Jumat, 27 November 2020

Peran penting teknologi informasi dalam komunikasi lintas budaya, strategi nasional komunikasi lintas budaya untuk menciptakan perubahan positif dan konstruktif dalam berbagai bidang, serta penjelasan teoritis

A. PERAN TEKNOLOGI DALAM KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA.

Perkembangan teknologi informasi mengalami kemajuan sangat pesat. Kemajuan tersebut telah mengantarkan umat manusia semakin mudah untuk berhubungan satu dengan lainnya. Berbagai infomasi dan peristiwa yang terjadi dibelahan dunia dengan secara cepat dapat diketahui oleh manusia pada benua yang lain. Era globalisasi yang ditandai oleh semakin majunya teknologi komunikasi juga disebut dengan era informasi. Alfin Tofler melihat sejarah peradaban manusia sejauh ini dapat dibagi dalam tiga gelombang. Gelombang pertama ditandai oleh penemuan pertanian, gelombang kedua ditandai oleh revolusi industri, sedangkan gelombang ketiga yang kini sedang memunculkan diri terutama ditandai oleh revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era teknologi tinggi. Berbagai ahli mencoba menggambarkan peradaban baru ini dengan berbagai istilah atau konsep seperti era angkasa, era informasi, era elektronik dan entah apalagi.

Dengan semakin meluasnya arus informasi ke seluruh dunia, globalisasi informasi dan media massa pun menciptakan keseragaman pemberitaan maupun preferensi liputan. Pada akhimya, sistem media masing-masing negara cenderung dalam hal menentukan kejadian yang dipandang penting untuk diliput. Peristiwa yang terjadi disuatu negara akan segera mempengaruhi perkembangan masyarakat di negara lain. Atau dengan kata lain, menurut istilah John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya Megatrend 2000 (1991), dunia kini telah menjadi "global village".

Dalam konteks Komunikasi Lintas Budaya dewasa ini tak bisa dipungkiri teknologi media komunikasi khususnya menjadi sarana penyebar-luasan budaya, baik penggunaan media cetak, seperti koran, majalah, tabloid, dan sebagainya, ataupun media elektronik, seperti televisi, radio, internet. Masyarakat pada era modern ini sangat mudah sekali mengakses media massa dalam menukarkan pesa-pesan budaya dengan biaya yang murah bahkan gratis. Melalui cara ini mereka yang terlibat dalam komunikasi lintas budaya mulai mengenal budaya-budaya dunia lain secara keseluruhan dan menjadikan budaya tersebut menjadi kebudayaan baru dalam prilaku komunikasi mereka. Dalam konteks ini tentu tidak bisa dipungkiri, budaya asing yang tersebar dengan mudah melalui teknologi media komunikasi lintas budaya sangat cepat menyebar ke seluruh dunia yang menjadi panutan bagi setiap individu dalam mengikuti perkembangan zaman terkini. Banyak di antara anggota masyarakat dalam berkomunikasi lintas budaya, mereka tidak mau disebut out of date (ketinggalan zaman) lalu dikucilkan dari pergaulan modern.

Terkait dengan keberadaan teknologi media, terdapat beberapa kemungkinan pengaruh keberadaan teknologi media pada pelaku komunikasi di dalam Komunikasi Lintas Budaya, sebagai berikut:

1. Imitasi.
 Komunikasi lintas budaya pada era globalisasi ini gejala imitasi sangatlah mudah dilakukan, banyak orang bisa melihat dan belajar tentang kebudayaan negara lain dan meniru kebudayaan tersebut sampai-sampai nilai-nilai kebudayaannya sendiri bisa terkikis dan hilang, terutama kebudayaan modern ala negara-negara barat yang sangat menarik anak-anak muda untuk mengikutinya seperti dalam pengaruh bahasa tubuh dalam komunikasi. Sebenarnya istilah “globalisasi” merupakan suatu istilah yang menggambarkan ruang lingkup perkembangan-perkembangan yang sedang terjadi dalam komunikasi dan kebudayaan (Featherstone, 1990). Tetapi dengan catatan kalau kita tidak hidup dalam sebuah desa global yang hidupnya berdasarkan teknologi yang serba lengkap bagaikan dongeng yang menggeser sistem sosial dan dan kebudayaan lokal yang telah ketinggalan zaman-mistis-dan tidak lagi diinginkan.

