•Secara etimologis:

  Paradigma berarti model teori ilmu pengetahuan atau kerangka berpikir.

•Secara terminologis:

  Paradigma berarti pandangan mendasar para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan.

Menurut Harmon (dalam Moleong, 2004: 49), paradigma adalah cara mendasar untuk melakukan persepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang realitas. 

Bogdan & Biklen (dalam Mackenzie & Knipe, 2006) menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi, konsep, atau proposisi yang berhubungan secara logis, yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Sedangkan Baker (dalam Moleong, 2004: 49) mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat aturan yang (1) membangun atau mendefinisikan batas-batas; dan (2) menjelaskan bagaimana sesuatu harus dilakukan dalam batas-batasitu agar berhasil.

Dengan demikian, paradigma ilmu pengetahuan adalah Model atau kerangka berpikir beberapa komunitas ilmuan tentang gejala-gejala dengan pendekatan fragmentarisme yang cenderung terspesialisasi berdasarkan langkah-langkah ilmiah menurut bidangnya masing-masing.

Paradigma sebagai sistem kepercayaan dasar yang didasarkan pada asumsi-asumsi
  • Ontologis, yakni Pertanyaan tentang keberadaan atau sifat dari suatu realitas
  • Epistemologis, yakni Pertanyaan tentang hubungan antara peneliti dengan fenomena atau objek yang diteliti
  • Metodologis, yaitu Pertanyaan tentang cara peneliti menemukan jawaban dari objek atau fenomena yang diteliti
  • Aksiologis, yaitu pertanyaan tentang nilai, etika dan pilihan maral yang dimiliki oleh peneliti terhadap fenomena atau objek yang diteliti

Dalam ilmu pengetahuan, terdapat 4 (empat) paradigma utama dalam penelitian yakni:

1. Positivistik

Pandangan positivistik beranggapan bahwa realita adalah obyek. Asumsi dasar positivis dalam memandang suatu realita adalah bahwa realita sebagai obyek, sesuatu yang sudah given, dengan demikian bebas dari nilai(value free). Asumsi dasar paradigma positivis juga terdeskripsikan dalam uraian Sarantakos (1995,33- 36) dalam berbagai persepsi paradigma dalam memandang suatu realitas sosial, keberadaan manusia (human being), ilmu pengetahuan (nature of science) dan tujuan penelitian sosial.

Pertama, persepsi paradigma positivis dalam memandang realitas adalah bahwa realita sebagai "out there", bebas dari kesadaran manusia, obyektif, patuh pada keteraturan (rest on order), diatur oleh hukum yang ketat, alamiah dan tidak berubah, bisa direalisasikan melalui pengalaman. Cara pandang masyarakat adalah sama karena mereka saling berbagi arti yang sama pula.

Kedua, persepsi tentang human being. Paradigma positivis berpendapat bahwa manusia adalah individu yang rasional diatur oleh hukum sosial, perilaku individu dapat dipelajari melalui observasi. Tidak ada "free will". Dunia, not deterministic karena menghasilkan efek dibawah kondisi yang pasti. Oleh karenanya prediksi terbatas oleh keberadaan kondisi tersebut.

Ketiga, keberadaan science. Paradigma positivis mengatur science dalam prosedur dan aturan yang sangat ketat. Science adalah deduktif, berasal dari yang umum dan abstrak untuk dikhususkan dan konkrit. Scienceadalah nomothetic, oleh karena itu berasal dari hukum universal yang digunakan untuk menjelaskan dan menghubungkan peristiwa sosial. Science tergantung pada knowledgeyang diturunkan dari sense manusia, sumber lain tidak dipercaya. Sciencememisahkan fakta dari value,merupakan value-free science.

Terakhir, bahwa tujuan penelitian ilmu sosial adalah sebagai alat untuk mempelajari penelitian sosial dan interkoneksinyanya sebagai hukum yang secara umum dapat ditemukan, dijelaskan dan didokumentasikan. Dengan demikian memungkinkan masyarakat untuk mengendalikan suatu even dan memprediksi keberadaannya.

Dengan empat asumsi dasar di atas dapat disimpulkan bahwa karena memandang realita sosial adalah obyektif (out there)given dan masyarakat berada dalam keteraturan serta patuh pada hukum-hukum universal, sedangkan individu adalah rasional maka keberadaan sciencepun harus diturunkan melalui sistem dan prosedur yang ketat seperti diatur dalam metode ilmiah (scientific method). Ilmu pengetahuan harus secara rasio, akal dapat diterima dan terbukti dalam fakta-fakta empiris.

Paradigma positivis secara ketat mengatur bahwa metode penelitian harus dilakukan secara ilmiah (scientific method). Menurut Suriasumantri ( 1996,119 ) metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Tidak semua pengetahuan disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan metode ilmiah.

Secara tegas Suryasumantri (1996,124) mengatakan bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yakni (a) harus konsisten dengan teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dengan teori-teori keilmuwan secara keseluruhan dan (b) harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsitennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Jadi logika ilmiah merupakan gambaran antara logika deduktif dan logika induktif dimana rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan dalam sebuah sistem dengan mekanisme korektif.

Oleh karena itu, menggunakan cara pandang positivistik akan berpengaruh pada metode atau pendekatan penelitian yang akan dilakukan, yaitu menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Metode kuantitatif menggunakan dasar filosofis positivisme maupun neopositivisme (Sarantakos, 1995,40). Struktur, proses dan latar belakang teoritis menggunakan asumsi dasar paradigma positivis, bahwa realita adalah obyektif, human being diatur oleh fixed law dan bahwa fakta seharusnya terpisah dengan nilai (value). Baik ilmu alam dan ilmu sosial menggunakan dasar logika dan metodologi yang sama dimana eksplanasi terbatas hanya untuk menjelaskan bukti-bukti empiris saja.

Contoh penelitiannya adalah dengan melakukan uji pengaruuh, uji efektifitas, sebab-akibat, dan lain-lain. Misalnya "Pengaruh tayangan kekerasan terhadap perilaku agresifitas anak di SMAN 56 Jakarta"

2. Post-Positivistik

Paradigma post positivisme menurut Salim adalah paradigma yang menggangap manusia tidak dapat selalu benar dalam memandang sebuah realitas. Oleh karena itu, dibutuhkan metode triangulasi untuk mengumpulkan berbagai sumber data dan informasi. Salim juga menjelaskan di dalam paradigma ini hubungan antara pengamat dan objek harus bersifat interaktif, tidak bisa hanya dibelakang layar. Namun, pengamat disini harus bersifat netral sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi (Salim, 2001, h.40).

Menurut Creswell, metode deskriptif-kualitatif termasuk paradigma penelitian post-positivistik. Asumsi dasar yang menjadi inti paradigma penelitian post-positivisme adalah:

a. Pengetahuan bersifat konjekturan dan tidak berlandaskan apa pun. Kita tidak akan pernah mendapatkan kebenaran absolut. Untuk itu, bukti yang dibangun dalam penelitian seringkali lemah dan tidak sempurna. Karena itu, banyak peneliti berujar bahwa mereka tidak dapat membuktikan hipotesisnya, bahkan tidak jarang mereka gagal untuk menyangkal hipotesisnya.

b. Penelitian merupakan proses membuat klaim-klaim, kemudian menyaring sebagian klaim tersebut menjadi klaim-klaim lain yang kebenarannya jauh lebih kuat.

c. Pengetahuan dibentuk oleh data, bukti, dan pertimbangan logis. Dalam praktiknya, peneliti mengumpulkan informasi dengan menggunakan instrumen pengukuran tertentu yang diisi oleh partisipan atau dengan melakukan observasi mendalam di lokasi penelitian.

d. Penelitian harus mampu mengembangkan pernyataan yang relevan dan benar, pernyataan yang dapat menjelaskan situasi yang sebenarnya atau mendeskripsikan relasi kausalitas dari suatu persoalan. Dalam penelitian kuantitatif, membuat relasi antarvariabel dan mengemukakan dalam pertanyaan dan hipotesis.

e. Aspek terpenting dalam penelitian adalah sikap objektif. Para peneliti harus menguji kembali metode dan kesimpulan yang sekiranya mengandung bias. Untuk itulah penelitian kuantitatif dilakukan. Dalam penelitian kuantitatif, standar validitas dan reliabilitas menjadi dua aspek penting yang wajib dipertimbangkan oleh peneliti (Ardianto, 2016: 60-61).

3. Konstruktivis

Paradigma konstruktivis ialah paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia sosial mereka (Dedy N. Hidayat, 2003: 3). 

Paradigma ini menyatakan bahwa (1) dasar untuk menjelaskan kehidupan, peristiwa sosial dan manusia bukan ilmu dalam kerangka positivistik, tetapi justru dalam arti common sense. Menurut mereka, pengetahuan dan pemikiran awam berisikan arti atau makna yang diberikan individu terhadap pengalaman dan kehidupannya sehari-hari, dan hal tersebutlah yang menjadi awal penelitian ilmu- ilmu sosial; (2) pendekatan yang digunakan adalah induktif, berjalan dari yang spesifik menuju yang umum, dari yang konkrit menuju yang abstrak, (3) ilmu bersifat idiografis bukan nomotetis, karena ilmu mengungkap bahwa realitas tertampilkan dalam simbol-simbol melalui bentuk-bentuk deskriptif; (4) pengetahuan tidak hanya diperoleh melalui indra karena pemahaman mengenai makna dan interpretasi adalah jauh lebih penting; dan (5) ilmu tidak bebas nilai. Kondisi bebas nilai tidak menjadi sesuatu yang dianggap penting dan tidak pula mungkin dicapai. (Sarantakos, 1993).

Menurut Patton, para peneliti konstruktivis mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari kontruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain dalam konstruksivis, setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut (Patton, 2002, p. 96-97). Sesuai dengan paradigma dan permasalahan yang dipilih dalam penelitian ini, maka paradigma  ini menggunakan pendekatan kualitatif. 

Contoh: "Konstruksi makna Terorisme pada pemberitaan Harian Kompas, edisi 11 Nvember 2019.

4. Kritis

Paradigma kritis lahir tidak lepas dari Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut für Sozialforschung). Paradigma kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Paradigma ini mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Pernyataan utama dari paradigma kritis adalah adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol proses komunikasi.

Paradigma kritis melihat bahwa baik paradigma positivisme maupun paradigma konstruktivisme tidak peka terhadap proses produksi dan reproduksi makna karena kedua paradigma ini mengabaikan unsur kekuasaan dan kepentingan dalam setiap praktik wacana. Oleh sebab itu, alih-alih mengkaji ketepatan bahasa menurut tradisi positivisme atau proses penafsiran sebagaimana tradisi kontruktivisme, paradigma kritis justru melihat pengaruh kehadiran kepentingan dan jejaring kekuasaan dalam proses produksi dan reproduksi makna. Analisis wacana kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Jadi pandangan kritis merupakan suatu paradigma berpikir yang melihat wacana sebagai politik pemaknaan dan merupakan representasi ideologi suatu kelompok atau golongan.

Paradigma kritis pada umumnya selalu melihat dalam konteks yang luas, tidak hanya pada sebuah level saja namun juga mengekspolrasi level lain yang ikut berperan dalam sebuah perisitiwa. Paradigma merupakan suatu sistem dasar keyakinan seseorang yang mengandung berbagai asumsi filosofis meliputi ontologis, epistemlogis, metodologis, dan aksiologis.

Secara ontologis, paradigma kritis memandang realitas yang teramati sebagai realitas semu yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Secara epistemologis hubungan peneliti dengan yang diteliti selalu dijembatani oleh nilai-nilai tertentu, serta pemahaman suatu realitas merupakan value mediated findings (Rakhmat Kriyantono, : 51-52).

Paradigma kritis mengkaji kandungan-kandungan makna ideologis melalui pembongkaran terhadap isi teks, hal tersebut mendasarkan penelitian pada penafsiran teks yang menjadi objek penelitian ini yaitu makna kritik sosial dalam lirik lagu humaniora, perahu kota, dan insan loba karya Innocenti. Dengan penafsiran tersebut, peneliti menyelami teks dan menyikap makna yang terkandung di dalam teks karya sastra tersebut.

Oleh karenanya, berfikir atau melihat dengancara pandang paradigma kritis akan berimplikasi pada pendekatan metode penelitian yang digunakan bagi peneliti, yakni dengan pendekatan kualitatif.

Contohnya: - "Komodifikasi Kemiskinan pada Tayangan Bedah Rumah GTV"