Pentingnya mempelajari prinsip-prinsip komunikasi lintas budaya adalah untuk dapat merumuskan suatu strategi perubahan yang akan dilaksanakan melalui proses komunikasi yang melibatkan orang-orang yang berbeda latar belakang budaya. Dikutip dari essay I Wayan Puja Duarsa menegaskan, kebutuhan untuk mempelajari komunikasi lintas budaya ini semakin terasakan karena semakin terbukanya pergaulan kita dengan orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda, disamping kondisi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dengan berbagai ras, suku bangsa, agama, latar belakang daerah (desa/kota), latar belakang pendidikan, dan sebagainya.
Untuk memerinci alasan dan tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya Litvin (1977) menyebutkan beberapa alasan, diantaranya:
1. Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat diperlukan.
2. Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilainya berbeda.
3. Nilai-nilai setiap masyarakat se”baik” nilai-nilai masyarakat lainnya.
4. Setiap individu dan/atau budaya berhak menggunakan nilai-nilainya sendiri.
5. Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola-pola budaya mendasar yang berlaku.
6. Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain.
7. Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia.
8. Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antar pribadi adalah suatu usaha yang memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tetapi semakin berbahaya untuk memahaminya.
9. Pengalaman-pengalaman antar budaya dapat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian.
10. Keterampilan-keterampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural.
11. Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah menyusahkan atau memudahkan.
12. Situasi-situasi komunikasi antar budaya tidaklah statik dan bukan pula stereotip. Karena itu seorang komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Dalam konteks ini kepekaan, pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling memuaskan.
Sedangkan mengenai tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya, Litvin (1977) menguraikan bahwa tujuan itu bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk:
1. Menyadari bias budaya sendiri
2. Lebih peka secara budaya
3. Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan orang tersebut.
4. Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri
5. Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang
6. Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri.
7. Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya
8. Membantu memahami kontak antar budaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri:asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.
9. Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antar budaya.
10. Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami.
Untuk mencapai interaksi budaya yang efektif, maka perlu melihat konteks keseluruhan tempat berlangsungnya komunikasi tersebut. Saral, mengemukakan bahwa lingkungan kontekstual (contextual environment) secara terus menerus berubah, yang disebut kenyataan bukanlah suatu yang tunggal, pasti atau mutlak dan tidak ada cara melihat, menyadari, berpikir dan berkomunikasi yang berlaku secara universal. Oleh karenanya menurut Saral, kita harus mengakui kemungkinan dianutnya serta disebarluaskannya kenyataan-kenyataan komunikasi yang berbeda oleh lingkungan komunikasi yang berlainan.
Disadari sepenuhnya bahwa komunikasi yang dilakukan oleh manusia selalu mengandung potensi perbedaan. Sekecil apapun perbedaan itu, sangat membutuhkan upaya-upaya untuk memberhasilkan proses komunikasi secara efektif; yakni dengan menggunakan informasi budaya mengenai pelaku-pelaku komunikasi yang bersangkutan. Komunikasi lintas budaya menjadi kebutuhan bagi semua kalangan untuk dapat menjalin hubungan yang lebih baik dan memuaskan, terutama bagi mereka yang berbeda budaya.
Komunikasi dalam semua konteks merupakan persamaan dalam hal unsur-unsur dasar dan proses-proses komunikasi manusia (transmitting, receiving, processing), tetapi adanya pengaruh kebudayaan yang tercakup dalam latar belakang pengalaman individu membentuk pola-pola persepsi, pemikiran, penggunaan pesan-pesan verbal/nonverbal serta hubungan-hubungan dasarnya. Maka variasi kontekstual, merupakan dimensi tambahan yang mempengaruhi proses komunikasi lintas budaya. Komunikasi lintas budaya terjadi bila pemberi pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dengan demikian, penyampaian pesan dari sumber komunikasi harus diberi sandi sehingga penerima pesan sebagai anggota budaya yang berbeda tersebut dapat menyandi ulang informasi/pesan yang diterimanya.
Untuk mencapai interaksi budaya yang efektif, maka perlu melihat konteks keseluruhan tempat berlangsungnya komunikasi tersebut. Saral mengemukakan bahwa lingkungan kontekstual (contextual environment) secara terus menerus berubah, yang disebut kenyataan bukanlah suatu yang tunggal, pasti atau mutlak dan tidak ada cara melihat, menyadari, berpikir dan berkomunikasi yang berlaku secara universal. Oleh karenanya menurut Saral, kita harus mengakui kemungkinan dianutnya serta disebarluaskannya kenyataan-kenyataan komunikasi yang berbeda oleh lingkungan komunikasi yang berlainan.
Selain itu studi komunikasi lintas budaya ini juga harus dapat melihat kemungkinan atau tidaknya tercipta suatu wilayah pertemuan dari unsur-unsur kebudayaan yang berbeda tersebut. Dalam kerangka ini, maka setiap kebudayaan harus dilihat dari pemahaman terhadap lingkungannya. Dengan pendekatan demikian maka diharapkan dapat dikembangkan prosedur penilaian yang secara relatif bebas dari paksaan pola-pola atau bias kebudayaan tertentu.
Proses komunikasi melibatkan unsur-unsur sumber (komunikator), Pesan, media, penerima dan efek. Disamping itu proses komunikasi juga merupakan sebuah proses yang sifatnya dinamik, terus berlangsung dan selalu berubah, dan interaktif, yaitu terjadi antara sumber dan penerima.Proses komunikasi juga terjadi dalam konteks fisik dan konteks sosial, karena komunikasi bersifat interaktif sehingga tidak mungkin proses komunikasi terjadi dalam kondisi terisolasi. Konteks fisik dan konteks sosial inilah yang kemudian merefleksikan bagaimana seseorang hidup dan berinteraksi dengan orang lainnya sehingga terciptalah pola-pola interaksi dalam masyarakat yang kemudian berkembang menjadi suatu budaya.
Adapun budaya itu sendiri berkenaan dengan cara hidup manusia. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik dan teknologi semuanya didasarkan pada pola-pola budaya yang ada di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar