Minggu, 08 November 2020

Proses perumusan pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dalam komunikasi kelompok, serta aspek-aspek kohesivitas dalam komunikasi kelompok dan beberapa model / teori komunikasi kelompok

A.   PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN PEMECAHAN MASALAH DALAM KOMUNIKASI KELOMPOK.

Yang dimaksud pengambilan keputusan di sini adalah suatu pemilihan alternatif perilaku orang dari dua alternatif atau lebih, atau bisa dikatakan sebagai  tindakan pimpinan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam organisasi yang dipimpinnya dengan melalui pemilihan satu diantara alternatif-alternatif yang dimungkinkan. Atau bisa juga dikatakan bahwa pengambilan keputusan adalah pemilihan diantara alternatif mengenai suatu cara bertindak yaitu inti dari perencanaan, suatu rencana tidak dapat dikatakan tidak ada jika tidak ada keputusan, suatu sumber yang dapat dipercaya, petunjuk atau reputasi yang telah dibuat, (Horold dan Cyril O’Donnell). Keputusan itu sesungguhnya merupakan hasil proses pemikiran yang berupa pemilihan satu diantara beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.

Pengambilan keputusan seharusnya memperhatikan organisasi, perorangan, dan kelompok perorangan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan dinyatakan dalam teori sistem. Dalam teori ini, suatu sistem merupakan suatu set elemen-elemen atau komponen yang tergabung bersama berdasarkan suatu bentuk hubungan tertentu. Komponen- komponen itu satu sama lain saling terkait dan membentuk suatu kesatuan yang utuh. Tingkah laku suatu organisasi sangat tergantung pada tingkah laku komponen-komponennya dan hubungan antar komponen.

Keputusan itu sesungguhnya merupakan hasil proses pemikiran yang berupa pemilihan satu diantara beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.

Dalam konteks Komunikasi Kelompok umumnya terdapat dua macam proses pengambilan keputusan yakni; Pertama, proses pengambilan keputusan terprogram dan, Kedua, proses pengambilan keputusan tidak terprogram. Dalam proses pengambilan keputusan terprogram mengandung suatu respons otomatik terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan sebelumnya dalam komunikasi itu. Masalah yang bersifat pengulangan dan rutin dapat diselesaikan dengan pengambilan keputusan jenis ini. Tantangan yang besar bagi seorang analis komunikasi adalah mengetahui jenis-jenis keputusan ini dan memberikan atau menyediakan metode-metode untuk melaksanakan pengambilan keputusan yang terprogram di mana saja. Agar pengambilan keputusan harus didefinisikan dan dinyatakan secara jelas.

Apabila hal ini dapat dilaksanakan, pekerjaan selanjutnya hanyalah mengembangkan suatu algoritma untuk membuat keputusan rutin dan otomatik dalam komunikasi itu. Dalam kebanyakan organisasi terdapat kesempatan-kesempatan untuk melaksanakan pengambilan keputusan terprogram karena banyak keputusan dalam komunikasi diambil sesuai dengan prosedur pelaksanaan standar yang sifatnya rutin. Akibat pelaksanaan pengambilan keputusan yang terprogram ini adalah membebaskan manajemen untuk tugas-tugas yang lebih penting dalam kelompok itu.

Sedangkan dalam proses pengambilan keputusan tidak terprogram, menunjukkan proses komunikasi kelompok yang berhubungan dengan masalah-masalah yang tidak jelas. Dengan kata lain, pengambilan keputusan jenis ini meliputi proses- proses pengambilan keputusan untuk menjawab masalah-masalah yang kurang dapat didefinisikan. Masalah-masalah ini umumnya bersifat kompleks, hanya sedikit parameter – parameter yang diketahui dan kebanyakan parameter yang diketahui bersifat probabilistik. Untuk menjawab masalah ini diperlukan seluruh bakat dan keahlian dari pengambilan keputusan, ditambah dengan bantuan sistem informasi. Hal ini dimaksud untuk mendapatkan keputusan tidak terprogram dengan baik.

Perluasan fasilitas fasilitas pabrik, pengembangan produk baru, pengolahan dan pengiklanan kebijaksanaan- kebijaksanaan, manajemen kepegawaian, dan perpaduan semuanya adalah contoh masalah-masalah yang memerlukan keputusan-keputusan yang tidak terprogram. Beberapa hal yang harus diperhatikan anggota dalam proses komunikasi kelompok dalam membuat keputusan tak terprogram antara lain :

a. Penetapan tujuan: Dalam komunikasi kelompok itu, porsi kelompok lebih unggul dibandingkan individu sebab kelompok memiliki pengetahuan lebih banyak dibandingkan individu.

b. Identifikasi alternatif: Dalam komunikasi kelompok itu, usaha individu sebagai bagian dari anggota kelompok akan merangsang pencarian lebih luas diberbagai area fungsional di organisasi.

c. Evaluasi alternatif: Dalam komunikasi kelompok terdapat pertimbangan kolektif dari kelompok dengan berbagai sudut pandang lebih unggul dibanding individu.

d. Memilih alternatif: Dalam komunikasi kelompok dilakukan interaksi kelompok dan pencapaian konsensus biasanya menghasilkan penerimaan resiko lebih besar dibanding individu. Keputusan kelompok juga biasanya lebih dapat diterima sebagai hasil dari partisipasi bersama.

e. Implementasi keputusan: dibuat oleh kelompok atau tidak, penyelesaian biasanya dilakukan oleh seorang saja manajer / komunikator. Individu bertanggungjawab untuk implementasi keputusan kelompok dalam komunikasi itu.