2. Heterogenitas Budaya.
Perkembangan teknologi media dalam proses komunikasi lintas budaya mngakibatkan adanya heterogenitas budaya yang makin banyak di dunia, munculnya budaya baru yang akhirnya sedikit demi sedikit pelaku komunikasi antar budaya terjangkiti oleh nilai-nilai budaya yang semakin kompleks. Bisa jadi sedikit demi sedikit budaya nilai-nilai budaya seseorang hilang akibat banyaknya asimilasi budaya dalam pergaulan lintas budaya.

3.    Munculnya Budaya Populer.

Kemunculan budaya populer otomatis akibat dari komunikasi lintas budaya melalui teknologi media. Saat ini budaya popular sudah menjadi barang yang biasa di konsumsi oleh masyarakat Indonesia, dimana budaya asing menjadi budaya mereka sendiri. Sebagian orang yang masih berpegang pada identitas budaya sendiri dianggap sebagai orang-orang kuno dan kolot.

4.    Tergerusnya Budaya Lokal

Seiring dengan perkembangan waktu, filter tiap orang semakin melemah bersama dengan identitas budaya keindonesiaan yang semakin lama semakin tergerus oleh budaya populer sebagaimana pengaruh iklan dalam komunikasi lintas budaya bermedia. Tidak akan ada komunikasi antar budaya yang bertujuan untuk bisa saling memperkaya pengetahuan tentang kebudayaan satu negara dengan negara yang lain. Budaya populer sendiri juga sebenarnya merupakan komunikasi lintas budaya yang dilakukan secara non-verbal.

5.    Budaya yang Dicerna Mentah-Mentah

Di era modern ini komunilasi lintas budaya tidak terjadi secara langsung melainkan melalui siaran televise, koran dan media social yang menggambarkan dan menjelaskan tentang kebudayaan yang ada di negara masing-masing mulai dari bahasa, cara berpakaian, makanan tradisional dan sebagainya. Hanya saja bangsa kita bukanlah bangsa yang cerdas untuk menyeleksi budaya yang masuk ke Indonesia. Segala terpaan media termasuk tayangan yang sebenarnya dimaksudkan sebagai komunikasi lintas budaya menjadi hal yang langsung dicerna dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh khalayak.

6.    Moralitas.

 Moralitas menjadi sebuah isu yang dipertaruhkan dan menarik untuk dikaji terkait dengan pengaruh teknologi media dalam komunikasi lintas budaya. Keterbukaan dalam segala informasi yang dapat diakses dengan mudah membuat filterisasi yang dimiliki oleh generasi saat ini menjadi tidak terkontrol sebagaimana pengaruh status sosial dalam komunikasi mereka sehari-hari.

7.    Modernisasi.

 Nilai-nilai modernisasi yang sangat dominan merupakan pengaruh yang tak dapat dihindarkan dari adanya teknologi media sebagai sarana dalam komunikasi lintas budaya dewasa ini. Kini anda bisa terhubung dengan semua penghuni di jaagad raya ini hanya melalui media di genggaman anda. Terlebih lagi, anda juga dapat saling share dengan benas mengenai hal-hal budaya yang maanrik antara satu dengan lainnya. 

8.    Penyebaran Kebudayaa secara Luas.

 Kini kita dapat dengan mudah memperkenalkan sebuah budaya daerah / lokal ke mata dunia. Dengan perkembangan teknologi media dimana saat ini menungkinkan semua orang untuk dapat dengan  mudah berbagi informasi. Di sini budaya local suatu etnis dimana saja dapat dengan mudah diperkenalkan ke masyarakat di negara lain.

