Jumat, 27 November 2020

Letak Koherensi antara Konsep Budaya dan komunikasi Lintas Budaya.

Koherensi antara Konsep Budaya dan Komunikasi Lintas Budaya

Pada dasarnya kemunculan studi komunikasi lintas budaya dilatari oleh ketidakmampuan individu-individu untuk saling memahami pihak lain dalam dinamika pergaulan kehidupannya sehari-hari. Ketiak masayarakat dunia semakin modern, interaksi antar manusia yang semakin intensif dalam suatu pergaulan yang juga semakin bebas. Pada umumnya tiap orang semakin memiliki banyak kesempatan untuk untuk berinteraksi antar satu dengan lainnya. Fenomena ini bermuara pada perlunya saling mengerti, saling mengetahui dan saling memahami antar manusia untuk menghindari terjadinya konflik (chaos) atau kesalahpahaman antar pribadi, antar kelompok, antar masyarakat, maupun antar bangsa yang berbeda budaya di antara mereka.

Dalam pergaulan yang semakin bebas itu prilaku komunikasi antar individu tampak asing dan gagal dalam mencapai tujuan komunikasi tertentu. Salah satu penyebabnya mereka tidak memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai latar belakang budaya pihak lain. Akibat kegagalan tersebut memaksa ilmuan mengawinkan “budaya” dan “komunikasi” serta menjadikan komunikasi lintas budaya sebagai suatu bidang studi. Inheren dalam perpaduan ini adalah gagasan bahwa komunikasi lintas budaya memerlukan penelitian tentang budaya dan kesulitan-kesulitan komunikasi dengan pihak-pihak yang berbeda budaya.


Soal komunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya itu menjadi semakin menarik dibahas jika subyek yang diangkat adalah tentang kehidupan bangsa Indonesia yang terdapat ribuan etnis yang berbeda latar belakang budaya. Tidak jarang kita saksikan terjadi kesalahpahaman akibat komunikasi antar kelompok, suku, agama dan ras serta antar golongan yang berbeda dimaksud. Dalam kondisi kehidupan seperti itu masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki stereotype dan prejudice yang bersifat negative pada entis yang lain. Mereka lebih cenderung menganggap budaya sebagai suatu kemestian, tanpa mempersoalkan lagi (taken for granted), dan juga seringkali kita menggunakannya sebagai standar atau tolak ukur untuk menghakimi budaya-budaya lain. Bila seseorang tidak menyetujui nilainilai kita bukan berarti orang tersebut salah, bodoh atau sinting, namun kita harus mengetahui bagaimana latar belakang orang tersebut jika dilihat dari segi kebudayaannya. Melalui pemahaman nilai-nilai budaya pihak lawan komunikasi dapat menjadi unsur penting yanh harus dipahami untuk dapat menciptakan komunikasi yang efektif. Lain dari itu, untuk dapat memahami budaya orang lain, pelaku komunikasi harus memahami budayanya sendiri. Dalam suatu prinsip saling menghormati tentu perlu dipahami bahwa tidak ada budaya yang lebih tinggi dari budaya lainnya. Semua budaya memiliki fungsi dan peran bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilainya berbeda. Dengan kesadaran pemahaman seperti ini, akan muncul sikap saling menghargai mengenai perbedaan budaya di antara manusia.


Adapun budaya itu sendiri berkenaan dengan cara hidup manusia. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik dan teknologi semuanya didasarkan pada pola-pola budaya yang ada di masyarakat. Dalam pandangan Mulyana, budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,kepercayaan, nilai, makna, hirarki,agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui individu dan kelompok. Budaya menampakan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan prilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orangorang tinggal dalam suatu masyarakat disuatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu.


Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.(Mulyana, 1996:18) Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan satu sama lain, karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siap, tentang apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Budaya merupakan landasan komunikasi sehingga bila budaya beraneka ragam maka beraneka ragam pula praktek-praktek komunikasi yang berkembang.

Salah satu pemicu terjadinya konflik horizontal di masyarakat adalah bagaimana cara kita berkomunikasi dengan orang lain. Terkadang komunikasi kita dengan orang lain lebih memaksakan kepada kehendak sendiri dimana orang tersebut harus memaksakan orang lain untuk mengikuti budaya komunikasi mereka. Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain kita dihadapkan dengan Bahasa-bahasa, aturan-aturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi kita untuk memahami komunikasi orang lain bila kita sangat etnosentrik. Menurut Sumner etnosentrisme adalah “memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segalanya sesuatu itu, dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya”.

