Rabu, 20 Mei 2020

Analisis Kebijakan Pemerintah Pusat Dalam mengatasi pandemi Covid--19, Jika Dapat dikaitkan dengan konsekuensi politik.

Dunia dalam keadaan tidak baik-baik saja seiring dengan meningkatknya jumlah korban akibat Novel Coronavirus (yang berarti coronavirus jenis baru, disingkat 2019-nCov) yang  dikenal juga sebagai virus Flu Wuhan atau Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Keadaan dan psikologis masyarakat semakin memburuk ketika Badan Kesehatan Dunia atau WHO telah merilis status infeksi virus 2019-nCov ini sebagai fenomena outbreak atau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) guna meningkatkan kewaspadaan tingkat global.

Angka kejadian penyakit terus dilaporkan perkembangannya, dan sejauh ini kasus terkonfirmasi terbanyak ada di Amerika Serikat, sementara kasus kematian terbesar di Italy, sementara Indonesia mengalami peningkatan kejadian jumlah korban yang teinfeksi maupun meninggal dunia akibat virus yang telah ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO itu sejak diumumkan pertama kali.

Keadaan diperburuk dengan keluarnya data yang dilansir dari Gugus Tugas Penanganan Covid-19 yang mengutip WHO, Sabtu (4/4/2020) yang memperlihatkan tingkat kematian akibat virus corona di Wuhan, China, tempat infeksi ini pertama kali ditemukan, ternyata hanya 4.02%. Angka ini jauh lebih rendah dari angka kematian akibat virus corona di seluruh dunia yang menurut WHO adalah 5.17%. Apalagi bila dibandingkan dengan tingkat kematian di Indonesia 9.13%  dan Italia 12.08  per tanggal 4 April 2020.

Lambannya kebijakan yang dibuat Pemerintah Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu penyebab tingginya angka korban di tanah air. Hal ini diperparah dengan buruknya komunikasi pemerintah yang kian membuat warga terpukul di tengah upaya memerangi virus corona.

Buruknya komunikasi pemerintah dalam menghadapi Covid-19 juga ditunjukan dengan berbagai pernyataan ‘nyeleneh’ dari beberapa pejabat publik seperti Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang kerap melontarkan pernyataan yang mengundang banyak komentar publik. Tak sedikit masyarakat berkomentar mengenai buruknya komunikasi pemerintah dalam menangani Covid-19, kepanikan masyarakat semakin bertambah melihat aksi dan komunikasi Pemerintah dalam menanganai wabah yang seolah tidaklah serius. Berkali-kali pemerintah meminta masyarakat untuk tidak panik dalam menghadapai pandemi, namun justru masyarakat kian panik melihat cara Pemerintah dalam menyikapi pandemi tersebut.

Pernyataan dan komunikasi Pemerintah pun semakin liar hingga akhirnya Pemerintah menunjuk Achmad Yurianto  sebagai Juru bicara pemerintah untuk penanganan covid-19  dan Kepala BNPB Doni Monardo sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, sehingga komunikasi menjadi satu pintu.

Pemerintah Indonesia sendiri telah menetapkan wabah Covid-19 sebagai Bencana Nasional. Dalam Undang-Undang Bencana Nomor 24 Tahun 2007 menyatakan terdapat 3 (tiga) jenis bencana, yakni Bencana Alam, Non-Alam, dan Sosial. Contoh bencana Non-Alam adalah wabah/pandemic, sehingga kondisi Indonesia saat ini dalam posisi tanggap darurat Bencana Non-Alam pandemi Covid-19. Sayangnya penetapan itu baru diumumkan pada (14/3/2020), setelah banyaknya korban di Indonesia.

Dengan ditetapkannya sebagai Bencana Nasional Non-Alam, penanganan Covid-19 harusnya ditangani dengan serius, dengan kebijakan-kebijakan yang mampu diakomodir dan diterima publik. Untuk dapat diterima oleh publik, sebuah kebijakan haruslan dapat dikomunikasikan dengan baik agar mencapai kesepahaman bersama (mutual understanding). Komunikasi yang efektif dan tepat sasaran dalam hal ini, akan menjadi ujung tombak dari berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah dalam menanganai pandemi Covid-19.

Tak hanya itu, keputusan pemerintah untuk tidak memberlakukan karantina wilayah (lockdown) sebagaimana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan malah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) juga menuai kontroversi. 
Dalam PP tersebut, yang dimaksud PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19. Pemerintah daerah pun dapat melakukan PSBB atau pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu.

Dalam aturan tersebut, juga membolehkan kepala daerah melakukan pembatasan sosial dengan persetujuan dari Menteri Kesehatan. Pembatasan sosial yang dimaksud, termasuk membatasi pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi, kabupaten atau kota. PP tersebut mengatur pembatasan sosial harus dilakukan berdasarkan pertimbangan epidemologis, besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. PSBB juga harus memenuhi sejumlah syarat, di antaranya jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan, dan terdapat kaitan epidemologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.

Dikeluarkannya PP tersebut semakin menuai kritik dari berbagai pihak, Pemerintah dianggap plin-plan dalam membuat kebijakan, sementara beberapa Pemerintah Daerah lebih responsif dalam menghadapi wabah yang telah ditetapkan sebagai pandemik oleh WHO itu. Buktinya, beberapa pemerintah daerah telah menerapkan protokol dan kebijakan tertentu untuk mengahdapi Covid-19 jauh sebelum Pemerintah Pusat mengambil sikap.

Buruknya komunikasi pemerintah pusat juga terlihat dari tidak konsistennya antara pernyataan satu dan dua orang lainnya yang mewakili pihak Istana. Dalam kasus dan kebijakan mudik misalnya, semula Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman yang menyebut pemerintah membolehkan masyarakat mudik dengan syarat. Namun, pernyataan itu akhirnya di klarifikasi Menteri Sekretaris Negara Pratikno, menurutnya, pernyataan yang benar adalah pemerintah mengajak dan berupaya keras agar masyarakat tidak perlu mudik, namun sayangnya hal itu masih berupa imbauan.

Buruknya pengelolaan komunikasi tersebut mencerminkan 'istana' tidak memiliki protokol yang jelas untuk merespon pandemi saat ini, sementara aturan yang dikeluarkan hanya berupa himbauan yang terkesan melimpahkan permasalahan pada setiap pemerintah daerah. Padahal idealnya sebuah kebijakan publik adalah kebijakan yang memiliki konsekuensi logis dalam implementasinya, sehingga ada muatan hukuman atau sanksi apabila tidak dijalankan. Bila melihat terminologi kebijakan publik yang mensyaratkan kebijakan yang dibuat oleh Pemrintah atas dasar kebutuhan dan aspirasi publik, kebijakan ini jelas tak mencerminkan kebijakan yang baik. Hal ini bisa dilihat dari respon negatif yang diisyaratkan masyarakat dalam berbagai lini dan platform.

Dari pemaparan di atas, kebijakan pemerintah pusat ini tentu berimpikasi pada kehidupan politik, terutama modal sosial atau trust dari masyarakat kepada pemerintah yang berkurang dan turun signifikan sejak melihat respon pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19. Hal ini nantinya berakibat pada ketidaksatablilan kehidupan politik di tanah air, padahal trust merupakan modal sosial yang sangat penting bagi keberlangsungan politik dan pemerintahan yang berkuasa. Tentu ini akan sangat lebih menarik jika dilakukan survey untuk melihat elemen trust masyarakat kepada pemerintah sejak Indonesia terdampak wabah ini. 



Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line