Jumat, 27 November 2020

Peran penting teknologi informasi dalam komunikasi lintas budaya, strategi nasional komunikasi lintas budaya untuk menciptakan perubahan positif dan konstruktif dalam berbagai bidang, serta penjelasan teoritis

A. PERAN TEKNOLOGI DALAM KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA.

Perkembangan teknologi informasi mengalami kemajuan sangat pesat. Kemajuan tersebut telah mengantarkan umat manusia semakin mudah untuk berhubungan satu dengan lainnya. Berbagai infomasi dan peristiwa yang terjadi dibelahan dunia dengan secara cepat dapat diketahui oleh manusia pada benua yang lain. Era globalisasi yang ditandai oleh semakin majunya teknologi komunikasi juga disebut dengan era informasi. Alfin Tofler melihat sejarah peradaban manusia sejauh ini dapat dibagi dalam tiga gelombang. Gelombang pertama ditandai oleh penemuan pertanian, gelombang kedua ditandai oleh revolusi industri, sedangkan gelombang ketiga yang kini sedang memunculkan diri terutama ditandai oleh revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era teknologi tinggi. Berbagai ahli mencoba menggambarkan peradaban baru ini dengan berbagai istilah atau konsep seperti era angkasa, era informasi, era elektronik dan entah apalagi.

Dengan semakin meluasnya arus informasi ke seluruh dunia, globalisasi informasi dan media massa pun menciptakan keseragaman pemberitaan maupun preferensi liputan. Pada akhimya, sistem media masing-masing negara cenderung dalam hal menentukan kejadian yang dipandang penting untuk diliput. Peristiwa yang terjadi disuatu negara akan segera mempengaruhi perkembangan masyarakat di negara lain. Atau dengan kata lain, menurut istilah John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya Megatrend 2000 (1991), dunia kini telah menjadi "global village".

Dalam konteks Komunikasi Lintas Budaya dewasa ini tak bisa dipungkiri teknologi media komunikasi khususnya menjadi sarana penyebar-luasan budaya, baik penggunaan media cetak, seperti koran, majalah, tabloid, dan sebagainya, ataupun media elektronik, seperti televisi, radio, internet. Masyarakat pada era modern ini sangat mudah sekali mengakses media massa dalam menukarkan pesa-pesan budaya dengan biaya yang murah bahkan gratis. Melalui cara ini mereka yang terlibat dalam komunikasi lintas budaya mulai mengenal budaya-budaya dunia lain secara keseluruhan dan menjadikan budaya tersebut menjadi kebudayaan baru dalam prilaku komunikasi mereka. Dalam konteks ini tentu tidak bisa dipungkiri, budaya asing yang tersebar dengan mudah melalui teknologi media komunikasi lintas budaya sangat cepat menyebar ke seluruh dunia yang menjadi panutan bagi setiap individu dalam mengikuti perkembangan zaman terkini. Banyak di antara anggota masyarakat dalam berkomunikasi lintas budaya, mereka tidak mau disebut out of date (ketinggalan zaman) lalu dikucilkan dari pergaulan modern.

Terkait dengan keberadaan teknologi media, terdapat beberapa kemungkinan pengaruh keberadaan teknologi media pada pelaku komunikasi di dalam Komunikasi Lintas Budaya, sebagai berikut:

1. Imitasi.
 Komunikasi lintas budaya pada era globalisasi ini gejala imitasi sangatlah mudah dilakukan, banyak orang bisa melihat dan belajar tentang kebudayaan negara lain dan meniru kebudayaan tersebut sampai-sampai nilai-nilai kebudayaannya sendiri bisa terkikis dan hilang, terutama kebudayaan modern ala negara-negara barat yang sangat menarik anak-anak muda untuk mengikutinya seperti dalam pengaruh bahasa tubuh dalam komunikasi. Sebenarnya istilah “globalisasi” merupakan suatu istilah yang menggambarkan ruang lingkup perkembangan-perkembangan yang sedang terjadi dalam komunikasi dan kebudayaan (Featherstone, 1990). Tetapi dengan catatan kalau kita tidak hidup dalam sebuah desa global yang hidupnya berdasarkan teknologi yang serba lengkap bagaikan dongeng yang menggeser sistem sosial dan dan kebudayaan lokal yang telah ketinggalan zaman-mistis-dan tidak lagi diinginkan.

2. Heterogenitas Budaya.
Perkembangan teknologi media dalam proses komunikasi lintas budaya mngakibatkan adanya heterogenitas budaya yang makin banyak di dunia, munculnya budaya baru yang akhirnya sedikit demi sedikit pelaku komunikasi antar budaya terjangkiti oleh nilai-nilai budaya yang semakin kompleks. Bisa jadi sedikit demi sedikit budaya nilai-nilai budaya seseorang hilang akibat banyaknya asimilasi budaya dalam pergaulan lintas budaya.

3.    Munculnya Budaya Populer.

Kemunculan budaya populer otomatis akibat dari komunikasi lintas budaya melalui teknologi media. Saat ini budaya popular sudah menjadi barang yang biasa di konsumsi oleh masyarakat Indonesia, dimana budaya asing menjadi budaya mereka sendiri. Sebagian orang yang masih berpegang pada identitas budaya sendiri dianggap sebagai orang-orang kuno dan kolot.

4.    Tergerusnya Budaya Lokal

Seiring dengan perkembangan waktu, filter tiap orang semakin melemah bersama dengan identitas budaya keindonesiaan yang semakin lama semakin tergerus oleh budaya populer sebagaimana pengaruh iklan dalam komunikasi lintas budaya bermedia. Tidak akan ada komunikasi antar budaya yang bertujuan untuk bisa saling memperkaya pengetahuan tentang kebudayaan satu negara dengan negara yang lain. Budaya populer sendiri juga sebenarnya merupakan komunikasi lintas budaya yang dilakukan secara non-verbal.

5.    Budaya yang Dicerna Mentah-Mentah

Di era modern ini komunilasi lintas budaya tidak terjadi secara langsung melainkan melalui siaran televise, koran dan media social yang menggambarkan dan menjelaskan tentang kebudayaan yang ada di negara masing-masing mulai dari bahasa, cara berpakaian, makanan tradisional dan sebagainya. Hanya saja bangsa kita bukanlah bangsa yang cerdas untuk menyeleksi budaya yang masuk ke Indonesia. Segala terpaan media termasuk tayangan yang sebenarnya dimaksudkan sebagai komunikasi lintas budaya menjadi hal yang langsung dicerna dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh khalayak.

6.    Moralitas.

 Moralitas menjadi sebuah isu yang dipertaruhkan dan menarik untuk dikaji terkait dengan pengaruh teknologi media dalam komunikasi lintas budaya. Keterbukaan dalam segala informasi yang dapat diakses dengan mudah membuat filterisasi yang dimiliki oleh generasi saat ini menjadi tidak terkontrol sebagaimana pengaruh status sosial dalam komunikasi mereka sehari-hari.

7.    Modernisasi.

 Nilai-nilai modernisasi yang sangat dominan merupakan pengaruh yang tak dapat dihindarkan dari adanya teknologi media sebagai sarana dalam komunikasi lintas budaya dewasa ini. Kini anda bisa terhubung dengan semua penghuni di jaagad raya ini hanya melalui media di genggaman anda. Terlebih lagi, anda juga dapat saling share dengan benas mengenai hal-hal budaya yang maanrik antara satu dengan lainnya. 

8.    Penyebaran Kebudayaa secara Luas.

 Kini kita dapat dengan mudah memperkenalkan sebuah budaya daerah / lokal ke mata dunia. Dengan perkembangan teknologi media dimana saat ini menungkinkan semua orang untuk dapat dengan  mudah berbagi informasi. Di sini budaya local suatu etnis dimana saja dapat dengan mudah diperkenalkan ke masyarakat di negara lain.

9. Kesenian

Kesenian sebagai bagian penting dalam sebuah kebudayaan juga ikut terpengaruh dengan adanya perkembangan teknologi media dalam komunikasi lintas budaya, termasuk bahasa sebagai alat komunikasi. Saat ini kesenian daerah sudah mulai bertransformasi dengan membalutnya demgam teknologi dan juga nuasa moderen. Tentu saja hal ini merupakan upaya seni sebagai bagian yang sentral dalam budaya dapat diterima secara luas oleh seluruh lapisan masyarakat dunia. Meskipun begitu tanpa bisa meninggalkan ciri khas dan kekhususan yang merupakanm identitas kesenian itu sendiri.

10. Pandangan Tradisionalitas. 

Bicara mengenai budaya maka tentu akan bersinggungan erat dengan tradisionalitas yang merupakan bagian penting dari budaya itu sendiri. Elemen ketradisionalan inilah yang merupakan kekuatan magis dari kebudayaan yang bisa menyita perhatian dunia. Keberadaan media tentu akan dapat lebih mudah memperluas dan juga memperkenalkan ketradisionalan ke kancah internasional. Agar tentunya menjadi simbol dan daya tarik utama akan kekeyaan dan kekhasan budaya yang dimiliki.


B. STRATEGI KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA UNTUK MENCIPTAKAN PERUBAHAN

Untuk menciptakan suatu perubahan melalui komunikasi, maka dibutuhkan suatu proses penyusunan strategi yang efektif. Seorang komunikator yang dianggap kredible dalam pelaksanaan komunikasi adalah komunikator yang memiliki suatu strategi komunikasi yang disusus sebelum pesan dilancarkan kepada peserta komunikasi itu. Demikian juga halnya dalam proses komunikasi lintas budaya, menyusun strategi komunikasi itu adalah suatu keniscayaan. Dalam upaya menyusun strategi komunikasi lintas budaya ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yakni:

1. Prinsip keselarasan (compatible). Prinsip ini menegaskan tentang pentingnya usaha penyelarasan antara nilai-nilai budaya komunikator dngan nilai-nilai budaya komunikan, seperti tata cara menggunakan bahasa, prilaku pesan verbal dan non verbal, dan prilaku komunikasi lainnya, termasuk menggunakan syarat-syarat pesan yang baik sebagaimana dalam pandangan Wilbur Schramm.

2. Prinsip kesesuaian dengan kebutuhan (need) sasaran, terutama menjawab masalah need berdasarkan tahap-tahap kebutuhan dari Maslow (kebutuhan biologis, sosiologis dan psikologis).

3. Prinsip pelaksanaan suatu proses belajar mengajar yang efektivitasnya dipengaruhi oleh sifat atau ciri sasaran masyarakat di desa, tenaga pengajar, fasilitas, materi dan kondisi lingkungan. Prinsip pelaksanaan yang bertujuan mengembangkan sikap, pengetahuan, keteranpilan dan sikap serta kemampuan masyarakat di desa sasaran.

Selain itu, perlu juga diperhatikan tentang beberapa hal yang terkait dengan perencanaan komunikasi tersebut yang harus dilakukan dengan strategi, sebagai berikut:

1. Konsolidasi, yaitu memantapkan dan mengembangkan ketenagaan dan kelembagaan yang tangguh dan mendukung kerja “proses komunikasi”.

2. Integrasi, yaitu menggalang keterpaduan kerja dengan lembaga atau pihak lain yang potensial untuk meningkatkan, daya guna dan hasil guna perencanaan proses komunikasi.

3. Implementasi, yaitu menerapkan metode dan teknik perencanaan proses komunikasi termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta materi perencanaan.

Terkait dengan perencanaan komunikasi yang harus dilakukan dengan strategi di atas, maka sesuai dengan aspek-aspek yang terlibat dalam suatu proses komunikasi maka harus menentukan beberapa hal, sebagai berikut:

1. Seorang perencana komunikasi lintas budaya harus bisa mengidentifikasi masalah sasaran (audience) dengan cermat. Untuk memudahkan pendekatan terhadap sasaran yang jumlahnya banyak, beragam dan sukar dijangkau, maka perencana komunikasi harus mensegmentasikan sasaran ke dalam kelompok-kelompok yang lebih homogen.

2. Komunikator yang handal, adalah komunikator yang memiliki kredibilitas tertentu. Ada tiga jenis kredibilitas yaitu ethos, pathos dan logos. 

3. Memperhatikan faktor pesan. Dalam konteks komunikasi lintas budaya, pesan merupakan tema-tema yang dibicarakan bersama oleh peserta komunikasi. Dalam hal ini seorang komunikator membutuhkan hal berikut:

a. Pengetahuan tentang bentuk-bentuk pesan verbal masyarakat sasaran.

b. Pengetahuan terhadap isi pesan.

4. Memperhatikan media sebagai alat bantu demi tercapainya efektivitas komunikasi. Beberapa bentuk media yang sifatnya hardware dan software, yaitu:

a. Sarana komunikasi, seperti radio komunikasi, radio kaset, slide, tv, dan lain-lain.

b. Sarana transportasi

c. Alat bantu komunikasi yang biasa dipakai dalam penyuluhan, misalnya media unit-unit percontohan, produk hasil teknologi, dan lain-lain.

5. Gedung, balai pertemuan atau tempat terbuka untuk pertemuan.

6. Metode dan teknik penyampaian pesan. Ada beberapa metode yang bisa dipilih, yaitu:

a. Metode informatif.

b. Metode edukatif.

c. Metode persuasif.

d. Metode Instruktif.

7. Konteks, yaitu situasi dan kondisi yang bersifat lahir dan batin yang dialami para peserta komunikasi sehingga diharapkan bisa mempengaruhi setiap proses komunikasi.

Porter dan Jain (1981:202) dalam Susanto (2009), mengungkapkan tentang hal-hal yang harus dipenuhi dalam merumuskan strategi untuk meningkatkan efektivitas komunikasi antar budaya, adalah :

1. Pahami diri sendiri (know yourself). Dalam arti bahwa memahami diri sendiri penting, ketika melakukan komunikasi dan interaksi dengan kelompok lain. Implikasinya, seseorang dapat memposisikan diri dan tidak canggung dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok etnik yang berbeda;

2. Sediakan waktu (take time). Ini dalam arti ketika terjadi ketidaksepahaman dengan kelompok budaya lain. Sebab seiring dengan berjalannya waktu, diharapkan muncul pemahaman, dan tingkat emosi yang mereda;

3. Pengggunaan bahasa yang sama (use the same language). Jika ingin hubungan antar kelompok budaya berjalan lancar, harus menggunakan bahasa yang sama dengan kelompok lain. Kalaupun bahasanya memang sudah sama, gunakan maksud yang sama ketika berhubungan dengan kelompok lain. Pada konteks ini, bahasa secara hakiki terikat oleh kesamaan maksud dalam hubungan dengan kelompok yang berbeda;

4. Perhitungan setting (calculation of settings). Ini dilakukan dalam komunikasi dengan budaya lain, yang sangat mungkin memiliki beragam perbedaan terhadap seting waktu, lingkungan dan simbol lain yang dipercaya. Hakikatnya, berkomunikasi dengan budaya etnik lain, harus memperhitungkan situasi dan kondisi yang berlaku dan dipercaya oleh kelompok lain;

5. Tingkatkan kemampuan berkomunikasi (communication style). Usahakan terus meningkatkan kemampuan berkomunikasi, dengan memepelajari bahasa dan budaya kelompok lain. Tanpa upaya untuk melakukan pendekatan, maka tingkat kohesivitas hubungan yang dipakai sebagai landasan kehidupan masyarakat yang harmonis tidak akan tercapai;

6. Tumbuhkan umpan balik (feedback). Dalam arti bahwa membuka kesempatan kepada kelompok lain, agar memberi umpan balik. Jadi tidak mendominasi pembicaraan, terlebih jika yang diajak berkomunikasi merasa sebagai kelompok minoritas ataupun terperangkap dalam simbol-simbol marginalisasi, maka sulit untuk mengharapkan tercapainya tujuan berkomunikasi

7. Kembangkan Empati (Develop empathy). Mengembangkan empati, dengan memposisikan diri sendiri sebagai orang dari kelompok lain penting untuk meningkatkan hubungan. Pemahaman terhadap posisi kelompok lain akan meningkatkan rasa kebersamaan yang mampu mengikat masyarakat yang berbeda dalam satu kesatuan;

8. Perhatikan kesamaan dari budaya yang berbeda (Note similarities of defferent cultures). Jika ingin meningkatkan interaksi antar budaya, gunakan kesamaan agar hubungan dengan kelompok lain lebih erat. Jadi yang terpenting adalah tidak mempersoalkan perbedaan yang terdapat di kelompok lain, dan;

9. Tanggung jawab etis dalam komunikasi (Ethical responsibilities in communication). Etika dalam berkomunikasi dengan kelompok lain perlu dijaga, mengingat pelanggaran terhadap etika berbicara akan berakibat buruk. Jika etika komunikasi kelompok lain tidak diketahui. Gunakan etika yang universal, yang intinya menghormati ketika orang lain berbicara.

Kesembilan saran untuk mengefektifkan komunikasi lintas budaya tersebut, barangkali tidak dapat dilakukan bersama-sama dalam satu kesempatan komunikasi, tetapi paling tidak dalam situasi komunikasi tertentu di wilayah yang rawan konflik karena perbedaan nilai dan kepercayaan, dapat dipakai sebagai pedoman untuk meminimalisir berbagai perbedaan.

B.HAMBATAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA 

Komunikasi Lintas Budaya memiliki hambatan tertentu yang perlu diketahui dalam membangun strategi perubahan melalui komunikasi ini. Chaney dan Martin (2004:11) dalam bukunya Intercultural Business Communication, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hambatan komunikasi atau communication barrier adalah segala sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya komunikasi yang efektif. Perbedaan budaya sendiri merupakan salah satu faktor penghambat dalam komunikasi antar budaya, karenanya hambatan- hambatan komunikasi tersebut juga sering disebut sebagai hambatan komunikasi antar budaya, sebagai hambatan dalam proses komunikasi yang terjadi karena adanya perbedaan budaya antara komunikator dan komunikan.

Adapun faktor hambatan komunikasi antar budaya yang sering terjadi antara lain: fisik, budaya, persepsi, motivasi, pengalaman, emosi, bahasa (verbal), nonverbal, kompetisi, dijelaskan sebagai berikut:

1. Fisik adalah hambatan komunikasi yang berasal dari waktu, lingkungan, kebutuhan diri, dan media.

2. Budaya adalah hambatan komunikasi yang berasal dari etnis, agama, dan sosial yang bebeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya.

3. Persepsi adalah hambatan komunikasi yang timbul karena perbedaan persepsi yang dimiliki oleh individu mengenai sesuatu. Perbedaan persepsi menyebabkan perbedan dalam mengartikan atau memaknakan sesuatu.

4. Motivasi adalah hambatan komunikasi yang berkaitan dengan tingkat motivasi penerima pesan. Rendahnya tingkat motivasi penerima pesan mengakibatkan komunikasi menjadi terhambat.

5. Pengalaman adalah hambatan komunikasi yang disebabkan oleh pengalaman masa lalu yang dimiliki individu. Perbedaan pengalaman yang dimiliki oleh masing-masing individu dapat menyebabkan perbedaan dalam konsep serta persepsi terhadap sesuatu.

6. Emosi adalah hambatan komunikasi yang berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar. Apabila emosi pendengar sedang buruk maka hambatan komunikasi yang terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui.

7. Bahasa adalah hambatan komunikasi yang terjadi ketika pengirim pesan (sender) dan penerima pesan (receiver) menggunakan bahasa atau kata-kata yang tidak dimengerti oleh penerima pesan sehingga menimbulkan ketidaksamaan makna.

8. Nonverbal adalah hambatan komunikasi yang berupa isyarat atau gesture.

9. Kompetisi adalah hambatan komunikasi yang timbul ketika penerima pesan sedang melakukan kegiatan lain di saat menerima pesan.

C. TEORI KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA

Dalam perspektif komunikasi terdapat beberapa teori yang relevan dengan Komunikasi Lintas Budaya dan asumsi-asumsinya dapat dijadikan pertimbangan di dalam membangun strategi Komunikasi Lintas Budaya yang efektif, yaitu :

Face Negotiation Theory (Teori Negosiasi Wajah)

Untuk menyampaikan makna tertentu, manusia menggunakan pesan verbal dan non verbal. Salah satu pesan non verbal yang digunakan adalah pesan fasial atau air muka. Leathers dalam Rakhmat (2001:289-290) menyatakan bahwa wajah dapat menyampaikan minimal 10 makna yaitu: kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban, dan tekad.

Wajah mengkomunikasikan penilaian dengan ekspresi. Seperti diantaranya senang dan tidak senang, berminat atau tidak berminat pada orang lain atau lingkungan, intensitas keterlibatan dalam suatu situasi. Dan juga, tingkat pengendalian individu terhadap pernyataannya sendiri serta ada atau kurangnya pengertian. Pesan fasial ini juga diaplikasikan dalam komunikasi lintas budaya.

Dari teropong komunikasi lintas budaya, manusia dengan berbagai latar belakang budaya yang berbeda tentu tidak bisa menghindari kodratnya untuk berhubungan atau berinteraksi dengan manusia yang lainnya. Dalam membangun hubungan antar manusia tidak jarang sering menemui konflik.

Face Negotiation Theory ini dirumuskan oleh Stella Ting-Toomey untuk menjelaskan pengaruh perbedaan budaya dalam menangani atau mengelola konflik yang terjadi melalui “manajemen” wajah. Menurut teori ini, norma dan budaya yang dianut oleh manusia akan mempengaruhi cara mengelola situasi konflik dan membentuk citra di mata publik.

Expectancy Violations Theory (Teori Pelanggaran Harapan)

Teori ini mencoba menguraikan perilaku manusia yang tidak terduga saat mereka berinteraksi. Teori ini menitikberatkan pada proses komunikasi yang dipengaruhi oleh norma serta budaya yang dianut dan dijadikan sebagai patokan. Adanya pelanggaran pada norma dan budaya yang dianut dapat menimbulkan persepsi positif atau negatif. Sehingga individu akan bersikap hati-hati terhadap individu yang lain.

Expectancy violations theory juga bergantung pada jarak dan ruang. Manusia cenderung mengatur jarak dan ruang sebagai cara untuk mengungkapkan tingkat kedekatan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Dalam teori ini jelaskan bahwa manusia cenderung untuk melindungi jarak dan ruang mereka saat harapan mereka mengalami pelanggaran.

Communication Accommodation Theory (Teori Akomodasi Komunikasi).

Teori ini menitikberatkan pada strategi individu untuk mengurangi atau menambah jarak komunikatif yang bergantung pada norma dan budaya yang dianut. Teori akomodasi komunikasi menguraikan kecenderungan manusia untuk menyesuaikan perilaku saat mereka berinteraksi.

Kemudian, alasan di balik perilaku ini dijelaskan sebagai bentuk untuk mengontrol perbedaan sosial yang ada. Orang mengakomodasi kegiatan komunikasi mereka untuk mendapatkan persetujuan dan menetapkan citra positif di depan orang lain. Lingkungan di mana mereka berinteraksi juga mempengaruhi perilaku komunikasi.

Terdapat dua jenis proses akomodasi yang dijelaskan dalam teori ini, yaitu:

a. Konvergen adalah proses di mana orang cenderung untuk beradaptasi dengan karakteristik komunikasi orang lain untuk mengurangi perbedaan sosial.

b. Divergen adalah proses dimana individu menekankan pada perbedaan sosial dan perbedaan nonverbal yang ada.

Conversational constraints theory (Teori Kendala Percakapan).

Teori yang dikembangkan oleh Min-Sun Kim ini mencoba untuk menjelaskan perbedaan strategi percakapan yang dimiliki oleh masing-masing budaya dan dampak yang ditimbulkan oleh perbedaan tersebut. Teori ini menggunakan pendekatan ilmu komunikasi sosial yang memandang bahwa budaya mempengaruhi komunikasi.


Anxiety/Uncertainty Management Theory (Teori Pengelolaan Kecemasan / Ketidakpastian).

Teori yang dikemukakan oleh William Gundykunst mengasumsikan bahwa individu akan merasa menjadi orang asing diantara pertemuan antar budaya yang menimbulkan rasa cemas, ketidakpastian dan ketidaknyaman.

Fokus dari teori ini adalah perbedaan budaya  yang terdapat dalam suatu kelompok atau orang asing.  Rasa kecemasan dan ketidakpastian menyebabkan komunikasi menjadi tidak efektif.  Komunikasi yang efektif dapat terjadi apabila komunikator dapat mengelola kecemasan dan ketidakpastian tersebut dengan tepat.


Speech Codes Theory (Teory Kode Kemampuan bicara).

Teori yang dipublikaskan Gerry Philipsen ini berusaha menjawab tentang keberadaan speech code dalam suatu budaya, bagaimana substansi dan kekuatannya dalam sebuah budaya. Ia menyampaikan proposisi-proposisi sebagai berikut:

a. Dimanapun ada sebuah budaya, disitu diketemukan speech code yang khas.

b. Sebuah speech code mencakup retorikal, psikologi, dan sosiologi budaya.

c. Pembicaraan yang signifikan bergantung speech code yang digunakan pembicara dan pendengar untuk memkreasi dan menginterpretasi komunikasi mereka.

d. Istilah, aturan, dan premis terkait ke dalam pembicaraan itu sendiri.

e. Kegunaan suatu speech code bersama adalah menciptakan kondisi memadai untuk memprediksi, menjelaskan, dan mengontrol formula wacana tentang intelijenitas, prudens (bijaksana, hati-hati) dan moralitas dari perilaku komunikasi.

Referensi:

Alfin, 1986. Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional, Jakarta: UI Press.

Alfian, 1991. Komunikasi politik dan sistem politik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Deddy Mulyana, 2014, Komunikasi Antar Budaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Deddy Mulyanan & Jalaludin Rakhmat, 2006. Komunikas Antar Budaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.

Griffin, EM. (2003). A First Look at Communication Theory, 5th Edition. USA: McGraw-Hill

Liliwer, Alo. (2001). Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta

Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. USA: Wadsworth Group

Kim, Young Yun, 1984. Searching for creative integration. Dalam William B. Gudykunst dan Young Yun Kim (ed). Methods for intercultural Communication Reasearch. Beverly Hills: sage publishers.

Kuswandi, 1996. Komunikasi Massa (Sebuah Analisis Media Televisi), Cet. I : Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Maletzke, Gerhad. 1978. Intercultural and International Communication. Dalam Heins Dietrich Fishcer dan John C. Merill (ed) Intercultural & International Communication. New York: Hastings House Publishers.

Porter, Richard E. dan Larry A. Samovar. 2003. Suatu Pendekatan terhadap Komunikasi Antar Budaya, dalam Deddy Mulyana dan Jalaludin Rahmat (ed). Komunikasi Antar Budaya dan Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Rosdakarya.

Prinsip-Prinsip Dasar tentang Letak Pentingnya Mempelajari dan Memahami Secara Serius Prinsip-Prinsip Budaya Kita dan Komunikasi Antar Budaya di Era Modern sekarang Ini, terkait dengan Globalisasi dan Eksistensi Suatu Nation

Pentingnya mempelajari prinsip-prinsip komunikasi lintas budaya adalah untuk dapat merumuskan suatu strategi perubahan yang akan dilaksanakan melalui proses komunikasi yang melibatkan orang-orang yang berbeda latar belakang budaya. Dikutip dari essay I Wayan Puja Duarsa menegaskan, kebutuhan untuk mempelajari komunikasi lintas budaya ini semakin terasakan karena semakin terbukanya pergaulan kita dengan orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda, disamping kondisi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dengan berbagai ras, suku bangsa, agama, latar belakang daerah (desa/kota), latar belakang pendidikan, dan sebagainya.

Untuk memerinci alasan dan tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya Litvin (1977) menyebutkan beberapa alasan, diantaranya:

1. Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat diperlukan.

2. Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilainya berbeda.

3. Nilai-nilai setiap masyarakat se”baik” nilai-nilai masyarakat lainnya.

4. Setiap individu dan/atau budaya berhak menggunakan nilai-nilainya sendiri.

5. Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola-pola budaya mendasar yang berlaku.

6. Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain.

7. Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia.

8. Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antar pribadi adalah suatu usaha yang memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tetapi semakin berbahaya untuk memahaminya.

9. Pengalaman-pengalaman antar budaya dapat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian.

10. Keterampilan-keterampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural.

11. Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah menyusahkan atau memudahkan.

12. Situasi-situasi komunikasi antar budaya tidaklah statik dan bukan pula stereotip. Karena itu seorang komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Dalam konteks ini kepekaan, pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling memuaskan.

Sedangkan mengenai tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya, Litvin (1977) menguraikan bahwa tujuan itu bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk:

1. Menyadari bias budaya sendiri
2. Lebih peka secara budaya

3. Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan orang tersebut.

4. Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri

5. Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang

6. Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri.

7. Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya

8. Membantu memahami kontak antar budaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri:asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.

9. Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antar budaya.

10. Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami.

Untuk mencapai interaksi budaya yang efektif, maka perlu melihat konteks keseluruhan tempat berlangsungnya komunikasi tersebut. Saral, mengemukakan bahwa lingkungan kontekstual (contextual environment) secara terus menerus berubah, yang disebut kenyataan bukanlah suatu yang tunggal, pasti atau mutlak dan tidak ada cara melihat, menyadari, berpikir dan berkomunikasi yang berlaku secara universal. Oleh karenanya menurut Saral, kita harus mengakui kemungkinan dianutnya serta disebarluaskannya kenyataan-kenyataan komunikasi yang berbeda oleh lingkungan komunikasi yang berlainan.

Disadari sepenuhnya bahwa komunikasi yang dilakukan oleh manusia selalu mengandung potensi perbedaan. Sekecil apapun perbedaan itu, sangat membutuhkan upaya-upaya untuk memberhasilkan proses komunikasi secara efektif; yakni dengan menggunakan informasi budaya mengenai pelaku-pelaku komunikasi yang bersangkutan. Komunikasi lintas budaya menjadi kebutuhan bagi semua kalangan untuk dapat menjalin hubungan yang lebih baik dan memuaskan, terutama bagi mereka yang berbeda budaya.

Komunikasi dalam semua konteks merupakan persamaan dalam hal unsur-unsur dasar dan proses-proses komunikasi manusia (transmitting, receiving, processing), tetapi adanya pengaruh kebudayaan yang tercakup dalam latar belakang pengalaman individu membentuk pola-pola persepsi, pemikiran, penggunaan pesan-pesan verbal/nonverbal serta hubungan-hubungan dasarnya. Maka variasi kontekstual, merupakan dimensi tambahan yang mempengaruhi proses komunikasi lintas budaya. Komunikasi lintas budaya terjadi bila pemberi pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dengan demikian, penyampaian pesan dari sumber komunikasi harus diberi sandi sehingga penerima pesan sebagai anggota budaya yang berbeda tersebut dapat menyandi ulang informasi/pesan yang diterimanya.

Untuk mencapai interaksi budaya yang efektif, maka perlu melihat konteks keseluruhan tempat berlangsungnya komunikasi tersebut. Saral mengemukakan bahwa lingkungan kontekstual (contextual environment) secara terus menerus berubah, yang disebut kenyataan bukanlah suatu yang tunggal, pasti atau mutlak dan tidak ada cara melihat, menyadari, berpikir dan berkomunikasi yang berlaku secara universal. Oleh karenanya menurut Saral, kita harus mengakui kemungkinan dianutnya serta disebarluaskannya kenyataan-kenyataan komunikasi yang berbeda oleh lingkungan komunikasi yang berlainan.

Selain itu studi komunikasi lintas budaya ini juga harus dapat melihat kemungkinan atau tidaknya tercipta suatu wilayah pertemuan dari unsur-unsur kebudayaan yang berbeda tersebut. Dalam kerangka ini, maka setiap kebudayaan harus dilihat dari pemahaman terhadap lingkungannya. Dengan pendekatan demikian maka diharapkan dapat dikembangkan prosedur penilaian yang secara relatif bebas dari paksaan pola-pola atau bias kebudayaan tertentu.

Proses komunikasi melibatkan unsur-unsur sumber (komunikator), Pesan, media, penerima dan efek. Disamping itu proses komunikasi juga merupakan sebuah proses yang sifatnya dinamik, terus berlangsung dan selalu berubah, dan interaktif, yaitu terjadi antara sumber dan penerima.Proses komunikasi juga terjadi dalam konteks fisik dan konteks sosial, karena komunikasi bersifat interaktif sehingga tidak mungkin proses komunikasi terjadi dalam kondisi terisolasi. Konteks fisik dan konteks sosial inilah yang kemudian merefleksikan bagaimana seseorang hidup dan berinteraksi dengan orang lainnya sehingga terciptalah pola-pola interaksi dalam masyarakat yang kemudian berkembang menjadi suatu budaya.

Adapun budaya itu sendiri berkenaan dengan cara hidup manusia. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik dan teknologi semuanya didasarkan pada pola-pola budaya yang ada di masyarakat.


Letak Koherensi antara Konsep Budaya dan komunikasi Lintas Budaya.

Koherensi antara Konsep Budaya dan Komunikasi Lintas Budaya

Pada dasarnya kemunculan studi komunikasi lintas budaya dilatari oleh ketidakmampuan individu-individu untuk saling memahami pihak lain dalam dinamika pergaulan kehidupannya sehari-hari. Ketiak masayarakat dunia semakin modern, interaksi antar manusia yang semakin intensif dalam suatu pergaulan yang juga semakin bebas. Pada umumnya tiap orang semakin memiliki banyak kesempatan untuk untuk berinteraksi antar satu dengan lainnya. Fenomena ini bermuara pada perlunya saling mengerti, saling mengetahui dan saling memahami antar manusia untuk menghindari terjadinya konflik (chaos) atau kesalahpahaman antar pribadi, antar kelompok, antar masyarakat, maupun antar bangsa yang berbeda budaya di antara mereka.

Dalam pergaulan yang semakin bebas itu prilaku komunikasi antar individu tampak asing dan gagal dalam mencapai tujuan komunikasi tertentu. Salah satu penyebabnya mereka tidak memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai latar belakang budaya pihak lain. Akibat kegagalan tersebut memaksa ilmuan mengawinkan “budaya” dan “komunikasi” serta menjadikan komunikasi lintas budaya sebagai suatu bidang studi. Inheren dalam perpaduan ini adalah gagasan bahwa komunikasi lintas budaya memerlukan penelitian tentang budaya dan kesulitan-kesulitan komunikasi dengan pihak-pihak yang berbeda budaya.


Soal komunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya itu menjadi semakin menarik dibahas jika subyek yang diangkat adalah tentang kehidupan bangsa Indonesia yang terdapat ribuan etnis yang berbeda latar belakang budaya. Tidak jarang kita saksikan terjadi kesalahpahaman akibat komunikasi antar kelompok, suku, agama dan ras serta antar golongan yang berbeda dimaksud. Dalam kondisi kehidupan seperti itu masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki stereotype dan prejudice yang bersifat negative pada entis yang lain. Mereka lebih cenderung menganggap budaya sebagai suatu kemestian, tanpa mempersoalkan lagi (taken for granted), dan juga seringkali kita menggunakannya sebagai standar atau tolak ukur untuk menghakimi budaya-budaya lain. Bila seseorang tidak menyetujui nilainilai kita bukan berarti orang tersebut salah, bodoh atau sinting, namun kita harus mengetahui bagaimana latar belakang orang tersebut jika dilihat dari segi kebudayaannya. Melalui pemahaman nilai-nilai budaya pihak lawan komunikasi dapat menjadi unsur penting yanh harus dipahami untuk dapat menciptakan komunikasi yang efektif. Lain dari itu, untuk dapat memahami budaya orang lain, pelaku komunikasi harus memahami budayanya sendiri. Dalam suatu prinsip saling menghormati tentu perlu dipahami bahwa tidak ada budaya yang lebih tinggi dari budaya lainnya. Semua budaya memiliki fungsi dan peran bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilainya berbeda. Dengan kesadaran pemahaman seperti ini, akan muncul sikap saling menghargai mengenai perbedaan budaya di antara manusia.


Adapun budaya itu sendiri berkenaan dengan cara hidup manusia. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik dan teknologi semuanya didasarkan pada pola-pola budaya yang ada di masyarakat. Dalam pandangan Mulyana, budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,kepercayaan, nilai, makna, hirarki,agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui individu dan kelompok. Budaya menampakan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan prilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orangorang tinggal dalam suatu masyarakat disuatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu.


Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.(Mulyana, 1996:18) Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan satu sama lain, karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siap, tentang apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Budaya merupakan landasan komunikasi sehingga bila budaya beraneka ragam maka beraneka ragam pula praktek-praktek komunikasi yang berkembang.

Salah satu pemicu terjadinya konflik horizontal di masyarakat adalah bagaimana cara kita berkomunikasi dengan orang lain. Terkadang komunikasi kita dengan orang lain lebih memaksakan kepada kehendak sendiri dimana orang tersebut harus memaksakan orang lain untuk mengikuti budaya komunikasi mereka. Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain kita dihadapkan dengan Bahasa-bahasa, aturan-aturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi kita untuk memahami komunikasi orang lain bila kita sangat etnosentrik. Menurut Sumner etnosentrisme adalah “memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segalanya sesuatu itu, dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya”.

Adanya pengaruh budaya yang tercakup dalam latar belakang pengalaman individu membentuk pola-pola persepsi, pemikiran, penggunaan pesan-pesan verbal/ nonverbal serta hubungan-hubungan dasarnya bagi manusia. Maka variasi kontekstual budaya merupakan dimensi tambahan yang mempengaruhi proses komunikasi lintas budaya. Komunikasi lintas budaya terjadi bila pemberi pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dengan demikian, penyampaian pesan dari sumber komunikasi harus diberi sandi sehingga penerima pesan sebagai anggota budaya yang berbeda tersebut dapat menyandi balik informasi/pesan yang diterimanya.

Salah satu pemicu terjadinya konflik horizontal di masyarakat adalah bagaimana cara kita berkomunikasi dengan orang lain. Terkadang komunikasi kita dengan orang lain lebih memaksakan kepada kehendak sendiri dimana orang tersebut harus memaksakan orang lain untuk mengikuti budaya komunikasi mereka. Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain kita dihadapkan dengan Bahasa-bahasa, aturan-aturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi kita untuk memahami komunikasi orang lain bila kita sangat etnosentrik. Menurut Sumner etnosentrisme adalah “memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segalanya sesuatu itu, dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya”.

Pandangan-pandangan etnosentris tersebut antara lain berbentuk stereotip terhadap suatu kelompok orang, objek, atau peristiwa secara luas yang dianut oleh suatu budaya. Bukan berarti bahwa stereotip itu salah, ada kebenaran dalam stereotip. Jika stereotip digunakan sebagai alat untuk menilai beberapa kelompok atau individu dengan akurat ketika kita baru pertama kali mengenal kelompok tersebut atau tidak sama sekali. Namun, bila diterapkan kepada individu tertentu kebanyakan stereotip tidak tepat dan keliru.Masyarakat manapun, cenderung memiliki stereotip-steretip tentang masyarakat lainnya, contohnya di Indonesia, banyak stereotip terbentuk terhadap suatu suku, budaya ataupun agama. Lebih tepatnya, masyarakat Indonesia memiliki penilaian tersendiri dan cenderung digunakan secara baku untuk menggambarkan suatu masyarakat lainnya. Contoh nyatanya adalah penilaian orang pribumi terhadap orang keturunan Tionghoa yang cenderung pelit, komunis, kurang nasionalis, licik dan lain sebagainya. Kemudian, contoh lainnya misalnya penilaian antar suku ataupun bahasa. Orang Indonesia Timur lebih cenderung kasar, keras, mudah terpancing emosinya. Dalam situasi seperti ini manusia membutuhkan pendekatan komunikasi lintas budaya.

Komunikasi lintas budaya atau cross cultural communication adalah bidang studi komunikasi yang memandang bagaimana manusia yang berbeda latar belakang budaya berkomunikasi. Komunikasi lintas budaya adalah studi yang berakar dari studi antropologi budaya. Titik berat komunikasi lintas budaya adalah proses komunikasi yang terjadi dalam berbagai macam budaya yang berbeda. Komunikasi lintas budaya merupakan “pintu gerbang” agar dapat memahami komunikasi antar budaya atau intercultural communication.

Komunikasi lintas budaya adalah salah satu bidang kajian Ilmu Komunikasi yang lebih menekankan pada perbandingan pola-pola komunikasi antar pribadi di antara peserta komunikasi yang berbeda budaya. Pada awalnya, studi lintas budaya berasal dari perspektif antropologi sosial dan budaya sehingga kajiannya lebih bersifat depth description, yakni penggambaran yang mendalam tentang perilaku komunikasi berdasarkan budaya tertentu. Maletzke, mendefenisikan komunikasi lintas budaya sebagai proses perubahan mencari dan menemukan makna antarmanusia yang berbeda budaya.

Komunikasi lintas budaya adalah terjadinya pengiriman pesan dari seseorang yang berasal dari satu budaya yang berbeda dengan pihak penerima pesan. Bila disederhanakan, komunikasi lintas budaya ini memberi penekanan pada aspek perbedayaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan bagi keberlangsungan proses komunikasi. Kendatipun studi komunikasi lintas budaya ini membicarakan tentang perasamaan-persamaan maupun perbedaan karakteristik kebudayaan antara pelaku-pelaku komunikasi, namun titik perhatian utamanya adalah proses komunikasi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan, yang mencoba untuk saling berinteraksi. Maka konsep terpenting dalam studi ini adalah menyangkut adanya “kontak” dan “komunikasi” antar pelaku-pelaku komunikasi.

Menurut Doris E. Cross (2016), komunikasi lintas budaya tidak hanya terbatas pada mempelajari bahasa asing. Namun juga termasuk memahami bagaimana pola-pola budaya dan nilai-nilai inti. Kemudian pemahaman tersebut berdampak pada proses komunikasi, bahkan ketika semua orang berbahasa Inggris (Globalization and Media’s Impact on Cross Cultural Communication: Managing Organizational Change dalam IGI Global Disseminator of Knowledge ).


Jumat, 20 November 2020

Strategi Perubahan dan Komunikasi Politik dalam mewujudkan Praktek Politik yang etis dan implikasinya pada Masyarakat Demokrasi di Indonesia, lengkapi dengan unsur-unsur di dalamnya; diskripsi / analisis konsep politik etis / etika politik, konsep komunikasi politik yang etis, konsep masyarakat demokratis, politik etis (beretika) sebagai strategi komunikasi dalam dimensi demokrasi, esensi pembangunan demokrasi dalam prilaku komunikasi politik, serta bagaimana implementasi pancasila sebagai landasan politik etis dan pembangunan demokrasi di Indonesia masa kini - akan datang.

Keharusan moral dalam politik maupun komunikasi politik didasarkan kenyataan bahwa manusia mengatur tingkah lakunya menurut kaidah-kaidah atau norma-norma, dimana mereka harus menaklukan diri tunduk pada norma-norma itu. Sekarang ini masalah etika dan moral menjadi penting dan sangat relevan. Hal ini disebabkan, pertama, manusia saat ini hidup dalam suatu masyarakat yang pluralis, baik pluralis keyakinan atau pluralis moral, sehingga dalam masyarakat yang berbeda sering terlihat nilai dan norma yang berbeda. Kedua, manusia saat ini dihadapkan pada transformasi masyarakat dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan perubahan-perubahan sosial yang menimbulkan berbagai macam aliran atau gaya hidup seperti materialisme, individualisme, dan hedonisme.

Politisi kadang diplesetkan dengan istilah ‘politikus’ (baca: dianalogikan tabiatnya seperti tikus) oleh banyak kalangan karena beberapa tahun belakangan ini. Media sering menampilkan tokoh-tokoh politik (komunikator politik) tersandung oleh kasus hukum, mulai dari penyalahgunaan wewenang, korupsi, gratifikasi, asusila dan sebagainya. Perbuatan penyimpangan yang tidak selayaknya dilakukan oleh pemimpin bangsa tersebut kadang dianalogikan seperti tikus yang suka memakan dan tinggal di tempat yang kotor. Padahal para politisi mempunyai sumpah jabatan yang diikrarkan dengan didampingi saksi dari pemuka agama, para politisi atau para pimpinan dan juga dibawah kitab suci yang mereka yakini masing-masing.

Dalam membahas etika dalam komunikasi politik maka kajiannya pun akan melihat dari lima komponen dari proses komunikasi yang terjadi, mulai dari komunikator, pesan, saluran, komunikan dan efek serta umpan baliknya (feedback). Kaitan etika antar komponen ternyata ada noise yang sengaja dilakukan. Tidak ada permasalahan etika yang tidak disengaja terjadi. Mulai dari pejabat korupsi, gratifitasi, skandal, perceraian, permufakatan jahat, kasus rumah tangga dan masalah kasus-kasus asusila yang pernah terangkat di media massa dan media sosial. Begitu pun konflik kepentingan yang terjadi di elit politik, sehingga memperkuat sebuah argument bahwa, tidak ada teman dan musuh yang abadi selain kepentingan yang abadi. Akhirnya akan berdampak terhadap makna dari nilai-nilai kesetiaan, loyalitas, dan keteguhan pendirian (istiqamah) dalam dunia politik. 

Proses komunikasi politik juga akan memberikan sebuah gambaran apa yang diperjuangkan para elite, apakah mereka memperjuangkan kepentingan rakyat atau hanya kepada kepentingan golongan dan nafsu politiknya saja (individual). Maka komunikasi politik harus dilakukan dengan baik dan benar maksunya sesuatu yang natural, tulus apa adanya agar dapat dipahami dan dimengerti oleh semua kalangan. Memang tidak dipungkiri mengkomunikasikan masalah politik pasti juga berkaitan dengan suatu setting situasi atau dikenal dengan istilah pencitraan sehingga akan sulit membedakan kemurnian dan kepasluan (psedo/ semu) niat politiknya. 

Substansi komunikasi politik adalah masalah bagaimana cara mengkomunikasikan masalah politik oleh para aktoraktor (komunikator politik) yang menjadi penentu arah kebijakan dari kewenagan 20 para pemegang kekuasaan, tentunya adalah demi mewujudkan tujuan politik yaitu kesejahteraan rakyat. Memperbaiki komunikasi politik menjadi lebih baik harus berawal dari memahami etika dalam berkomunikasi politik.

A. KOSEP ETIKA POLITIK (POLITIK YANG ETIS)

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam sistem negara demokrasi, implementasi etika politik dalam aktivitas politik adalah suatu keniscayaan. Kita tidak bisa memandang suatu proses politik menjadi demokratis apabila tanpa dilandasi oleh etika politik para elit atau warga Negara biasa. Artinya, pentingnya nilai-nilai etika politik dalam proses berdemokrasi telah menjadi kebutuhan bagi setiap orang.

Etika politik dalam komunikasi politik pada hakikatnya membahas persoalan hukum dan kekuasaan yang beretika. Hukum adalah aturan normatif masyarakat, hukum yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum terdiri dari norma-norma bagi kelakuan yang betul dan salah dalam masyarakat, akan tetapi hukum hanya bersifat normatif dan tidak afektif. Artinya, hukum sendiri tidak dapat menjamin agar orang memang taat kepada norma-normanya. Secara efektif dapat menentukan kelakuan masyarakat hanyalah lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk mamaksakan kehendaknya, lembaga itu adalah negara.

Lalu apa yang dimaksud etika dan etika politik itu ?. Secara substansial pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika, yakni manusia. Oleh karena itu etika politik berkaitan erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian “moral” senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk beradab dan berbudaya.

Secara gambling dapat dijawab, Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas. Secara historis etika sebagai usaha filsafat yang lahir dari keambrukan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Asal kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “ethos” yang berarti watak atau adat. Kata ini identik dengan asal kata moral dari bahasa Latin “mos” (jamaknya adalah mores) yang juga berarti adat atau cara hidup. Jadi kedua kata tersebut menunjukkan cara berbuat yang menjadi adat karena persetujuan atau praktik sekelompok manusia. Namun pada pandangan yang lain dikatakan, etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Ethes” yang berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau dapat diartikan kumpulan peraturan tentang kesusilaan. Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia ingin menjadi baik. Hal itu juga berlaku bagi kaum agama juga memerlukan etika.

Fokus etika adalah menggambarkan dan mengevaluasi alasan yang diberikan oleh orang atau kelompok untuk penilaian yang mereka buat mengenai benar dan salah atau baik dan buruk, khususnya ketika istilah-istilah itu berhubungan dengan tindakkan, sikap, dan kepercayaan manusia. Bagi ‘Abduh, intuisi moral mampu menetapkan prinsip pertama moralitas dan implikasi moralitas bagi kehidupan politik dan sosial. Terkait denganpengertian etika itu, dalam pandangan Aristoteles dalam “Etik” mengemukakan pernyataan bahwa hidup benar-benar bahagia adalah hidup yang dijalani penuh kebaikan, bebas dari kekurangan dan bahwa kebaikan terdiri atas hal hidup yang bersifat tengah, maka cara hidup terbaik merupakan hidup yang terdiri atas hal tengah itu yang tercapai oleh tiap individual. Kriteria yang sama menentukan apakah para warga seluruhnya menjalani cara hidup yang baik atau buruk hendaknya juga berlaku pada konstitusi. Sebab konstitusi merupakan cara hidup seluruh warga negara.

Konsep etika oleh Hobbs dalam Widodo diartikan “ethics is concerned with standard of conduct among people in social groups”. Etika berkaitan dengan standar perilaku di antara orang-orang dalam kelompok sosial. “ethics is asystematic code of moral principles”. Etika merupakan prinsip-prinsip nilai moral yang sistematis. Hal ini dapat disimpulkan bahwa etika merupakan seperangkat prinsip moral yang dapat dijadikan sebagai standar, pedoman, referensi, atau acuan bagi orang-orang untuk berperilaku dalam kelompok sosial tertentu. Wignjosoebroto dalam widodo, mengartikan etika sebagai kekuatan normatif yang bergerak “dari dalam” untuk mengendalikan perilaku seseorang atau sekelompok orang. Etika merupakan refleksi “self control” dan bukan “social control”.

Sedangkan yang dimaksud etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia, atau cabang filsafat yang membahasa prinsip-prinsip moralitas politik. Etika politik sebagai ilmu dan cabang filsafat lahir di Yunani pada saat struktur-struktur politik tradisional mulai ambruk. Dengan kata lain, etika politik merupakan prinsip moral tentang baik-buruk dalam tindakan atau perilaku dalam berpolitik. Etika politik juga dapat diartikan sebagai tata susila (kesusilaan), tata sopan santun (kesopanan) dalam pergaulan politik. Dalam praktiknya, etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Untuk itu, etika politik berusaha membantu masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata.Suseno.

Etika Politik adalah sarana yang diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi dan golongan. Etika politik mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata karma dalam perilaku politik yang toteran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Etika politik harus menjadi pedoman utama dengan politik santun, cerdas, dan menempatkan bangsa dan negara di atas kepentingan partai dan golongan.

B. KONSEP MASYARAKAT DEMOKRATIS.

Demokrasi adalah salah satu dari beberapa system politik yang dianut oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Demokrasi adalah suatu system politik yang hidup, dengan esensi memberikan ruang gerak yang luar kepada setiap warga negara untuk terlibat dalam proses politik tanpa tekanan-tekanan dari pihak kekusaan. Dalam pandangan lain tentang pengertian demokrasi ini dikatakan, bahwa “demokrasi adalah suatu kategori dinamis, bukan statis. Seperti kategori statis yang stasioner (diam di suatu tempat), suatu kategori dinamis selalu berada dalam keadaan terus bergerak, baik secara negatif (mundur) atau positif (maju). Suatu sistem disebut demokratis jika ia membuka kemungkinan eksperimentasi terus-menerus dalam kerangka dinamika pengawasan dan pengimbangan (check and balance) masyarakat. Demokrasi adalah ideology terbuka, yaitu sebuah ideologi yang membuka lebar pintu adanya perubahan dan perkembangan, melalui eksperimentasi bersama”. Proses demokrasi yang diidamkan Nurcholish Madjid adalah jika ia membuka dinamika pengawasan dan penyeimbangan (check and balance) masyarakat. Menurut Nurcholish Madjid, jika demokrasi yang dirumuskan “sekali untuk selamanya”, sehingga tidak memberi ruang bagi adanya perkembangan dan perubahan, sesungguhnya bukan demokrasi, melainkan kediktatoran. Dalam alur demokrasi yang disuguhkan oleh Nurcholish Madjid terasa perlunya partisipasi politik.Demokrasi itu harus melalui proses belajar dan pengalaman. Termasuk kita harus belajar mengkritik dan menerima kritik.

Demokrasi menganut pandangan dasar bahwa jenis hubungan antar sesama warga ialah persahabatan, sebab persahabatan antara orang-orang dari kedudukan dan kemampuan yang beraneka ragam akan memperluas cakrawala pengertian kita dan memperkuat “kemauan” (will) ikatan social kita. Demokrasi hidup dalam kesepakatan dan ia akan tetap kuat bertahan selama tersedia banyak jalan untuk mencapai kesepakatan.Menurut Nurcholish Madjid, perkembangan demokrasi yang paling baik adalah demokrasi yang disertai sosialisme, yaitu sosialisme demokratis, yang mendorong terwujudnya masyarakat yang berkeadilan sosial.

Bagi Nurcholish Madjid, demokrasi memang suatu sistem politis yang mesti dikembangkan. Stabilitas politik hanya dapat dicapai dengan penyelenggaran kekuasaan yang demokratis. “Ciri kekuasaan demokratis yang stabil adalah ia memiliki kemungkinan tinggi untuk tetap demokratis dan mempunyai tingkat yang rendah untuk mengalami gangguan kekerasan sosial, baik yang terbuka maupun yang tersembunyi.” Kelanggengan sistem, ketertiban, legitimasi dan keefektifan adalah tanda stabilitas yang demokratis.

Demokrasi menuntut adanya pandangan pribadi, lebih pada setiap pribadi para pemimpin, suatu pandangan yang selaras dengan keharusan merendah hati sehingga mampu melihat diri sendiri berkemungkinan salah, dan orang lain yang berbeda dengan dirinya berkemungkinan benar. Demokrasi tidak mungkin disertai dengan absolutisme dan sikap-sikap mau benar sendiri lainnya. Demokrasi mengharuskan adanya sikap saling percaya (mutual trust) dan saling menghargai antara sesama warga masyarakat. Di bawah pertimbangan tujuan yang lebih besar, yaitu kemaslahatan umum, demokrasi tidak membenarkan adanya sikap all or nothing (semua atau tidak) take it or leave it (ambil, atau tinggalkan) yaitu sikap-sikap serba kemutlak-mutlakan. Sebaliknya, seperti dalam kaedah Fiqih Islam (ushul-fiqh), yang berlaku ialah “yang tidak semua didapat tidak semua harus ditinggalkan. Demokrasi memerlukan adanya kesediaan setiap pesertanya untuk menerima kenyataan bahwa keinginan seseorang tidak mungkin seluruhnya diterima oleh semua orang dan dilaksanakan, melainkan sebagian saja. 

C. POLITIK ETIS (BERETIKA) SEBAGAI STRATEGI KOMUNIKASI DALAM DIMENSI DEMOKRASI. 

Dalam proses komunikasi apapun, termasuk dalam proses komunikasi politik, dimensi etika menjadi salah satu syarat penting yang harus diperhatikan baik oleh komunikator maupun komunikan. Prilaku kounikasi yang beretika yang dibangun oleh komunikator dan komunikan dalam proses pertukaran pesan menentukan proses komunikasi itu akan efektif atau tidak. Karena itu, baik oleh komunikator maupun komunikan penting memiliki pemahaman atau pengalaman yang cukup tentang etika dan seluk beluknya dalam kaitan bagaimana etika itu digunakan di dalam partik hidup melalui komunikasi bersama dengan orang lain.

Etika politik digunakan membatasi, meregulasi, melarang dan memerintahkan tindakan mana yang diperlukan dan mana yang dijauhi. Etika politik yang bersifat umum dan dibangun melalui karakteristik masyarakat bersangkutan amat diperlukan untuk menampung tindakantindakan yang tidak diatur dalam aturan secara legal formal. Jadi etika politik lebih bersifat konvensi dan berupa aturan-aturan moral.

Tolok ukur yang diperlukan untuk menilai tindakan manusia secara moral dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara ada 3 (tiga) prinsip dasar moral, yaitu prinsip sikap baik, prinsip keadilan dan prinsip hormat terhadap diri sendiri. Prinsip sikap baik sebagai prinsip dasar moral pertama menyangkut sikap dasar manusia yang harus meresapi segala sikap kongkret, tindakan dan kelakuannya. Prinsip sikap baik menuntut suatu pengetahuan tentang realitas supaya dapat diketahui apa yang masing-masing baik bagi yang bersangkutan. Prinsip sikap baik mendasari semua norma moral karena hanya atas dasar prinsip itu masuk akal bagi manusia untuk bersikap adil. Prinsip moral kedua adalah prinsip keadilan. Prinsip keadilan memberikan atau mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan. Prinsip keadilan menuntut agar manusia jangan mau mencapai tujuan-tujuan, termasuk yang baik, dengan melanggar hak seseorang. Prinsip moral dasar yang ketiga adalah prinsip hormat terhadap diri sendiri. Manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan faham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian, dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, makhluk berakal budi. Karena itu manusia tidak boleh dianggap sebagai sarana semata-mata demi sustu tujuan tertentu. Ia adalah tujuan yang bernilai pada dirinya sendiri. Manusia wajib menghormati harkat dan martabatnya sendiri.

Hubungan di antara ketiga prinsip dasar moral itu sebagai berikut: prinsip keadilan dan hormat pada diri sendiri merupakan syarat pelaksanaan sikap baik, sedangkan prinsip sikap baik menjadi dasar mengapa seseorang bersedia untuk bersikap adil. Dalam kehidupan nyata manusia hendaknya mendasarkan diri pada ketiga prinsip dasar moral ini. Adanya masyarakat, bangsa dan negara tidak lain adalah untuk mewujudkan ketiga prinsip itu untuk menjunjung tinggi harkat kemanusian manusia. Etika politik merupakan penjabaran lebih lanjut dari tiga prinsip dasar moral itu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat dijelaskan di sini bahwa yang dimaksud komunikasi politik yang etis (beretika) adalah suatu proses komunikasi dalam aktivitas politik dimana prilaku komunikasi itu dari komunikator maupun prilaku pesannya mengandung muatan moral dan etika sebagaimana nilai-nilai sosial budaya yang dianut oleh pelaku komunikasi itu. Sebaliknya, komunikasi politik yang tidak beretika adalah proses komunikasi politik yang serampangan dengan mana komunikator maupun komunikan mengabaikan nilai-nilai social budaya etik sebagai pegangan moral masyarakat yang dituju.  

Karena itu tidak dapat dihindari bahwa politik etis (beretika) adalah salah satu syarat penting dalam merancang strategi komunikasi dalam dimensi demokrasi. Tingka pemahaman pelaku komunikasi politik etis (beretika) atas peran etika politik akan sangat membantu pemodelan strategi komunikasi dimaksud. Beberapa peran etika politik yang utama dalam komunikasi politik yang efektif, sebagai berikut:

1. Untuk Menjaga Relasi Antara Politik dan Kekuasaan.
2. Untuk Memberdayakan Mekanisme Kontrol Masyarakat Terhadap Kebijakan yang Diambil Pemerintah.
3. Untuk menjamin Pemerintah Bertanggung jawab Atas semua Keputusan yang Dibuatnya.
4. Untuk menjamin pemerintah dapat secara bertanggung jawab menjelaskan legitimasi politik.
5. Untuk menjamin agar komunikasi politik berjalan secara objektif, bukan berdasarkan emosi dan prasangka semata.
6. Untuk menjamin pembahasan terkait masalah idiologis dapar berjalan secara objektif.
7. Untuk lebih menjamin dalam bersikap menghormati privasi orang lain.
8. Dapat menghindari terjadinya penyalahgunaaan kekuasaan.
9. Pesan-pesan lebih bernuansa menghormati perbedaan budaya.
10. Etika komunikasi adalah untuk berbagi informasi yang bermanfaat.
11. Komunikasi akan bebas dari prasangka buruk terhadap orang lain.
12. Etika komunikasi lebih bersikap manusiawi.

Untuk melengkapi peran-peran dimaksud di atas, dapat ditambahkan di sini tentang apa yang harus dipahami oleh pelaku komunikasi dalam politik yang beretika sebagai landasan strategi dalam pembangunan demokrasi utama di era sekarang ini. Menurut Suseno, ada empat alasan mengapa pada zaman sekarang etika sangat diperlukan. Pertama, kehidupan dalam masyarakat yang semakin pluralistik, termasuk juga dalam bidang moralitas. Setiap hari manusia saling bertemu, mereka dari suku, daerah dan agama yang berbeda-beda sehingga menimbulkan sekian banyak pandangan moral yang saling bertentangan, karena mereka menganggap bahwa faham mereka yang paling benar. Kedua, manusia hidup dalam masa transformasi masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan terjadi di bawah hantaman kekuatan mengenai semua segi kehidupan, yaitu gelombang modernisasi. Gelombang ini telah melanda sampai ke segala penjuru tanah air, sampai ke pelosok-pelosok terpencil. Rasionalisme, individualisme, kepercayaan akan kemajuan, konsumerisme, sekulerisme, pluralisme religius, serta pendidikan modern secara hakiki mengubah lingkungan budaya dan rohani di Indonesia. Ketiga, proses perubahan sosial budaya dan moral telah dipergunakan oleh berbagai pihak untuk memancing dalam air keruh. Mereka menawarkan ideologi-ideologi sebagai juru penyelamat. Di sini, dengan etika dapat sanggup untuk menghadapi ideologi-ideologi itu dengan kritis dan obyektif dan untuk membentuk penilaian sendiri, agar tidak mudah terpancing, tidak ekstrim, tidak cepat-cepat memeluk segala pandangan baru, tetapi juga tidak menolak nilainilai hanya karena baru dan belum biasa. Keempat, etika juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu pihak menemukan dasar kemantapan mereka, di lain pihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah.

Daam pandangan Nurcholish Madjid, dalam mempercepat proses menuju demokrasi diperlukan partai sebagai penampung aspirasi. Sedangkan dalam negara yang memiliki partai yang totaliter sudah tentu tidak ada demokrasi. Pertumbuhan demokrasi menghendaki agar partai-partai benar benar menjalankan tugasnya sebagai pengenal, perumus dan pejuang kepentingan-kepentingan dan tuntutan-tuntutan dasar rakyat. Nurcholish Madjid mencoba membuat landasan etik bagi suatu demokrasi dan konsep utama demokrasi. Pertama, mengenai landasan etik yang menyebutkan bahwa manusia memikul akuntabilitas atas sikap dan tindakannya di dunia, setelah ia hidup sesudah mati dan perlu sikap jiwa yang mampu menahan diri, mengingat bahwa upaya memperjuangkan demokrasi dan hak asasi itu sering menghadapi kenyataan-kenyataan yang bertentangan. Kedua, menyangkut konsep demokrasi, Nurcholish Madjid berpendapat bahwa intisari demokrasi adalah proses dinamis ke arah perbaikan.

D. ESENSI PEMBANGUNAN DEMOKRASI DALAM PRILAKU KOMUNIKASI POLITIK.

Salah satu hal penting dalam konten komunikasi politik yang beretika adalah menyangkut tentang esensi pembangunan demokrasi dan kehidupan yang demokratis. Menurut Yahya A. Muhaimin, kehidupan demokratis paling tidak memerlukan sikap dan tindakan saling menghormati dan memerlukan penerapan etika politik, termasuk disini ialah nilai-nilai budaya yang tertanam pada warga masyarakat. Aturan dan norma-norma ini berada pada posisi sentral untuk bisa menyelesaikan pertentangan dan konflik kepentingan antar warga negara. Dalam masalah norma-norma moral yang ada dalam masyarakat sangat pluralis, dan mereka yang melakukan serta menganut moralitas tertentu telah mengklaim bahwa yang dilakukan adalah perbuatan yang sudah bermoral, begitu juga dengan orang lain yang hidup dalam suatu masyarakat bahwa perbuatan mereka masing-masing sudah bermoral. Dalam menghadapi realitas semacam itu Suseno berpandapat harus ada jalan keluar ataupun alat yaitu etika. Etika di sini digunakan alat untuk mengetahui mengapa seseorang mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana seseorang dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai moralitas.

Manusia hidup di dunia menjadi makhluk sosial, yang sudah menjadi hukum alam, mereka setiap hari akan berinteraksi dengan orangorang dari suku, daerah dan agama yang berbeda-beda. Manusia juga akan berhadapan dengan sekian banyak pandangan moral yang saling bertentangan dan semua mengajukan klaim kebenaran mereka masingmasing. Mana yang harus diikuti, yang diperoleh dari orang tua, moralitas tradisional desa, atau moralitas yang ditawarkan melalui media massa. Hal ini merupakan sebuah pertanyaan yang akan dijawab ketika manusia tersebut sudah mempelajari etika.

Prilaku komunikasi politik yang berdimensi kehidupan demokratis di Indonesia dapat kita bercermin pada apa yang telah dikatakan oleh Nurcholish Madjid. Salah satu pemikirannya adalah menyoroti persoalan demokratisasi di Indonesia, yang terurai dalam beberapa materi pemikiran, sebagai berikut:

1. Prinsip Oposisi

Menurut Nurcholish Madjid, dalam suatu masyarakat, oposisi itu adalah suatu kenyataan. Jika kelompok itu tidak diakui, maka yang terjadi adalah mekanisme saling curiga dan melihat oposisi sebagai ancaman. Oposisi itu juga bersifat kekeluargaan, artinya conjugal values itu dipertahankan. Jadi tidak ada kesengitan. Tetapi tidak berarti dalam keluarga itu tidak saling mengingatkan, ingat mengingatkan adalah bentuk sederhana dari check and balance. Sehingga oposisi tidak bertentangan dengan azas musyawarah-mufakat. Oposisi menurut Nurcholish Madjid tidak perlu dipahami sebagai sikap menentang (to oppose memang berarti menentang), sebab dalam oposisi ada pula segi to Supportnya, sehingga dalam konteks politik oposisi lebihmerupakan kekuatan penyeimbang, suatu Check and balance yang bisa membuat perasaan-perasaan tersumbat tersalurkan. Oposisi adalah suatu tugas, dalam arti loyal pada pemerintah. Bila pemerintah tidak benar, mereka ingatkan. Oposisi loyal versi Nurcholish Madjid adalah suatu upaya bertahap ke arah peningkatan mutu kehidupan politik, tanpa harus dalam posisi “anti atau diluar pemerintah”, dengan pendekatan cross cultural management dan cross breeding. Dengan oposisi loyal, dimaksudkan tidak “memusuhi” pemerintah.

2. Prinsip Musyawarah

Musyawarah-mufakat sebenarnya berangkat dari istilah dalam kultur Minang, sesuai dengan pepatah: Bulat air di pembuluh, bulat kata di mufakat. Musyawarah-mufakat dalam masyarakat Minang, tidak berarti konsensus. Mufakat berasal dari muwâfaqah yang berarti persetujuan. Artinya, laksanakanlah yang disetujui. Prosesnya bisa terjadi melalui voting. Dalam mufakat bisa tetap berbeda pendapat, namun tetap dilaksanakan persetujuan biarpun melalui voting. Semangat saling menghormati yang tulus dan saling menghargai yang sejati adalah pangkal bagi adanya pergaulan kemanusiaan dalam system sosial dan politik yang demokratis. Sejalan dengan hal itu, masyarakat kaum beriman sendiri dilukiskan dalam Kitab Suci sebagai masyarakat yang dalam segala perkaranya, membuat keputusan melalui musyawarah. Masyarakat pimpinan Nabi, demikian pula masyarakat pimpinan empat khalifah yang bijaksana, adalah masyarakat yang ditegakkan diatas dasar prinsip musyawarah. Pada dasarnya prinsip musyawarah tidak akan berjalan efektif tanpa adanya kebebasan menyatakan pendapat, yang dalam tatanan modern kehidupan bermasyarakat dan bernegara dilembagakan antara lain dalam kebebasan akademik dan kebebasan pers, tapi prinsip musyawarah itu juga akan dirusak oleh sikap-sikap absolutistik dan keinginan mendominasi wacana karena tidak adanya perasaan cukup rendah hati untuk melihat kemungkinan orang lain berada dipihak yang lebih baik atau lebih benar. Musyawarah yang benar adalah musyawarah yang terjadi atas dasar kebebasan dan tanggungjawab kemanusiaan, dasar tatanan masyarakat dan negara demokratis.

3. Prinsip Pluralisme

Masalah pluralisme, kita dapatkan kenyataan bahwa masyarakat kita masih menunjukkan pemahaman yang dangkal dan kurang sejati. Istilah “pluralisme” sudah menjadi barang harian dalam wacana umum nasional kita. Namun dalam masyarakat ada tanda-tanda bahwa orang memahami pluralisme hanya sepintas lalu, tanpa makna yang lebih mendalam, dan yang lebih penting, tidak berakar dalam ajaran kebenaran. Pada dasarnya paham kemajemukan masyarakat atau pluralisme tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat majemuk, tapi yang lebih mendasar harus disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai bernilai positif, dan merupakan rahmat Tuhan kepada manusia, karena akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi dinamis dan pertukaran silang budaya yang beraneka ragam. Pluralisme juga merupakan suatu perangka untuk mendorong pemerkayaan budaya bangsa.

Jadi pluralisme tidak dapat hanya dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme

adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Paham kemajemukan masyarakat adalah bagian amat penting dari tatanan masyarakat maju. Dalam paham itulah dipertaruhkan, antara lain, sehatnya demokrasi dan keadilan. Pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok lain untuk ada, tetapi juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati. 

4. Prinsip Kedaulatan Rakyat

Kedaulatan rakyat adalah nilai yang selalu datang dari bawah, tidak pernah dari atas. Artinya, jika kita hendak menegakkan kedaulatan rakyat, maka tidak mungkin dengan mengharapkan belas-kasihan pihak atas, tetapi harus memperjuangkannya dari bawah. Semua teori sosial-politik mengatakan begitu. Pepatah Arab mengatakan, “alhaqqu yuthlabu lâ yu‘thâ” (hak itu dituntut, tidak dihadiahkan). Jadi, hak rakyat untuk menyatakan kedaulatannya dan diakui kedaulatannya itu hanya terwujud jika dituntut, dalam arti terus-menerus diperjuangkan dari bawah. Hak itu tidak akan “jatuh” sebagai pemberian dari atas, sebab boleh jadi akan berlawanan dengan kepentingan pihak atas. Ini berarti bahwa menegakkan kedaulatan rakyat menyangkut peningkatan kesadaran politik rakyat, yaitu kesadaran akan hak-haknya, sekaligus kesadaran akan kewajiban-kewajibannya. Sebab “hak” dan “kewajiban” sesungguhnya adalah dua muka dari dua keping mata uang (two sides of a coin). Hak kita dari orang lain akan menjadi kewajiban orang lain itu kepada kita, dan kewajiban kita kepada orang lain akan merupakan hak orang itu dari kita. Demikian pula antara rakyat dan pemerintah. Hanya saja, jika satu pihak tidak menyadari hakhaknya seperti kebanyakan rakyat yang memang berpikir sederhana maka ia akan hanya terbebani kewajiban tanpa imbalan yang adil, dan ini adalah kezaliman. Maka, jika menghendaki masyarakat yang berkeadilan, salah satu urgensi perjuangannya adalah meningkatkan kesadaran politik rakyat berkenaan dengan hak-hak mereka yang sah, baik menurut kemanusiaan universal maupun secara ketentuan kenegaraan.

Kedaulatan rakyat adalah inti dari partisipasi umum rakyat dalam kehidupan bernegara. Adanya kesempatan melakukan partisipasi umum secara efektif adalah wujud sebenarnya dari kebebasan dan kemerdekaan. Oleh karena itu, seluruh cita-cita kemasyarakatan dan kenegaraan sebagaimana dinyatakan dalam nilai-nilai kesepakatan luhur dalam mukaddimah UUD 1945, akan sirna tak bermakna tanpa adanya partisipasi umum rakyat. Bahkan kedaulatan negara dalam hubungannya dengan negara-negara lainpun adalah kelanjutan kedaulatan rakyat itu. Hal ini terbukti dengan nyata sekali dalam saat-saat kritis Negara menghadapi ancaman.

5. Prinsip Keadilan

Berkenaan dengan pandangan dasar Pancasila, prinsip keadilan disebutkan dalam rangka “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan “keadilan sosial”. Fakta ini menunjukkan tingginya cita-cita keadilan dalam konsep kenegaraan Pancasila sebagai dasar Negara dimulai dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa dan diakhiri dengan tujuan pokok kehidupan kenegaraan, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Asas-asas perikemanusiaan, persatuan, dan kerakyatan berada dalam spektrum yang bermula dengan Ketuhanan dan berujung dengan keadilan sosial, sejalan dengan prinsip negara-bangsa yang bertujuan menciptakan maslahat umum. Penciptaan keadilan sosial adalah sejajar dengan pengertian “negara sejahtera” (welfare state), yang menuntut tersedianya standar hidup minimal untuk setiap warga. Keadilan sosial merupakan tujuan sebenarnya dalam bernegara, sebab dengan adanya keadilan sosial akan tumbuh rasa ikut punya dan rasa ikut serta oleh semua. Komitmen kepada usaha untuk mewujudkan keadilan sosial, adalah dengan ketegasan memperhatikan kepentingan hidup rakyat secara nyata. Pelajaran paling pahit dari pengalaman bangsa Indonesia dalam bernegara adalah pada masa-masa terakhir ini muncul karena diabaikannya nilai keadilan sosial, dibiarkannya praktek-praktek kezaliman sosial berjalan dengan bebas dan merajalela.