9. Kesenian

Kesenian sebagai bagian penting dalam sebuah kebudayaan juga ikut terpengaruh dengan adanya perkembangan teknologi media dalam komunikasi lintas budaya, termasuk bahasa sebagai alat komunikasi. Saat ini kesenian daerah sudah mulai bertransformasi dengan membalutnya demgam teknologi dan juga nuasa moderen. Tentu saja hal ini merupakan upaya seni sebagai bagian yang sentral dalam budaya dapat diterima secara luas oleh seluruh lapisan masyarakat dunia. Meskipun begitu tanpa bisa meninggalkan ciri khas dan kekhususan yang merupakanm identitas kesenian itu sendiri.

10. Pandangan Tradisionalitas. 

Bicara mengenai budaya maka tentu akan bersinggungan erat dengan tradisionalitas yang merupakan bagian penting dari budaya itu sendiri. Elemen ketradisionalan inilah yang merupakan kekuatan magis dari kebudayaan yang bisa menyita perhatian dunia. Keberadaan media tentu akan dapat lebih mudah memperluas dan juga memperkenalkan ketradisionalan ke kancah internasional. Agar tentunya menjadi simbol dan daya tarik utama akan kekeyaan dan kekhasan budaya yang dimiliki.


B. STRATEGI KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA UNTUK MENCIPTAKAN PERUBAHAN

Untuk menciptakan suatu perubahan melalui komunikasi, maka dibutuhkan suatu proses penyusunan strategi yang efektif. Seorang komunikator yang dianggap kredible dalam pelaksanaan komunikasi adalah komunikator yang memiliki suatu strategi komunikasi yang disusus sebelum pesan dilancarkan kepada peserta komunikasi itu. Demikian juga halnya dalam proses komunikasi lintas budaya, menyusun strategi komunikasi itu adalah suatu keniscayaan. Dalam upaya menyusun strategi komunikasi lintas budaya ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yakni:

1. Prinsip keselarasan (compatible). Prinsip ini menegaskan tentang pentingnya usaha penyelarasan antara nilai-nilai budaya komunikator dngan nilai-nilai budaya komunikan, seperti tata cara menggunakan bahasa, prilaku pesan verbal dan non verbal, dan prilaku komunikasi lainnya, termasuk menggunakan syarat-syarat pesan yang baik sebagaimana dalam pandangan Wilbur Schramm.

2. Prinsip kesesuaian dengan kebutuhan (need) sasaran, terutama menjawab masalah need berdasarkan tahap-tahap kebutuhan dari Maslow (kebutuhan biologis, sosiologis dan psikologis).

3. Prinsip pelaksanaan suatu proses belajar mengajar yang efektivitasnya dipengaruhi oleh sifat atau ciri sasaran masyarakat di desa, tenaga pengajar, fasilitas, materi dan kondisi lingkungan. Prinsip pelaksanaan yang bertujuan mengembangkan sikap, pengetahuan, keteranpilan dan sikap serta kemampuan masyarakat di desa sasaran.

Selain itu, perlu juga diperhatikan tentang beberapa hal yang terkait dengan perencanaan komunikasi tersebut yang harus dilakukan dengan strategi, sebagai berikut:

1. Konsolidasi, yaitu memantapkan dan mengembangkan ketenagaan dan kelembagaan yang tangguh dan mendukung kerja “proses komunikasi”.

2. Integrasi, yaitu menggalang keterpaduan kerja dengan lembaga atau pihak lain yang potensial untuk meningkatkan, daya guna dan hasil guna perencanaan proses komunikasi.

3. Implementasi, yaitu menerapkan metode dan teknik perencanaan proses komunikasi termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta materi perencanaan.

