengan kekuatan Grup Media Nusantara Citra (MNC) yang menguasai setidaknya 3 stasiun televisi. Surya Paloh dengan Partai nasional Demokrat (Nasdem) yang mempunyai Media Grup. Partai Golkar mengajukan peruntungan dengan mengajukan capres Aburizal Bakrie yang mempunyai Grup Viva dengan dua stasiun televisi. Dalam paradigma lama selalu menekankan bahwa media massa masih dianggap yang mempunyai kekuatan dalam menyebarkan propaganda politik. Meski pada akhirnya, kita akan melihat 2 pertaruangan antara televisi biru dan televisi merah sebagai alat propaganda capres Jokowi dan Prabowo.

Maka menjadi menarik dan penting untuk memahami pesan-pesan propaganda politik dalam kampanye pemilihan presiden 2014.

Misalnya saja hasil observasi dan survey terhadap Koran Kompas pada edisi 4 Juni sampai 5 Juli 2014 tentang propaganda calon Presiden Indonesia periode 2014 -2019. Berikut paparan profil data secara urut sesuai tujuan penelitian. 

 Berdasarkan Isu yang Dimunculkan Kecenderungan isu yang muncul dan kuat adalah :

  •  Isu Jokowi sebagai Keturunan Tionghoa : Isu ini muncul dan menjadi ramai bermula dari beredar luas Tabloid Obor Rakyat yang disebarkan ke ponpes – ponpes. Isi dari tabloid tersebut berisi tentang informasi yang negative kepada Jokowi.
Isu Pelanggar Hak Asasi Manusia : Isu ini muncul sejak awal pencalonan Prabowo Subianto. Karena karir sebagai perwira militer Prabowo dipecat ditengah jalan. Karena kasus penculikan aktivis 1998. Isu ini semakin berkembang dengan beredarnya surat rekomendasi dari Dewan Kehormatan Perwira Mabes TNI.
Testimonial Jenis propaganda ini yang paling sering muncul dalam pernyataan-pernyataan untuk capres. Kompas meminjam orang lain untuk memberikan persaksian tentang para calon presiden. Persaksian itu sendiri tidak selalu merujuk kepada orang kuat atau tokoh. Tetapi bisa juga memakai orang awam atau rakyat biasa. Dimana penggunaan orang awam itu akan berhubungan juga dengan jenis propaganda yang lainnya. Yaitu Plain Folks.
Plain Folks, adalah jenis propaganda yang muncul yang digunakan dalam memposisikan seolaholah tokoh tidak lain adalah orang awam biasa. Dalam konteks ini beberapa kali, baik Prabowo maupun Jokowi selalu disejajarkan untuk menjadi orang awam biasa. Teknik ini digunakan untuk mengurangi jarak sosial dengan rakyat biasa. Artinya proximity dengan rakyat dengan melakukan pengakuan bahwa dia juga rakyat biasa adalah bentuk yang lazim dalam propaganda manipulasi kepentingan sesaat saja.
Transfer, pada konteks propaganda ini ada hal menarik, dimana Prabowo dengan berani menunjukkan bahwa dia adalah bagian dari Soeharto. Dengan melakukan ziarah ke makan Soeharto sebagai mantan menantu. Artinya Prabowo sudah menunjukkan bahwa dia siap bila dihubungkan dengan Orde Baru. Karena memang dia juga menjalani sebagian masa hidupnya dengan bekerja sebagai militer di masa Orde Baru. Tetapi yang menarik adalah bahwa Prabowo sedang menarik kembali simpati – simpati masa lalu melalui publikasi dia dalam hubungannya dengan Soeharto. Termasuk juga kehadiran mantan istrinya yang selalu ada dalam setiap kampanye.

Referensi Tambahan:
Sutandto, Himawan, 2014. Propaganda Politik Calon Presiden Republik Indonesia 2014 -2019 (Analisis Isi Berita Kampanye Pemilihan Presiden Tahun 2014 Pada Harian Kompas Edisi 4 Juni Sampai 5 Juli 2014). Dalam Jurnal Humanity ISSN 0216-8995

Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line