Adanya pengaruh budaya yang tercakup dalam latar belakang pengalaman individu membentuk pola-pola persepsi, pemikiran, penggunaan pesan-pesan verbal/ nonverbal serta hubungan-hubungan dasarnya bagi manusia. Maka variasi kontekstual budaya merupakan dimensi tambahan yang mempengaruhi proses komunikasi lintas budaya. Komunikasi lintas budaya terjadi bila pemberi pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dengan demikian, penyampaian pesan dari sumber komunikasi harus diberi sandi sehingga penerima pesan sebagai anggota budaya yang berbeda tersebut dapat menyandi balik informasi/pesan yang diterimanya.

Salah satu pemicu terjadinya konflik horizontal di masyarakat adalah bagaimana cara kita berkomunikasi dengan orang lain. Terkadang komunikasi kita dengan orang lain lebih memaksakan kepada kehendak sendiri dimana orang tersebut harus memaksakan orang lain untuk mengikuti budaya komunikasi mereka. Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain kita dihadapkan dengan Bahasa-bahasa, aturan-aturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi kita untuk memahami komunikasi orang lain bila kita sangat etnosentrik. Menurut Sumner etnosentrisme adalah “memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segalanya sesuatu itu, dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya”.

Pandangan-pandangan etnosentris tersebut antara lain berbentuk stereotip terhadap suatu kelompok orang, objek, atau peristiwa secara luas yang dianut oleh suatu budaya. Bukan berarti bahwa stereotip itu salah, ada kebenaran dalam stereotip. Jika stereotip digunakan sebagai alat untuk menilai beberapa kelompok atau individu dengan akurat ketika kita baru pertama kali mengenal kelompok tersebut atau tidak sama sekali. Namun, bila diterapkan kepada individu tertentu kebanyakan stereotip tidak tepat dan keliru.Masyarakat manapun, cenderung memiliki stereotip-steretip tentang masyarakat lainnya, contohnya di Indonesia, banyak stereotip terbentuk terhadap suatu suku, budaya ataupun agama. Lebih tepatnya, masyarakat Indonesia memiliki penilaian tersendiri dan cenderung digunakan secara baku untuk menggambarkan suatu masyarakat lainnya. Contoh nyatanya adalah penilaian orang pribumi terhadap orang keturunan Tionghoa yang cenderung pelit, komunis, kurang nasionalis, licik dan lain sebagainya. Kemudian, contoh lainnya misalnya penilaian antar suku ataupun bahasa. Orang Indonesia Timur lebih cenderung kasar, keras, mudah terpancing emosinya. Dalam situasi seperti ini manusia membutuhkan pendekatan komunikasi lintas budaya.

Komunikasi lintas budaya atau cross cultural communication adalah bidang studi komunikasi yang memandang bagaimana manusia yang berbeda latar belakang budaya berkomunikasi. Komunikasi lintas budaya adalah studi yang berakar dari studi antropologi budaya. Titik berat komunikasi lintas budaya adalah proses komunikasi yang terjadi dalam berbagai macam budaya yang berbeda. Komunikasi lintas budaya merupakan “pintu gerbang” agar dapat memahami komunikasi antar budaya atau intercultural communication.

Komunikasi lintas budaya adalah salah satu bidang kajian Ilmu Komunikasi yang lebih menekankan pada perbandingan pola-pola komunikasi antar pribadi di antara peserta komunikasi yang berbeda budaya. Pada awalnya, studi lintas budaya berasal dari perspektif antropologi sosial dan budaya sehingga kajiannya lebih bersifat depth description, yakni penggambaran yang mendalam tentang perilaku komunikasi berdasarkan budaya tertentu. Maletzke, mendefenisikan komunikasi lintas budaya sebagai proses perubahan mencari dan menemukan makna antarmanusia yang berbeda budaya.

Komunikasi lintas budaya adalah terjadinya pengiriman pesan dari seseorang yang berasal dari satu budaya yang berbeda dengan pihak penerima pesan. Bila disederhanakan, komunikasi lintas budaya ini memberi penekanan pada aspek perbedayaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan bagi keberlangsungan proses komunikasi. Kendatipun studi komunikasi lintas budaya ini membicarakan tentang perasamaan-persamaan maupun perbedaan karakteristik kebudayaan antara pelaku-pelaku komunikasi, namun titik perhatian utamanya adalah proses komunikasi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan, yang mencoba untuk saling berinteraksi. Maka konsep terpenting dalam studi ini adalah menyangkut adanya “kontak” dan “komunikasi” antar pelaku-pelaku komunikasi.

Menurut Doris E. Cross (2016), komunikasi lintas budaya tidak hanya terbatas pada mempelajari bahasa asing. Namun juga termasuk memahami bagaimana pola-pola budaya dan nilai-nilai inti. Kemudian pemahaman tersebut berdampak pada proses komunikasi, bahkan ketika semua orang berbahasa Inggris (Globalization and Media’s Impact on Cross Cultural Communication: Managing Organizational Change dalam IGI Global Disseminator of Knowledge ).


Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line