Terkait dengan perencanaan komunikasi yang harus dilakukan dengan strategi di atas, maka sesuai dengan aspek-aspek yang terlibat dalam suatu proses komunikasi maka harus menentukan beberapa hal, sebagai berikut:

1. Seorang perencana komunikasi lintas budaya harus bisa mengidentifikasi masalah sasaran (audience) dengan cermat. Untuk memudahkan pendekatan terhadap sasaran yang jumlahnya banyak, beragam dan sukar dijangkau, maka perencana komunikasi harus mensegmentasikan sasaran ke dalam kelompok-kelompok yang lebih homogen.

2. Komunikator yang handal, adalah komunikator yang memiliki kredibilitas tertentu. Ada tiga jenis kredibilitas yaitu ethos, pathos dan logos. 

3. Memperhatikan faktor pesan. Dalam konteks komunikasi lintas budaya, pesan merupakan tema-tema yang dibicarakan bersama oleh peserta komunikasi. Dalam hal ini seorang komunikator membutuhkan hal berikut:

a. Pengetahuan tentang bentuk-bentuk pesan verbal masyarakat sasaran.

b. Pengetahuan terhadap isi pesan.

4. Memperhatikan media sebagai alat bantu demi tercapainya efektivitas komunikasi. Beberapa bentuk media yang sifatnya hardware dan software, yaitu:

a. Sarana komunikasi, seperti radio komunikasi, radio kaset, slide, tv, dan lain-lain.

b. Sarana transportasi

c. Alat bantu komunikasi yang biasa dipakai dalam penyuluhan, misalnya media unit-unit percontohan, produk hasil teknologi, dan lain-lain.

5. Gedung, balai pertemuan atau tempat terbuka untuk pertemuan.

6. Metode dan teknik penyampaian pesan. Ada beberapa metode yang bisa dipilih, yaitu:

a. Metode informatif.

b. Metode edukatif.

c. Metode persuasif.

d. Metode Instruktif.

7. Konteks, yaitu situasi dan kondisi yang bersifat lahir dan batin yang dialami para peserta komunikasi sehingga diharapkan bisa mempengaruhi setiap proses komunikasi.

Porter dan Jain (1981:202) dalam Susanto (2009), mengungkapkan tentang hal-hal yang harus dipenuhi dalam merumuskan strategi untuk meningkatkan efektivitas komunikasi antar budaya, adalah :

1. Pahami diri sendiri (know yourself). Dalam arti bahwa memahami diri sendiri penting, ketika melakukan komunikasi dan interaksi dengan kelompok lain. Implikasinya, seseorang dapat memposisikan diri dan tidak canggung dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok etnik yang berbeda;

2. Sediakan waktu (take time). Ini dalam arti ketika terjadi ketidaksepahaman dengan kelompok budaya lain. Sebab seiring dengan berjalannya waktu, diharapkan muncul pemahaman, dan tingkat emosi yang mereda;

3. Pengggunaan bahasa yang sama (use the same language). Jika ingin hubungan antar kelompok budaya berjalan lancar, harus menggunakan bahasa yang sama dengan kelompok lain. Kalaupun bahasanya memang sudah sama, gunakan maksud yang sama ketika berhubungan dengan kelompok lain. Pada konteks ini, bahasa secara hakiki terikat oleh kesamaan maksud dalam hubungan dengan kelompok yang berbeda;

4. Perhitungan setting (calculation of settings). Ini dilakukan dalam komunikasi dengan budaya lain, yang sangat mungkin memiliki beragam perbedaan terhadap seting waktu, lingkungan dan simbol lain yang dipercaya. Hakikatnya, berkomunikasi dengan budaya etnik lain, harus memperhitungkan situasi dan kondisi yang berlaku dan dipercaya oleh kelompok lain;

5. Tingkatkan kemampuan berkomunikasi (communication style). Usahakan terus meningkatkan kemampuan berkomunikasi, dengan memepelajari bahasa dan budaya kelompok lain. Tanpa upaya untuk melakukan pendekatan, maka tingkat kohesivitas hubungan yang dipakai sebagai landasan kehidupan masyarakat yang harmonis tidak akan tercapai;

6. Tumbuhkan umpan balik (feedback). Dalam arti bahwa membuka kesempatan kepada kelompok lain, agar memberi umpan balik. Jadi tidak mendominasi pembicaraan, terlebih jika yang diajak berkomunikasi merasa sebagai kelompok minoritas ataupun terperangkap dalam simbol-simbol marginalisasi, maka sulit untuk mengharapkan tercapainya tujuan berkomunikasi

7. Kembangkan Empati (Develop empathy). Mengembangkan empati, dengan memposisikan diri sendiri sebagai orang dari kelompok lain penting untuk meningkatkan hubungan. Pemahaman terhadap posisi kelompok lain akan meningkatkan rasa kebersamaan yang mampu mengikat masyarakat yang berbeda dalam satu kesatuan;

8. Perhatikan kesamaan dari budaya yang berbeda (Note similarities of defferent cultures). Jika ingin meningkatkan interaksi antar budaya, gunakan kesamaan agar hubungan dengan kelompok lain lebih erat. Jadi yang terpenting adalah tidak mempersoalkan perbedaan yang terdapat di kelompok lain, dan;

9. Tanggung jawab etis dalam komunikasi (Ethical responsibilities in communication). Etika dalam berkomunikasi dengan kelompok lain perlu dijaga, mengingat pelanggaran terhadap etika berbicara akan berakibat buruk. Jika etika komunikasi kelompok lain tidak diketahui. Gunakan etika yang universal, yang intinya menghormati ketika orang lain berbicara.

Kesembilan saran untuk mengefektifkan komunikasi lintas budaya tersebut, barangkali tidak dapat dilakukan bersama-sama dalam satu kesempatan komunikasi, tetapi paling tidak dalam situasi komunikasi tertentu di wilayah yang rawan konflik karena perbedaan nilai dan kepercayaan, dapat dipakai sebagai pedoman untuk meminimalisir berbagai perbedaan.

B.HAMBATAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA 

Komunikasi Lintas Budaya memiliki hambatan tertentu yang perlu diketahui dalam membangun strategi perubahan melalui komunikasi ini. Chaney dan Martin (2004:11) dalam bukunya Intercultural Business Communication, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hambatan komunikasi atau communication barrier adalah segala sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya komunikasi yang efektif. Perbedaan budaya sendiri merupakan salah satu faktor penghambat dalam komunikasi antar budaya, karenanya hambatan- hambatan komunikasi tersebut juga sering disebut sebagai hambatan komunikasi antar budaya, sebagai hambatan dalam proses komunikasi yang terjadi karena adanya perbedaan budaya antara komunikator dan komunikan.

Adapun faktor hambatan komunikasi antar budaya yang sering terjadi antara lain: fisik, budaya, persepsi, motivasi, pengalaman, emosi, bahasa (verbal), nonverbal, kompetisi, dijelaskan sebagai berikut:

1. Fisik adalah hambatan komunikasi yang berasal dari waktu, lingkungan, kebutuhan diri, dan media.

2. Budaya adalah hambatan komunikasi yang berasal dari etnis, agama, dan sosial yang bebeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya.

3. Persepsi adalah hambatan komunikasi yang timbul karena perbedaan persepsi yang dimiliki oleh individu mengenai sesuatu. Perbedaan persepsi menyebabkan perbedan dalam mengartikan atau memaknakan sesuatu.

4. Motivasi adalah hambatan komunikasi yang berkaitan dengan tingkat motivasi penerima pesan. Rendahnya tingkat motivasi penerima pesan mengakibatkan komunikasi menjadi terhambat.

5. Pengalaman adalah hambatan komunikasi yang disebabkan oleh pengalaman masa lalu yang dimiliki individu. Perbedaan pengalaman yang dimiliki oleh masing-masing individu dapat menyebabkan perbedaan dalam konsep serta persepsi terhadap sesuatu.

