Sabtu, 16 Mei 2020

Dinamika Marketing Politik Brazil tahun 1989 & Indonesia sejak reformasi

Marketing Politik di Brazil

Negara Brazil merupakan negara Amerika Latin yang masih terhitung baru dalam menerapkan demokrasi. Ideologi dan tradisi demokrasi mereka diibaratkan sedang pada usia remaja sejak redemokrasi pada tahun 1980, setelah lebih dari dua puluh tahun dipimpin oleh rezim kediktatoran militer. Pembangunan demokrasi dengan membuat teori politik pemasaran dan model Lees Marshment tak mempengaruhi perkembangan Brazil. Pemasaran politik sudah diterapkan di Brazil, namun tidak berhasil karena politik yang mereka pakai dan implementasikan adalah politik pemasaran ala Inggris dan Amerika Serikat memiliki lingkungan pasar politik yang sangat berbeda. Namun perubahan itu perlahan-lahan bisa dilakukan oleh Partai Buruh (Partido dos Trabalhadores/PT) yang dipimpin oleh Luiz Inacio Lula da Silva. Dan itu terbukti mengubah perilaku politik di Brazil dengan memenangkan pemilihan presiden tahun 2002.

Pemilihan presiden pertama, setelah 21 tahun menjalankan rezim militer, dilangsungkan pada tahun 1989. Sistem politik Brazil dengan jumlah pemilih sebanyak 115juta orang menunjukkan pergeseran politik yang kontras, inkonsisten, maju, dan sekaligus mundur. Aturan dan undang-undang Pemilu Brazil terbilang rumit dan tidak efisien.

Perkenalan undang-undang dasar baru di 1988 menetapkan bahwa Brazil memiliki sistem pemerintahan presidensial dan sistem Pemilu yang membolehkan penarikan suara sebanyak dua putaran di tingkat nasional maupun daerah. Berdasarkan aturan Pemilu untuk presiden dan pemerintah daerah, dan untuk pemilihan kepala daerah dengan jumlah penduduk lebih dari 200 ribu, pemilihan putaran kedua dilakukan jika kandidat tidak berhasil memenangkan suara lebih dari 50 persen pada putaran pertama. Dalam kasus tersebut, dua kandidat dengan suara terbanyak di putaran pertama bertarung di putaran kedua. Pemilu tahun 1989 melangsungkan dua putaran ketika Fernando Collor de Mello menang,

Adapun pokok-pokok penting yang dapat dipelajari dari pemasaran politik di Brazil setelah tahun 1989 adalah sebagai berikut:

  1. Pemilihan presiden pertama dilakukan tahun 1989.
  2. Sistem politik Brazil menunjukkan pergeseran politik yang kontras, inkonsisten, maju mundur.
  3. Aturan dan undang-undang Pemilu Brazil terbilang rumit dan tidak efisien dan instabilitas politik yang berakibat pada peningkatan disorientasi pemilih
  4. Dalam abad ke-21 di Brazil, gagasan partai politik harus merancang produknya supaya lebih disukai pemilih, mungkin dilihat sebagai penentu tingkat kedewasaan partai.
  5. Perubahan pendekatan dan pergeseran politik Brazil yang lebih berorientasi pada pasar.
  6. Partai Buruh  mengadopsi demokrasi dengan menganalisis perubahan di dalam lingkungan politik dan, serta memperbarui dan mengadopsi kebijakan baru dalam rangka menyesuaikan diri dengan perubahan.
  7. Partai Buruh (PT), Lula da Silva dapat memenangkan pemilihan presiden di Brazil tahun 2002 dengan menerapkan orientasi pasar. Tak diragukan lagi, kemenangannya merupakan kejayaan bagi demokrasi di Brazil. Pemilihannya menarik perhatian dunia internasional dan kemenangannya dirayakan di seluruh Brazil, dan menjadi objek penelitian internasional.
  8. Buku Political Marketing and Electoral Persuasion, akademisi Brazil menulis bahwa akhir-akhir ini sangat tidak mungkin untuk menjalankan kampanye Pemilu presiden dan Pemilu daerah di Brazil tanpa mengimplementasikan teknik pemasaran politik yang moderen.
  9. Figueiredo dan Coutinho (2003) mendaftar, ada 70 survei yang dikeluarkan antara Januari dan awal Oktober 2002: 23 dari IBOPE, 15 dari Datafolhz, 12 dari Instituto Sensus dan 20 dari Vox Populi.
  10. Analisis Figueiredo (2003) lebih fokus pada penggunaan pemasaran politik untuk komunikasi dan kampanye, sebaliknya, Model Lees-Marshment lebih mengacu pada pertimbangan pengaruh dari pemasaran dan opini publik pada perilaku politik atau desain produk
  11. Sebelum 2002, elemen pemasaran politik digunakan tapi belum secara komprehensif.

