Jumat, 08 Mei 2020

Aspek Newman Dalam Meningkatkan Elektabilitas

Pemasaran politik tertarik fokus dengan bagaimana partai / kandidat berorientasi pasar (market oriented). Penggunaan konsep-konsep dalam pemasaran berguna bukan hanya untuk menjual (selling), tetapi juga menjelaskan keterkaitan antara produk politik dengan kebutuhan pasar. Bagaimana membuat partai atau kandidat diinginkan dan dibutuhkan oleh pasar. Sama halnya dengan Model Niffenegger,  Model Kotler&Kotler, Model Lees-Marshment,  Model Wojciech Cwalina, Model Newman juga berfokus pada adanya upaya untuk menyelidiki keinginan pemilih, upaya menciptakan dan mengirimkan produk sesuai dengan apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh pasar (voter).

Marketing, menurut Bruce I Newman, adalah proses memilih customer, menganalisis kebutuhan mereka, dan kemudian mengembangkan inovasi produk, advertising, harga, dan strategi distribusi dalam basis informasi. Marketing, dalam pengertian Bruce, bukan dalam pengertian marketing biasa, melainkan produk politik berupa image politisi, platform, pesan politik, dan lain-lain yang dikirim ke audiens yang diharapkan menjadi konsumen yang tepat.

Newman (1999: 77-85) menerapkan model ini pada kampanye pemilihan Presiden Bill Clinton pada tahun 1992 dan berpendapat bahwa, dengan membangun kampanye yang berorientasi pasar, 'dibangun di sekitar kekhawatiran dan keinginan pemilih daripada keinginannya sendiri', Clinton memaksimalkan pesan efektivitas. Kampanye Clinton diinformasikan oleh intelijen pasar reguler untuk membantu membingkai komunikasi politik. Newman (1999: 85) berpendapat bahwa intelijen harus dikumpulkan selama pemilihan. Namun, ia juga berpendapat bahwa para kandidat perlu memiliki 'sebuah visi yang tidak tunduk pada kebimbangan reaksi publik terhadap ide-ide kandidat atau kedudukannya dalam jajak pendapat'. Poin-poin yang diangkat oleh kutipan ini akan dibahas di seluruh buku: sejauh mana elit politik harus mengikuti atau memimpin opini publik. Hanya melakukan penelitian dan meresponsnya dapat meningkatkan dukungan, tetapi, sama-sama menunjukkan terlalu sedikit kepemimpinan atau keyakinan juga dapat merusak kredibilitas keseluruhan.

Dalam bukunya, Hand Book of Political Marketing, Newman menambahkan dalam peta marketing kandidat (Candidat Marketing Map) paling tidak ada enam tahap yang harus diperhatikan.

1. Riset lingkungan (environment research),yakni setting dan konteks di mana seorang kandidat mengorganisasikan sebuah kampanye. Hal ini terkait dengan upaya mendifinisikan isu, peluang, dan tantangan yang dihadapi kandidat. Misalnya, pada tahap ini, meriset situasi ekonomi, mood pemilih (voter satisfaction or dissatisfaction), isu dan konsern penting pemilih, peta demografi pemilih, riset partai dominan atau independen, dan sebagainya.

 2. Analisis penilaian internal dan eksternal(internal and external assesment analysis). Kandidat mesti menilai kekuatan dan kelemahan dirinya, kekuatan dan kelemahan organisasi kampanye pada seluruh tahapan pengembangan, status kandidat sebagai incumbent atau penantang, peluang isu-isu kampanye, dan kekuatan dan kelemahan kompetitor.

 3. Marketing strategis (strategic marketing), misalnya terkait dengan segmentasi pemilih (usia, income, pendidikan, etnis, ideologi kelompok, dan sebagainya.), target, dan positioning (citra kandidat versus citra lawan).

 4. Setting tujuan dan strategi kampanye (goal setting and campaign strategy),misalnya menyangkut positioning latarbelakang dan qualifikasi, pesan utama kampanye, pemilihan isu dan solusi konsep pribadi kandidat, dan sebagainya.

 5. Komunikasi, distribusi, dan perencanaan organisasi (communication, distribution, and organization plan). Tahap ini, misalnya menekankan pada sosok penampilan, publisitas, iklan dan pemilihan pesan, format, serta desain medianya. Termasuk penyiapan organisasinya, misalnya saja, fundraiser and development staff, Issue and Research Staff,Media and Publicity Staff, Voulenteers and Party Workers,dan sebagainya.

 6. Pasar-pasar (massa) utama dan hasil (key markets and outcomes) yang terkait dengan segmen konstituen pemilih partai, segmen kontributor, segmen media, dan publisitas.

