Selasa, 22 Desember 2020

TATA CARA PENGGUNAAN MENDELEY. (PART 4)

4. Berbagi Dokumen dan Referensi 

Membuat Grup 
Grup adalah cara mudah bagi Anda untuk berkolaborasi dengan Anda rekan kerja dan berbagi koleksi dokumen. Setiap anggota dari grup dapat mengunggah dokumen ke dalamnya. Anda dapat membuat file grup dengan mengklik "Buat Grup" di panel sebelah kiri.
Setelah Anda mengklik "Buat Grup", dialog yang meminta Anda untuk memasukkan detail dari grup Anda akan muncul.
1. Nama grup memungkinkan Anda menentukan nama untuk grup Anda.
2. Deskripsi grup memungkinkan Anda memasukkan detail tentang grup. 
3. Bagian Pengaturan privasi memungkinkan Anda memilih jenis grup yang ingin Anda buat (Lihat di bawah). 
4. Untuk menambahkan Tag, atau untuk menetapkan disiplin penelitian ke grup Anda (secara default, ini milik Anda disiplin sendiri) klik Tambah info tambahan.
5. Klik Buat Grup untuk menyelesaikan. 

Catatan: Anda dapat meninjau pengaturan ini nanti dengan mengklik "Edit pengaturan"

Ada tiga jenis kelompok: 

1. Grup Pribadi - Ini adalah grup khusus undangan yang kontennya hanya dapat dilihat oleh anggota kelompok. Grup ini bagus untuk proyek penelitian pribadi. 
2. Grup Khusus Undangan Umum - Ini adalah grup yang dapat dilihat oleh siapa saja, tapi hanya anggota dapat berkontribusi kepada mereka. Grup ini bagus untuk daftar bacaan umum atau mengkurasi hasil penelitian lab Anda. 
3. Grup Terbuka Umum - Ini adalah grup yang dapat diikuti dan dikontribusikan oleh siapa saja. Mereka dirancang untuk kelompok diskusi terbuka seputar topik apa pun.

 Menambahkan anggota dan dokumen Setelah Anda membuat grup, Anda dapat menambahkan anggota dan dokumen ke dalamnya

1. Untuk Mengundang Anggota ke grup, buka tab Anggota. 
2. Anda dapat menambahkan orang yang sudah menjadi kontak Anda di Mendeley dengan mengklik "Tambah", atau Anda dapat mengundang orang untuk bergabung dengan Anda di Mendeley dengan mengklik "Undang".
3. Anda dapat melihat dokumen grup dengan masuk ke tab Dokumen. Menambahkan Dokumen, pergi ke grup dan klik "Tambahkan dokumen" di bilah atas. Kalau tidak, Anda cukup menarik dan melepas dokumen ke grup (baik dari Mendeley folder, atau dari mana saja di komputer Anda).
4. Untuk mengunduh PDF yang dilampirkan oleh anggota grup lain ke grup, buka Edit Pengaturan dan centang "Unduh file terlampir ke grup". 

Catatan: file PDF terlampir hanya dapat dibagikan di Grup Pribadi, bukan di Grup Publik. 

5. Untuk mengunggah grup Anda dengan semua pengaturannya ke Mendeley Web, tekan tombol Sync Library

Menggunakan Grup Tab 

ikhtisar menampilkan ringkasan tentang apa yang telah terjadi di Grup Anda. 

Kamu bisa lihat update siapa yang bergabung, siapa bilang apa, dan paper mana yang ditambahkan oleh siapa. Anda juga dapat memposting pembaruan status dengan memasukkan pembaruan Anda ke dalam kotak di bagian atas bagian ikhtisar. 

Selain itu, Anda dapat mengirim komentar dan mendiskusikan penelitian Anda. Cukup klik "komentar" dan memulai diskusi tentang topik tertentu.
Dengan Mendeley Groups Anda dapat berkolaborasi, berdiskusi, dan menemukan penelitian baru bersama dengan kolega Anda. Buat Grup Mendeley Anda sendiri hari ini!

Senin, 21 Desember 2020

TATA CARA PENGGUNAAN MENDELEY. (PART 3)

3. Mengutip Referensi 

Pengaya Word dan OpenOffice Setelah Anda memiliki dokumen di Mendeley, Anda dapat mengutip dan mereferensikannya di Word dan OpenOffice dengan mudah. Plug-in Mendeley Word & OpenOffice mengintegrasikan Mendeley ke dalam pengolah kata ini. Setelah terinstal, Anda akan memiliki tombol bilah alat yang memungkinkan Anda melakukannya mengutip dokumen, membuat bibliografi, atau mengedit entri apa pun secara manual, menghemat waktu dan usaha saat Anda menulis.

Saat Anda membuat makalah dan ingin mengutip dokumen dari Perpustakaan Mendeley:
1. Klik Sisipkan Kutipan di bilah alat Mendeley dalam Word 
2. Pilih dokumen di Mendeley Desktop, dan klik Send Citation to Word. Kamu bisa juga mengutip banyak dokumen. Cukup tahan tombol Ctrl (atau tombol Cmd di Mac) dan klik kiri dokumen yang ingin Anda kutip. 
3. Pilih gaya kutipan dalam menu drop down di pengolah kata Anda. 
Ini sekarang akan mengirim kutipan ke Word:
Anda sekarang dapat membuat bibliografi dengan mengklik "Sisipkan Bibliografi":
Kutip di dokumen Google (dan editor lain) 

Anda juga dapat menambahkan kutipan di editor teks lain, seperti Google Dokumen. Pilih saja kertasnya Anda ingin mengutip di Mendeley Desktop dan klik: 

Edit ➡ Copy Citation

Kemudian Tempel ke dokumen yang Anda buat. Cara lainnya, Anda dapat menarik & melepas file kertas dari jendela Mendeley Desktop ke dokumen, dan referensi saat ini gaya kutipan yang dipilih akan ditambahkan di sana.

Kutip menggunakan BibTeX 

Anda juga bisa mengutip dan membuat bibliografi dalam dokumen LaTeX. Mendeley Desktop membuat file File BibTeX untuk seluruh perpustakaan Anda, untuk setiap kelompok atau per dokumen. Itu File BibTeX masing-masing diperbarui saat Anda membuat perubahan pada perpustakaan pribadi di Mendeley Desktop. 
Tombol kutipan secara otomatis dihasilkan dalam format [AuthorYear]. Anda dapat mengedit kutipan tombol secara manual dengan mengaktifkan Bidang "Kunci Kutipan" di bawah Opsi (Tab Detail Dokumen). Kemudian Anda dapat mengedit kunci kutipan di bawah tab Detail Dokumen di perpustakaan Anda. Anda dapat mengaktifkan dukungan BibTeX di sini:

Tools ➡ Options ➡ Bibtex Tab

TATA CARA PENGGUNAAN MENDELEY. (PART 2)

2. Mengelola dokumen dan referensi Anda 

Gabungkan duplikat nama penulis, tag, atau publikasi 
Di panel filter menurut penulis / tag / publikasi, klik nama yang Anda kenali digandakan atau salah, lalu seret & lepas ke file yang benar untuk mengganti namanya.
Misalnya. jika Anda memiliki dua dokumen dengan tag "Bagaimana" dan "cara", menyeret yang terakhir ke yang pertama akan mengganti nama entri yang salah. 

Dokumen dapat ditandai telah dibaca / belum dibaca. 

Pantau kertas Anda yang belum dibaca. Kapan Anda menambahkan dokumen ke Mendeley ditandai belum dibaca dengan titik hijau kecil. Jika kamu membukanya dalam penampil PDF Mendeley mereka akan ditandai telah dibaca. Atau cukup klik titik hijau untuk beralih dibaca / belum dibaca.
Favorit 

Anda dapat menandai dokumen favorit Anda (atau dokumen yang ingin Anda lacak) ikon bintang. Cukup klik untuk membintangi, dan klik lagi untuk menghilangkan bintang. Semua dokumen favorit akan muncul di Folder Favorit, jadi Anda bisa lihat kembali mereka dengan satu klik.
Telusuri saat Anda mengetik. 
Pencarian cerdas dalam dokumen menyoroti istilah pencarian saat Anda mengetik, sehingga Anda dapat menemukan apa Anda sedang mencari dengan cepat. Cukup ketik di bilah pencarian dan lihat Mendeley menemukan kecocokan istilah dalam dokumen.
Beri anotasi PDF 
Anda dapat menambahkan sorotan dan catatan ke dokumen dalam Mendeley Desktop. 
1. Buka PDF di PDF viewer Mendeley oleh mengklik dua kali di panel tengah, 
2. Tambahkan sorotan dan catatan dengan mengklik Sorot Teks atau tombol Tambah Catatan di Tidak bisa.

Anda dapat membagikan anotasi ini dengan rekan kerja Anda. Untuk melakukannya
1. Buka PDF yang merupakan bagian dari Grup (lihat di bawah), 
2. Buat anotasi Anda, 
3. Sinkronkan anotasi ini ke Mendeley Web dengan kembali ke "Perpustakaan Saya" dan klik "Sinkronisasi Perpustakaan".
Catatan: Anotasi ini tidak disimpan dalam file PDF sebenarnya, melainkan di Mendeley Anda Akun. 

Untuk membuat file PDF baru yang berisi semua anotasi, Anda dapat mengekspor PDF dengan semua anotasinya dengan memilih: File → Ekspor dengan Anotasi dari dalam Mendeley Penampil PDF.

Urungkan beberapa tingkat dalam detail 

Dokumen Anda dapat membatalkan perubahan terbaru pada detail atau anotasi dokumen Anda dengan mengklik Batalkan masuk tempat biasa. Pilih opsi berikut di menu tarik-turun:
Edit ➡Undo
or Ctrl+Z (Cmd+Z for Mac). 

Tandai dan edit beberapa dokumen sekaligus Jika Anda ingin memberi tag atau menambahkan detail untuk lebih dari satu dokumen sekaligus: 

1.Pilih dokumen yang Anda inginkan untuk mengedit sekaligus dengan menekan Ctrl + kiri mengklik dokumen Anda ingin memilih 
2.Perhatikan pengeditan batch pesan konfirmasi 3.Masukkan data Anda Data tersebut bisa berupa tag, catatan, atau lainnya detail dokumen seperti nama publikasi. Misalnya, dalam contoh ini tag yang dimasukkan akan diterapkan ke semua yang dipilih dokumen.
Pengatur File 

Pengatur file Mendeley dapat secara otomatis mengganti nama PDF Anda dan menyimpannya di folder yang jelas struktur, sehingga lebih mudah untuk menemukan file Anda di luar Mendeley. Anda dapat menemukannya di sini:

Tools ➡Options File ➡ Organizer tab
atau untuk Mac pilih : Mendeley ➡ Preferences ➡ File Organizer tab. 

Di tab, pilih: 
1. Atur file saya: untuk membuat file salinan semua dokumen ditambahkan ke Mendeley dalam satu folder 
2. Urutkan file ke dalam subfolder: untuk buat struktur folder berdasarkan dokumen yang dipilih detailnya 
3. Ubah nama file dokumen: menjadi ganti nama yang sering bukan nama deskriptif Anda PDF ke nama file yang lebih bermakna, termasuk penulis, jurnal, tahun, dan judul. 

TATA CARA PENGGUNAAN MENDELEY. (PART 1)

1. Membuat perpustakaan Anda

Tambahkan PDF ke Mendeley

Anda dapat menambahkan PDF ke Mendeley dengan mengklik tombol Tambahkan Dokumen di ujung kiri toolbar. Cara lainnya, Anda dapat menyeret dan jatuhkan PDF ke panel konten. Mendeley kemudian akan mencoba mendeteksi dokumen tersebut detail (data bibliografi). 

Semua dokumen yang detailnya Mendeley ketidakpastian tentang akan ditambahkan ke Kebutuhan Tinjau bagian untuk verifikasi manual. Kamu dapat menggunakan detail Dokumen Mendeley lookup (CrossRef, PubMed, dan ArXiv) atau Pencarian Google Cendekia untuk menyelesaikan hilang detail dokumen (lihat di bawah). 
Seret & lepas PDF di sini ke menambahkannya ke perpustakaan Anda.

Impor / ekspor perpustakaan EndNote ™, BibTeX dan RIS 

Beralih dari perangkat lunak manajemen referensi lain seperti EndNote ™ ke Mendeley sangatlah mudah. Sebagai EndNote ™ menggunakan ekstensi file miliknya sendiri (.enl), Anda perlu mengekspor perpustakaan Anda sebagai .xml file (standar umum yang lebih terbuka). 

untuk bermigrasi ke Mendeley: 
Di EndNote ™:
1. Pilih Ekspor File
2. Pilih tipe “XML” dan “RIS” sebagai gaya keluaran 
3. Beri nama perpustakaan Anda dan simpan di PC. 
Kemudian di Mendeley: 
1. Pilih File Tambah File
 2. Pilih file XML yang sebelumnya Anda ekspor dari EndNote ™ dan klik "Buka" 
3. Perpustakaan EndNote ™ Anda akan muncul di Mendeley Desktop.

Untuk mengimpor BibTeX dan RIS XML bersama PDF pilih: 

File ➡ Add Files

Demikian juga data Anda dapat dengan mudah diekspor dari Mendeley:
1. Pilih dokumen yang ingin Anda ekspor dan buka Ekspor File atau tekan Ctrl + E atau Cmd + E di MacOS. 
2. Anda kemudian akan diberikan opsi untuk menyimpan file Anda dalam format yang paling umum - .xml, .ris, dan file BibTeX.

Pencarian detail dokumen (CrossRef, PubMed, dan ArXiv) 

Anda juga dapat mencari detail dokumen dari CrossRef (DOI), PubMed (PMID), dan ArXiv. Cukup isi ID dokumen di masing-masing bidang dan klik ikon kaca pembesar di sebelahnya dapatkan detail untuk dokumen-dokumen itu. Bidang ini berada di tab Detail.
Pencarian Google Scholar Anda dapat mencari detail dokumen dengan Google Scholar di Mendeley: 
1. Masukkan judul dokumen yang benar 
2. Klik pencarian Mendeley akan mencoba melengkapi data yang hilang dari Google Scholar. (Catatan: Pencarian hanya berfungsi untuk file PDF yang diimpor dan bukan untuk entri yang ditambahkan secara manual.
Importir Web. 

sekali klik Anda dapat mengimpor referensi dengan sekali klik dari layanan yang tercantum di bawah ini. Untuk menginstal Web Importir dan untuk mengetahui cara menggunakannya, cukup pilih:
Tonton folder untuk menambahkan PDF ke Mendeley Desktop. 

secara otomatis Ketika Anda menempatkan dokumen di folder yang diawasi, itu akan secara otomatis ditambahkan ke Mendeley sehingga Anda bisa membuat anotasi, mengutip, dan menelusuri referensinya secara instan. Menambahkan file ke Mendeley menggunakan folder yang diawasi membuatnya lebih mudah untuk menambahkan beberapa kertas sekaligus dan menyimpannya di tempat yang Anda inginkan di komputer Anda.
Sinkronkan PDF dengan akun Mendeley Web Anda. 
Jika Anda ingin mengakses PDF Anda dari mana saja, aktifkan sinkronisasi file fitur. Dengan mengaktifkan fitur ini, Anda dapat mengakses file PDF Anda di Mendeley Web Perpustakaan. 

1. Pastikan bahwa "Semua Dokumen" di panel "Perpustakaan Saya" dipilih. 
2. Pilih "Edit Pengaturan" 
3. Sesuaikan pengaturan dengan kebutuhan Anda. 
4. Sinkronkan perpustakaan Anda
5. Login ke akun Mendeley Web Anda dan lihat hasilnya di perpustakaan Anda. 

Kelebihan dan Kekurangan dalam Pemikiran metodologi riset dan pengembangan ilmu komunikasi dan lainnya pada Mazhab Frankfurt dengan Mazhab Cicago.

A. MAZHAB FRANKFURT VS MAZHAB CHICAGO DALAM KOMUNIKASI

Dengan Pada tahun 1960an di saat tekhnologi komunikasi massa menunjukkan perkembangannya yang pesat timbul pertentangan pendapat mengenai peranan dan tentang efek komunikasi massa di antara para pakar yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt di Jerman dan Mazhab Chicago di Amerika Serikat. Para tokoh Mazhab Frankfurt dari Institut Frankfurt untuk penelitian social (Frankfurt Institut fur Sozialforschung), yakni: Th. Adorno, M. Horkheimer, W. Binjamin, Paul Lazarsfeld, dan M. Marcuce.

Mereka menampilkan suatu teori yakni “Teori Komunikasi Kritik”, dan penelitiannya dinamakan “Penelitian Kritik” (critical research). Obyek studi mereka adalah peranan media massa dalam kehidupan modern dengan “filosofi kritik” dalam bentuk lain terhadap Teori Kritik Karl Marx. Yang ditentang kelompok Mazhab Frakfurt bukan saja “determinisme Ekonomi yang marxistik”, tetapi juga “positiveisme empirik” dari penelitian komunikasi massa Amerika Serikat.

Pandangan ilmiah Teori Komunikasi Kritik bersifat normatif yang menentang kebebasan nilai dan penyempitan realitas social pada penelitian yang positivisme empirik. Ditegaskannya bahwa, realitas social harus didekati dengan “emansipasi manusia”, diteliti dengan teori social yang luas, tidak secara terpilah-pilah di antara ilmu, politik, filsafat (Hillander, 1981:24).

Teori Komunikasi Kritik muncul ketika terjadi aksi-aksi mahasiswa di Eropa Barat tahun 1960an khususnya di Jerman pada tahun 1967 yang menuntut demokrasi universitas. Aksi-aksi itu kemudian dilancarkan juga pada media massa, karena para mahasiswa merasa kecewa akan pemberitaan yang disiarkan media massa terutama surat kabar dan majalah yang dianggapnya tidak memperdulikan ketertiban hukum, tidak mengindahkan hakikat hasrat politik para mahasiswa.

Teori komunikasi Kritik semakin semarak setelah muncul Jurgen Habermas murid Horkheimer dan Adorno terutama sejak tahun 1970an dengan banyak buku mengenai pemikirannya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa lain. J. Habermas yang pada tahun 1965 menjadi Profesor di Universitas Frankfurt tampak semakin memusatkan perhatiannya kepada Perumusan Teori Komunikasi. Dengan demikian, Teori Komunikasi Kritik menjadi teori praktek komunikatif ; dicarinya kondisi-kondisi keberhasilan komunikasi bebas dalam masyarakat.

Habermas dikenal sebagai filsuf masa kini yang sangat kritis terhadap pemikiran-pemikiran Maxis, baik terhadap Maxisme Ortodoks maupun Neo-Maxisme. Dalam hubungan ini, sebagai pengganti Paradigma Kerja, maka Habermas mengacu pada Paradigma Komunikasi. Implikasi dari paradigma baru ini adalah memahami “Praxis emansipatoris” sebagai dialog-dialog dan tindakan-tindakan komunikatif yang menghasilkan “Pencerahan”. Hal ini bertolak belakang dengan teori-teori Marxis Klasik yang menempuh jalan revolusi untuk menjungkirbalikkan struktur masyarakat demi terciptanya masyarakat sosialis yang dicita-citakan. Sedangkan Habermas menempuh jalan “konsensus” dengan sasaran terciptanya “demokrasi radikal” yaitu hubungan-hubungan social yang terjadi dalam lingkup “komunikasi yang bebas kekuasaan”. Dalam konteks komunikasi ini “perjuangan kelas” dalam pandangan Marxis klasik, “revolusi politik” diganti dengan “perbincangan rasional” dimana argumen-argumen berperan sebagai unsur emansipatoris.  

Mazhab Chicago merupakan pandangan pakar penelitian Amerika Serikat yakni: Robert Ezra Park, Robert K. Meton, Paul F. Lazarsfeld, Harold D. Lasswell, Bernard Berelson, Daniel Lerner, Ithiel De Sola Pool, Wilbur Schramm, Charles Whright, David Berlo, dll.

Kelebihan :
1. mazhab yang paling besar pengaruhnya dibandingkan mazhabmazhab lainnya. 

2. pemecahan masalah kriminal, prostitusi, dan masalah-masalah lainnya yang timbul akibat industrialisasi dan urbanisasi yang berlangsung sangat cepat di Amerika. Sehingga ini memberikan kontribusi positif untuk khalayak

3. Hal-hal yang tidak bisa dikuantifikasi, ditinggalkan. Sehingga, dengan demikian, metode berfikirnyaadalah induktifyakni berfikir dari yang konkrit (khusus) menuju yang abstrak (umum).


Masa kejayaan Mazhab Chicago, penelitian komunikasi banyak menggunakan metode kuantitatif, sebagai akibat dari pendanaan dari para sponsor. Akibatnya, penelitian yang semula merupakan kegiatan kreatif perorangan berubah menjadi pekerjaan borongan. Hal ini dilakukan dalam rangka memenuhi pesanan para penyedia dana, baik pemerintah, yayasan dan perusahaan. Penelitian ini banyak dilakukan tentang persuasi, propaganda, dan efek langsung dari media massa pada khalayak.

Penelitian komunikasi ini dengan penekanan pada efek langsung itu, merupakan pengaruh Model Linear dari Shannon dan Weaver (Mathematical Model of Communication Theory). Pendekatan penelitiannya dengan memusatkan perhatian kepada individu sebagai system analisis, bukan sebagai bagian dari sistem sosial.

Mazhab Chicago menyadari bahwa media komunikasi memiliki keperkasaan dalam mempengaruhi masyarakat. Rekomendasi Mazhab Chicago: Karena efektivitasnya itu maka Media Massa perlu melakukan penyempurnaan secara sustainable agar acaranya, pengolahannya, penyajiannya, dan penyebarannya menjadi lebih efektif dan efisien. Untuk itulah diperlukan pemahaman mengenai efek komunikasi.

Pada masa selanjutnya akhir 1960 dan 1970an minat para peneliti aliran empirisme beralih ke penelitian “efek komunikasi tak langsung”. Aliran ini memperluas cakrawala pandangan tentang efek komunikasi di luar penataan agenda (agenda setting). Perkembangan berikutnya menunjukkan banyaknya penelitian yang dilakukan untuk memahami efek negatif dari Media Massa.

Penelitian yang dikembangkan oleh Mazhab Chicago dijuluki “Penelitian Administrasi” (administration research) yakni penelitian berdasarkan jasa, yang oleh karena disponsori maka masalah yang diteliti tidak ditentukan oleh si peneliti sendiri, melainkan oleh sponsor yang memesan, dan peneliti hanya sekedar pelaksana.

Jika kita bandingkan dengan aliran empirik ini dengan Mazhab Frankfurt yang beraliran kritik, tampak bahwa apabila aliran empirik menekankan pada efek komunikasi pada khalayak dengan melakukan analisis isi dalam rangka menarik kesimpulan tentang efek komunikasi, maka aliran kritik pada pengawasan sistem komunikasi. Jadi jikalau aliran kritik melakukan analisis isi, tujuannya adalah untuk mengambil kesimpulan tentang lembaga media massa yang menyebarkan pesan komunikasi, bukan untuk mengetahui efek komunikasi pada khalayak.

Mazhab Frankfurt adalah Mazhab atau aliran yang berasal dari negara Jerman. Mazhab Franfurt dengan tokoh-tokohnya Th. Adorno, M. Horkheimer, W. Benjamin, P. Lazarsfeld, dan M. Marcuce dari Institut Frankfurt untuk penelitian sosial, penelitiannya dinamakan penelitian kritik (critical research) yang menampilkan teori komunikasi kritik.

Kelebihan:
1. Beraliran kritis yakni lebih mengandalkan penalaran; segala sesuatu diuji berdasarkan logika. Jadi sesuatu itu dianggap benar bila tidak bertentangan dengan logika; sesuai dengan nalar, logis!
2. membangun suatu kontruksi ilmu sosial yang semakin solid
3. Ilmu pada saat ini masih bersih dari pengaruh pragmatis, sehingga dinamakan dengan ilmu murni (pure science). 

Kritik Mazhab Frankfurt Terhadap Mazhab Chicago dan Komunikasi Massa Amerika Serikat:

Mazhab Frankfurt mengatakan bahwa penelitian komunikasi massa yang positivistic empirik yang tidak menggunakan teori social secara umum tidak dapat mengkaji fenomena-fenomena komunikasi massa. Dalam hal penelitian tentang keefektifan pesan iklan, misalnya, disebabkan pihak sponsor ingin mengetahui apakah dana yang dikeluarkannya bermanfaat atau tidak, dan tidak mempertanyakan manfaat social dari iklan tersebut.

Bertolak dari Teori Sosial yang memandang emansipasi dari individu sebagai pusat perhatian, maka Mazhab Frankfurt berpandangan pesimistik akan peranan media massa dalam kehidupan barat yang modern. Menurut Mazhab Frankfurt, dalam kehidupan barat yang modern, kehidupan telah menjadi kebudayaan massa (mass Culture) dan individu lebih merupakan konsumen dari kebudayaan massa itu, ketimbang menjadi penikmat kebudayaan.

Sehubungan dengan itu yang berperan pada permulaan abad ke 20 adalah film, disusul radio, kemudian tv, termasuk video. Dalam perkembangan akibat dari kemajuan teknologi yang semakin canggih, ketiga jenis media massa itu saling bersaing untuk memikat perhatian dan minat khalayaknya. Tampak bahwa dalam memproduksi kebudayaan massa itu, media massa dalam operasionalisasinya tidak lagi membuat individu yang menentukan apakah estetika itu, tetapi media massa yang menentukan bagi individu apa yang harus termasuk kebudayaan. Situasi seperti itu diperkuat oleh terkonsentrasinya media cetak, surat kabar dan majalah yang semula bergiat sendiri-sendiri. Dalam hubungan ini pengaruh ekonomi tampak besar sekali.

Teori komunikasi kritik adalah teori media massa kritik yang tidak semata-mata memusatkan perhatian pada media massa sebagai ajang penelitian, tetapi dengan menjadikan konteks sosial sebagai titik tolaknya guna mempelajari fungsi media massa. Dalam hal inilah jasa teori komunikasi kritik untuk ilmu komunikasi, yakni memperhitungkan faktor-faktor penting dalam masyarakat seperti politik, ekonomi, dll, yang berbeda dengan formula Harold Lasswell yang banyak mempengaruhi penelitian komunikasi massa (Hollander 1980:29).

Habermas adalah filsuf / cendikiawan penting dalam mengkonsepsikan Teori Komunikasi Kritik berkat analisisnya secara teoretis dan metodologis tentang “Keterbukaan” dalam fungsi media massa sebagai problema sentral. Keterbukaan tersebut menyangkut hubungan pihak penguasa dengan pihak warga Negara yang menunjukkan semakin berkembangnya dan berakarnya bentuk-bentuk komunikasi umum secara informal dan struktur social.

Dampak Teori Komunikasi Kritik terhadap perkembangan ilmu komunikasi ialah timbulnya kesadaran bahwa komunikasi massa dan media massa harus dipelajari dalam konteks social agar dapat diperoleh latar belakang histories-ekonomis-politik bagi fenomena komunikasi massa. kesadaran itu, banyak penelitian dilakukan secara integral dan interdesipliner mengenai fungsi mm seperti mengenai pengaruh factor ekonomi dan politik terhadap proses komunikasi massa baik secara makro social ekonomi maupun dalam lingkup kecil seperti komunikasi kota dan desa.

Lanigan mengatakan bahwa Teori Komunikasi Kritik berfungsi sebagai “filsafat militan” (militant philosophy) dalam pertahanan komunikasi (defense of communication) sebagai aktivitas manusia yang merupakan orang selaku subjek dalam masyarakat. Lanigan juga mengatakan, Teori Komunikasi Kritik sebagai “pragmatika universal” dilandasi fenomenologis komunikasi yang merupakan subjektivitas yang melekat pada kegiatan berujar yang menyadarkan suatu produk social yaitu tatanan “kommunikation sgemeinschaft” (Lanigan dalam Nimmo & Sanders, 1953, dalam Effendy, 2000).

Dalam Teori Komunikasi Kritis ditegaskan bahwa kritik merupakan konsep kunci untuk memahami teori kritis. Konsep kritik dipergunakan mazhab Frankfurt ini memiliki kaitan dengan sejarah dengan konsep kritik yang berkembang pada masa-masa Rennaisance. 
Yang termasuk dalam kelompok teori Kritis adalah:
a. Teori Marxist.
Tokohnya Karl Marx (1818-1883). Teorinya terus memberikan inspirasi bagi perkembangan ilmu sosial juga ilmu komunikasi. Model analisisnya adalah model khas Marx atau Marxisme, yaitu model analisis yang mencoba menemukan keuntungan pihak tertentu (dan kerugian pihak lain) di balik fenomena yang dianggap biasa-biasa. Marxisme mengembangkan dua istilah pokok yakni:

1. Substrkutur atau faktor ekonomi yang berkembang dimasyarakat.

2. Superstruktur atau faktor nonekonomi seperti agama, politik, seni dan literatur. Maxs berpendapat bahwa kondisi-kondisi ekonomi dipengaruhi faktor-faktor superstrukrur.

Atas dasar analisa ini, Marx mengarahkan pemikirannya untuk melakukan REVOLUSI (perubahan secara mendasar dan cepat) struktur masyarakat.

b. Frankfrut School

Mazhab Frankfurt ialah sebuah nama yang diberikan kepada kelompok filsuf yang memiliki afiliasi dengan Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, Jerman, dan pemikir-pemikir lainnya yang dipengaruhi oleh mereka. Tahun yang dianggap sebagai tahun kemulaian Mazhab Frankfurt ini adalah tahun 1930, ketika Max Horkheimer diangkat sebagai direktur lembaga riset sosial tersebut.

Beberapa filsuf terkenal yang dianggap sebagai anggota Mazhab Frankfurt ini antara lain Theodor Adorno, Walter Benjamin, dan Jürgen Habermas. Perlu diingat bahwa para pemikir ini tidak pernah mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kelompok atau 'mazhab', dan bahwa penamaan ini diberikan secara retrospektif. Walaupun kebanyakan dari mereka memiliki sebuah ketertarikan intelektual dengan pemikiran neo-Marxisme dan kritik terhadap budaya (yang di kemudian hari memengaruhi munculnya bidang ilmu Studi Budaya), masing-masing pemikir mengaplikasikan kedua hal ini dengan cara-cara dan terhadap subyek kajian yang berbeda.

Ketertarikan Mazhab Frankfurt terhadap pemikiran Karl Marx disebabkan antara lain oleh ketidakpuasan mereka terhadap penggunaan teori-teori Marxisme oleh kebanyakan orang lain, yang mereka anggap merupakan pandangan sempit terhadap pandangan asli Karl Marx.

Menurut mereka, pandangan sempit ini tidak mampu memberikan 'jawaban' terhadap situasi mereka pada saat itu di Jerman. Setelah Perang Dunia Pertama dan meningkatnya kekuatan politik Nazi, Jerman yang ada pada saat itu sangatlah berbeda dengan Jerman yang dialami Karl Marx. Sehingga jelaslah bagi para pemikir Mazhab Frankfurt bahwa Marxisme harus dimodifikasi untuk bisa menjawab tantangan zaman.

Patut dicatat bahwa beberapa pemikir utama Mahzab Frankfurt beragama Yahudi, dan terutama di perioda awal secara langsung menjadi korban Fasisme Nazi. Yang paling tragis ialah kematian Walter Benjamin, yang dicurigai melakukan bunuh diri setelah isi perpustakaannya disita oleh tentara Nazi. Beberapa yang lainnya, seperti Theodor Adorno dan Max Horkheimer terpaksa melarikan diri ke negara lain, terutama Amerika Serikat.

c. Teori Feminist Media.

Menurut Stephen W. Littlejohn, studi-studi feminis merupakan sebuah sebutan generik bagi sebuah perspektif yang menggali pengertian dari gender dalam masyarakat. Dimulai dengan asumsi bahwa gender adalah kategori yang luas untuk memahami pengalaman manusia, pembahasan feminis bertujuan untuk mengekspose kekuatan-kekuatan dan batasan-batasan dari pembagian dunia berdasarkan gendernya.

Fatalnya, banyak teori feminis yang memberi penekanan pada sifat mengekang dari hubungan jenis kelamin di bawah dominasi patriarki. Dengan sendirinya, feminisme dalam banyak hal merupakan sebuah studi tentang distribusi kekuasaan di antara jenis-jenis kelamin.

Para feminis sepertinya meminta adanya persamaan hak bagi perempuan, sebuah pengakuan publik bahwa perempuan memiliki kualitas dan kekuatan yang sama, yang dapat tampil sama baiknya di segala bidang kehidupan. Di lain pihak, mereka sepertinya ingin mengatakan bahwa perempuan berbeda dengan laki-laki, dan bahwa kekuatan dan bentuk2 ekspresi mereka harus dihargai dalam sisi mereka sendiri. Hal tersebut menimbulkan sebuah paradoks murni, supaya perempuan dihargai dan memiliki hak-hak yang sama, kekuatan perempuan harus diakui, tetapi penyorotan pada kekuatan-kekuatan perempuan ternyata semakin memperkuat pandangan patriarkis bahwa perempuan memiliki tempat sendiri.

d. Teori Political Economi Media

Vincent Mosco dalam bukunya “The Political Economi of Communication” secara tersirat menyebutkan bahwa Posmodernitas dengan ekonomi politik tidak dapat dipisahkan keberadaannya. Hal tersebut terbukti dari beberapa teori dalam buku Mosco yang mengupas tentang adanya keterkaitan hal tersebut di atas. Di antara teori-teori tersebut adalah komodifikasi, spasialisasi dan strukturalisasi.

Komodifikasi menurut Karl Marx ialah kekayaan masyarakat dengan menggunakan produksi kapitalis yang berlaku dan terlihat seperti “kumpulan komoditas (barang dagangan) yang banyak sekali”; lalu komoditi milik perseorangan terlihat seperti sebuah bentuk dasar. Oleh karena itu kami mulai mengamati dengan sebuah analisis mengenai komoditi (barang-barang dagangan) (Mosco,1996:140). Komodifikasi diartikan sebagai transformasi penggunaan nilai yang dirubah ke dalam nilai yang lain. Dalam artian siapa saja yang memulai kapital dengan mendeskripsikan sebuah komoditi maka ia akan memperoleh keuntungan yang sangat besar.

Spasialisasi ialah sebuah sistem konsentrasi yang memusat. Dijelaskan jika kekuasaan tersebut memusat, maka akan terjadi hegemoni. Hegemoni itu sendiri dapat diartikan sebagai globalisasi yang terjadi karena adanya konsentrasi media. Sebagai contoh, media barat yang menyebarkan budaya mereka melalui media elektronik. Dari adanya hal tersebut memunculkan translator (orang-orang yang tidak dapat menyaring budaya) yang akhirnya berakibat budaya barat menjadi budaya dunia. Dan kelompok hegemoni itu sendiri adalah kelompok yang menguasai politik, media dan teknologi sekaligus.

Strukturalisasi merupakan salah satu karakteristik yang penting dari teori struktural. Yang di dalammya menggambarkan tentang keunggulan untuk memberi perubahan sosial sebagai proses yang sangat jelas mendeskripsikan bagaimana sebuah struktur diproduksi dan diproduksi ulang oleh manusia yang berperan sebagai pelaku dalam struktur ini.

e. Teori Cultural Studies.

Bidang ilmu pengetahuan yang relatif baru ini dengan sengaja mengambil kata majemuk sebagai penamaan diri, yakni studies (kajian-kajian), bukannya study (kajian). Penamaan ini dengan sendirinya menyiratkan sikap dan positioning para penggagas cultural studies terhadap kondisi ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak, saling mengklaim kebenaran, meskipun lambat laun dimengerti juga bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan bersifat parsial. Kondisi semacam itu dijawab oleh cultural studies dengan menempuh strategi inter dan multidisipliner.

Cultural studies memasukkan kontribusi teori maupun metode dari berbagai disiplin ilmu yang dipandang strategis untuk mengedepankan realita kehidupan umat manusia maupun representasinya yang dipandang krusial dalam kehidupan mutakhir.

Karena cultural studies merupakan bidang keilmuan yang multi, maka wilayah kajian, pendekatan, teori dan konsep, maupun pendekatan metodologisnya pun sangat bervariasi; sehingga tidak mungkin dibahas selengkap-lengkapnya dalam makalah ini. Berikut hanya akan dibahas beberapa hal yang saya pandang berkaitan dengan sejarah sosial

Salah satu ciri terpenting cultural studies adalah pemahamannya terhadap dunia sehari-hari sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, diomongkan, didengar, dilihat, digunjingkan, dalam kehidupan sehari-hari oleh orang kebanyakan merupakan wilayah amatan cultural studies.

f. Analisis Framing.

Sebagaimana sudah dijelaskan pada halaman sebelumnya, dalam analisis framing yang ditekankan adalah bagaimana berita dibingkai? Sisi mana yang ditekankan dan sisi mana yang hendak dilupakan analisis framing dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, paktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media.pembingkaian tersebut melalui proses yang disebut kontruksi. Disini, realitas sosial dimaknai dan dikontruksi dengan makna tertentu.

Dalam ranah penelitian media, analisis framing masuk dalam pradikma kontruksionis. Pandangan ini dipengaruhi oleh berger dan luckman. Media bukanlah satu saluran yang bebas memberitakan sesuatu apa adanya.mediajustru bersipat subyektip dan cenderung mengkonstruksi realitas. Analisis framing bertijuan untuk mengetahui bagaimana realitas dikonstruksi oleh media.dengan cara dan teknik peristiwa itu ditekankan dan ditonjolkan. Apakah dalam berita itu ada bagian yang dihilangkan, lupuk,atau sengaja disembunyikan dalam pemberitaan.

Analisis framing adalah metode untuk melihat cara bercerita(histori telling)media atas suatu peristiwa. Cara bercerita itu tergambar pada ’cara melihat’temadak realitas yang dijadikan berita. Sebagai suatu metode, analis framing banyak mendapat pengaruh dari sosiologi dan pisiologi.dan sosiologi, terutama sumbangan pemikiran dari peterberger dan erfing goffman. Dari psikologi adalah sumbangan dari teori yang berhubungan deng skema dan kognisi,dalam ranah penelitia media, analisis framing masuk dalam pradikma konstruksionis. Pandangan ini dipengaruhi oleh berger dan lukman.

Media dan berita dilihat dari para dogma konstruksionis. Fakta peristiwa adalah hasil konstruksi realitas itu bersifat subjektif. Realitas hadir karena konsep subjektif wartawan. Realitas hadir sudut pandang tertera dari wartawan.

g. Analisis Wacana.

Banyak model dan teori analisis wacana yang dikembangkan oleh para ahli. Seperti yang dijabarkan oleh Eriyanto (2001) dalam buku Analisis Wacana, ada beberapa model analisis wacana yang populer dan banyak digunakan oleh para peneliti, diantaranya adalah model dan teori analisis wacana yang dikembangkan oleh Roger Fowler dkk (1979), The van Leeuwen (1986), Sara Mills (1992), Norman Fairclough (1998) dan Teun A. Van Dijk (1998).

Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Melalui berbagai karyanya, van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat didayagunakan. Van Dijk membaginya kedalam tiga tingkatan :

· Stuktur makro. Ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa.

· Superstuktur, adalah kerangka suatu teks: bagaimana stuktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh.

· Stuktur mikro, adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisa kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai dan sebagainya.

Yang termasuk dalam kelompok Perspektif Interpretif

Teori komunikasi interpretif yang meliputi fenomenologi dan hermeneutika sedangkan teori komunikasi kritis adalah meliputi teori marxis, pemikiran Frankfurt school, teori feminist media, teori politik ekonomi media, teori cultural Studies, analisa Framing dan analisa wacana. 

Perspektif Interpretif tumbuh berdasarkan ketidakpuasan dengan teori Post Positivis, karena dianggap terlalu umum, terlalu mekanis dan tidak mampu menangkap keruwetan, nuansa, dan kompleksitas dari interaksi manusia. Perspektif interpretif mencari sebuah pemahaman bagaimana kita membentuk dunia pemaknaan melaui interaksi dan bagaimana kita berprilaku terhadap dunia yang kita bentuk itu. Dalam pencarian jenis pemahaman ini, teori interpretif mendekati dunia dan pengetahuan yang sangat berbeda dengan cara teori post positivis.

Pandangan dasar dari Perspektif Interpretif meliputi tiga bagian utama yakni:

a. Fenomenologi.

Dunia kehidupan (lebenswelt) adalah dasar makna yang dilupakan oleh ilmu pengetahuan. Begitulah ujar Hussel. Dunia kehidupan adalah unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hadapi sebelum kita meneorikan atau mereflesikannya sehari-hari. Jadi pemikirannya bukan merupakan sebuah gerakan yang kohern. Ia mungkin lebih merfleksikan pemikiran dari beberapa filsuf, termasuk didalamnya Edmund Husselr, Maurice Marleu Ponty, Martin Haidger dan Alfred Schutz.

      Secara singkat dapat dikatakan, fenomenolgi adalah kajian pemaknaan berdasaran kehidupan sehari-hari. Terbagi atas dua bagian, yakni Klasik (trasendantal) dan Modern.

b. Hermeunetika.

Adalah kajian yang menunjukkan para ilmuwan pada pentingnya teks dalam dunia sosial dan pada metode analisis yang menekankan keterhubungan antara teks, pengarang, konteks dan kalangan teorisi. Dengan demikian Heurmeneutika pada dasarnya menyediakan suatu jalan untuk menghindar dari tekanan dalam penjelasan dan kontrol pada kalangan positivis serta pemahaman subjektif atas penelitian sosial.

Pengkajian teks yang dianalis terus mengalami perkembangan dan kini studi komunikasinya meluas pada beberapa hal diantaranya, pidato, acara televisi, pertemuan bisnis, percakapan yang intim, prilaku nonverbal atau arsitektur dan dekorasi sebuah rumah.

c. Interaksionis simbolik.

Berorientasi pada prinsip bahwa orang merespon makna yang mereka bangun sejauh mereka satu sama lain berinteraksi. Setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial, yang tentu saja dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia juga menjadi instrumen penting dalam produksi budaya, masyarakat dan hubungan yang bermakna yang memengaruhi mereka. 

Referensi:

  • Ade Koesnandar, Drs. M.Pd. 1999. “Dasar-Dasar Program Audio”, Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
  • Bungin, Burhan. 2011. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi Di Masyarakat. Jakarta; Kencana Prenada Media Group.
  • Dahglren, Peter. 2002. The Public Sphere As Historical Narrative Dalam Denis McQuail. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London: Sage Publication.
  • Effendy, Onong Uchjana, 1999. Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, Rosdakarya.
  • Griffin, 2003, A First Look at Communication Theory, 5th Edition. USA: McGrraw-Hill Companies
  • Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. D.I. Yogyakarta: PT. Kanisius.
  • Katherine Miller, 2005. Communication Theoris, Perspectives, Processes, and Context, Second Edition.
  • Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. USA: Wadsworth Group
  • ----------------,  2009. Theories of Human Communication, USA: Wadsworth Group.
  • McQuail, Denis. 2011. Teori Komunikasi Massa:Terjemahan Dari Mass Communication Theory. Jakarta: Salemba Humanika.
  • ---------------, 2005. Communication Theory,  edisi 5.
  • Mosco,Vincent, 1996. The Political Economy Of Communication, SAGE Publications, London.
  • Mulyana, Deddy, 2009. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Rosdakarya, Bandung.
  • ----------------. 2008. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
  • Nasrullah Rulli. 2012. Komunikasi Antar Budaya: di Era Budaya Siber. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
  • LittleJohn, Stephen W. 2005. Theories of Human Communication – Fifth Edition. Terjemahan edisi Indonesia 1 (Chapter 1-9), dan edisi  Indonesia 2 (Chapter 10-16).
  • Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: ABiographical Approach. New York:The Free Press.  4. West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi:  Analisis dan Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.
  • Rakhmat, Jalaluddin, 2006. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, Rosdakarya.

Kamis, 17 Desember 2020

Aspek Teoretik Komunikasi Massa

Dalam pembahasan manajemen perubahan dalam konteks komunikasi Massa ini ada beberapa teori besar yang bisa membantu memecahkan masalah dalam mengelola perubahan, yaitu:

1. Teori-teori komunikasi massa yang terdapat dalam Tradisi Sosiopsikologi adalah meliputi:

a. Cultivation Theory

Teori ini menyatakan bahwa televisi (dan media yang lain) memainkan peranan yang sangat penting dalam bagaimana orang memandang dunia mereka. Menurut Cultivation Analysis, dalam kultur modern sebagian besar orang mendapatkan informasi melalui perantaraan media (mediated) daripada memperolehnya secara langsung. Dengan demikian, sumber-sumber mediated itu dapat membentuk pengertian orang tentang realitas, khususnya kasus yang berkaitan dengan kejahatan. Cultivation Analysis menegaskan bahwa orang yang tergolong sebagai pemirsa berat (heavy viewer) memahami lingkungan sebagai lebih jahat dan menakutkan.

b. Agenda Setting Theory

Agenda Setting Thoery (Teori Penataan Agenda) pertama kali dikenalkan oleh M.E. Mc. Combs dan D.L. Shaw dalam “Public Opinion Quarterly”. Kedua pakar ini memberikan penekanan pada suatu peristiwa dimana media akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Pembahasan yang ada dalam teori ini, yaitu media massa tidak menentukan “what to think” tetapi “what to think about”.

Asumsi dasar teori dan uraian teori Agenda Setting Theory dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya. Bagaimana sebuah media massa menyajikan peristiwa, itulah yang disebut sebagai agenda media. David H. Heaver dalam karyanya yang berjudul “Media Agenda Setting and Media Manipulation” pada tahun 1981 mengatakan bahwa pers sebagai media komunikasi massa tidak mereflesikan kenyataan, melainkan menyaring dan membentuknya seperti sebuah kaleidoskop yang menyaring dan membentuk cahaya.

Mengenai Agenda Setting lebih banyak menjelaskan apa yang terjadi di dunia pilitik, Alexis S. Tan menyimpulkan bahwa media massa mempengaruhi kognisi politik dalam dua cara, yaitu :

1. Media secara efektif menginformasikan peristiwa politik kepada khalayak.

2.Media mempengaruhi persepsi khalayak mengenai pentingnya masalah politik.

2. Teori komunikasi Massa dalam Tradisi Semiotika, Paradigma Interpretive serta bermetodologi Subyektif adalah:

a. Tecnologi Determinition.
b. Semiotika.

3. Teori komunikasi Massa dalam Tradisi Sosiokultural, paradigma Interpretive serta bermetodologi Subyektif adalah:

a. Technologi Determinition.
b. Cultivation Theory.

4. Teori komunikasi Massa dalam Tradisi Kritis, paradigma kritis serta bermetodologi Subyektif adalah :

a. Cultural Studies

Teoritisi dalam Cultural Studies menegaskan bahwa media merepresentasikan ideologi-ideologi dari kelas dominan dalam suatu masyarakat. Karena media dikontrol oleh korporasi, maka informasi yang disajikan kepada publik dipengaruhi dan dibingkai dalam cara berpikir untuk mendapatkan keuntungan. Teoritisi Cultural Studies memberi perhatian pada pengaruh media dan bagaimana kekuasaan memainkan peranan dalam menafsirkan kultur.

Asumsi dasar adanya teori ini karena zaman terus berkembang dimana manusia semakin kritis dan perkembangan teknologi tidak bisa dan tidak boleh dihentikan. Informasi semakin mudah diciptakan dan didapatkan karena perkembangan media massa yang sedemikian pesat. Pesatnya perkembangan teknologi di bidang komunikasi massa mau tak mau akan memberikan banyak efek yang beragam bagi setiap individu yang menerimanya, efek ini dapat membuat pintar publik namun dapat juga menyebabkan pembodohan terhadap publik. Namun demikian, komunikasi massa tetap menjadi sebuah perwujudan dari perkembangan zaman yang seharusnya dilihat dan dijaga agar tetap selalu berefek positif sesuai dengan fungsi dari komunikasi massa itu sendiri.