Pada Pancasila, sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sila ini dipandang sebagai tujuan kehidupan kita bernegara dan bermasyarakat yang beriman dan bertakwa (sila pertama), mengikuti prinsip-prinsip kemanusiaan (sila kedua), bersatu secara nasional (sila ketiga), dan mengakui kedaulatan atau kekuasaan rakyat dengan menerapkan mekanisme musyawarah/ mufakat (sila keempat). Keadilan di sini bukan berarti bahwa tiap orang harus memperoleh dan memiliki kekayaan yang sama. Namun, keadilan yang dimaksud adalah adanya pemerataan hasil-hasil pembangunan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan rakyat Indonesia. Keadilan akan terwujud jika keempat sila yang lainnya bisa dilaksanakan secara utuh dan berkesinambungan. Keadilan sosial merupakan bagian dari amal saleh, bahwa amal saleh yang akan membawa menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, berarti

amal atau tindakkan manusia yang serasi dengan keseluruhan lingkungannya, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam keserasian duniawi itu, terliputi pula keserasian dunia lingkungan alam dan lingkungan sosial sesama manusia. Dalam rangka keserasian sosial itulah, keadilan sosial berada.

6. Prinsip Geo-Politik

Menurut Nurcholish Madjid konsep geo-politik dalam Islam tidak sematamata dalam arti lokasi, sebab juga terkait dengan suatu kualitas, yaitu damai dan perang. Jadi berbeda dengan konsep geo-politik Barat sekarang ini yang lebih berkonotasi lokasi: seperti the west and the rest. Oleh karena itu penting memahami apa dan bagaimana ajaran Islam tentang damai dan perang. Bangsa-bangsa yang merasa sedang diatas (superior) mempunyai kecenderungan membagi dunia menjadi dua. Sekarang orang Barat berada dalam mind set seperti itu, bahwa dunia ini hanya dua, yaitu The West and The Rest (Barat dan yang lainnya, yaitu bukan Barat). Mentalitas seperti ini terjadi pada bangsa-bangsa yang mengalami superioritas, baik superioritas itu real maupun fiktif. Seandainya Indonesia bisa menjadi sebuah Negara superior, mungkin akan tercipta juga suatu geo-politik.

E. IMPLEMENTASI PANCASILA SEBAGAI LANDASAN POLITIK ETIS DAN PEMBANGUNAN DEMOKRASI DI INDONESIA.

Tak bisa dipungkiri, realitas perpolitikan Indonesia masih jauh dari harapan. Panggung politik kita dikotori oleh pertarungan dan perebutan kekuasaan di tingkat elit. Gejala ini bisa dilihat pada perilaku partai-partai politik saat berebut konstituen. Fungsi partai politik yang semestinya dapat mendidik dan mencerdaskan rakyat agar mereka sadar akan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara, namun ternyata justru larut dalam permainan politik yang membingungkan rakyat. Segala cara ditempuh untuk meraih kekuasaan meski mengorbankan rakyat dan dengan ongkos sosial yang tidak sedikit. Agama, etnisitas, dan ideologi menjadi komoditi yang laku untuk melanggengkan perseteruan dan upaya merebut kekuasaan. Segala cara ditempuh untuk meraih kekuasaan meski mengorbankan rakyat dan dengan ongkos sosial yang tidak sedikit. Agama, etnisitas, dan ideologi menjadi komoditi yang laku untuk melanggengkan perseteruan dan upaya merebut kekuasaan. Di sisi lain, sebagian besar masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan. Pemerintah seakan tidak peduli ketika dihadapkan dengan banyaknya pengangguran, rendahnya derajat kesehatan dan kualitas sumber daya manusia. Aspirasi masyarakat seperti upaya penegakan supremasi hukum, perbaikan ekonomi, penegakan hak asasi manusia masih jauh dari kenyataan. Krisis dan konflik berkepanjangan ini tidak bisa diselesaikan oleh satu lapisan masyarakat saja, tetapi oleh segenap komponen bangsa, baik elit politik maupun masyarakat umum.

Dalam kondisi seperti itu, etika politik dalam komunikasi sangat diperlukan oleh semua kalangan, termasuk dari kalangan pemerintah. Mengapa demikian ?. Karena persoalan etika politik menggambarkan makna sentral semangat kepatuhan kepada hukum atau aturan sebagai tiang pancang masyarakat berperadaban. Menurut bahasa politik modern, ini adalah orientasi hukum dan keadilan yang mendasari perkembangan suatu peradaban. Orientasi ini sangat penting dalam menumbuhkan negara hukum dan mencegah munculnya negara kekuasaan.

Masalah moralitas, kepemimpinan dan kesantunan dalam berpolitik menjadi persoalan panjang yang tidak terselesaikan dalam kehidupan politik bangsa. Perilaku para elit politik yang sering kali meninggalkan nilai-nilai moral luhur dalam melakukan aktivitas politiknya, telah mencederai persoalan moral dalam kehidupan politik bangsa ini. Berbagai solusi telah ditawarkan, sebagai upaya penyelesaian persoalan kemerosotan moral di bidang politik yang menimpa bangsa. Salah satunya adalah agar bangsa Indonesia kembali pada ajaran agama, sebagai upaya mengatasi persoalan kemerosotan moral, terutama yang terjadi pada elite politik. Tidak kalah pentingnya pada masyarakat bangsa secara keseluruhan.

Permasalahan prinsip moral dalam pandangan Nurcholis Madjid merupakan hal yang mutlak dan sangat penting. Sebab merupakan landasan ketahanan suatu bangsa menghadapi perubahan kehidupan yang semakin kompleks. Tanpa adanya prinsip moral atau akhlak yang baik, kehidupan suatu bangsa dipastikan akan dibinasakan oleh Tuhan. Sebuah syair dalam bahasa Arab menerangkan masalah ini: “Sesungguhnya bangsa-bangsa itu tegak selama (mereka berpegang) pada akhlaknya, bila akhlak mereka rusak, maka rusak binasa pulalah mereka”.

Etika politik, memang tidak dapat menawarkan suatu sistem normatif sebagai dasar negara, etika politik tidak berada ditingkat sistem legitimasi politik tertentu dan tidak dapat menyaingi suatu ideologi negara. Tetapi etika politik dapat membantu usaha masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara kedalam realitas politik yang nyata, misalnya dengan merefleksikan apa inti keadilan sosial, apa dasar etis kerakyatan, bagaimana kekuasaan harus ditangani dan sebagainya. Etika politik dalam masyarakat memiliki fungsi pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggungjawab, tidak berdasarkan emosi, prasangka, dan apriori, melainkan secara rasional, objektif dan argumentatif. Setiap masyarakat negara memiliki patokanpatokan orientasi dan pegangan normatif yang dipakai dalam etika politik masingmasing. Hal ini sangat dipengaruhi oleh ideologi dan konsep manusia (dasar antropologi) yang dianut.

Bagi negara Indonesia, etika politik adalah Pancasila, tidak berdasarkan liberalisme maupun kolektivisme, melainkan merupakan konvergensi diantarakedua paham tersebut. Etika politik Pancasila adalah etika politik yang berdasarkan atau berpedoman pada norma-norma yang bersumber dari ajaran Pancasila. Karena hakikat atau inti ajaran Pancasila adalah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, maka etika politik Pancasila adalah etika politik yang berdasarkan atas inti ajaran tersebut. Kata Pancasila menunjukkan kekhususan yang membedakan dengan etika politik lainnya, misalnya etika politik berdasarkan liberalisme, kolektivisme (sosialisme dan komunisme), fasisme, idealisme dan lain sebagainya.

Etika komunikasi politik sesuai perspektif ideology Pancasila juga tidak dapat dipisahkan dengan Pembukaan UUD 1945 karena Pembukaan UUD 1945 adalah pengejawantahan Pancasila, atau dengan kata lain Inti Pembukaan UUD 1945 adalah Pancasila. Pembukaan UUD 1945 mengandung sumber hukum religius, hukum moral, hukum kodrat dan hokum filsafati. Pancasila merupakan sumber hukum dasar nasional Indonesia. Berbagai kasus politik yang terjadi di Indonesia menempatkannya ke dalam lumpur krisis etika politik. Kasus-kasus yang terus bergulir di ruang perpolitikan di Indonesia meliputi kasus korupsi yang terjadi di berbagai instansi, pemberantasan narkoba yang mempengaruhi kedaulatan Indonesia dengan hubungan diplomatic dengan negara-negara lain, dan kasus kemiskinan yang belum tuntas.

Salah satu cendekiawan Islam yang produktif dalam merespon persoalan moral politik di Indonesia adalah Nurcholish Madjid yang menuangkan pemikirannya secara tertulis dalam bentuk artikel, makalah maupun essai yang dibukukan. Salah satu pemikirannya yaitu konsep etika politik dalam buku Fatsoen. Nurcholish Madjid menyatakan bahwa kaum elit politik menanggung beban yang berat dalam masyarakat yaitu tanggung jawab menjaga moralitas dan etika sosial, dengan cara menarik pelajaran dari lingkungan hidupnya. Menurut Nurcholish Madjid, dalam kehidupan politik kita tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keagamaan. Kehidupan politik yang pada dasarnya bersifat duniawi, tidak bisa lepas dari tuntunan moral yang tinggi. Berpolitik haruslah dengan standar akhlak mulia, yang sekarang dikenal dengan etika politik.

Berdasarkan nilai-nilai filosifis Pancasila, manusia diciptakan oleh Tuhan dengan bawaan nilai-nilai moral pada dirinya, yakni pikiran, sikap dan perilaku yang baik / beretika, sebagai khalifah yang membawa rakhmat bagi alam semesta dengan segala kebebasannya yang ia miliki. Karena itu, jalan hidup bermoral pada dasarnya bukanlah suatu keharusan yang dipaksakan dari luar diri manusia, tetapi ia merupakan bagian dari sifat manusia sendiri. Sehingga menempuh jalan hidup bermoral tidak lain daripada memenuhi naturnya sendiri, sebab manusia menurut kejadian asalnya adalah makhluk fitrah yang suci dan baik. Pembawaan kebaikan dan kesucian dalam diri manusia adalah kenyataan alamiah bagi mereka. Dari kebaikan dan kesucian dalam dirinya, manusia akan menemukan rasa aman dan tentram. Sebaliknya kejahatan adalah realitas buruk ada atau tidak fitrah alami manusia sehingga akan membawa kegelisahan dan konflik dalam diri mereka.

Keharusan moral komunikasi didasarkan kenyataan bahwa manusia mengatur tingkah lakunya menurut kaidah-kaidah atau norma-norma, dimana mereka harus menaklukan diri tunduk pada norma-norma itu. Sekarang ini masalah etika dan moral menjadi penting dan sangat relevan. Hal ini disebabkan, pertama, manusia saat ini hidup dalam suatu masyarakat yang pluralis, baik pluralis keyakinan atau pluralis moral, sehingga dalam masyarakat yang berbeda sering terlihat nilai dan norma yang berbeda. Kedua, manusia saat ini dihadapkan pada transformasi masyarakat dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan perubahan-perubahan sosial yang menimbulkan berbagai macam aliran atau gaya hidup seperti materialisme, individualisme, dan hedonisme.

Referensi:

Harahap, Syahrin, 1997, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-Qur’an Dalam Kehidupan Modern Di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Hari Zamharir, Muhammad, 2004, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Kasali, Rhenald , Change, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.

L. Esposito, John, 2002, Ensikopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 2, Bandung: Mizan.

Muhaimin, A. Yahya, 1986, Etika Pembangunan Politik, dalam Nourouzzaman Shiddiqi dkk, Etika Pembangunan Dalam Pemikiran Islam Indonesia, Cet. 1, Jakarta: CV. Rajawali.

Magnis Suseno, Franz, 1987. Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta, Kanisius.

-----------, 1991. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta, Gramedia Pustaka Umum.

-----------, 1992, Berfilsafat dari Konteks (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

-----------, 1988, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Cet. 2, Jakarta: PT Gramedia.

Magnis Suseno, Franz, Kees Bertens, et-el, 1993, Etika Sosial (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Madjid, Nurcholish, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi.

-----------, 2004, Indonesia Kita, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

-----------, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam Dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer.