6. Emosi adalah hambatan komunikasi yang berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar. Apabila emosi pendengar sedang buruk maka hambatan komunikasi yang terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui.

7. Bahasa adalah hambatan komunikasi yang terjadi ketika pengirim pesan (sender) dan penerima pesan (receiver) menggunakan bahasa atau kata-kata yang tidak dimengerti oleh penerima pesan sehingga menimbulkan ketidaksamaan makna.

8. Nonverbal adalah hambatan komunikasi yang berupa isyarat atau gesture.

9. Kompetisi adalah hambatan komunikasi yang timbul ketika penerima pesan sedang melakukan kegiatan lain di saat menerima pesan.

C. TEORI KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA

Dalam perspektif komunikasi terdapat beberapa teori yang relevan dengan Komunikasi Lintas Budaya dan asumsi-asumsinya dapat dijadikan pertimbangan di dalam membangun strategi Komunikasi Lintas Budaya yang efektif, yaitu :

Face Negotiation Theory (Teori Negosiasi Wajah)

Untuk menyampaikan makna tertentu, manusia menggunakan pesan verbal dan non verbal. Salah satu pesan non verbal yang digunakan adalah pesan fasial atau air muka. Leathers dalam Rakhmat (2001:289-290) menyatakan bahwa wajah dapat menyampaikan minimal 10 makna yaitu: kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban, dan tekad.

Wajah mengkomunikasikan penilaian dengan ekspresi. Seperti diantaranya senang dan tidak senang, berminat atau tidak berminat pada orang lain atau lingkungan, intensitas keterlibatan dalam suatu situasi. Dan juga, tingkat pengendalian individu terhadap pernyataannya sendiri serta ada atau kurangnya pengertian. Pesan fasial ini juga diaplikasikan dalam komunikasi lintas budaya.

Dari teropong komunikasi lintas budaya, manusia dengan berbagai latar belakang budaya yang berbeda tentu tidak bisa menghindari kodratnya untuk berhubungan atau berinteraksi dengan manusia yang lainnya. Dalam membangun hubungan antar manusia tidak jarang sering menemui konflik.

Face Negotiation Theory ini dirumuskan oleh Stella Ting-Toomey untuk menjelaskan pengaruh perbedaan budaya dalam menangani atau mengelola konflik yang terjadi melalui “manajemen” wajah. Menurut teori ini, norma dan budaya yang dianut oleh manusia akan mempengaruhi cara mengelola situasi konflik dan membentuk citra di mata publik.

Expectancy Violations Theory (Teori Pelanggaran Harapan)

Teori ini mencoba menguraikan perilaku manusia yang tidak terduga saat mereka berinteraksi. Teori ini menitikberatkan pada proses komunikasi yang dipengaruhi oleh norma serta budaya yang dianut dan dijadikan sebagai patokan. Adanya pelanggaran pada norma dan budaya yang dianut dapat menimbulkan persepsi positif atau negatif. Sehingga individu akan bersikap hati-hati terhadap individu yang lain.

Expectancy violations theory juga bergantung pada jarak dan ruang. Manusia cenderung mengatur jarak dan ruang sebagai cara untuk mengungkapkan tingkat kedekatan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Dalam teori ini jelaskan bahwa manusia cenderung untuk melindungi jarak dan ruang mereka saat harapan mereka mengalami pelanggaran.

Communication Accommodation Theory (Teori Akomodasi Komunikasi).

Teori ini menitikberatkan pada strategi individu untuk mengurangi atau menambah jarak komunikatif yang bergantung pada norma dan budaya yang dianut. Teori akomodasi komunikasi menguraikan kecenderungan manusia untuk menyesuaikan perilaku saat mereka berinteraksi.

Kemudian, alasan di balik perilaku ini dijelaskan sebagai bentuk untuk mengontrol perbedaan sosial yang ada. Orang mengakomodasi kegiatan komunikasi mereka untuk mendapatkan persetujuan dan menetapkan citra positif di depan orang lain. Lingkungan di mana mereka berinteraksi juga mempengaruhi perilaku komunikasi.