Berikut ini adalah fungsi-fungsi dari komunikasi massa, antara lain :

1. Fungsi pengawasan (pengawasan peringatan dan pengawasan instrumental).
2. Fungsi interpretasi.
3.Fungsi hubungan (linkage).
4. Fungsi sosialisasi.
5.Fungsi hiburan.

5. Teori Difusi Informasi.

Teori ini berasal dari sosiolog Everest M Roger, sebagai tokoh difusi. Difusi adalah proses komunikasi yang menetapkan titik-titik tertentu dalam penyebaran informasi melalui ruang dan waktu, dari satu agen ke agen yang lain. Salah satu saluran komunikasi yang penting adalah media massa, karena itu model difusi mengasumsikan bahwa media massa mempunyai efek yang berbeda-beda pada waktu yang berlainan, mulai dari menimbulkan tahu sampai mempengaruhi adopsi atau rejeksi (penerimaan dan penolakan).

6. Teori Spiral of Silence

Teori Spiral of Silence dikemukakan pertama kali oleh Elizabeth Noelle Neuman, seorang sosiolog Jerman, pada tahun 1974. Dalam teori terdapat jawaban bagaimana dalam komunikasi massa, komunikasi antarpersona, dan persepsi individu terhadap pendapatnya sendiri dalam hubungannya dengan pendapat orang lain dalam masyarakat. Asumsi dasar dari teori ini adalah pemikiran sosio-psikologi 1930-an yang menyatakan bahwa pendapat pribadi sangat tergantung pada apa yang dipikirkan / diharapkan oleh orang lain, atau atas apa yang orang rasakan / anggap sebagai pendapat dari orang lain.

Dalam spiral of silence dijelaskan bahwa individu pada umumnya berusaha untuk menghindari isolasi, dalam arti sendirian mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu. Dapat disimpulkan bahwa orang akan mengamati lingkunganya untuk mempelajari pandangan-pandangan mana yang bertahan dan mendapatkan dukungan dan mana yang tidak dominan atau populer. Maksudnya adalah jika seseorang merasa pandangannya tergolong dalam jumlah yang minoritas maka ia akan cenderung sulit untuk mengekspresikan apa yang ia inginkan karena perasaan takut akan diisolasi. Sedangkan kebalikannya yaitu seseorang akan merasa semakin kuat dan luas untuk mengekspresikan dirinya karena pendapatnya termasuk pada jumlah mayoritas. Berikut ini adalah gambar yang menunjukkan hubungan tersebut.

7. Use and Gratification

Pertama kali dikemukakan oleh Elihu Katz pada tahun 1959. Adanya teori ini diawali dari dari pernyataan Katz pada sebuah artikel untuk menanggapi apa yang dikatakan oleh Bernard Berelson. Pada saat itu, Bernard menyatakan bahwa komunikasi akan mati, namun Katz menganggap pernyataan itu tidak benar karena yang sedang dalam kondisi tidak baik adalah komunikasi massa, karena pada saat itu komunikasi massa hanya dianggap sebagai sebuah persuasi.

Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?”

Di sini sikap dasarnya diringkas sebagai berikut: Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa. 

Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya.

Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar.

Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian.

8. Teori Information Gap

Teori kesenjangan informasi (information gap) banyak memotivasi pelaku media massa untuk menyajikan informasi dan memperjuangkannya sebagai tindakan pembangunan. Di Indonesia, para praktisi media misalnya menjadikan pemerataan informasi sebagai alasan pendirian institusi media, demikian juga halnya dengan kebebasan pers juga dinisbahkan pada hipotesis kesenjangan informasi. Sejak tahun 1970-an Tichenor, Donohue dan Olien, mengumumkan hasil surveynya pada 1965. Dalam hasil surveynya bahwa orang yang memiliki status sosio-ekonomi lebih tinggi akan lebih cepat mendapat informasi dari pada yang berstatus rendah, maka gap pengetahuan antara keduanya akan semakin meningkat bukan menurun, "...segments of the population with higher socioeconomic status tend to acquire information at a faster rate than the lower status segments so that the gap in knowledge between these segments tends to increase rather than decrease." Hipotesis kemudian memimpin pola pembangunan dunia dengan mengemukakan isu K-gap (knowledege gap) yang melatarbelakangi usaha pembangunan berbagai negara.

9. Teori Depedency Media

Teori dependensi mengenai efek komunikasi massa dikembangkan oleh Sandra Ball Rokeach dan Melvin L. DeFleur pada tahun 1976. Dalam teori ini yang menjadi fokus perhatiannya adalah kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur kecenderungan yang terjadi pada suatu efek media massa.

Asumsi dasar dari teori ini dapat disimpulkan dalam bagan tersebut bahawa teori ini merupakan suatu pendekatan struktur sosial yang berangkat dari gagasan mengenai sifat suatu masyarakat yang modern (atau masyarakat massa), di mana media massa dapat dianggap sebagai sistem informasi yang memiliki peranan penting dalam proses pemeliharaan, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat, kelompok, atau individu dalam aktivitas sosial.

Dalam teori ini dikemukakan bahwa adanya ketergantungan antara masyarakat modern dengan media massa karena media massa dianggap sebagai sumber informasi yang dapat memberikan pengetahuan tentang apa Asumsi dasar dari teori ini dapat disimpulkan bahwa teori ini merupakan suatu pendekatan struktur sosial yang berangkat dari gagasan mengenai sifat suatu masyarakat yang modern (atau masyarakat massa), di mana media massa dapat dianggap sebagai sistem informasi yang memiliki peranan penting dalam proses pemeliharaan, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat, kelompok, atau individu dalam aktivitas sosial.

10. Teori Massifikasi Media

Teori ini disebut pula dengan Teori masyarakat Massa, memiliki pemikiran bahwa media adalah obat yang berbahaya atau kekuatan pembunuh yang berbahaya yang dapat secara langsung dan segera menembus sistem saraf manusia. Teori ini adalah contoh suatu teori besar (grand theory) atau paradigma yang dirumuskan guna menggambarkan seluruh aspek dari gejala yang ada. Teori ini mulai berkembang dan berpengaruh pada paruh abad-19 dan pada dekade awal abad ke-20. Massifikasi (industrialisai) media begitu berkembang dengan pesat, yang ditandai dengan perubahan sosial yang signifikan yaitu tumbuhnya industrialisasi media massa disusul dengan perpindahan masyarakat dari desa ke kota (urbanisasi). Teori ini lebih digambarkan dengan menggunakan teori stimulus –respon (SR) yang meyakini bahwa kegiatan mengirimkan pesan sama halnya dengan tindakan menyuntikkan obat yang bisa langsung masuk ke dalam jiwa penerima pesan, sebagaimana peluru yang ditembakkan dan langsung masuk ke dalam tubuh.

11. Teori Efek Media

George Gerbner, mantan Dekan Komunikasi Universitas Pennsylvania dan pernah membantu pemerintahan USA dalam meneliti efek tayangan TV, menyatakan mereka yang terlalu banyak menonton TV akan memiliki kepercayaan dan keyakinan yang berlebihan mengenai ‘dunia jahat yang menakutkan’. Kekerasan yang disaksikan di layar TV dapat menimbulkan ketakutan sosial yang dapat menghambat atau bahkan menghilangkan pandangan umum bahwa manusia pada dasarnya adalah baik dan dapat dipercaya serta lingkungan yang aman. Efek yang ditimbulkan disebutnya sebagai Efek Kultivasi atau dapat pula disebut sebagai Teori Kultivasi, yakni teori yang memperkirakan atau menjelaskan pembentukan persepsi, pengertian dan kepercayaan mengenai dunia sebagai hasil dari mengkomsumsi pesan media dalam jangka panjang.

Teori ini mengajukan tiga Asumsi dasar untuk mengedepankan gagasan bahwa realitas yang diperantarai TV oleh menyebabkan khalayak menciptakan realitas sosial mereka sendiri yang berbeda dengan realitas sebenarnya. Ketiga asumsi tersebut, masing-masing:

a. TV adalah media yang sangat berbeda.
b. TV membentuk cara masyarakat berpikir dan berinteraksi.
c. Pengaruh TV bersifat terbatas.

12. Priming Theory Dalam Mass Media Effect (Dalam Pandangan Arif Lutviansori).

Berbicara mengenai eksistensi media massa terutama televisi dan efek yang ditimbulkan dari media massa tersebut memang banyak menimbulkan perdebatan yang muncul. Perdebatan tersebut tidak lain adalah karena efek yang ditimbulkan di satu sisi memberikan manfaat yang sangat besar dalam memperoleh informasi bagi yang memang benar-benar mampu untuk “memfilter’ dirinya dari media massa tersebut, tetapi di sisi lain terkadang muncul efek negatif dari televisi yang contohnya dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini semua tidak terlepas dari sifat televisi sebagai media informasi dan media intertainment.

Menyikapi hal tersebut, banyak teori yang coba digali mengenai mass media effect tersebut. Beberapa waktu lalu sudah dibahas mengenai agenda setting, dan lain-lain yang kemudian melahirkan pandangan tentang fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat tentang efek yang ditimbulkan dari adanya media massa terutama televisi. Dalam kesempatan ini

Itulah mengapa kajian-kajian mengenai komunikasi menjadi sangat menarik ketika komunikasi dalam tataran praktisnya menyentuh aspek kemanusiaan. Tentu saja, aspek kemanusiaan tersebut meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, ideologi, psikologi dan kebudayaan. Itulah sebabnya juga, komunikasi tidak bisa dipisahkan dengan begitu saja dengan dimensi manusia.

