Mahkamah Konstitusi berpendapat pasal 299 ayat (1) UU Pemilu secara tegas menjamin bahwa hak kampanye bagi calon presiden-wakil presiden petahana tidak akan dikurangi. Menurut Mahkamah Konstitusi, bila calon presiden-wakil presiden petahana tidak diberi hak untuk melaksanakan kampanye, justru akan menjadi bertentangan dengan semangat Pemilu karena akan menimbulkan perlakuan berbeda terhadap para capres dan cawapres. Dengan demikian, hal ini juga bisa menjadi keuntungan tersendiri bagi petahana untuk melakukan 'kampanye terselubung' di tengah jabatannya sebagai presiden. 

Kampanye petahana juga kerap disebut sebagai Kampanye permanen (permanent campaign), adalah bentuk kampanye yang dilakukan oleh pejabat yang tengah memerintah (incumbent) dengan memanfaatkan posisi dan kantor pemerintahnnya (lihat Steger, 1999). Berbeda dengan kandidat lain, kandidat politik (DPR, presiden, kepala daerah) yang tengah memerintah (tengah menjabat)  mempunyai kedudukan yang memungkinkan mereka melakukan kampanye secara terus menerus sepanjang masa pemerintahannya. Kunjungan kerja, mendatangi pemilih, membuat kebijakan, mendengarkan keluhan dan aspirasi publik, selain menjadi tugas pejabat yang tengah memerintah juga bisa dilihat sebagai bentuk kampanye agar kandidat bisa terpilih kembali dalam periode pemilihan berikutnya. Incumbent juga bisa memanfaatkan sumber daya yang terdapat di kantor (kantor, staf, dana) untuk menjangkau pemilih. Karena kampanye itu punya potensi dilakukan secara terus menerus, bentuk kampanye ini disebut sebagai kampanye permanen (permanent campaign). Ini untuk membedakan dengan kampanye yang dilakukan oleh kandidat yang bukan incumbent. Umumnya kampanye dilakukan menjelang pemilihan. Kampanye juga tidak dilakukan melalui kantor pemerintahan, seperti halnya dalam kampanye yang diakukan oleh incumbent.

Pilpres 2019 mempertemukan petahana Joko Widodo sebagai pemenang pada Pilpres 2014 dan berpasangan dengan Ma'ruf Amin pada Pilpres 2019, berhadapan dengan penantangnya yang kalah pada Pilpres 2014 yakni Prabowo Subianto yang kali ini berpasangan dengan Sandiaga Uno.


Menurut Tret and Friedenberg (2000), strategi incumbent  terutama berpusat pada usaha untuk menekankan keberhasilan dan kinerja pemerintahan. Ini dilakukan pada level simbolik dengan memberikan citra mengenai legitimasi dan kemampuan pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah. Citra yang banyak diangkat juga kharisma dari pejabat pemerintah, misalnya dekat rakyat, perhatian, jujur dan sebagainya. Selain aspek simbolik, pejabat yang tengah memerintah (incumbent) juga menciptakan stratregi pragmatois untuk menarik dukungan pemilih. Ini dilakukan paling tidak lewat lima cara (lihat Tret and Friedenberg (2000). 
Pertama, menciptakan persitiwa untuk mengontrol perhatian media. Pejabat bisa melakukan kunjungan, melemparkan sutau isu, atau rencana kebijakan tertentu agar mendapatkan perhatian dan liputan luas dari media. 
Kedua, membuat janji. Pejabat incumbent dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki bisa membuat kebijakan atau merencanakan kebijakan yang bisa langsung menarik perhatian pemilih. Misalnya, incumbent membuat kebijakan yang populis seperti kesehatan dan pendidikan murah agar mendapat dukungan dari mayoritas pemilih yang berpendidikan rendah.
Ketiga, pemberian dana dan bantuan. Menurut Tret and Friedenberg (2000), incumbent umumnya bisa memberikan bantuan kepada wailayah tertentu dan mencitrakan seolah-olah bantuan itu adalah wujud dari kepedulian kandidat. Misalnya, ketika ada bencana atau kerusakan di satu wilayah, pemerintah daerah bisa memberikan bantuan dan melajukan perbaikan kerusakan secepatnya. Bantuan itu bisa diitrakan sebagai bentuk kepedulian dari pejabat pemerintah (incumbent).
Keempat, incumbent juga bisa menciptakan ukungan dari tokoh-tokoh masyarakat. Dengan posisi sebagai pejabat dan berhubungan dengan banyak kalangan, incumbent umumnya membuat strategi pencitraan bagaimana dirinya didukiung oleh banyak kalangan. Misalnya dengan melakukan kunjungan ke pesantren, gereja, atau kelompok sosial lain dalam masyarakat. Kelima, incumbent juga bisa ”memanipulasi” persoalan ekonomi dan persoalan domentik lain. Misalnya dengan mengatakan pertumbuhan ekonomi yang rendah akibat krisis global dan sebagainya. Akses pada media memungkinkan incumbent melakukan hal tersebut.

Strategi Incumbent

(Kampanye Permanen)

(Joko Widodo)

Strategi Penantang

(Prabowo Subianto)

SIMBOLIK

1. Legitimasi pemerintahan, misalnya dengan mengkampanyekan keberhasilan pembangunan infrastruktur

1. Mencitrakan sebagai tokoh perubahan (change), misalnya dengan membangun isu pemerintah telah gagal dalam membangun pertumbuhan ekonomi. Sementara Prabowo bersiap membangun pertumbuhan ekonomi tersebut.