Di dalam tulisan lainnya, Newman menulis tentang formula kesuksesan marketing politik yang mestinya mengikuti beberapa aturan dasar. Pertama, menyediakan waktu yang banyak untuk mempelajari kebutuhan dari target customers. Kedua, membuat teampengembangan customer. Ketiga, mendapatkan dukungan dari seseorang yang berkedudukan tinggi di organisasi dan orang yang siap menjadi pembela, menyediakan banyak waktu untuk mengumumkan produk baru, dan kesuksesan pengembangan produk baru meminta organisasi untuk memapankan sebuah organisasi yang efektif dalam menangani proses pengembangannya

Namun model Bruce I. Newman ini berbeda dengan model Niffenegger dan Kotler&Kotler, model ini sudah memasukkan kekhaasan produk politik dan struktur (sistem) pemilihan. Newman melihat ada 4 aspek yang saling berkaitan dalam pemasaran politik: fokus partai/kandidat, kampanye, sistem pemilihan dan kekuatan lingkungan (eksternal). 

Contohnya adalah sebagai berikut: 

pada Pilpres 2019. Capres (kini Presiden) Joko Widodo menggunakan 4 (empat) aspek yang telah disebutkan Newman.

1. Fokus pada Kandidat

Partai pengusung capres 01 ini fokus pada kandidat yang diusungnya. Dalam berbagai kesempatan, caleg dan berbagai politisi partai pengusung kerap memamerkan kakrakteristik Jokowi yang dicitrakan diri sebagai sosok yang sederhana, merakyat, dekat dengan kalangan bawah. Sementara KH. Ma'ruf Amin dicitrakan sebagai sesosok Kyai yang dicintai umatnya, islam moderat, islam yang lebih toleran, dan lain sebagainya. Ciri ini juga dicerminkan dengan pemakaian atributu spertti identik dengan kaos/baju putih, dan sejumlah narasi dan karakteristik lainnya.

2. Kampanye

Dalam hal kampanye, kubu Jokowi lebih sering menggunakan tempat umum atau tempat yang menjangkau khalayak luas, seperti di GBK, Konser Putih Bersatu, dan memanfaatkan iklan di media massa. Hal ini berbeda dengan Kampanye pperiode sebelumnya, dimana ia lebih sering blusukan ke daerah tertentu, pada periode kedua ini blusukan tak menjadi prioritasnya. Pada saat kampanye juga ia sering mengeluarkan jargon-jargon dan memaparan program kejra yang pro terhadap masyarakat, sepertii dengan mewacanakan dikeluarkannya sejumlah kartu sakti; Kartu Pra Kerja, Kartu Sembako Murah, dll.

3. Sistem Pemilihan

Jelang pemilihan atau pencoblosan pada 17 April 2019, kubu Jokowi disibukkan dengan mengajak masyarakat untuk ke TPS. Bagaimanapaun, mereka menyadari betapa pentingnya suara masayrakat di balik TPS. Seruan ini juga dimanfaatkan dengan ajakan untuk menggunakan kaos putih sebagai salah satu pertanda pemilihan.

4. Kekauatan Lingkungan (Eksternal)

Kubu Jokowi menyadari betul adanya Kekauatan Lingkungan (Eksternal). Dengan gemuknya partai koalisi dari partai pendukungnya seperti PDIP, Golkar, Nasdem,  PKB,  PPP,  HANURA,PSI, Perindo, PKPI, dan PBB, ia memanfaatkan sleuruh kekuatan untuk menggalang dukungan dari masyarakat melalui politisi ulung dari berbagai parpol tersebut. Tak hanya itu, pengalaman pada periode pertama sebagai petahana amat disadarinya untuk dapat memanfaatkan momentum program/pppromosi untuk memangkan hati masyarakat.

Peran dan model ini terbukti dapat meningkatkan elektabilitas, sebab  pemasaran politik dapat memberi sentuhan atau memberikan keterkaitan yang lebih segar dan lebih erat dengan pemilih. Di dalamnya, seorang politikus dapat menunjukkan siapa dirinya dan apa gagasannya, kemudian menegaskan perbedaan antara dirinya dan lawan politiknya. Dengan pemasaran politik, kandidat/partai lebih efektif untuk menginformasikan bagaimana produk yang ditawarkan dan dirancang. Dalam hal ini, pemasaran juga lebih banyak digunakan untuk merancang komunikasi dengan voters sehingga dapat membangun keterhubungan antara kandidat dengan calon pemilih. Dengan melakukan pemasaran politik ini, kandidat/partai dapat menanggapi apa yang dituntut pasar dan bagaimana perilakunya Oleh karena itu, mereka perlu mengetahui apa itu pasar dan bagaimana karakteristiknya. Marketing politik dalam Pemilihan Umum (pemilu) memainkan peran yang sangat penting karena merupakan bagian dari aktivitas persuasi. Kampanye mengemas pesan politik secara intensif dalam kurun waktu tertentu yang dibatasi, guna mendapatkan pengaruh di kalangan khalayak politik. Dengan harapan, khalayak mendukung dan menjatuhkan pilihan pada kandidat yang mengkampanyekan diri tersebut.

Hal ini terbukti dengan rilis survey jelang pemilihan Presiden pada 17 April 2019 yang penulis kutip dati Eekonografik Katadata.co.id berikut ini:


Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line