Dalam proses perkembangan kebudayaan manusia, komunikasi massa menjadi proses dan bidang ilmu komunikasi yang mempunyai tingkat pengaruh yang cukup penting pada kehidupan manusia sehari-hari. Dapat dikatakan bahwa dalam perkembangan manusia, komunikasi massa memainkan peranan penting bagi perubahan dan dinamika sosial manusia. Berita, dalam konteks komunikasi massa yang berkembang sampai sekarang, selalu muncul dalam benak dan pikiran manusia. Berita yang disusun dalam benak manusia bukan merupakan peristiwa manusia. Berita bukan adalah peristiwa itu sendiri. Berita merupakan usaha rekonstruksi kerangka peristiwa yang terjadi2. Berita dalam konteks komunikasi massa, lebih merupakan inti yang disesuaikan dengan kerangka acuan yang dipertimbangkan agar peristiwa itu memiliki makna bagi para pembacanya.

Berita dalam kapasitasnya sebagai pembentuk dan dinamisator pengolahan interpretasi atas peristiwa manusia, menjadi hal yang sangat penting dalam proses pembentukan konstruk sosial. Berita, pada titik tertentu, sangat mempengaruhi manusia merumuskan pandangannya tentang dunia. Pandangan terhadap dunia adalah bingkai yang dibuat oleh manusia untuk menggambarkan tentang apa dan bagaimana dunia dipahami. Berbagai pengalaman hidup manusia dimaknai dalam bingkai tersebut. Tanpa adanya bingkai yang jelas, kejadian, peristiwa dan pengalaman manusia akan terlihat “kacau” dan chaos. Bingkai pengalaman dapat dilihat sebagai “skenario awal” yang memposisikan setiap pengalaman dan peristiwa dalam plot cerita yang kurang lebih runtut, rasional dan sistematis.

Deskripsi tersebut menggambarkan betapa besarnya peran dan posisi berita dalam pembentukan karakter cara pandang manusia terhadap dunia. Hal itu bisa dilihat secara jelas pada efek yang ditimbulkan dari berita yang disampaikan dan kemudian diterima oleh masyarakat mengenai suatu peristiwa tertentu. Oleh karena itu, dalam membicarakan masalah ini perlu dikaji dari persepsi teori yang relevan dan sesuai dengan masalah tersebut. Salah satu teori yang akan mennjadi kajian dalam makalah ini adalah teori priming.

Asumsi Teoritisnya, pada dasarnya dalam Teori Priming juga sangat berkaitan erat dengan Teori Framing, sehingga dalam kesempatan ini akan sedikit disinggung tentang asumsi teoritis dari teori priming dan framing. Framing adalah bagaimana media mengambil frame dari suatu masalah. Misalnya kalau nonton berita di Fox Channel soal Perang Irak dulu, pasti judulnya "War for Freedom" atau sejenisnya, yang intinya mendukung pemerintah AS. Lain lagi kalau baca Republika, pasti frame yang diambil adalah "Invasi AS ke Irak". Sama-sama berita mengenai perang di Irak, tapi yang satu mendukung dan yang lain menentang. Sedangkan Priming adalah politik bahasa bagaimana masyarakat menangkap berita yang disampaikan oleh media. Maksudnya, apakah berita itu dianggap penting atau tidak penting oleh masyarakat. Contohnya adalah jika kasus pemerkosaan dimuat di Pos Kota, pasti dianggap sudah biasa. Tapi jika masuk ke Kompas, masyarakat luas langsung memberi tanggapan. Jadi priming ini sangat dipengaruhi oleh kredibilitas si media itu sendiri.

Konsep Priming dari Priming Teori, pada dasarnya konsep yang dikembangkan oleh Tradisi Cognitive Neoassociation (Bryant, 2002:89). Tradisi psikologi sosial ini berada dalam lingkaran teori kognitif dalam konteks komunikasi. Priming adalah proses di mana media massa berfokus pada sebagian isu dan tidak pada isu lainnya dan dengan demikian mengubah juga standar evaluasi yang digunakan khalayak untuk menilai realitas sosial yang dihadapinya (Severin, 2005:271).

Proses priming menegaskan pola dan terminologi kunci bahwa penonjolan dan penekanan isu mempunyai hubungan sebab akibat dengan standar penilaian publik dan perhatian publik terhadap isu tertentu. Misalnya dalam kasus skandal seks anggota DPR beberapa waktu lalu terlihat adanya penonjolan atau penekanan isu tentang perilaku moral dan etika politik yang mau dikembangkan oleh media massa. Selain penekanan dan perhatian terhadap isu tertentu terdapat variabel-variabel krusial dalam konsep priming, yaitu kadar isu (isu abstrak dan isu konkret; isu skandal seks dapat dikategorikan sebagai isu konkret).

Refleksi; Priming dan Kekerasan

Selain makanan empat sehat lima sempurna- yang itu pun jarang dipenuhi karena kesulitan hidup yang menyesakkan ini, menu sehari-hari orang Indonesia adalah berita kekerasan. Sarapan paginya adalah mahasiswa dihajar tramtib, santapan makan siangnya berita santri diperkosa sampai meninggal, dan makan malamnya adalah pedagang kaki lima digebuki sampai masuk rumah sakit, sedangkan menjelang tidur disuapi dengan berita mahasiswa meninggal karena mengikuti perpeloncoan mahasiswa baru. Selain itu ada pula appetizer menyegarkan yakni polisi mengungkap kriminal seperti acara Buser, Patroli, Sigi, dll. Makanan itu selalu tersedia, lewat koran, majalah, dan televisi yang sepertinya berlomba-lomba memberitakan berita kekerasan demi kekerasan di tanah air. Sepertinya berita kekerasan adalah sensasi.

Berita-berita kekerasan yang tiap hari menjejali pikiran kita ini akan dianggap sebagai berita yang biasa saja, tak ada yang perlu dicemaskan jika ada berita satu atau dua orang di daerah sana disakiti. Berita aparat dan penegak hukum main pukul dan tendang sudah biasa. Kita sudah tahu sama tahu akan hal ini. Gejala ini sangat mencemaskan. Oleh karenanya bisa kita maklumi jika SBY meminta kepada seluruh anggota Polri melaksanakan tugas secara profesional tanpa melakukan tindakan kekerasan pada peringatan hari Bayangkara Kepolisian RI di Cikeas Bogor (1 Juli 2005).

Dalam hal ini pakar psikologi telah lama membuktikan bahwa pemaparan yang secara terus menerus dan sistematis ini bisa memengaruhi persepsi sosial, dan sikap serta perilaku dari seseorang. Gejala ini dikenal dengan nama efek priming (priming effect). Secara teori, efek priming merupakan pengaktifan suatu potential knowledge yang telah tertanam dalam memori manusia. Pengaktifan ini bertujuan untuk mempercepat pemrosesan informasi. Misalnya, perawat lebih cepat mengenali jarum suntik daripada mesin ketik karena tiap hari berhubungan dengan benda-benda medis. Sebaliknya, sekretaris lebih cepat mengenali mesin tik daripada jarum suntik.

Oleh karena itu, ketika berita kekerasan terus menerus menerpa otak kita, otak sepertinya otomatis menyimpan berita ini. Memori blue print proses priming kekerasan itu akan memengaruhi kognisi, afeksi dan psikomotorik. Suatu saat violence yang tersimpan ini akan dengan mudah diaktifkan dengan pemaparan (exposure) suatu tindakan atau berita yang berbau violence pula. Ini menjadi masalah karena kecendrungan manusia menjiplak apa yang telah ada. Apa yang dilakukan orang lain terhadap kita, secara tak sadar akan kita gunakan pula terhadap orang-orang di sekeliling kita.

Efek priming bisa terjadi melalui dua cara. Pertama, terjadinya di atas ambang kesadaranya (supraliminal priming) yakni kita tahu bahwa kita sedang mencerna suatu informasi yang tersaji. Contohnya, ketika dengan antusias melihat iklan di televisi, atau dengan semangat membaca berita pembunuhan, peperangan, perkosaan yang diekspos secara vulgar. Kedua, terjadinya di bawah ambang kesadaran (subliminal priming). Contoh sederhananya adalah pembicaraan sepintas lalu dari tetangga tentang seseorang, tanpa sadar kita akan menilai orang tersebut sesuai dengan informasi yang kita dengar.

Sedangkan menurut sumbernya, efek priming bisa dibedakan atas beberapa kategori. Pertama, material priming dimana sumber priming adalah suatu objek, benda, dan teks. Kay dkk (2004) menyimpulkan bahwa pemaparan suatu material semata, walau tanpa dibumbui oleh kata-kata mampu memengaruhi sikap dan perilaku dari mereka yang terkena pemaparan. Selain benda, yang termasuk ke dalam material priming ini adalah kata, kalimat, dan teks, nama. Kedua, procedural priming yakni sumber priming adalah suatu prosedur atau tata cara yang cenderung berulang-ulang dilakukan. Cara penanganan kasus yang sama walau salah akan cenderung dinilai wajar karena seringnya dilakukan tanpa ada kesadaran untuk meninjau ulang keabsahannya.

Masyarakat kekerasan (Violence Society)

Implikasi dari fenomena priming bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini ada dua macam. Pertama, terciptanya suatu pelembagaan kekerasan (violence institutionalism). Kedua, akibat yang pertama, violence priming menjadi katalisator bagi perubahan perilaku masyarakat dari masyarakat santun menjadi masyarakat yang beringas (violence society). Pelembagaan kekerasan terjadi karena adanya pemaparan kekerasan melalui prosedural dan material priming yang tak pernah dievaluasi kewajarannya dalam kehidupan bernegara.