Terdapat dua jenis proses akomodasi yang dijelaskan dalam teori ini, yaitu:

a. Konvergen adalah proses di mana orang cenderung untuk beradaptasi dengan karakteristik komunikasi orang lain untuk mengurangi perbedaan sosial.

b. Divergen adalah proses dimana individu menekankan pada perbedaan sosial dan perbedaan nonverbal yang ada.

Conversational constraints theory (Teori Kendala Percakapan).

Teori yang dikembangkan oleh Min-Sun Kim ini mencoba untuk menjelaskan perbedaan strategi percakapan yang dimiliki oleh masing-masing budaya dan dampak yang ditimbulkan oleh perbedaan tersebut. Teori ini menggunakan pendekatan ilmu komunikasi sosial yang memandang bahwa budaya mempengaruhi komunikasi.


Anxiety/Uncertainty Management Theory (Teori Pengelolaan Kecemasan / Ketidakpastian).

Teori yang dikemukakan oleh William Gundykunst mengasumsikan bahwa individu akan merasa menjadi orang asing diantara pertemuan antar budaya yang menimbulkan rasa cemas, ketidakpastian dan ketidaknyaman.

Fokus dari teori ini adalah perbedaan budaya  yang terdapat dalam suatu kelompok atau orang asing.  Rasa kecemasan dan ketidakpastian menyebabkan komunikasi menjadi tidak efektif.  Komunikasi yang efektif dapat terjadi apabila komunikator dapat mengelola kecemasan dan ketidakpastian tersebut dengan tepat.


Speech Codes Theory (Teory Kode Kemampuan bicara).

Teori yang dipublikaskan Gerry Philipsen ini berusaha menjawab tentang keberadaan speech code dalam suatu budaya, bagaimana substansi dan kekuatannya dalam sebuah budaya. Ia menyampaikan proposisi-proposisi sebagai berikut:

a. Dimanapun ada sebuah budaya, disitu diketemukan speech code yang khas.

b. Sebuah speech code mencakup retorikal, psikologi, dan sosiologi budaya.

c. Pembicaraan yang signifikan bergantung speech code yang digunakan pembicara dan pendengar untuk memkreasi dan menginterpretasi komunikasi mereka.

d. Istilah, aturan, dan premis terkait ke dalam pembicaraan itu sendiri.

e. Kegunaan suatu speech code bersama adalah menciptakan kondisi memadai untuk memprediksi, menjelaskan, dan mengontrol formula wacana tentang intelijenitas, prudens (bijaksana, hati-hati) dan moralitas dari perilaku komunikasi.

Referensi:

Alfin, 1986. Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional, Jakarta: UI Press.

Alfian, 1991. Komunikasi politik dan sistem politik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Deddy Mulyana, 2014, Komunikasi Antar Budaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Deddy Mulyanan & Jalaludin Rakhmat, 2006. Komunikas Antar Budaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.

Griffin, EM. (2003). A First Look at Communication Theory, 5th Edition. USA: McGraw-Hill

Liliwer, Alo. (2001). Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta

Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. USA: Wadsworth Group

Kim, Young Yun, 1984. Searching for creative integration. Dalam William B. Gudykunst dan Young Yun Kim (ed). Methods for intercultural Communication Reasearch. Beverly Hills: sage publishers.

Kuswandi, 1996. Komunikasi Massa (Sebuah Analisis Media Televisi), Cet. I : Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Maletzke, Gerhad. 1978. Intercultural and International Communication. Dalam Heins Dietrich Fishcer dan John C. Merill (ed) Intercultural & International Communication. New York: Hastings House Publishers.

Porter, Richard E. dan Larry A. Samovar. 2003. Suatu Pendekatan terhadap Komunikasi Antar Budaya, dalam Deddy Mulyana dan Jalaludin Rahmat (ed). Komunikasi Antar Budaya dan Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Rosdakarya.

Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line