Keharusan moral dalam politik maupun komunikasi politik didasarkan kenyataan bahwa manusia mengatur tingkah lakunya menurut kaidah-kaidah atau norma-norma, dimana mereka harus menaklukan diri tunduk pada norma-norma itu. Sekarang ini masalah etika dan moral menjadi penting dan sangat relevan. Hal ini disebabkan, pertama, manusia saat ini hidup dalam suatu masyarakat yang pluralis, baik pluralis keyakinan atau pluralis moral, sehingga dalam masyarakat yang berbeda sering terlihat nilai dan norma yang berbeda. Kedua, manusia saat ini dihadapkan pada transformasi masyarakat dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan perubahan-perubahan sosial yang menimbulkan berbagai macam aliran atau gaya hidup seperti materialisme, individualisme, dan hedonisme.
Politisi kadang diplesetkan dengan istilah ‘politikus’ (baca: dianalogikan tabiatnya seperti tikus) oleh banyak kalangan karena beberapa tahun belakangan ini. Media sering menampilkan tokoh-tokoh politik (komunikator politik) tersandung oleh kasus hukum, mulai dari penyalahgunaan wewenang, korupsi, gratifikasi, asusila dan sebagainya. Perbuatan penyimpangan yang tidak selayaknya dilakukan oleh pemimpin bangsa tersebut kadang dianalogikan seperti tikus yang suka memakan dan tinggal di tempat yang kotor. Padahal para politisi mempunyai sumpah jabatan yang diikrarkan dengan didampingi saksi dari pemuka agama, para politisi atau para pimpinan dan juga dibawah kitab suci yang mereka yakini masing-masing.
Dalam membahas etika dalam komunikasi politik maka kajiannya pun akan melihat dari lima komponen dari proses komunikasi yang terjadi, mulai dari komunikator, pesan, saluran, komunikan dan efek serta umpan baliknya (feedback). Kaitan etika antar komponen ternyata ada noise yang sengaja dilakukan. Tidak ada permasalahan etika yang tidak disengaja terjadi. Mulai dari pejabat korupsi, gratifitasi, skandal, perceraian, permufakatan jahat, kasus rumah tangga dan masalah kasus-kasus asusila yang pernah terangkat di media massa dan media sosial. Begitu pun konflik kepentingan yang terjadi di elit politik, sehingga memperkuat sebuah argument bahwa, tidak ada teman dan musuh yang abadi selain kepentingan yang abadi. Akhirnya akan berdampak terhadap makna dari nilai-nilai kesetiaan, loyalitas, dan keteguhan pendirian (istiqamah) dalam dunia politik.
Proses komunikasi politik juga akan memberikan sebuah gambaran apa yang diperjuangkan para elite, apakah mereka memperjuangkan kepentingan rakyat atau hanya kepada kepentingan golongan dan nafsu politiknya saja (individual). Maka komunikasi politik harus dilakukan dengan baik dan benar maksunya sesuatu yang natural, tulus apa adanya agar dapat dipahami dan dimengerti oleh semua kalangan. Memang tidak dipungkiri mengkomunikasikan masalah politik pasti juga berkaitan dengan suatu setting situasi atau dikenal dengan istilah pencitraan sehingga akan sulit membedakan kemurnian dan kepasluan (psedo/ semu) niat politiknya.
Substansi komunikasi politik adalah masalah bagaimana cara mengkomunikasikan masalah politik oleh para aktoraktor (komunikator politik) yang menjadi penentu arah kebijakan dari kewenagan 20 para pemegang kekuasaan, tentunya adalah demi mewujudkan tujuan politik yaitu kesejahteraan rakyat. Memperbaiki komunikasi politik menjadi lebih baik harus berawal dari memahami etika dalam berkomunikasi politik.
A. KOSEP ETIKA POLITIK (POLITIK YANG ETIS)
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam sistem negara demokrasi, implementasi etika politik dalam aktivitas politik adalah suatu keniscayaan. Kita tidak bisa memandang suatu proses politik menjadi demokratis apabila tanpa dilandasi oleh etika politik para elit atau warga Negara biasa. Artinya, pentingnya nilai-nilai etika politik dalam proses berdemokrasi telah menjadi kebutuhan bagi setiap orang.
Etika politik dalam komunikasi politik pada hakikatnya membahas persoalan hukum dan kekuasaan yang beretika. Hukum adalah aturan normatif masyarakat, hukum yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum terdiri dari norma-norma bagi kelakuan yang betul dan salah dalam masyarakat, akan tetapi hukum hanya bersifat normatif dan tidak afektif. Artinya, hukum sendiri tidak dapat menjamin agar orang memang taat kepada norma-normanya. Secara efektif dapat menentukan kelakuan masyarakat hanyalah lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk mamaksakan kehendaknya, lembaga itu adalah negara.
Lalu apa yang dimaksud etika dan etika politik itu ?. Secara substansial pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika, yakni manusia. Oleh karena itu etika politik berkaitan erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian “moral” senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk beradab dan berbudaya.
Secara gambling dapat dijawab, Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas. Secara historis etika sebagai usaha filsafat yang lahir dari keambrukan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Asal kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “ethos” yang berarti watak atau adat. Kata ini identik dengan asal kata moral dari bahasa Latin “mos” (jamaknya adalah mores) yang juga berarti adat atau cara hidup. Jadi kedua kata tersebut menunjukkan cara berbuat yang menjadi adat karena persetujuan atau praktik sekelompok manusia. Namun pada pandangan yang lain dikatakan, etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Ethes” yang berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau dapat diartikan kumpulan peraturan tentang kesusilaan. Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia ingin menjadi baik. Hal itu juga berlaku bagi kaum agama juga memerlukan etika.
Fokus etika adalah menggambarkan dan mengevaluasi alasan yang diberikan oleh orang atau kelompok untuk penilaian yang mereka buat mengenai benar dan salah atau baik dan buruk, khususnya ketika istilah-istilah itu berhubungan dengan tindakkan, sikap, dan kepercayaan manusia. Bagi ‘Abduh, intuisi moral mampu menetapkan prinsip pertama moralitas dan implikasi moralitas bagi kehidupan politik dan sosial. Terkait denganpengertian etika itu, dalam pandangan Aristoteles dalam “Etik” mengemukakan pernyataan bahwa hidup benar-benar bahagia adalah hidup yang dijalani penuh kebaikan, bebas dari kekurangan dan bahwa kebaikan terdiri atas hal hidup yang bersifat tengah, maka cara hidup terbaik merupakan hidup yang terdiri atas hal tengah itu yang tercapai oleh tiap individual. Kriteria yang sama menentukan apakah para warga seluruhnya menjalani cara hidup yang baik atau buruk hendaknya juga berlaku pada konstitusi. Sebab konstitusi merupakan cara hidup seluruh warga negara.
Konsep etika oleh Hobbs dalam Widodo diartikan “ethics is concerned with standard of conduct among people in social groups”. Etika berkaitan dengan standar perilaku di antara orang-orang dalam kelompok sosial. “ethics is asystematic code of moral principles”. Etika merupakan prinsip-prinsip nilai moral yang sistematis. Hal ini dapat disimpulkan bahwa etika merupakan seperangkat prinsip moral yang dapat dijadikan sebagai standar, pedoman, referensi, atau acuan bagi orang-orang untuk berperilaku dalam kelompok sosial tertentu. Wignjosoebroto dalam widodo, mengartikan etika sebagai kekuatan normatif yang bergerak “dari dalam” untuk mengendalikan perilaku seseorang atau sekelompok orang. Etika merupakan refleksi “self control” dan bukan “social control”.
Sedangkan yang dimaksud etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia, atau cabang filsafat yang membahasa prinsip-prinsip moralitas politik. Etika politik sebagai ilmu dan cabang filsafat lahir di Yunani pada saat struktur-struktur politik tradisional mulai ambruk. Dengan kata lain, etika politik merupakan prinsip moral tentang baik-buruk dalam tindakan atau perilaku dalam berpolitik. Etika politik juga dapat diartikan sebagai tata susila (kesusilaan), tata sopan santun (kesopanan) dalam pergaulan politik. Dalam praktiknya, etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Untuk itu, etika politik berusaha membantu masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata.Suseno.
Etika Politik adalah sarana yang diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi dan golongan. Etika politik mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata karma dalam perilaku politik yang toteran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Etika politik harus menjadi pedoman utama dengan politik santun, cerdas, dan menempatkan bangsa dan negara di atas kepentingan partai dan golongan.
B. KONSEP MASYARAKAT DEMOKRATIS.
Demokrasi adalah salah satu dari beberapa system politik yang dianut oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Demokrasi adalah suatu system politik yang hidup, dengan esensi memberikan ruang gerak yang luar kepada setiap warga negara untuk terlibat dalam proses politik tanpa tekanan-tekanan dari pihak kekusaan. Dalam pandangan lain tentang pengertian demokrasi ini dikatakan, bahwa “demokrasi adalah suatu kategori dinamis, bukan statis. Seperti kategori statis yang stasioner (diam di suatu tempat), suatu kategori dinamis selalu berada dalam keadaan terus bergerak, baik secara negatif (mundur) atau positif (maju). Suatu sistem disebut demokratis jika ia membuka kemungkinan eksperimentasi terus-menerus dalam kerangka dinamika pengawasan dan pengimbangan (check and balance) masyarakat. Demokrasi adalah ideology terbuka, yaitu sebuah ideologi yang membuka lebar pintu adanya perubahan dan perkembangan, melalui eksperimentasi bersama”. Proses demokrasi yang diidamkan Nurcholish Madjid adalah jika ia membuka dinamika pengawasan dan penyeimbangan (check and balance) masyarakat. Menurut Nurcholish Madjid, jika demokrasi yang dirumuskan “sekali untuk selamanya”, sehingga tidak memberi ruang bagi adanya perkembangan dan perubahan, sesungguhnya bukan demokrasi, melainkan kediktatoran. Dalam alur demokrasi yang disuguhkan oleh Nurcholish Madjid terasa perlunya partisipasi politik.Demokrasi itu harus melalui proses belajar dan pengalaman. Termasuk kita harus belajar mengkritik dan menerima kritik.
Demokrasi menganut pandangan dasar bahwa jenis hubungan antar sesama warga ialah persahabatan, sebab persahabatan antara orang-orang dari kedudukan dan kemampuan yang beraneka ragam akan memperluas cakrawala pengertian kita dan memperkuat “kemauan” (will) ikatan social kita. Demokrasi hidup dalam kesepakatan dan ia akan tetap kuat bertahan selama tersedia banyak jalan untuk mencapai kesepakatan.Menurut Nurcholish Madjid, perkembangan demokrasi yang paling baik adalah demokrasi yang disertai sosialisme, yaitu sosialisme demokratis, yang mendorong terwujudnya masyarakat yang berkeadilan sosial.
Bagi Nurcholish Madjid, demokrasi memang suatu sistem politis yang mesti dikembangkan. Stabilitas politik hanya dapat dicapai dengan penyelenggaran kekuasaan yang demokratis. “Ciri kekuasaan demokratis yang stabil adalah ia memiliki kemungkinan tinggi untuk tetap demokratis dan mempunyai tingkat yang rendah untuk mengalami gangguan kekerasan sosial, baik yang terbuka maupun yang tersembunyi.” Kelanggengan sistem, ketertiban, legitimasi dan keefektifan adalah tanda stabilitas yang demokratis.
Demokrasi menuntut adanya pandangan pribadi, lebih pada setiap pribadi para pemimpin, suatu pandangan yang selaras dengan keharusan merendah hati sehingga mampu melihat diri sendiri berkemungkinan salah, dan orang lain yang berbeda dengan dirinya berkemungkinan benar. Demokrasi tidak mungkin disertai dengan absolutisme dan sikap-sikap mau benar sendiri lainnya. Demokrasi mengharuskan adanya sikap saling percaya (mutual trust) dan saling menghargai antara sesama warga masyarakat. Di bawah pertimbangan tujuan yang lebih besar, yaitu kemaslahatan umum, demokrasi tidak membenarkan adanya sikap all or nothing (semua atau tidak) take it or leave it (ambil, atau tinggalkan) yaitu sikap-sikap serba kemutlak-mutlakan. Sebaliknya, seperti dalam kaedah Fiqih Islam (ushul-fiqh), yang berlaku ialah “yang tidak semua didapat tidak semua harus ditinggalkan. Demokrasi memerlukan adanya kesediaan setiap pesertanya untuk menerima kenyataan bahwa keinginan seseorang tidak mungkin seluruhnya diterima oleh semua orang dan dilaksanakan, melainkan sebagian saja.
C. POLITIK ETIS (BERETIKA) SEBAGAI STRATEGI KOMUNIKASI DALAM DIMENSI DEMOKRASI.
Dalam proses komunikasi apapun, termasuk dalam proses komunikasi politik, dimensi etika menjadi salah satu syarat penting yang harus diperhatikan baik oleh komunikator maupun komunikan. Prilaku kounikasi yang beretika yang dibangun oleh komunikator dan komunikan dalam proses pertukaran pesan menentukan proses komunikasi itu akan efektif atau tidak. Karena itu, baik oleh komunikator maupun komunikan penting memiliki pemahaman atau pengalaman yang cukup tentang etika dan seluk beluknya dalam kaitan bagaimana etika itu digunakan di dalam partik hidup melalui komunikasi bersama dengan orang lain.
Etika politik digunakan membatasi, meregulasi, melarang dan memerintahkan tindakan mana yang diperlukan dan mana yang dijauhi. Etika politik yang bersifat umum dan dibangun melalui karakteristik masyarakat bersangkutan amat diperlukan untuk menampung tindakantindakan yang tidak diatur dalam aturan secara legal formal. Jadi etika politik lebih bersifat konvensi dan berupa aturan-aturan moral.
Tolok ukur yang diperlukan untuk menilai tindakan manusia secara moral dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara ada 3 (tiga) prinsip dasar moral, yaitu prinsip sikap baik, prinsip keadilan dan prinsip hormat terhadap diri sendiri. Prinsip sikap baik sebagai prinsip dasar moral pertama menyangkut sikap dasar manusia yang harus meresapi segala sikap kongkret, tindakan dan kelakuannya. Prinsip sikap baik menuntut suatu pengetahuan tentang realitas supaya dapat diketahui apa yang masing-masing baik bagi yang bersangkutan. Prinsip sikap baik mendasari semua norma moral karena hanya atas dasar prinsip itu masuk akal bagi manusia untuk bersikap adil. Prinsip moral kedua adalah prinsip keadilan. Prinsip keadilan memberikan atau mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan. Prinsip keadilan menuntut agar manusia jangan mau mencapai tujuan-tujuan, termasuk yang baik, dengan melanggar hak seseorang. Prinsip moral dasar yang ketiga adalah prinsip hormat terhadap diri sendiri. Manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan faham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian, dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, makhluk berakal budi. Karena itu manusia tidak boleh dianggap sebagai sarana semata-mata demi sustu tujuan tertentu. Ia adalah tujuan yang bernilai pada dirinya sendiri. Manusia wajib menghormati harkat dan martabatnya sendiri.
Hubungan di antara ketiga prinsip dasar moral itu sebagai berikut: prinsip keadilan dan hormat pada diri sendiri merupakan syarat pelaksanaan sikap baik, sedangkan prinsip sikap baik menjadi dasar mengapa seseorang bersedia untuk bersikap adil. Dalam kehidupan nyata manusia hendaknya mendasarkan diri pada ketiga prinsip dasar moral ini. Adanya masyarakat, bangsa dan negara tidak lain adalah untuk mewujudkan ketiga prinsip itu untuk menjunjung tinggi harkat kemanusian manusia. Etika politik merupakan penjabaran lebih lanjut dari tiga prinsip dasar moral itu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat dijelaskan di sini bahwa yang dimaksud komunikasi politik yang etis (beretika) adalah suatu proses komunikasi dalam aktivitas politik dimana prilaku komunikasi itu dari komunikator maupun prilaku pesannya mengandung muatan moral dan etika sebagaimana nilai-nilai sosial budaya yang dianut oleh pelaku komunikasi itu. Sebaliknya, komunikasi politik yang tidak beretika adalah proses komunikasi politik yang serampangan dengan mana komunikator maupun komunikan mengabaikan nilai-nilai social budaya etik sebagai pegangan moral masyarakat yang dituju.
Karena itu tidak dapat dihindari bahwa politik etis (beretika) adalah salah satu syarat penting dalam merancang strategi komunikasi dalam dimensi demokrasi. Tingka pemahaman pelaku komunikasi politik etis (beretika) atas peran etika politik akan sangat membantu pemodelan strategi komunikasi dimaksud. Beberapa peran etika politik yang utama dalam komunikasi politik yang efektif, sebagai berikut:
1. Untuk Menjaga Relasi Antara Politik dan Kekuasaan.
2. Untuk Memberdayakan Mekanisme Kontrol Masyarakat Terhadap Kebijakan yang Diambil Pemerintah.
3. Untuk menjamin Pemerintah Bertanggung jawab Atas semua Keputusan yang Dibuatnya.
4. Untuk menjamin pemerintah dapat secara bertanggung jawab menjelaskan legitimasi politik.
5. Untuk menjamin agar komunikasi politik berjalan secara objektif, bukan berdasarkan emosi dan prasangka semata.
6. Untuk menjamin pembahasan terkait masalah idiologis dapar berjalan secara objektif.
7. Untuk lebih menjamin dalam bersikap menghormati privasi orang lain.
8. Dapat menghindari terjadinya penyalahgunaaan kekuasaan.
9. Pesan-pesan lebih bernuansa menghormati perbedaan budaya.
10. Etika komunikasi adalah untuk berbagi informasi yang bermanfaat.
11. Komunikasi akan bebas dari prasangka buruk terhadap orang lain.
12. Etika komunikasi lebih bersikap manusiawi.
Untuk melengkapi peran-peran dimaksud di atas, dapat ditambahkan di sini tentang apa yang harus dipahami oleh pelaku komunikasi dalam politik yang beretika sebagai landasan strategi dalam pembangunan demokrasi utama di era sekarang ini. Menurut Suseno, ada empat alasan mengapa pada zaman sekarang etika sangat diperlukan. Pertama, kehidupan dalam masyarakat yang semakin pluralistik, termasuk juga dalam bidang moralitas. Setiap hari manusia saling bertemu, mereka dari suku, daerah dan agama yang berbeda-beda sehingga menimbulkan sekian banyak pandangan moral yang saling bertentangan, karena mereka menganggap bahwa faham mereka yang paling benar. Kedua, manusia hidup dalam masa transformasi masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan terjadi di bawah hantaman kekuatan mengenai semua segi kehidupan, yaitu gelombang modernisasi. Gelombang ini telah melanda sampai ke segala penjuru tanah air, sampai ke pelosok-pelosok terpencil. Rasionalisme, individualisme, kepercayaan akan kemajuan, konsumerisme, sekulerisme, pluralisme religius, serta pendidikan modern secara hakiki mengubah lingkungan budaya dan rohani di Indonesia. Ketiga, proses perubahan sosial budaya dan moral telah dipergunakan oleh berbagai pihak untuk memancing dalam air keruh. Mereka menawarkan ideologi-ideologi sebagai juru penyelamat. Di sini, dengan etika dapat sanggup untuk menghadapi ideologi-ideologi itu dengan kritis dan obyektif dan untuk membentuk penilaian sendiri, agar tidak mudah terpancing, tidak ekstrim, tidak cepat-cepat memeluk segala pandangan baru, tetapi juga tidak menolak nilainilai hanya karena baru dan belum biasa. Keempat, etika juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu pihak menemukan dasar kemantapan mereka, di lain pihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah.
Daam pandangan Nurcholish Madjid, dalam mempercepat proses menuju demokrasi diperlukan partai sebagai penampung aspirasi. Sedangkan dalam negara yang memiliki partai yang totaliter sudah tentu tidak ada demokrasi. Pertumbuhan demokrasi menghendaki agar partai-partai benar benar menjalankan tugasnya sebagai pengenal, perumus dan pejuang kepentingan-kepentingan dan tuntutan-tuntutan dasar rakyat. Nurcholish Madjid mencoba membuat landasan etik bagi suatu demokrasi dan konsep utama demokrasi. Pertama, mengenai landasan etik yang menyebutkan bahwa manusia memikul akuntabilitas atas sikap dan tindakannya di dunia, setelah ia hidup sesudah mati dan perlu sikap jiwa yang mampu menahan diri, mengingat bahwa upaya memperjuangkan demokrasi dan hak asasi itu sering menghadapi kenyataan-kenyataan yang bertentangan. Kedua, menyangkut konsep demokrasi, Nurcholish Madjid berpendapat bahwa intisari demokrasi adalah proses dinamis ke arah perbaikan.
D. ESENSI PEMBANGUNAN DEMOKRASI DALAM PRILAKU KOMUNIKASI POLITIK.
Salah satu hal penting dalam konten komunikasi politik yang beretika adalah menyangkut tentang esensi pembangunan demokrasi dan kehidupan yang demokratis. Menurut Yahya A. Muhaimin, kehidupan demokratis paling tidak memerlukan sikap dan tindakan saling menghormati dan memerlukan penerapan etika politik, termasuk disini ialah nilai-nilai budaya yang tertanam pada warga masyarakat. Aturan dan norma-norma ini berada pada posisi sentral untuk bisa menyelesaikan pertentangan dan konflik kepentingan antar warga negara. Dalam masalah norma-norma moral yang ada dalam masyarakat sangat pluralis, dan mereka yang melakukan serta menganut moralitas tertentu telah mengklaim bahwa yang dilakukan adalah perbuatan yang sudah bermoral, begitu juga dengan orang lain yang hidup dalam suatu masyarakat bahwa perbuatan mereka masing-masing sudah bermoral. Dalam menghadapi realitas semacam itu Suseno berpandapat harus ada jalan keluar ataupun alat yaitu etika. Etika di sini digunakan alat untuk mengetahui mengapa seseorang mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana seseorang dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai moralitas.
Manusia hidup di dunia menjadi makhluk sosial, yang sudah menjadi hukum alam, mereka setiap hari akan berinteraksi dengan orangorang dari suku, daerah dan agama yang berbeda-beda. Manusia juga akan berhadapan dengan sekian banyak pandangan moral yang saling bertentangan dan semua mengajukan klaim kebenaran mereka masingmasing. Mana yang harus diikuti, yang diperoleh dari orang tua, moralitas tradisional desa, atau moralitas yang ditawarkan melalui media massa. Hal ini merupakan sebuah pertanyaan yang akan dijawab ketika manusia tersebut sudah mempelajari etika.
Prilaku komunikasi politik yang berdimensi kehidupan demokratis di Indonesia dapat kita bercermin pada apa yang telah dikatakan oleh Nurcholish Madjid. Salah satu pemikirannya adalah menyoroti persoalan demokratisasi di Indonesia, yang terurai dalam beberapa materi pemikiran, sebagai berikut:
1. Prinsip Oposisi
Menurut Nurcholish Madjid, dalam suatu masyarakat, oposisi itu adalah suatu kenyataan. Jika kelompok itu tidak diakui, maka yang terjadi adalah mekanisme saling curiga dan melihat oposisi sebagai ancaman. Oposisi itu juga bersifat kekeluargaan, artinya conjugal values itu dipertahankan. Jadi tidak ada kesengitan. Tetapi tidak berarti dalam keluarga itu tidak saling mengingatkan, ingat mengingatkan adalah bentuk sederhana dari check and balance. Sehingga oposisi tidak bertentangan dengan azas musyawarah-mufakat. Oposisi menurut Nurcholish Madjid tidak perlu dipahami sebagai sikap menentang (to oppose memang berarti menentang), sebab dalam oposisi ada pula segi to Supportnya, sehingga dalam konteks politik oposisi lebihmerupakan kekuatan penyeimbang, suatu Check and balance yang bisa membuat perasaan-perasaan tersumbat tersalurkan. Oposisi adalah suatu tugas, dalam arti loyal pada pemerintah. Bila pemerintah tidak benar, mereka ingatkan. Oposisi loyal versi Nurcholish Madjid adalah suatu upaya bertahap ke arah peningkatan mutu kehidupan politik, tanpa harus dalam posisi “anti atau diluar pemerintah”, dengan pendekatan cross cultural management dan cross breeding. Dengan oposisi loyal, dimaksudkan tidak “memusuhi” pemerintah.
2. Prinsip Musyawarah
Musyawarah-mufakat sebenarnya berangkat dari istilah dalam kultur Minang, sesuai dengan pepatah: Bulat air di pembuluh, bulat kata di mufakat. Musyawarah-mufakat dalam masyarakat Minang, tidak berarti konsensus. Mufakat berasal dari muwâfaqah yang berarti persetujuan. Artinya, laksanakanlah yang disetujui. Prosesnya bisa terjadi melalui voting. Dalam mufakat bisa tetap berbeda pendapat, namun tetap dilaksanakan persetujuan biarpun melalui voting. Semangat saling menghormati yang tulus dan saling menghargai yang sejati adalah pangkal bagi adanya pergaulan kemanusiaan dalam system sosial dan politik yang demokratis. Sejalan dengan hal itu, masyarakat kaum beriman sendiri dilukiskan dalam Kitab Suci sebagai masyarakat yang dalam segala perkaranya, membuat keputusan melalui musyawarah. Masyarakat pimpinan Nabi, demikian pula masyarakat pimpinan empat khalifah yang bijaksana, adalah masyarakat yang ditegakkan diatas dasar prinsip musyawarah. Pada dasarnya prinsip musyawarah tidak akan berjalan efektif tanpa adanya kebebasan menyatakan pendapat, yang dalam tatanan modern kehidupan bermasyarakat dan bernegara dilembagakan antara lain dalam kebebasan akademik dan kebebasan pers, tapi prinsip musyawarah itu juga akan dirusak oleh sikap-sikap absolutistik dan keinginan mendominasi wacana karena tidak adanya perasaan cukup rendah hati untuk melihat kemungkinan orang lain berada dipihak yang lebih baik atau lebih benar. Musyawarah yang benar adalah musyawarah yang terjadi atas dasar kebebasan dan tanggungjawab kemanusiaan, dasar tatanan masyarakat dan negara demokratis.
3. Prinsip Pluralisme
Masalah pluralisme, kita dapatkan kenyataan bahwa masyarakat kita masih menunjukkan pemahaman yang dangkal dan kurang sejati. Istilah “pluralisme” sudah menjadi barang harian dalam wacana umum nasional kita. Namun dalam masyarakat ada tanda-tanda bahwa orang memahami pluralisme hanya sepintas lalu, tanpa makna yang lebih mendalam, dan yang lebih penting, tidak berakar dalam ajaran kebenaran. Pada dasarnya paham kemajemukan masyarakat atau pluralisme tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat majemuk, tapi yang lebih mendasar harus disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai bernilai positif, dan merupakan rahmat Tuhan kepada manusia, karena akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi dinamis dan pertukaran silang budaya yang beraneka ragam. Pluralisme juga merupakan suatu perangka untuk mendorong pemerkayaan budaya bangsa.
Jadi pluralisme tidak dapat hanya dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme
adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Paham kemajemukan masyarakat adalah bagian amat penting dari tatanan masyarakat maju. Dalam paham itulah dipertaruhkan, antara lain, sehatnya demokrasi dan keadilan. Pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok lain untuk ada, tetapi juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati.
4. Prinsip Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan rakyat adalah nilai yang selalu datang dari bawah, tidak pernah dari atas. Artinya, jika kita hendak menegakkan kedaulatan rakyat, maka tidak mungkin dengan mengharapkan belas-kasihan pihak atas, tetapi harus memperjuangkannya dari bawah. Semua teori sosial-politik mengatakan begitu. Pepatah Arab mengatakan, “alhaqqu yuthlabu lâ yu‘thâ” (hak itu dituntut, tidak dihadiahkan). Jadi, hak rakyat untuk menyatakan kedaulatannya dan diakui kedaulatannya itu hanya terwujud jika dituntut, dalam arti terus-menerus diperjuangkan dari bawah. Hak itu tidak akan “jatuh” sebagai pemberian dari atas, sebab boleh jadi akan berlawanan dengan kepentingan pihak atas. Ini berarti bahwa menegakkan kedaulatan rakyat menyangkut peningkatan kesadaran politik rakyat, yaitu kesadaran akan hak-haknya, sekaligus kesadaran akan kewajiban-kewajibannya. Sebab “hak” dan “kewajiban” sesungguhnya adalah dua muka dari dua keping mata uang (two sides of a coin). Hak kita dari orang lain akan menjadi kewajiban orang lain itu kepada kita, dan kewajiban kita kepada orang lain akan merupakan hak orang itu dari kita. Demikian pula antara rakyat dan pemerintah. Hanya saja, jika satu pihak tidak menyadari hakhaknya seperti kebanyakan rakyat yang memang berpikir sederhana maka ia akan hanya terbebani kewajiban tanpa imbalan yang adil, dan ini adalah kezaliman. Maka, jika menghendaki masyarakat yang berkeadilan, salah satu urgensi perjuangannya adalah meningkatkan kesadaran politik rakyat berkenaan dengan hak-hak mereka yang sah, baik menurut kemanusiaan universal maupun secara ketentuan kenegaraan.
Kedaulatan rakyat adalah inti dari partisipasi umum rakyat dalam kehidupan bernegara. Adanya kesempatan melakukan partisipasi umum secara efektif adalah wujud sebenarnya dari kebebasan dan kemerdekaan. Oleh karena itu, seluruh cita-cita kemasyarakatan dan kenegaraan sebagaimana dinyatakan dalam nilai-nilai kesepakatan luhur dalam mukaddimah UUD 1945, akan sirna tak bermakna tanpa adanya partisipasi umum rakyat. Bahkan kedaulatan negara dalam hubungannya dengan negara-negara lainpun adalah kelanjutan kedaulatan rakyat itu. Hal ini terbukti dengan nyata sekali dalam saat-saat kritis Negara menghadapi ancaman.
5. Prinsip Keadilan
Berkenaan dengan pandangan dasar Pancasila, prinsip keadilan disebutkan dalam rangka “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan “keadilan sosial”. Fakta ini menunjukkan tingginya cita-cita keadilan dalam konsep kenegaraan Pancasila sebagai dasar Negara dimulai dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa dan diakhiri dengan tujuan pokok kehidupan kenegaraan, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Asas-asas perikemanusiaan, persatuan, dan kerakyatan berada dalam spektrum yang bermula dengan Ketuhanan dan berujung dengan keadilan sosial, sejalan dengan prinsip negara-bangsa yang bertujuan menciptakan maslahat umum. Penciptaan keadilan sosial adalah sejajar dengan pengertian “negara sejahtera” (welfare state), yang menuntut tersedianya standar hidup minimal untuk setiap warga. Keadilan sosial merupakan tujuan sebenarnya dalam bernegara, sebab dengan adanya keadilan sosial akan tumbuh rasa ikut punya dan rasa ikut serta oleh semua. Komitmen kepada usaha untuk mewujudkan keadilan sosial, adalah dengan ketegasan memperhatikan kepentingan hidup rakyat secara nyata. Pelajaran paling pahit dari pengalaman bangsa Indonesia dalam bernegara adalah pada masa-masa terakhir ini muncul karena diabaikannya nilai keadilan sosial, dibiarkannya praktek-praktek kezaliman sosial berjalan dengan bebas dan merajalela.
Pada Pancasila, sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sila ini dipandang sebagai tujuan kehidupan kita bernegara dan bermasyarakat yang beriman dan bertakwa (sila pertama), mengikuti prinsip-prinsip kemanusiaan (sila kedua), bersatu secara nasional (sila ketiga), dan mengakui kedaulatan atau kekuasaan rakyat dengan menerapkan mekanisme musyawarah/ mufakat (sila keempat). Keadilan di sini bukan berarti bahwa tiap orang harus memperoleh dan memiliki kekayaan yang sama. Namun, keadilan yang dimaksud adalah adanya pemerataan hasil-hasil pembangunan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan rakyat Indonesia. Keadilan akan terwujud jika keempat sila yang lainnya bisa dilaksanakan secara utuh dan berkesinambungan. Keadilan sosial merupakan bagian dari amal saleh, bahwa amal saleh yang akan membawa menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, berarti
amal atau tindakkan manusia yang serasi dengan keseluruhan lingkungannya, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam keserasian duniawi itu, terliputi pula keserasian dunia lingkungan alam dan lingkungan sosial sesama manusia. Dalam rangka keserasian sosial itulah, keadilan sosial berada.
6. Prinsip Geo-Politik
Menurut Nurcholish Madjid konsep geo-politik dalam Islam tidak sematamata dalam arti lokasi, sebab juga terkait dengan suatu kualitas, yaitu damai dan perang. Jadi berbeda dengan konsep geo-politik Barat sekarang ini yang lebih berkonotasi lokasi: seperti the west and the rest. Oleh karena itu penting memahami apa dan bagaimana ajaran Islam tentang damai dan perang. Bangsa-bangsa yang merasa sedang diatas (superior) mempunyai kecenderungan membagi dunia menjadi dua. Sekarang orang Barat berada dalam mind set seperti itu, bahwa dunia ini hanya dua, yaitu The West and The Rest (Barat dan yang lainnya, yaitu bukan Barat). Mentalitas seperti ini terjadi pada bangsa-bangsa yang mengalami superioritas, baik superioritas itu real maupun fiktif. Seandainya Indonesia bisa menjadi sebuah Negara superior, mungkin akan tercipta juga suatu geo-politik.
E. IMPLEMENTASI PANCASILA SEBAGAI LANDASAN POLITIK ETIS DAN PEMBANGUNAN DEMOKRASI DI INDONESIA.
Tak bisa dipungkiri, realitas perpolitikan Indonesia masih jauh dari harapan. Panggung politik kita dikotori oleh pertarungan dan perebutan kekuasaan di tingkat elit. Gejala ini bisa dilihat pada perilaku partai-partai politik saat berebut konstituen. Fungsi partai politik yang semestinya dapat mendidik dan mencerdaskan rakyat agar mereka sadar akan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara, namun ternyata justru larut dalam permainan politik yang membingungkan rakyat. Segala cara ditempuh untuk meraih kekuasaan meski mengorbankan rakyat dan dengan ongkos sosial yang tidak sedikit. Agama, etnisitas, dan ideologi menjadi komoditi yang laku untuk melanggengkan perseteruan dan upaya merebut kekuasaan. Segala cara ditempuh untuk meraih kekuasaan meski mengorbankan rakyat dan dengan ongkos sosial yang tidak sedikit. Agama, etnisitas, dan ideologi menjadi komoditi yang laku untuk melanggengkan perseteruan dan upaya merebut kekuasaan. Di sisi lain, sebagian besar masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan. Pemerintah seakan tidak peduli ketika dihadapkan dengan banyaknya pengangguran, rendahnya derajat kesehatan dan kualitas sumber daya manusia. Aspirasi masyarakat seperti upaya penegakan supremasi hukum, perbaikan ekonomi, penegakan hak asasi manusia masih jauh dari kenyataan. Krisis dan konflik berkepanjangan ini tidak bisa diselesaikan oleh satu lapisan masyarakat saja, tetapi oleh segenap komponen bangsa, baik elit politik maupun masyarakat umum.
Dalam kondisi seperti itu, etika politik dalam komunikasi sangat diperlukan oleh semua kalangan, termasuk dari kalangan pemerintah. Mengapa demikian ?. Karena persoalan etika politik menggambarkan makna sentral semangat kepatuhan kepada hukum atau aturan sebagai tiang pancang masyarakat berperadaban. Menurut bahasa politik modern, ini adalah orientasi hukum dan keadilan yang mendasari perkembangan suatu peradaban. Orientasi ini sangat penting dalam menumbuhkan negara hukum dan mencegah munculnya negara kekuasaan.
Masalah moralitas, kepemimpinan dan kesantunan dalam berpolitik menjadi persoalan panjang yang tidak terselesaikan dalam kehidupan politik bangsa. Perilaku para elit politik yang sering kali meninggalkan nilai-nilai moral luhur dalam melakukan aktivitas politiknya, telah mencederai persoalan moral dalam kehidupan politik bangsa ini. Berbagai solusi telah ditawarkan, sebagai upaya penyelesaian persoalan kemerosotan moral di bidang politik yang menimpa bangsa. Salah satunya adalah agar bangsa Indonesia kembali pada ajaran agama, sebagai upaya mengatasi persoalan kemerosotan moral, terutama yang terjadi pada elite politik. Tidak kalah pentingnya pada masyarakat bangsa secara keseluruhan.
Permasalahan prinsip moral dalam pandangan Nurcholis Madjid merupakan hal yang mutlak dan sangat penting. Sebab merupakan landasan ketahanan suatu bangsa menghadapi perubahan kehidupan yang semakin kompleks. Tanpa adanya prinsip moral atau akhlak yang baik, kehidupan suatu bangsa dipastikan akan dibinasakan oleh Tuhan. Sebuah syair dalam bahasa Arab menerangkan masalah ini: “Sesungguhnya bangsa-bangsa itu tegak selama (mereka berpegang) pada akhlaknya, bila akhlak mereka rusak, maka rusak binasa pulalah mereka”.
Etika politik, memang tidak dapat menawarkan suatu sistem normatif sebagai dasar negara, etika politik tidak berada ditingkat sistem legitimasi politik tertentu dan tidak dapat menyaingi suatu ideologi negara. Tetapi etika politik dapat membantu usaha masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara kedalam realitas politik yang nyata, misalnya dengan merefleksikan apa inti keadilan sosial, apa dasar etis kerakyatan, bagaimana kekuasaan harus ditangani dan sebagainya. Etika politik dalam masyarakat memiliki fungsi pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggungjawab, tidak berdasarkan emosi, prasangka, dan apriori, melainkan secara rasional, objektif dan argumentatif. Setiap masyarakat negara memiliki patokanpatokan orientasi dan pegangan normatif yang dipakai dalam etika politik masingmasing. Hal ini sangat dipengaruhi oleh ideologi dan konsep manusia (dasar antropologi) yang dianut.
Bagi negara Indonesia, etika politik adalah Pancasila, tidak berdasarkan liberalisme maupun kolektivisme, melainkan merupakan konvergensi diantarakedua paham tersebut. Etika politik Pancasila adalah etika politik yang berdasarkan atau berpedoman pada norma-norma yang bersumber dari ajaran Pancasila. Karena hakikat atau inti ajaran Pancasila adalah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, maka etika politik Pancasila adalah etika politik yang berdasarkan atas inti ajaran tersebut. Kata Pancasila menunjukkan kekhususan yang membedakan dengan etika politik lainnya, misalnya etika politik berdasarkan liberalisme, kolektivisme (sosialisme dan komunisme), fasisme, idealisme dan lain sebagainya.