2. Kemampuan dan kinerja pemerintah, misalnya dengan mengkampanyekan capaian dan kinerja pemerintah selama menjabat dengan iklan di bioskop-bioskop,dll.

2. Mencitrakan sebagai tokoh masa depan dan membangun optimisme di masa mendatang, misalnya dengan mengemukakan hutan luar negeri yang kian parah, dan bisa diatasi dibawah kepemimpinan Prabowo jika terpilih

3. Menciptaan image dan kharisma dari kantor pemerintahan, misalnya  dengan mencitrakan diri sebagai sosok yang dekat dengan rakyat, sederhana/

3. Image memenang nilai-nilai tradisional, misalnya mencitrakan diri sebagai sosok yang tegas namun dekat dengan rakyat dan mengakomodir kepentingan rakyat, misalnya konsep 'emak-emak' yang diusungnya.

PRAGMATIS

4. Menciptakan peristiwa untuk mengontrol perhatian media, misalnya dengan melakukan blusukan ke berbagai daerah, melakukan kunjungan kerja ke daerah yang terkena bencana dengan berfoto dan mengunggahnya di sosial media dengan caption menarik.

4. Menyerang pretasi dan kinerja pemerintah, misalnya dengan terus menggemborkan bahwa pemerintah gagal dalam melindungi aset bangsa misalnya kasus Indosat dan lebih pro terhadap tenaga kerja asing.

5. Membuat janji, misalnya akan melanjutkan pembangunan infrastruktur, mengelurkan sejumlah kartu sakti seperti kartu prakerja

5. Menyerang posisi dan kebijakan pemerintah (incumbent) misalnya dengan mengatakan kebijakan pembangunaninfrastruktur tidak tepat apalagi dananya bersumber dari hutang luar negeri

6. Pemberian dana atau bantuan, misalnya dengan memberikan bantuan sosial.  Diketahui, total anggaran pemerintah yang dipakai untuk pos bantuan sosial hingga akhir Maret 2019 (kuartal I-2019)  mencapai Rp 37 triliun, atau 36,2% terhadap APBN 2019. Jumlah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat, atau 106,6% terhadap realisasi bantuan sosial kuartal I-2018 yang hanya Rp 17,9 triliun.

6. Menyerang karakter / kepribadian lawan, misalnya dengan mencitrakan karakter Jokowi sebagai sosok yang 'lembek' 'lemah' dan terlalu pro asing.

7. Dukungan dari tokoh politik dan masyarakat, misalnya dengan mempublikasikan dukungan sejumlah tokoh nasional dan public figure, serta relawan dari kalangan masyarakat. Contoh dukungan dari Jusu Kalla, dan dari kalangan artis

 7. Dukungan dari tokoh politik dan masyarakat, misalnya dengan mempublikasikan dukungan sejumlah tokoh nasional dan public figure, serta relawan dari kalangan masyarakat. Contoh, dukungan dari Amien Rais dan relawan yang mereka sebut sebagai 'Emak-Emak'

8. Manipulasi persoalan ekonomi dan persoalan domestik lain, misalnya dengan mengklaim perteumbuhan ekonomi meningkat tajam seiring dnegan meningkatnya konektivitas akibat pembangunan infrastruktur

 8. Manipulasi persoalan ekonomi dan persoalan domestik lain, misalnya dengan menyebut pemerintah gagal menaikan pertumbuhan ekonomi, dan menyebut pengangguran semakin meningkat.


Kandidat lawan, menurut Tret and Friedenberg (2000) punya strategi yang berbeda untuk menarik dukungan pemilih. Pada level simbolik, kandidat penantang umumnya menampilkan dirinya sebagai sosok yang berbeda dengan pejabat yang tengah memerintah. Sosok yang kerap ditampilkan adalah sosok sebagai tokoh perubaan (change). Kandidat juga mencitrakan dirinya sebagai tokoh masa depan, yang bisa memberikan harapan dan optimisme bagi pemilih. Citra lain yang umumnya ditekankan oleh kandidat penantang adalah sosok yang membawa nilai-nilai tradisional misalnya menampilkan dirinya sebagai sosok yang cinta keluarga, beriman, dan sebagainya.
Selain pada level simbolik, kandidat penantang juga melakukan strategi kampanye pada level pragmatis. Umumnya, menurut Tret and Friedenberg (2000) strategi yang dilakukan oleh kandidat penantang adalah menyerang prestasi dan kebijakan yang dibuat oleh kandidat incumbent. Yang diserang pertama kali adalah prestasi dan kinerja incumbent. Bahkan tidak ada perubahan yang berarti selama incumbent mempimpin. Jika prestasi dan kinerja incumbent bagus, kandidat penantang umumnya akan menyerang di sini kebijakan. Kandidat mengambil satu atau beberapa kasus kebijakan dan menunjukkan kepada khalayak pemilih bahwa kebijakan yang diambil oleh incumbent itu salah. Jika strategi ini tidak berhasil, kandidat akan menyerang karakter dan kepribadian kandidat misalnya sosoknya, affair dan skandal yang pernah dilakukan, kasus korupsi dan sebagainya.