Madjid, Nucholish, 1996, Islam Kerakyatan Dan Keindonesiaan, cet. 3, Bandung: Mizan.

Noer, Deliar, 1997, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Bandung: Mizan.

Said, Muhammad, 1960, Etika Masyarakat Indonesia, Jakarta, Pradnya Paramita.

Siswanto, Dwi, 2004, Konvergensi Antara Liberalisme dan Kolektivisme Sebagai Dasar Etika Politik Di Indonesia, Jurnal Filsafat, Jilid 38 No. 3.

Widjaja. H. A. W. 1997, Etika Pemerintah, Jakarta, Bumi Aksara.

Widodo, Joko, 2011, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Malang: Bayumedia Publishing.

 Zuliana, Eka, 2015, Konsep Etika Politik Menurut Pemikiran Nurcholish Madjid, Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Medan.

Sumber Lain:
Madjid, Nurcholish, dalam Elza Peldi Taher (ed.), 1993, Demokratisasi Politik, Budaya Wawancara Nurcholish Madjid dengan Tabloit DETIK, 25-31.

Madjid, Nurcholish, 1999. Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, Jakarta: Tabloid Tekad dan Paramadina.

http://repository.uinsu.ac.id/1741/1/TESIS%20Eka%20Zuliana.pdf

http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=2802, dihasilkan 16 April 2015 pukul 12.23 PM.

Desain strategis perubahan dalam konteks komunikasi Pemasaran politik dan boleh di bidang korporasi (Lengkap dengan bahasan konsep komunikasi pemasaran, peran komunikasi pemasaran, strategi marketing public relation dan bagian-bagian integral komunikasi pemasaran lainnya, dan terakhir adalah menyangkut strategi memperluas pasar).

Marketing atau pemasaran politik sebenarnya merupakan suatu disiplin ilmu yang mengombinasikan antara ilmu marketing dan ilmu politik. Diantara banyaknya perbedaannya, yang paling menonjol, marketing produk itu barang/produknya dapat 'dilihat' atau berbenda, misalnya Iklan Pepsodent, maka kita bisa lihat produk yang dipasarkan, beda dengan marketing politik yang memasarkan produk yang intengibel atau tidak berbentuk, misalnya sepasang paslon presiden yang menawarkan visi-misi, seta janjinya.

Lees-Marshment (2001b) menyebut proses menggabungkan kedua disiplin ini sebagai 'perkawinan', karena literatur pemasaran politik perlu mengacu pada kedua disiplin tersebut. Atau, dengan kata lain, mungkin politik dan pemasaran adalah orang tua, dan pemasaran politik adalah bayi yang dihasilkan dari perkawinan dan memiliki beberapa sifat orangtuanya tetapi merupakan entitas yang terpisah sendiri. Seringkali, pemasaran hanya dilihat sebagai seperangkat alat atau teknik nyata, terukur, seperti intelijen pasar, segmentasi pasar, surat langsung dan penargetan. Namun, meski alat-alat seperti itu penting, harus juga dipahami bahwa penelitian, kampanye, merupakan entitas yangsaling berinteraksi.

 Agar efektif, pemasaran politik bukan hanya tentang memetik satu atau dua bit dari pemasaran, lebih dari itu, hal ini adalah tentang keseluruhan kerangka kegiatan yang saling terkait yang dapat digunakan politisi untuk mencapai berbagai tujuan dengan cara yang mereka sukai. Konsep lain yang ditawarkan pemasaran meliputi, misalnya, manajemen pelanggan, perilaku konsumen, manajemen persaingan, pemasaran hubungan, pengembangan produk, siklus hidup produk, e-pemasaran, hubungan masyarakat, pemasaran internal, komunikasi pemasaran terpadu dan pemasaran hubungan. Tidak semua dari mereka telah dipelajari secara akademis.

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, Lees Marshment, mendefinisikan marketing politik sebagai hasil perkawinan antara marketing dan politik, secara empiris, keduanya mewakili serapan area politik oleh marketing. Terkait dengan marketing dan politik, terdapat beberapa definisi dari beberapa ahli mengenai orientasi pasar, Sehingga beberapa ahli menggunakan istilah-istilah yang berbeda dan dalam model yang berbeda pula, diantaranya adalah (Newman: Candidate and campaigne theories, Jennifer Lees Marshment, market oriented Framework, Ormrod : Extended Political Market orientation).

Namun Less mendefinisikannya sebagai berikut :

a market-orientation is about trying to ensure the product satisfies market demands in order to achieve your goals—so to win an election (Less-Marshment).

Lees-Marshment menekankan bahwa marketing politik berkonsentrasi pada hubungan antara produk politik sebuah organisasi dengan permintaan pasar. Pasar merupakan kunci sukses dari marketing politik, sehingga pasar menjadi titik kunci dalam teori ini.

Menurut Lees, marketing politik tidak saja menginformasikan bagaimana cara berkampanye, namun juga bagaimana politisi mendesain kebijakan-kebijakannya atau organisasi mereka supaya bisa diterima oleh pasar. Lees menambahkan, konsep-konsep serta teknik-teknik marketing tidak saja bisa digunakan sebagai panduan bagi partai untuk mengkomunikasikan “produk” mereka namun juga bisa memandu bagaimana partai menentukan apa yang akan mereka produksi dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku terhadap pasar politik mereka.

Marketing politik menurut Lees Marshment, terdapat dua set model. Model pertama berfokus pada prinsip-prinsip pemasaran yang diaplikasikan pada komunikasi, dan yang lainnya berfokus pada marketing kandidat atau partai secara keseluruhan, termasuk produk, tidak hanya bagaimana produk tersebut dibuat.

Lees Marshment mengatakan bahwa untuk memperoleh sebuah kekuasaan, para pemimpin politik harus berorientasi pasar. Prinsip dasar dari market oriented adalah melibatkan politisi atau pihak-pihak yang saling berhubungan di dalam proses marketing politik ini diantaranya adalah :

1.Menyentuh dengan masalah pemilih
2.Tertarik pada pandangan publik
3.Responsif pada public concern
4.Mampu mendemonstrasikannya dalam cara 
Mereka berprilaku. Bukan hanya terletak pada  bagaimana mereka menjual produk mereka.

Model marketing politik menambah konsep yang lebih spesifik lagi untuk dapat menjadikan politisi yang berorientasi pasar termasuk dengan mengadakan hal-hal berikut :

1.  Mengadakan market intelligence untuk mengerti public opinion

2.  Membangun kebijakan dan posisi yang respon terhadap public

Menurut Lees-Marshment, produk partai politik terdiri atas delapan komponen yang menyangkut perilaku politik di semua tingkatan politik :

  1. Kepemimpinan (leadership) yang mencakup kekuasaan, citra, karakter, dukungan, pendekatan,hubungan dengan anggota partai, dan hubungan dengan media.
  2. Anggota parlemen (members of parliament) yang terdiri atas sifat kandidat, hubungan dengan konstituen.
  3. Keanggotaan (membership) dengan komponen-komponen kekuasaan, rekrutmen, sifat (karakter ideologi, kegiatan, loyalitas, tingkah laku, dan hubungan dengan pemimpin.
  4. Staf (staff), termasuk di dalamnya peneliti, para profesional, dan penasihat.
  5. Simbol (symbol) yang mencakup nama, logo, lagu/ himne.
  6. Konstitusi (constitution) berupa aturan resmi dan konvensi.
  7. Kegiatan (activities), di antaranya konferensi, rapat partai.
  8. Kebijakan (policies) berupa manifesto dan aturan yang berlaku dalam partai.
Seandainya kedelapan produk itu yang dipasarkan kepada konstituen, dengan sendirinya akan berlangsung proses pendidikan politik. Konstituen menjadi mengerti apa yang menjadi gagasan, karsa, dan karya serta orang-orang sebuah parpol. Bilamana semua parpol melakukan hal yang sama tentu khalayak dapat membandingkan isi perut antarparpol; partai mana yang lebih menjanjikan perubahan dan partai mana yang hanya membual saja. Dampak pemasaran politik bersifat resiprokal artinya politik mempengaruhi pemasaran yang pada akhirnya fungsi pemasaran akan mempengaruhi opini untuk membangun dukungan politik (Candif & Hilger 1982)

Marketing literature menganalogikan produk politik dengan menambahkan komponen lebih lanjut pemilih dalam produk :

1. Service offering : bukan hanya kebijakan tetapi keahlian management yang tepat untuk mengimplementasikannya
2. Representasi : bagaimana partai dikomunikasikan atau diwakili termasuk control dan kpengendalian komunikasi
3.Akomodasi : partai butuh untuk mengerti dan merespon kebutuhan pemilih, mendorong peran serta partisipan di semua level dan menunjukkannya dengan politisi di semua level yang diakses dan terbuka
4. investment: partai/kandidat membutuhan pengembalian investasi pemilih, ini bervariasi tergantung pada seberapa banyak investasi atau saham pemilih
 5. Ini adalah mengenai price of good, tetapi dalam politik melibatkan keanggotaan atau donasi, waktu dan energy yang dihabiskan dalam membantu calon baik melalui kebijakan pemerintah baik yang terwujud maupun tidak terwujud
6.hasil : adalah tentang pengiriman janji pemilu, dalam politik sering dibicarakan tentang produk potensial maka hanya dalam pemerintah itu dapat disampaikan.

Pasar dalam konsep ini bukan hanya didalamnya terdapat pemilih yang selalu diusahakan para actor politik untuk memebuhi segala keinginannya, tetapi didalamnya juga terdapat juga stakeholders, media dan factor lingkungan) untuk mengevaluasi produk politik yang berbeda.

Contohnya dalam Pilpres 2019, Tim pemenangan pasangan Prabowo-Sandiaga misalnya saja menyapa para ibu-ibu dengan sapaan "emak-emak", hal ini merupakan salah satu upaya untuk menargetkan pemilih dari kalangan perempuan dan ibu-ibu.

Dalam hal ini, Lees Machement telah membagi marketing politik menjadi 3 konsep yakni:

Berorintasi pada produk (Product Oriented Party /POP)
Partai yang berorientasikan produk hanya akan memfokuskan pada dirinya sendiri. Partai politik berpikir bahwa pemilih akan melihat bahwa mereka memiliki ide, gagasan dan program kerja yang memang layak dipilih oleh masyarakat sebagai pemilih. Partai yang hanya berorientasi pada produk atau diri mereka sendiri cenderung menolak segala perubahan produk politiknya dan tidak melihat dari sudut pandang masyarakat sebagai pemilih. Resikonya adalah partai semacam ini akan kalah dalam pemilu.

Berorientasi Penjualan (Sales Oriented Party /SOP)
Partai berorientasi penjualan mulai memasukkan unsur pemasaran dengan mengadakan satu tahapan riset untuk merancang pesan politik. Akan tetapi, partai jenis ini tidak mengubah perilakunya berdasarkan dengan keingian pemilih, melainkan mencoba mempersuasi pemilih dengan pesan-pesan membujuk yang sudah dirancang sedemikian rupa seperti dalam iklan. Partai yang berorientasi penjualan tidak merespon keinginan pemilih dengan melakukan perubahan terhadap produk politik mereka. Riset yang dilakukan hanya bertujuan untuk mensegmentasikan pemilih dan melihat apakah ada konsumen yang tidak menyukai mereka.

Partai Berorientasi Pasar (Market Oriented Party /MOP)
MOP melakukan riset awal untuk mengetahui keinginan masyarakat sebagai pemilih diawal sebelum mereka men-desain produk. MOP menganggap bahwa kemenangan dalam pemilu bukanlah kemenangan mereka saja melainkan juga kemenangan konsumen yang memilih mereka maka hasil riset pasar dijadikan sebagai acuan dasar untuk mendesain produk politik dan juga menjalin hubungan baik dengan pemilih.
Konsep yang satu ini memang memilik perbedaan yang mencolok jika dibandingkan dengan dua konsep sebelumnya. Dimana partai menjalankan program partai mengikuti kehendak dari para pemilihnya. Sehingga yang muncul bukan partai merancang program kerjannya tapi melihat dari kebutuhan yang cukup urgent dipemilihnya.

Referensi :

  • Lees-Marshment, Jennifer. (2009). Political Marketing: Principles and Applications. New York: Routledge, Chapter II yang dikutip dari Modul
  • http://www.lees-marshment.org/
  • Firmanzah, 2008, Marketing Politik antara pemahaman dan Realitas, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
  • Less-Marshment dalam Inco Hary Perdana,2012

Not the Destiny Line