Etika komunikasi politik sesuai perspektif ideology Pancasila juga tidak dapat dipisahkan dengan Pembukaan UUD 1945 karena Pembukaan UUD 1945 adalah pengejawantahan Pancasila, atau dengan kata lain Inti Pembukaan UUD 1945 adalah Pancasila. Pembukaan UUD 1945 mengandung sumber hukum religius, hukum moral, hukum kodrat dan hokum filsafati. Pancasila merupakan sumber hukum dasar nasional Indonesia. Berbagai kasus politik yang terjadi di Indonesia menempatkannya ke dalam lumpur krisis etika politik. Kasus-kasus yang terus bergulir di ruang perpolitikan di Indonesia meliputi kasus korupsi yang terjadi di berbagai instansi, pemberantasan narkoba yang mempengaruhi kedaulatan Indonesia dengan hubungan diplomatic dengan negara-negara lain, dan kasus kemiskinan yang belum tuntas.
Salah satu cendekiawan Islam yang produktif dalam merespon persoalan moral politik di Indonesia adalah Nurcholish Madjid yang menuangkan pemikirannya secara tertulis dalam bentuk artikel, makalah maupun essai yang dibukukan. Salah satu pemikirannya yaitu konsep etika politik dalam buku Fatsoen. Nurcholish Madjid menyatakan bahwa kaum elit politik menanggung beban yang berat dalam masyarakat yaitu tanggung jawab menjaga moralitas dan etika sosial, dengan cara menarik pelajaran dari lingkungan hidupnya. Menurut Nurcholish Madjid, dalam kehidupan politik kita tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keagamaan. Kehidupan politik yang pada dasarnya bersifat duniawi, tidak bisa lepas dari tuntunan moral yang tinggi. Berpolitik haruslah dengan standar akhlak mulia, yang sekarang dikenal dengan etika politik.
Berdasarkan nilai-nilai filosifis Pancasila, manusia diciptakan oleh Tuhan dengan bawaan nilai-nilai moral pada dirinya, yakni pikiran, sikap dan perilaku yang baik / beretika, sebagai khalifah yang membawa rakhmat bagi alam semesta dengan segala kebebasannya yang ia miliki. Karena itu, jalan hidup bermoral pada dasarnya bukanlah suatu keharusan yang dipaksakan dari luar diri manusia, tetapi ia merupakan bagian dari sifat manusia sendiri. Sehingga menempuh jalan hidup bermoral tidak lain daripada memenuhi naturnya sendiri, sebab manusia menurut kejadian asalnya adalah makhluk fitrah yang suci dan baik. Pembawaan kebaikan dan kesucian dalam diri manusia adalah kenyataan alamiah bagi mereka. Dari kebaikan dan kesucian dalam dirinya, manusia akan menemukan rasa aman dan tentram. Sebaliknya kejahatan adalah realitas buruk ada atau tidak fitrah alami manusia sehingga akan membawa kegelisahan dan konflik dalam diri mereka.
Keharusan moral komunikasi didasarkan kenyataan bahwa manusia mengatur tingkah lakunya menurut kaidah-kaidah atau norma-norma, dimana mereka harus menaklukan diri tunduk pada norma-norma itu. Sekarang ini masalah etika dan moral menjadi penting dan sangat relevan. Hal ini disebabkan, pertama, manusia saat ini hidup dalam suatu masyarakat yang pluralis, baik pluralis keyakinan atau pluralis moral, sehingga dalam masyarakat yang berbeda sering terlihat nilai dan norma yang berbeda. Kedua, manusia saat ini dihadapkan pada transformasi masyarakat dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan perubahan-perubahan sosial yang menimbulkan berbagai macam aliran atau gaya hidup seperti materialisme, individualisme, dan hedonisme.
Referensi:
Harahap, Syahrin, 1997, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-Qur’an Dalam Kehidupan Modern Di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Hari Zamharir, Muhammad, 2004, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kasali, Rhenald , Change, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.
L. Esposito, John, 2002, Ensikopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 2, Bandung: Mizan.
Muhaimin, A. Yahya, 1986, Etika Pembangunan Politik, dalam Nourouzzaman Shiddiqi dkk, Etika Pembangunan Dalam Pemikiran Islam Indonesia, Cet. 1, Jakarta: CV. Rajawali.
Magnis Suseno, Franz, 1987. Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta, Kanisius.
-----------, 1991. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta, Gramedia Pustaka Umum.
-----------, 1992, Berfilsafat dari Konteks (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
-----------, 1988, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Cet. 2, Jakarta: PT Gramedia.
Magnis Suseno, Franz, Kees Bertens, et-el, 1993, Etika Sosial (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Madjid, Nurcholish, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi.
-----------, 2004, Indonesia Kita, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
-----------, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam Dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer.
Madjid, Nucholish, 1996, Islam Kerakyatan Dan Keindonesiaan, cet. 3, Bandung: Mizan.
Noer, Deliar, 1997, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Bandung: Mizan.
Said, Muhammad, 1960, Etika Masyarakat Indonesia, Jakarta, Pradnya Paramita.
Siswanto, Dwi, 2004, Konvergensi Antara Liberalisme dan Kolektivisme Sebagai Dasar Etika Politik Di Indonesia, Jurnal Filsafat, Jilid 38 No. 3.
Widjaja. H. A. W. 1997, Etika Pemerintah, Jakarta, Bumi Aksara.
Widodo, Joko, 2011, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Malang: Bayumedia Publishing.
Zuliana, Eka, 2015, Konsep Etika Politik Menurut Pemikiran Nurcholish Madjid, Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Medan.
Sumber Lain:
Madjid, Nurcholish, dalam Elza Peldi Taher (ed.), 1993, Demokratisasi Politik, Budaya Wawancara Nurcholish Madjid dengan Tabloit DETIK, 25-31.
Madjid, Nurcholish, 1999. Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, Jakarta: Tabloid Tekad dan Paramadina.
http://repository.uinsu.ac.id/1741/1/TESIS%20Eka%20Zuliana.pdf
http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=2802, dihasilkan 16 April 2015 pukul 12.23 PM.