Dalam pengambilan keputusan melalui pendekatan Komunikasi Kelompok bisa menggunakan beberapa teknik sebagai pilihan oleh komunikator, yakni:

1. Teknik Standar Ganda.

Teknik ”standard ganda” sebagai strategi komunikasi ini telah dikembangkan oleh John Dewey dengan pemikiran reflektif (tafakkur/ kontemplasi) yang mencakup kehati-hatian komunikator serta melakukan pendekatan sistematik terhadap sebuah masalah komunikasi. Ada 6 konsep Standar Ganda yang perlu dilakukan, yaitu:

a. Identifikasi masalah 

b. Analisis masalah

c. Tentukan kriteria seleksi. Apa tujuan akhir diskusi?Membuat solusi umum.

d. Hindari solusi “group thinking” dgn cara membuat list dari berbagai solusi yang ada.

e. Evaluasi solusi dan seleksilah. Ukur masing2 solusi vs kriteria yg telah ditetapkan sebelumnya.

f. Melaksanakan solusi.

2. Nominal Group Technique.

Tenik Kelompok Nominal ini adalah alat yang digunakan oleh komunikator untuk membuat keputusan dalam proses komunikasi kelompok, ketika anggota kelompok harus membuat rank order dari berbagai pilihan atau opsi. Untuk dapat menggunakan Tenik Kelompok Nominal ini, anggota kelompok bekerja sendiri-sendiri me-list semua alternatif penyelesaian masalah/isu. Kadangkala Nominal Group Technique digunakan setelah sesi brainstorming dilakukan. Kemudian, komunikator sebagai fasilitator kelompok meminta setiap anggota kelompok secara individual membuat opsi prioritas dari yg terendah sampai yang tinggi prioritasnya. Akhirnya, fasilitator klompok menghitung nilai rata-rata dari setiap ide.

Teknik “nominal group/NGT” ini akan baik, bila semua anggota kelompok memberikan pendapat-pendapat mereka, dan diskusi tidak didominasi oleh segelintir pendapat partisipan anggota kelompok (a few vocal group members).

3. The Final Decision Technique.

Teknik Keputusan Akhir mempunyai prinsip ada banyak jalan yang bisa dilakukan suatu kelompok untuk mengambil sebuah keputusan, membuat suatu solusi, atau menghasilkan agreement (kesepakatan). Di antaranya “jalan” yang populer sebagai “decision-making,” meliputi :

a. Consensus: Semua partisipan anggota kelompok bersepakat dlm keputusan (final decision) via diskusi & debat kelompok.

b. Compromise: Anggota kelompok yang tidak setuju dengan keputusan akhir dapat melakukan kompromi agar ikut menerima keputusan akhir tersebut.

c. Majority vote: Keputusan didasarkan kepada pendapat mayoritas (suara terbanyak) anggota-anggota kelompok.

d. Decision by Leader: Kelompok menerima keputusan kepada putusan ketua kelompok.

e. Arbitration: Sebuah badan atau orang dari luar kelompok yg memberikan keputusan akhir.

4. Teknik Diskusi Mediasi & Negosiasi.

Melalui teknik ini, mediasi sebagai proses komunikasi adalah intervensi negosiasi atau sebuah perselisihan dengan menggunakan pihak ketiga dimana pihak tersebut memiliki keterbatasan atau tidak memiliki kekuasaan dalam membuat keputusan, tetapi pihak tersebut memberikan bantuan secara sukarela pada pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan aatau mencapai resolusi persoalan. Mediasi dalam proses komunikasi kelopmpok pada dasarnya adalah sebuah dialog atau negosiasi dengan melibatkan pihak ketiga. Negosiasi dilaksanakan ketika kedua pihak:

a. Saling bergantung dan harus bergantung pada kerjasama satu dengan yang lain untuk mendapatkan tujuan atau memenuhi kepentingan mereka.

b. Mampu untuk saling mempengaruhi dan untuk mengusahakan atau mencegah tindakan yang dapat menyebabkan kerugian.

c. Ditekankan oleh deadline dan keterbatasan waktu dan share motivasi pada tahap awal perjumpaan.

d. Sadar bahwa berbagai alternatif untuk sebuah penyelesaian negosiasi tidak muncul seperti pada tahap tawar-menawar dimana mereka dapat mencapai apa yang mereka inginkan dengan cara mereka sendiri.

e. Mampu untuk mengidentifikasi pihak-pihak penting utama dan memasukkan mereka dalam proses pemecahan masalah.

f. Mampu untuk mengidentifikasi dan menyetujui pada isu (pokok) persoalan yang dipertentangkan.

g. Di dalam suatu situasi dimana kepentingan-kepentingan mereka tidak sepenuhnya bertentangan.

h. Dipengaruhi oleh keterbatasan faktor eksternal, seperti keputusan yudisial yang tidak terduga, biaya, dll

Dalam teknik ini pihak komunikator dalam proses Komunikasi Kelompok adalah sebagai mediator dibutuhkan jika:

a. Emosi pihak-pihak yang bertikai meningkat.

b. Komunikasi di antar pihak-pihak yg terlibat buruk, baik kuantitas ataupun kualitas dan mereka tidak dapat merubah situasi dengan usaha mereka sendiri.

c. Kesalahan persepsi atau stereotype.

d. Tindak-tanduk negatif yang dilakukan berulang-ulang.

e. Terdapat ketidaksetujuan serius yang melebihi pengumpulan data dan informasi.

f. Terdapat penggandaan pokok-pokok permasalahan yang dipertentangkan.

g. Terdapat banyak kepentingan yang bertentangan dimana pihak-pihak tersebut menemui kesulitan dan rekonsiliasi.

h. Pihak-pihak yang bertikai tidak memiliki prosedur negosiassi, menggunakan prosedur yang salah atau tidak menggunakan prosedur untuk mendapatkan keuntungan terbaik.

i. Tidak terdapat struktur yang dapat diterima atau tidak ada forum untuk negosiasi.

j. Pihak-pihak yang bertikai mengalami kesulitan memulai negosiasi atau sudah mencapai jalan buntun.

Adapun peran komunikator sebagai mediator dalam proses Komunikasi Kelompok, sebagai berikut:

a. Membuka saluran komunikasi yang memiliki inisiatif komunikasi atau memfasilitasi komunikasi menjadi lebih baik jika pihak-pihak sudah terlanjur melakukan komunikasi.

b. Pengesahan yang membantu semua pihak mengenali hak-hak mereka.

c. Fasilitator yang menyediakan sebuah prosedur dan seringkali secara formal sebagai ketua sesi negosiasi.

d. Pelatih yang mendidik negosiator baru, tidak berpengalaman, atau tidak siap dalam proses tawar-menawar.

e. Memberikan banyak akal, yakni yang menyediakan bantuan prosedur pada pihak-pihak yang bertikai dan menghubungkan mereka dengan ahi-ahli di luar dan sumber-sumber lainnya yang memungkinkan untuk memperluas pilihan-pilihan (opsi) penyelesain pertikaian.

f.     Penjelajah problem yang memungkinkan pihak-pihak yang bertikai untuk memeriksa sebuah problem dari berbagai sudut pandang, membantu dalam memberikan definisi dasar berbagai pokok persoalan dan kepentingan, dan mencari opsi yang menguntungkan kedua belah pihak.

g.    Agen realiti yang membantu membangun sebuah penyelesaian yang dapat diimplementasikan dan berbagai pertanyaan dan tantangan pihak-pihak yang memiliki tujuan ekstrem dan tidak realistis.

h.    Scapgoat yang memungkinkan mengambil beberapa tanggung jawab.

i.      Pemimpin yang mengambil inisiatif untuk bergerak begosiasi maju ke depan dengan menggunakan saran-saran prosedural.

Dari proses Komunikasi Kelompok itu terdapat kemungkinan hasik komunikasi, yakni; Pertama, Kalah-Menang. Hasil terjadi saat satu pihak memiliki kekuasaan yang besar sekali, tidak terlalu mementingkan hubungan baik kedepannya, taruhan untuk kemenangan tinggi, satu pihak benar-benar asertif dan pihak lainnya yang bertikai tidak bergantung pada kerjasama mutual (saling menguntungkan), satu atau lebih pihak tidak kooperatif dan tidak bersedia untuk mengikutsertakan kooperatif pemecahan masalah.

Hasil kedua, akhir komunikasi itu mengalami jalan buntu. Hal ini terjadi saat kedua belah pihak memilih untuk menghindari konflik dengan berbagai alasan. kedua belah pihak memiliki cukup kekuasaan untuk memaksa pokok-pokok persoalan. kurangnya kepercayaan, buruknya komunikasi, emosi yang ekspresif atau ketidakcukupan proses resolusi. Taruhan untuk kemenangan rendah atau kedua belah pihak tidak perdulu pada perselisihan. Kepentingan kedua belah pihak tidak saling berhubungan. Satu atau lebih pihak tidak kooperatif. Kemungkinan Ketiga hasil komunikasi itu adalah kompromi. Hal ini terjadi pada saat kedua belah pihak tidak memiliki cukup kekuasaan untuk menang secara penuh. kedua belah pihak bersikap komunikasi asertif. Kepentingan kedua belah pihak saling bergantung. Kedua belah pihak memiliki waktu ekstra untuk kooperatif dan tawar-menawar.

Kemungkinan hasi komunikasi ini yang keempat adalah Menang-Menang. hasil ini terjadi pada saat kedua belah pihak dalam proses komunikasi itu tidak menggunakan pertarungan kekuasaan, mementingkan hubungan baik ke depannya. Kedua belah pihak adalah pemecah/penyelesai masalah yang asertif. Kepentingan (interest) kedua belah pihak benar-benar saling bergantung. Kedua belah pihak bebas untuk berkooperatif dan untuk bergabung dalam memecahkan masalah.

B. MANAJEMEN PERUBAHAN DALAM KELOMPOK.

Dalam kehidupan manusia di alam semesta ini akan terus menerus mengalami perubahan. Setiap waktu, periode dan masa, manusia selalu berupaya melakukan internalisasi nilai, budaya, ilmu pengetahuan untuk menciptakan transformasi menuju perubahan pikiran, sikap dan tindakan manusia. Perubahan akan terus terjadi secara permanen (tetap). Individu, kelompok serta organisasi atau perusahaan yang menunjukan adanya perubahan dalam fungsi manajemennya merupakan organisasi yang memiliki dinamika atau kehidupan yang baik dan sehat. Tanggapan manajer terhadap perubahan, yakni:

a. Manajer harus mampu mengantisipasi dan beradaptasi perubahan-perubahan dalam lingkungan.

b. Organisasi yang tidak mampu beradaptasi terhadap lingkungannya tidak akan bertahan hidup.

c. Pengelolaan perubahan secara efektif tidak hanya diperlukan bagi kelangsungan hidup organisasi tetapi juga sebagai tantangan pengembangan.

Beberapa tipikal respon individu terhadap perubahan dalam kontek kelompok, sebagai berikut:

a. Passive, yakni respon yang tak peduli apa itu masa depan, yang penting kerjakan sebaik-baiknya sekarang. Yang penting, kita kerja keras dan makin efisien.

b. Reactive, yakni sejenis respon seperti dalam kata-kata “Kita tunggu saja apa perubahannya, kita nanti sesuaikan/beradaptasi dengan keadaan perubahan itu”.

c. Anticipative, yakni sejenis respon seperti dalam kata-kata “Kita perlu mencari tahu akan terjadi perubahan apa, sumber-sumber perubahannya. Kita harus sudah menyiapkan sarana prasarana dan ikut berubah bersama”.

d. Proactive, yakni obsesi untuk menjadi pemimpin perubahan, ikut menentukan dan menciptakan perubahan, menentukan standar-standar baru industri.

Adapun sumber-sumber penolakan atas perubahan yang perlu diketahui yakni, sebagai berikut:

a. Ketidakpastian

Setiap perubahan selalu mengakibatkan ketidakpastian meskipun dengan tingkat yang berbeda-beda. Perubahan struktur organisasi mengakibatkan ketidakpastian pekerjaan yang baru, atau ketidakpastian apakah akan ada pemberhentian kerja atau tidak.

b. Kepentingan Diri Sendiri

Anggota organisasi bekerja untuk organisasi karena mengharapkan memperoleh imbalan tertentu: gaji dan kepuasan kerja. Dapat saja perubahan mengakibatkan berkurangnnya gaji dan prestasi kerja, atau akibat perubahan struktur organisasi akan mengurangi wewenang dan kekuasaan manajer. Manajer dengan demikian cenderung menolak perubahan.

c. Persepsi Yang Berbeda

Apabila ada perubahan, maka reaksi yang terjadi akan berbeda-beda, tergantung persepsi masing-masing. Manajer yang lebih tahu konsekuensi perubahan akan sangat ketakutan terhadap perubahan. Sementara karyawan yang tidak begitu tahu informasi, tidak akan berpikir mengenai kemungkinan jelek, dan karena itu tidak begitu menolak perubahan yang terjadi.

d. Perubahan Suasana Kerja

Perubahan akan mengakibatkan perubahan suasana dan jaringan kerja yang sudah terbentuk mapan. Misal teman kerja karyawan yang paling baik tiba-tiba pindah ke gedung ain, maka karyawan tersebut tidak akan lagi mempunyai teman untuk mengobrol atau berkonsultasi.

Sementara itu, terdapat beberapa metode penanganan penolakan atas perubahan, sebagai berikut:

a. Pendidikan dan Komunikasi

Memberikan penjelasan tentang kebutuhan akan perubahan dan logika dari perubahan kepada individu, kelompok dan organisasi keseluruhan. Pendekatan ini digunakan bila ada kekurangan informasi atau informasi yang tidak tepat serta kekurangan analisanya.

b. Partisipasi dan penyertaan

Meminta atau mengikutsertakan anggota organisasi untuk membantu mendesain perubahan. Pendekatan yang dapat digunakan bila pemrakarsa tidak mempunyai semua informasi yang dibutuhkan untuk mendesain perubahan dan orang lain mempunyai kekuatan cukup besar untuk menolak perubahan.

c. Memberi fasilitas dan dukungan

Memberikan program pelatihan ulang, liburan, dukungan emosional dan memahami orang yang terpengaruh terhadap perubahan. Pendekatan yang dapat digunakan bila orang akan menolak karena masalah penyesuaian.

d. Negosiasi dan persetujuan

Melakukan negosiasi dengan penolak potensial atau mengusahakan surat pemahaman tertulis. Pendekatan digunakan bila beberapa orang atau organisasi dengan kekuatan besar untuk menolak perubahan.

e. Manipulasi dan pemilihan menjadi anggota

Memberikan peran yang diinginkan oleh orang yang berpengaruh dalam mendesain atau mengimplementasikan proses perubahan. Pendektan ini digunakan bila taktik lain tidak akan berhasil atau terlalu mahal.

f. Memaksa secara terang-terangan dan terselubung

Menakut-nakuti dengan kehilangan pekerjaan atau pemindahan, tidak dipromosikan dan sebaginya. Pendekatan ini digunakan bila kecepatan dalam proses perubahan diperlukan dan pemrakarsa perubahan memiliki kekuatan yang cukup besar.

Berikut adalah gambar tentang proses terjadinya perubahan:

a. Unfreezing (Pencairan)

Dalam tahap ini karyawan yang akan terkena perubahan dijelaskan mengenai pentingnya perubahan sehingga karyawan sadar akan pentingnya perubahan.

b. Changing (Perubahan)

Setelah karyawan siap terhadap perubahan, perubahan kemudian dilakukan. Perubahan dapat melibatkan agen perubahan yang membantu proses perubahan melalui identifikasi dan internalisasi. Dalam tahap ini, sikap dan perilaku baru diajarkan pada karyawan.

c. Refreezing (Pembekuan Kembali)

Tahap ini bertujuan membuat nilai, sikap dan perilaku yang baru atau yang diinginkan menjadi norma yang baru. Tahap ini dapat dilakukan dengan memberi dukungan atau memaksa perilaku yang baru tersebut.

Beberapa prinsip perubahan dalam organisasi, sebagai berikut:

a. Agen perubahan dapat dilakukan oleh anggota organisasi atau manajer. Agen Alternatif lain yaitu melalui pihak luar biasanya konsultan menjadi agen perubahan.

b. Keuntungan: menawarkan spesialiasi pengetahuan dan mereka akan terbebas dari tugas sehari-hari, biasanya didengar dan dihargai.

c. Kerugian: lebih mahal dan kemungkinan mereka tidak memahami situasi organisasi yang ada.

d. Seringkali konsultan hanya menggunakan prosedur yang sudah standar yang kemudian diterapkan pada semua organisasi tanpa memperhatikan keunikan tiap tiap organisasi.

C. KOHESIVIITAS DALAM KOMUNIKASI KELOMPOK.

Dalam perspektif komunikasi kelompok (group communication) telah ditegaskan bahwa hubungan yang terjadi satu sama lain antara anggota kelompok dalam proses komunikasi dapat menimbulkan kohesivitas antar anggota kelompok itu. (Group cohesion refers to the positive emotional attachment that group members have with the other members of the group (Stangor, 2006). Studi Pepitone dan Reichling, dalam Stangor (2004), menemukan kelompok yang memiliki kohesif tinggi cenderung memiliki hostility ke outsider, sementara kelompok yang memiliki kohesif rendah cenderung memiliki hostility ke dalam kelompok.

Kohesivitas berkaitan dengan peningkatan kepuasan pada anggota dan mengurangi turn over dan stress (Forsyth & Burnette, 2010). Namun kohesif juga dapat berdampak negatif pada masalah psikologis kelompok, seperti ketergantungan, tekanan untuk konformitas tinggi dan penerimaan akan pengaruh menjadi besar sehingga berpotensi bermasalah atau bias pada pengambilan keputusan (Forsyth, 2010).

Baik kelompok formal dan informal, cenderung memiliki kedekatan atau keseragaman dalam hal sikap, perilaku dan kinerja. Kedekatan ini sering kali disebut sebagai kohesivitas. Kohesivitas biasanya dianggap sebagai suatu kekuatan. Kohesivitas mengikat seluruh anggota tim agar berada dalam kelompok dan menangkal pengaruh yang menarik anggota agar keluar dari kelompok. Sebuah kelompok yang memiliki kohesivitas rendah tidak memiliki ketertarikan interpersonal antar anggota kelompoknya. Sebuah kelompok yang kohesif terdiri dari individu yang saling tertarik satu dengan yang lain.

Menurut Newcomb, kohesivitas kelompok diistilahkan dengan kekompakkan. Kekompakkan adalah sejauh mana anggota kelompok melekat menjadi satu kesatuan yang dapat menampakkan diri dengan banyak cara dan bermacam-macam faktor yang berbeda serta dapat membantu satu sama lain. Sedangkan Robbins (2012), mendefinisikan kohesivitas kelompok sebagai sejauh mana para anggota kelompok tertarik terhadap satu sama lain dan termotivasi untuk tetap dalam suatu kelompok. Menurut George & Jones (2002) menerangkan kohesivitas sebagai suatu sikap positif yaitu anggota kelompok yang memiliki daya tarik satu sama lain. Meshane & Glinow menjelaskan bahwa kohesivitas itu dianggap sebagai perasaan daya tarik individu terhadap kelompok dan motivasi untuk tetap bersama kelompok yang menjadi faktor penting dalam keberhasilan kelompok. Greenberg (2005), menjelaskan kohesivitas adalah perasaan dalam kebersamaan antar anggota kelompok. Robbins (2001), menjelaskan bahwa kohesivitas merupakan sejauh mana anggota merasa tertarik satu sama lain dan termotivasi untuk tetap berada dalam kelompok tersebut.

Menurut Taylor, dkk (2009) kohesivitas adalah daya baik positif atau negatif yang menyebabkan anggota kelompok bertahan dalam kelompok. Kohesifitas adalah kekuatan hubungan yang terjadi antar anggota kelompok (Forsyth, 2010). Sementara menurut Forsyth (2010) kohesifitas dipengaruhi beberapa faktor, sebagai berikut:

a. Ketertarikan kelompok. Ketertarikan anggota kelompok akan menimbulkan kohesivitas kelompok.

b. Stabilitas keanggotaan. Kelompok yang memiliki anggota yang cenderung stabil, maka kelompok tersebut cenderung memiliki kohesivitas tinggi dibandingkan kelompok yang sering terjadi perubahan dalam keanggotannya.

c. Ukuran kelompok. Salah satu tanda besarnya kelompok adalah jumlah anggotanya. Semakin banyak anggota, maka semakin besar usaha anggota untuk memperkuat hubungan anrara anggota. Implikasinya tingkat kohesif pada kelompok besar tidak sekuat kelompok yang memiliki ukuran kecil.

d. Ciri-ciri struktural. Kohesif terkait dengan dua struktur kelompok. Pertama. Kohesi cenderung pada kelompok yang memiliki struktur yang jelas, kedua, tipe struktur kelompok berkaitan dengan tingginya kohesis anggota kelompok.

e. Permulaan kelompok. Persyaratan awal ketika masuk kelompok menjadi salah satu yang dapat mempengaruhi kohesi kelompok. Misalkan, kegiatan orentasi yang dilakukan padaa anggota baru dapat meningkatkan kohesi anggota kelompok.

Menurut Bordens dan Horowitz, (2008) ada beberapa yang mempengaruhi kohesivitas anggota kelompok, sebagai berikut :

a. Ketertarikan antar anggota kelompok. Hubungan interpersonal anggota satu sama lain yang berlandaskan ketertarikan, akan berpotensi menilmbulkan kohesivitas. Semakin kuat ketertarikannya, maka semakin kuat kohesivitas anggota kelompok.

b. Kedekatan anggota. Kedekatan fisik dan psikologis sesama anggota kelompok juga dapat mempengauhi kohesivitas anggota kelompok.

c. Ketaatan pada norma kelompok. Anggota kelompok yang patuh pada norma kelompok cenderung memiliki kohesivitas kelompok.

d. Kesuksesan kelompok mencapai tujuan. Kelompok yang berhasil mencapai tujuan memiliki dampak psikologis kepada anggotanya, salah satunya kebersamaan dan kohesi anggota semakin meningkat.

e. Identifikasi anggota terhadap kelompok. Kesetian kelompok. Anggota yang memiliki identifikasi kuat terhadap kelompok cenderung memiliki kohesifvitas tinggi.

Dalam pandangan Forsyth (2010) mengatatakan bahwa kohesivitas teridiri empat komponen, yakni:

a. Social cohesion, yaitu merupakan daya tarik antar anggota kelompok untuk membentuk kelompok.

b. Task cohesion, kohesivitas anggota kelompok berdasark tujuan kelompok. Kelompok akan semakin memiliki kohesif jika anggota kelompok salang bekerja sama dalam mencapai tujuan kelompok,

c. Perceive cohesion, kesatuan anggota kelompok berdasarkan persepsi dan rasa kebersamaan dan memiliki yang meliputi perasaan terhadap kelompok dan anggota kelompok.

d. Emotional cohesion, yaitu kohesi yang berdasarkan intensitas afektif dalam kelompok. Emosi positif dalam kelompok akan meningkatkan kohesivitas anggota kelompok.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa kohesivitas kelompok merupakan daya tarik emosional sesama anggota kelompok kerja dimana adanya rasa saling menyukai, membantu, dan secara bersama-sama saling mendukung untuk tetap bertahan dalam kelompok kerja dalam mencapai suatu tujuan bersama. Kelompok yang sangat kohesif lazimnya terdiri dari individu-individu yang termotivasi untuk bersatu. Akibatnya, manajemen cenderung mengharapkan kelompok kohesif tersebut menunjukkan kinerja yang efektif. Secara umum, seiring peningkatan kohesivitas kelompok, tingkat konformitas terhadap norma-norma kelompok juga akan meningkat.

Kohesivitas kelompok dapat diklaim untuk menjadi teori yang paling penting dalam grup dynamic (dinamika kelompok). Tanpa adanya kohesivitas kelompok, kelompok akan terpecah dimana anggota kelompok menarik diri dari kelompoknya, selain itu kohesivitas kelompok menjadi indikasi dari keberhasilan dalam kelompok. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kohesivitas kelompok adalah rasa tertarik yang dimiliki seseorang terhadap orang lainnya yang ada dalam suatu kelompok dan kepada kelompok tersebut. Rasa tertariknya membuat seseorang bersikap membantu termotivasi dan saling mendukung antar anggota di dalam kelompok untuk mencapai suatu tujuan bersama dalam kelompok tersebut, (Forsyth, 2010).

Greenberg (2005), menjelaskan kohesivitas adalah perasaan dalam kebersamaan antar anggota kelompok. Robbins (2001), menjelaskan bahwa kohesivitas merupakan sejauh mana anggota merasa tertarik satu sama lain dan termotivasi untuk tetap berada dalam kelompok tersebut. Menurut George & Jones (2002) menerangkan kohesivitas sebagai suatu sikap positif yaitu anggota kelompok yang memiliki daya tarik satu sama lain. Meshane & Glinow menjelaskan bahwa kohesivitas itu dianggap sebagai perasaan daya tarik individu terhadap kelompok dan motivasi untuk tetap bersama kelompok yang menjadi faktor penting dalam keberhasilan kelompok. 

Gambar Faktor-faktor pembentuk kohesivitas kelompok (Robbins)

Menurut Robbins, terdapat beberapa faktor yang menentukan tinggi rendahnya kohesivitas kelompok, yaitu:

a. Lamanya waktu bersama dalam kelompok, makin lama berada bersama dalam kelompok maka akan saling mengenal, makin dapat timbul sikap toleran terhadap yang lain.

b. Parahnya masa awal, maksudnya adalah makin sulit seseorang diterima didalam kelompok kerja sebagai anggota, makin lekat kelompoknya.

c. Besarnya kelompok, makin besar kelompoknya maka makin sulit terjadi interaksi yang intensif antar anggotanya, makin kurang lekat kelompoknya.

d. Ancaman dari luar, kebanyakan penelitian mengatakan bahwa kelekatan kelompok akan bertambah jika kelompok mendapat ancaman dari luar.

e. Keberhasilan dimasa lalu, setiap orang menyenangi pemenang. Jika satu kelompok kerja, memiliki sejarah yang gemilang, maka terbentuklah esprit de crops yang menarik anggota-anggota baru, kelekatan kelompok akan tetap tinggi.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kohesivitas kelompok dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah : lamanya waktu bersama dalam kelompok, parahnya masa awal, besarnya kelompok, ancaman dari luar, keberhasilan di masa lalu, kesamaan nilai dan tujuan, keberhasilan dalam mencapai tujuan, status kelompok, penyelesaian perbedaan, kecocokan terhadap norma-norma, daya tarik pribadi, persaingan antara kelompok dan pengakuan serta penghargaan.

Menurut Forsyth (2006), terdapat faktor yang mempengaruhi timbulnya kohesivitas, yaitu :

a. Interpersonal Attraction (daya tarik interpersonal). Kelompok sering terbentuk ketika individu mengembangkan perasaan ketertarikan terhadap individu yang lain. Tetapi hanya seperti faktor seperti kedekatan terhadap interaksi, kesamaan, saling melengkapi, timbal balik, dan penukaran yang menguntungkan dapat mendorong untuk terbentuknya kelompok, demikian juga mereka bisa berpaling dari kelompok dasar menjadi salah satu kelompok yang sangat kohesif.

b. Stability of Membership (stabilitas terhadap keanggotaan). Perbedaan antara kelompok terbuka dan kelompok tertutup. Perbedaan kelompok berdasarkan sejauh mana batas-batas mereka dapat masuk dalam daftar keanggotaan yang bersifat terbuka dan berfluktuasi dibandingkan tertutup dan tetap. Kelompok terbuka khususnya untuk mencapai keadaan keseimbangan, karena anggota menyadari bahwa mereka mungkin kehilangan atau melepaskan tempat mereka dalam kelompok setiap saat. Pada kelompok tertutup, individu cenderung berfokus pada sifat kolektif kelompok dan lebih mungkin untuk mengidentifikasi dengan kelompok mereka saat mereka bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Kelompok terbuka adalah kelompok yang kohesifnya rendah.

c. Group Size (ukuran kelompok). Kelompok yang berukuran kecil akan lebih kohesif daripada kelompok yang berukuran besar karena akan lebih mudah untuk beberapa orang untuk mendapatkan satu tujuan dan lebih mudah untuk melakukan aktifitas kerja.

d. Structural Features (bentuk struktur). Kohesif itu mempunyai hubungan kepada struktur kelompok dalam dua titik dasar. Pertama, kelompok kohesif cenderung untuk relatif lebih terstruktur. Kedua, bentuk dari struktur kelompok adalah terkait dengan tingkat lebih tinggi dari kohesif daripada struktur kelompok yang lain. Semakin tinggi proporsi hubungan dengan anggota non group relatif membuat hubungan dengan anggota kelompok semakin rendah kekompakkan keseluruhan kelompok.

e. Initiations (inisiasi/ permulaan). Kelompok dengan kebijakan keanggotaan yang ketat, termasuk penerimaan, menghindari masalah ini dengan menyaring anggota dan melakukan pemantauan erat dan mengabaikan orang-orang yang tidak menunjukkan diri mereka.

D. MODEL / TEORI KOMUNIKASI KELOMPOK

Berikut ini dapat disajikan beberapa model / teori Komunikasi Kelompok yang dapat dipahami untuk dijadikan piasu analisis saudara dalam membedah kasus-kasus Komunikasi Kelompok. Namun Model / Teori ini hanya secuil dari begitu banyak Model / Teori Komunikasi Kelompok yang tidak dapat disajikan pada materi kuliah ke 5 ini. Karena itu, disarankan agar saudara dapat mempelajari lebih lanjut semua Model / Teori Komunikasi Kelompok yang lain melalui bacaan literature Komunikasi Kelompok dari para ahli.

a. A-B-X Theory (Theodore M. New Comb).

Model komunikasi New Comb Theodore M. Newcomb dari the University of Michigan pada tahun 1953, dia memberikan penekanan yang berbeda dalam teori komunikasi. tujuan utama dari teori ini adalah untuk memperkenalkan jenis komunikasi dalam hubungan sosial (kelompok). sistem ini memperluas teori hubungan antarpribadi Heider sampai kepada interaksi yang terjadi diantara anggota kelompok yang hanya terdiri dari 2 orang anggota.

Model Newcomb ini terdiri dari 3 unsur utama, yakni:

A = pengirim

B = penerima

X = objek pembicaraan, orang lain, isu dan lain lain.

Menurut Newcomb, tingkah laku komunikasi terbuka antara A dan B dapat diterangkan melalui kebutuhan mereka untuk mencapai keseimbangan satu sama lain dan juga terhadap x.

b. Teori Sosiometris (Moreno)

Sosiometris dapat diartikan sebagai pendekatan metodologis terhadap kelompok kelompok yang diciptakan mula mula oleh moreno dan kemudian dikembangkan oleh jenning dan yang lainnya. pada dasarnya teori berhubungan dengan daya tarik(attraction) dan penolakan (repulsion) yang dirasakan oleh individu individu ssatu sama lain serta implikasi perasaan ini bagi pembentukan struktur kelompok. Meskipun sosiometris tidak langsung berkepentingan langsung dengan komunikasi, struktur sosiometris dari suatu kelompok tidak disangkal berhubungan dengan bebereapa hal yang terjadi dalam komunikasi kelompok. cukup masuk akal untuk menganggap bahwa individu yang tertarik satu sama lain yang saling menempatkan diri pada peringkat yang tinggi akan lebih suka berkomunikasi sedemikian rupa sehingga membedakan mereka berkomunikasi dengan orang yang mereka benci.

c. Teori Komunikasi kelompok (Aubrey Fisher)

Model Fisher sesuai dengan namanya bahwa teori ini dikemukakan oleh Aubrey Fisher. Adanya teori ini dilatar-belakangi adanya pembagian dari kelompok besar. Teori ini merupakan suatu bagian dari tindak komunikasi kelompok tugas. Dalam model Fisher ini ada empat tahap yang harus dilewati seseorang dalam menjalani suatu hubungan dengan anggota kelompok.

Asumsi Dasar dan Uraian Teori :

Teori ini menjelaskan bagaimana proses yang harus dilewati seseorang dalam suatu kelompok untuk menghasilkan sesuatu yang disepakati bersama antar anggota kelompok. Asumsi dasar dari teori adalah adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui seseorang untuk menjalin hubungan dengan orang lain (anggota dalam kelompoknya). Tahapan-tahapan tersebut terdiri atas :

1. Orientasi, pada tahapan ini seorang individu akan berusaha untuk saling mengenal, saling menangkap perasaan anggota kelompoknya, dan mencoba menemukan peranan dan status. Dalam tahapan ini akan ada kecenderungan perbedaan pendapat.

2. Konflik, tahapan ini merupakan tindak lanjut dari adanya perbedaan pendapat pada tahap pertama. Dalam situasi ini terdapat peningkatan perbedaan antara satu individu dengan anggota kelompok lainnya, setiap individu berusaha mempertahankan apa yang ia inginkan.

3. Pemunculan, pada tahap ini setiap individu berusaha untuk mengurangi tingkat perbedaan pendapat. Tujuannya untuk mengurangi konflik, namun yang terjadi adalah individu sudah tidak lagi memiliki kejelasan dalam menentukkan sikap.

4. Peneguhan, tahap akhir yang dilakukan seseorang dalam kelompoknya yaitu bagaimana para anggota memperteguh konsensus kelompok. Dalam hal ini akan ada saran bagaimana penyelesaian yang baik dan akan ada keputusan dari perbedaan yang ada pada para anggota.

Menurut ahli teori sosial, ada beberapa teori komunikasi kelompok yang dapat memberi pemahaman yang jelas dalam membangun komunikasi kelompok adalah sebagai berikut :

a. Teori Perbandingan Sosial (Leon Festinger, 1954)

Teori Perbandingan Sosial (Social Comparison Theory), oleh Leon Festinger menegaskan, tindak komunikasi dalam kelompok berlangsung karena adanya kebutuhan-kebutuhan dari individu untuk membandingkan sikap, pendapat, dan kemampuannya dengan individu-individu lainnya.

Dalam teori perbandingan sosial ini, tekanan seseorang untuk berkomunikasi dengan anggota kelompok lainnya akan mengalami peningkatan, jika muncul ketidaksetujuan yang berkaitan dengan suatu kejadian atau peristiwa; kalau tingkat pentingnya peristiwa tersebut meningkat dan apabila hubungan dalam kelompok (group cohesiveness) juga menunjukkan peningkatan. Selain itu, setelah keputusan kelompok dibuat, para anggota kelompok akan saling berkomunikasi untuk mendapatkan informasi yang mendukung atau membuat individu-individu dalam kelompok lebih merasa senang dengan keputusan yang dibuat tersebut. Teori perbandingan sosial ini diupayakan untuk dapat menjelaskan bagaimana tindak komunikasi dari para anggota kelompok mengalami peningkatan atau penurunan.

b. Teori Pertukaran Sosial (Thibaut Dan Kelley).

Teori Pertukaran Sosial dari Thibaut dan Kelley, dalam buku mereka yang berjudul The Social Psychology of Groups, Thibaut and Kelley memusatkan perhatiannya pada kelompok yang terdiri dari dua orang anggota atau diad. Mereka merasa yakin bahwa usaha memahami tingkah laku yang kompleks dari kelompok-kelompok besar mungkin dapat diperoleh dengan cara menggali pola hubungan diadis (2 orang). Meskipun pola penjelasan tingkah laku mereka tentang diadis bukan sekedar suatu pembahasan tentang proses komunikasi dalam kelompok dua-anggota, beberapa rumusan mereka mempunyai relevansi langsung tentang komunikasi kelompok.

Model Thibaut dan Kelley mendukung asumsi-asumsi yang dibuat oleh Homans dalam teorinya tentang proses pertukaran sosial, khususnya bahwa interaksi sosial manusia mencakup pertukaran barang dan jasa, serta bahwa tanggapan-tanggapan individu-individu yang muncul melalui interaksi di antara mereka mencakup baik imbalan (rewards) maupun pengeluaran (cost). Apabila imbalan tidak cukup, atau bila pengeluaran melebihi imbalan, interaksi akan terhenti atau individu yang terlibat di dalamnya akan merubah tingkah laku mereka dengan tujuan mencapai apa yang mereka cari.

c. Teori Percakapan / Prestasi Kelompok (Stogdill, 1959).

Teory percakapan kelompok (group achievement theory) ini memiliki keterkaitan dengan produktivitas kelompok melalui memberi inputs, mediating variables dan group input. Produktivitas dari suatu kelompok dapat dijelaskan lewat konsekuensi perilaku, interaksi dan harapan-harapan melalui struktur kelompok. Dengan kata lain, interaksi dan harapan2 sebagai input variables mengarah pada struktur formal dan struktur peran sebagai mediating variables yg pada akhirnya menuju kepada produktivitas, semangat dan keterpaduan sebagai group achievement.

Teori Percakapan Kelompok biasa juga disebut Teori Prestasi Kelompok (Theory of Group Achievement). Teori Prestasi Kelompok dikemukakan oleh Stogdill pada tahun 1959. Stogdill menganggap bahwa teori-teori tentang kelompok pada umumnya didasarkan pada konsep tentang interaksi yang memiliki kelemahan teoritis tertentu. Maka dari itu, Stogdill mengajukan teori prestasi kelompok.

Teori ini merupakan hasil pengembangan dari teori-teori sebelumnya yang tergolong dalam tiga orientasi yang berbeda, seperti: orientasi penguat (teori-teori belajar), orientasi lapangan (teori-teori tentang interaksi), dan orientasi kognitif (teori-teori tentang harapan).

Asumsi dasar dan uraian Teori ini adalah proses terjadinya dalam kelompok dimana dimuiai dari masukan ke keluaran melalui variabel-variabel media. Dalam teori ini akan terdapat umpan balik (feed-back). Berikut ini adalah penjabaran teori prestasi yang terbagi atas beberapa faktor yang mempengaruhi suatu kelompok, yaitu:

1. Masukan dari anggota merupakan sumber input.

Menurut Stogdill, kelompok adalah suatu sistem interaksi yang terbuka. Struktur dan kelangsungan sistem sangat bergantung pada tindakan-tindakan anggota dan hubungan antara anggota. Ada tiga elemen penting yang termasuk dalam masukan anggota, yaitu : interaksi sosial (menyatakan suatu hubungan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, interaksi ini terdiri atas aksi dan reaksi antara anggota-anggota kelompok yang berinteraksi); hasil perbuatan (bagian dari suatu interaksi yang dapat diaplikasikan dalam bentuk kerja sama, berencana, menilai, berkomunikasi, membuat kepetusan); dan harapan (kesediaan untuk mendapatkan suatu penguat, fungsi dari harapan ini adalah sebagai dorongan (drive), perkiraan tentang menyenangkan atau tidaknya dasil, dan perkiraan tentang kemungkinan hasil itu akan benar-benar terjadi).

2.    Variabel media

Variabel media menjelaskan mengenai beroperasi dan berfungsinya suatu kelompok. Elemen-elemen yang ada di dalamnya, yaitu : struktur formal (struktur formal mencakup fungsi dan status dimana kelompok terdiri atas individu-individu yang masing-masingmembawa harapan dan perbuatannya sendiri) dan struktur peran (struktur peran mencakup tanggung jawab dan otoritas dimana individu yang menduduki posisi tertentu hampir tidak berpengaruh pada status dan fungsi posisi tersebut).

3.    Prestasi kelompok

Prestasi kelompok merupakan output atau tujuan dari kelompok. Ada tiga unsur yang menentukan prestasi kelompok yaitu: 1). Produktivitas (derajat perubahan harapan tentang nilai-nilai yang dihasilkan oleh perilaku kelompok). 2). Moral (derajat kebebasan dari hambatan-hambatan dalam kerja kelompok menuju tujuannya). 3). Kesatuan (tingkat kemampuan kelompok untuk mempertahankan struktur dan mekanisme operasinya dalam kondisi yang penuh tekanan (stress).

 Referensi:

- Arifin, Anwar, 1984, Strategi Komunikasi: Suatu Pengantar Ringkas, Bandung: Armico.

- Bales, Robert F., 1950, Interaction Process Analysis: A Method for the Study of Small Groups, Cambridge: Addison-Wesley

- Curtis, Dan B., Floyd, James J., Winsor, Jerry L., 2005, Komunikasi Bisnis dan Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya

- Littlejohn, Stephen W. 1999, Theories of Human Communication, Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.

--------------------. 2005. Theories of Human Communication – Fifth Edition. Terjemahan edisi Indonesia 1 (Chapter 1-9), dan edisi Indonesia 2 (Chapter 10-16).

- Mulyana, Deddy, 2005, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

--------------------. 2008. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

- Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: ABiographical Approach. New York:The Free Press. 4. West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.

- Lukiati Komala, Ilmu Komunikasi Perspektif, proses dan konteks, widya padjajaran, bandung 2009. h.175-177

- Rakhmat, Jalaluddin, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.

- Schutz, W. D., 1966, The Interpersonal Underworld, Palo Alto: Science and Behavior Books.

- Wiryanto, 2005, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line