Marketing Politik di Indonesia Sejak Reformasi

Jika dibandingkan dengan Brazil, marketing politik di indonesia pasca reformasi meangalami kemajuan dan pertumbuhan yang pesat. Di Indonesia penerapan marketing politik secara terbuka sejak 1998 Pada masa yang dikenal reformasi ini banyak partai yang berrnunculan mencapai 150 partai Namun partai yang lolos pemilu 1999 hanya 48 partai Selanjutnya pada pemilu 2004 jumlah partai politik yang ikut pemilu menyusut setengah dari jurnlah sebelumnya yaitu sebanyak 24 partai Penyusutan ini tidak terlepas dari strategi masing masing partai untuk mempertahankan dan mengembangkan partai politik di masyarakat Di sinilah marketing politik bermain. Tak hanya itu di era ini, mudahnya orang berpindah partai dan membuat partai baru memberikan kelonggaran sehingga semakin banyak partai bermunculan di era reformasi

Pasca reformasi Indonesia telah mengadakan proses demokrasi pemilihan umum secara langsung yang di pilih oleh rakyat pada tahun 1999 dan berlanjut pada tahun 2004, 2009,  2014, dan 2019.

Di Indonesia, khususnya setelah reformasi konsep marketing politik mulai populer dan diterapkan dalam menghadapi Pemilu. Persaingan Parpol yang jumlahnya banyak memaksa setiap elite politik untuk senantiasa membuat kreasi unik dan menarik demi memikat perhatian publik. Salah satu proses kampanye yang penting dilakukan ketika jumlah partai sangat banyak adalah membangun diferensiasi antara satu dengan yang lainnya.

Disamping itu, pada era reformasi ini dengan sistem multipartai yang ekstrem tidak memperhitungkan kondisi psikologis masyarakat yang dibuat bingung dengan keberadaan partai yang banyak ini Akibatnya banyak masyarakat yang lebih bersikap skeptis golput daripada menjadi pemilih partai politik atau kontestan tertentu yang pada akhirnya dikhawatirkan akan mematikan demokrasi yang telah susah payah diperjuangkan Kondisi ini haruslah memacu partai partai politik untuk lebill berinisiatif dengan ide atau gagasan gagasan barn dalam mempromosikan partainya sehingga menarik perhatian publik dan pada akhirnya dapat membangun kepercayaan publik kembali Di sinilah peran marketing dalam dunia politik dibutuhkan.

Pasca bergulirnya reformasi peta politik di Indonesia mengalami perubahan yang ditandai dengan munculnya partai-partai baru. Hal ini terlihat pada Pemilu 1999 yaitu Pemilu pertama pada masa reformasi yang diikuti oleh 48 Parpol dan perolehan suara dimenangkan oleh PDIP sebesar 33,74 persen. Pelaksanaan Pemilu 2004 merupakan sejarah penting dalam politik Indonesia karena memungkinkan rakyat memilih wakil mereka untuk menjabat di DPR, DPD, dan DPRD. Pemilu calon anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2004, yang selanjutnya disebut Pemilu Legislatif diikuti oleh 24 Parpol peserta yang dimenangkan oleh Partai Golkar dengan perolehan suara sebesar 21,58 persen diikuti PDIP pada posisi kedua sebesar 18,53 persen dan diikuti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan perolehan suara 10,57 persen. Partai Demokrat yang notabene partai baru dan dibentuk pada masa reformasi ini sudah menempati posisi 5 (lima) besar dan mencalonkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai calon presiden.

Pada Pemilu Legislatif 2009 jumlah peserta Pemilu meningkat dibandingkan sebelumnya. Pemilu ini diikuti oleh 44 Parpol yaitu 38 partai nasional dan 6 partai lokal Aceh. Pemilu Legislatif 2009 ini dimenangkan oleh Partai Demokrat yang ditopang oleh sosok SBY sebagai dewan pembina partai dan juga sebagai presiden RI periode 2004-2009 dengan meraih 20,85 persen suara. Lahirnya Parpol baru pada awal-awal reformasi dan setelah Pemilu tahun 2004 meningkatkan persaingan dalam Pemilu. Dengan sosok sentral seperti Prabowo Subianto yang diusung Partai Gerindra dan juga Wiranto yang diusung Partai Hanura sekaligus ketua umum partai, membuat publik mudah untuk mengenal partai-partai baru ini. Dalam perolehan suara Pemilu Legislatif 2009 masing-masing menempati peringkat ke-8 dan peringkat ke-9.

Pelaksanaan Pemilu 2014 merupakan pemilihan wakil-wakil rakyat secara langsung yang ketiga kalinya di Indonesia. Peserta Pemilu Legislatif 2014 diikuti oleh 12 Parpol. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tampil sebagai pemenang dengan memeroleh jumlah suara 18,95 persen, posisi kedua ditempati oleh Partai Golkar dengan jumlah suara 14,75 persen, dan Partai Gerindra menempati posisi ketiga dengan jumlah suara 11,81 persen.

Sedangkan, Pilpres 2019 menjadi bagian dari pemilihan umum (Pemilu) serentak pertama di Indonesia dalam sejarah. Selain memilih Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu 2019 juga menjadi momen bagi rakyat Indonesia untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Dari keempat kelima pascareformasi dapat dilihat bahwa Pemilu akan senantiasa diikuti banyak Parpol. Dalam kondisi seperti ini, para pemilih tak akan mampu mengingat begitu banyak nama partai dan program-program utama serta nama-nama para kandidat yang ditawarkan suatu partai. Dengan demikian, mayoritas partai-partai yang ikut Pemilu akan sulit dikenal pemilih, apalagi membedakannya dengan partai lain. Cukup beralasan untuk mengatakan bahwa partai-partai tidak gampang mencapai target sasaran dengan cara-cara kampanye dan kegiatan kehumasan konvensional. Tantangan besar khususnya akan dihadapi partai-partai baru. Tanpa langkah terobosan, partai-partai baru akan sulit untuk meraih suara, bahkan hanya sekadar untuk dikenal baik oleh pemilih. Langkah-langkah terobosan itu hanya bisa dilakukan dengan strategi yang jitu, termasuk menerapkan pemasaran politik.

Berdirinya partai-partai baru tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu indikator bahwa Indonesia semakin demokratis. Hal itu memberikan dampak positif bagi perkembangan politik di Indonesia. Semakin banyak Parpol memberikan peluang lebih besar kepada masyarakat dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Rakyat memiliki alternatif pilihan yang lebih beragam kepada partai yang dianggap dapat mewakili suaranya. Kondisi demikian sulit diperoleh saat Pemilu di masa Orde Baru. Reformasi politik yang terjadi juga berdampak pada berubahnya struktur pasar Parpol di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line