Banyak kasus di tengah masyarakat dimana konflik diselesaikan dengan kekerasan atau di bawah todongan senjata (procedural priming), mulai dari level RT sampai tingkat nasional. Perselisihan antar tetangga bisa memicu perang batu antar RT. Ketidaksesuain politik antara dua kubu partai politik yang berseteru, diselesaikan dengan pengerahan massa alias tukang pukul kedua belah pihak. Pendemo harus dipukuli karena dengan cara ini lah diyakini bisa menyurutkan tuntutan mereka. Sepertinya tak ada cara lain dalam menyelesaikan masalah kalau tidak dengan menggunakan kekerasan. Akibatnya kekerasan menjadi suatu alternatif yang utama dan menjadi solusi ampuh yang pertama kali muncul dalam benak kita.

Kita cermati, lebih 30 tahun di bawah pemerintahan Orde Baru, material priming dan procedural priming kekerasan dan budaya kekerasan (militerisme) tumbuh subur. Tanpa disadari efeknya sudah menggantikan memori bangsa yang awal mulanya lembut dan sopan santun menjadi memori baru yang penuh kekerasan, emosi brutal, dan berbau konflik adu fisik. Tak ada bukti sampai sekarang frekuensi pemaparan violence ini semakin lemah, sebaliknya malah semakin gencar. Violence priming tanpa disadari telah melembaga melalui proses internalisasi. Sepertinya kita berada dalam suatu masa transisi dari masyarakat yang santun menjadi masyarakat kekerasan (violence society).9

Di lain pihak memang ada priming religiusitas (religiousity priming) sebagai penyeimbang kekerasan yang disertai dengan himbauan arif untuk berperilaku lembut dari para ulama dan kaum agamawan. Tapi nampaknya pemaparannya kalah kuat dengan violence priming. Priming religiusitas tak menarik karena tak begitu marketable bagi media masa dan stasiun-stasiun tivi kita. Kita memang selalu butuh sensasi dan secara tak sadar (atau sadar?) telah membiarkan otak kita diplesteri dengan berita-berita yang lambat laun memengaruhi perilaku sosial kita. Lantas sampai kapan violence priming ini kita biarkan terus merusak frekuensi kebaikan yang telah diajarkan para leluhur dan adat-adat ketimuran, dan sampai kapan kita terjebak ke dalam pembentukan violence society?. 

Ruang Publik terkait erat dengan Komodifikasi Media di Era sekarang di Indonesia. dengan masalah Komunikasi Politik di Indonesia dalam Pembangunan Demokrasi.

RUANG PUBLIK DAN MASALAH KOMUNIKASI POLITIK DI INDONESIA

A. MASALAH RUANG PUBLIK

Habermas (1962/1989) pemikir sosial yang acapkali dikaitkan dengan konsep Public Sphere.Menurut Habermas, Public Sphere dikonsepsionalisasikan sebagai suatu realitas kehidupan sosial di dalam mana terdapat suatu proses pertukaran informasi dan berbagai pandangan berkenaan dengan pokok persoalan yang tengah menjadi perhatian umum sehingga dalam proses tadi terciptalah pendapat umum. Dengan dihasilkannya pendapat umum maka pada gilirannya akan membentuk kebijakan negara dan pada akhirnya akan membentuk suatu tatanan masyarakat secara keseluruhan.
Adanya Public Sphere menyaratkan keaktifan dari warga masyarakat memanfaatkan hak-haknya untuk ikut berpikir terlibat di dalam suatu wacana yang sedang hangat pada hari suatu saat tertentu, khususnya yang berkaitan dengan permasalahan politik. Dalam perkembangan masyarakat yang makin besar maka proses terbentuknya wacana menuju opini publik tadi lalu diantarai oleh media massa.

Gagasan Habermas di atas memang bisa dibilang sebuah cita-cita ideal dalam konteks historis masa itu yang kalau kita bandingkan dengan konteks zaman sekarang tentunya prosesnya tidak sesederhana itu. Pemikiran Habermas itu bisa kita pahami dalam dua perspektif. Pertama, Habermas mencoba menggambarkan munculnya ruang publik di kalangan calon kaum borjuis dalam spirit kapitalisme liberal di abad 18. Kategori Public Sphere semacam ini dapat ditemui dalam realitas sejarah masyarakat Inggris, Perancis dan Jerman. Pada masa sebelum itu, memang bisa dikatakan tidak ada ruang sosial yang layak disebut publik sebagai lawan dari private. Dengan berkembangnya konsep negara kebangsaan, lembaga perwakilan, perekonomian, dan tidak ketinggalan lahirnya media cetak maka mulailah berkembang akar kemunculan Public Sphere di masyarakat tertentu di Eropa Barat. Dalam Public Sphere ini terdapat kelompok-kelompok sosial tertentu atas dasar pendidikan, kelas kepemilikan (biasanya pada kalangan pria) dan berproses melalui berbagai media seperti Jurnal, pamflet, dan surat kabar termasuk di dalam lingkungan tertentu seperti bar, coffee house dan berbagai club. Pertukaran informasi aktual, yang berlangsung terus menerus dalam sebuah diskusi dan seringkali dihangatkan dengan perdebatan merupakan gejala baru yang menurut Habermas amatlah berarti.

Kedua, konsep Public Sphere memasuki warna baru dengan mulai memudarnya kelompok borjuis dalam konteks masyarakat industri yang makin maju dan munculnya demokrasi massa. Dengan adanya demokrasi massa, public yang semula diwakili oleh kalangan elite terpelajar terbatas mulai dimasuki oleh masyarakat kebanyakan yang tidak begitu berpendidikan. Sementara negara, dalam kepentingannya untuk mengendalikan pertentangan kapital menjadi makin intervensionis. Batas antara wilayah publik dan private, baik dalam pengertian ekonomi politik maupun budaya makin tipis. Organisasi besar dan kelompok kepentingan menjadi partner politik kunci bagi negara, menghasilkan bentuk politik feodal baru yang makin menggantikan peran-peran yang semula dilakoni masyarakat. Berkembangnya karakteristik kepemilikan media massa, khususnya tatkala kekuatan komersial mengubah fungsi komunikasi publik menjadi Public Relation dan makin menguatnya periklanan dan hiburan, maka fungsi kritis media massa makin terkikis. Publik lalu terkotak-kotak sedemikian rupa, sehingga kehilangan daya ikatnya.

Kisah memudarnya Public Sphere masih merupakan isu yang hangat hingga kini, tentu saja dengan modifikasi versi olah kalangan pemerhati dan peneliti.Bahkan kemudian ada yang mempertanyakan akan manfaat konsep Public Sphere. Meski demikian konsep ini tetap sesuatu yang berharga guna memahami proses sosial di mana media massa menjadi salah satu kekuatan dalam konstelasi kekuatan-kekuatan yang menentukan dalam masyarakat.

Public Sphere dalam pengertian politik berarti menyediakan sebuah ruang berupa wacana, lembaga-lembaga, suatu ruang topografik di mana orang dalam perannya sebagai warga memiliki akses masuk di dalam sebuah dialog kemasyarakatan yang sedang mempersoalkan sesuatu demi kepentingan umum, atau dengan kata lain akses menuju dunia politik dalam pengertian yang luas. Ruang yang demikian ini, dengan kondisi komunikasi tertentu yang mewarnainya, menjadi sesuatu hal yang penting dalam demokrasi. Fungsi Public Sphere dengan demikian adalah memenuhi persyaratan komunikasi tertentu sabagai variabel terbentuknya demokrasi.

Pemikiran intelektual Habermas berakar dari mazhab Frankfurt dan tesisnya mengenai Public Sphere menjadi inspirasi bagi riset media kritis. Akan tetapi menurut Peters (1993), dasar pemahaman Habermas tentang demokrasi dan Public Sphere tidaklah murni dikendalikan oleh tradisi liberal Anglo-American dengan ide dasarnya tentang market place of ideas Dalam diskursus liberal (yang klasik dan bukan neo-liberal) tentang media dan demokrasi biasanya tidak menggunakan istilah Public Sphere.

Gagasan Habermas tentang Public Sphere tak sepi dari kritikan, menurut Garnham (1992), Peters (1993), dan Fraser (1992) secara umum tercatat empat dimensi yang menjadi sasaran pertanyaan dan kritik yakni : Media institutions, media representation, struktur sosial dan interaksi sosiokultural. Pemisahan ini hanyalah kepentingan memudahkan analisis karena sebenarnya keempatnya saling terkait dan tak terpisahkan.

Dimensi institusi berkenaan dengan organisasi, pendanaan, regulasi. Dimensi representasi berkaitan dengan cakupan jurnalistik. Kedua dimensi ini lebih banyak mendapat perhatian. Sementara dimensi struktur sosial lebih berhubungan dengan cakrawala yang lebih luas di mana di dalamnya terdapat faktor-faktor pembentuk Public Sphere. Sedangkan dimensi interaksi sosiokultural melihat serbaneka masyarakat pembentuk Public Sphere dan kurang memusatkan pada media massa.

Faktor-faktor dalam dimensi struktur sosial di antaranya berkaitan dengan ekologi politik dari media, menyusun batas-batas dari institusi media dan profil organisasi demikian juga sifat-sifat dari informasi dan bentuk-bentuk representasi yang memungkinkan diartikulasikan. Dimensi struktur sosial ini tentu saja akan berdampak pada pola interaksi sosiokultural. Dengan demikian struktur sosial secara kompleks membentuk seperangkat kondisi bagi Public Sphere yang bisa juga diisi oleh ketiga dimensi yang lainnya.Dimensi struktur sosial tentu saja menjadi dimensi yang paling sulit diraih sehingga bagi sebagian kalangan ahli dimensi ini sebaiknya diabaikan saja jika kita tidak ingin kehilangan fokus soal Public Sphere. Meski, perannya tidak bisa kita anggap remeh. Satu hal yang patut dicatat dalam telaah mengenai Public Sphere ini adalah bahwa dalam masyarakat yang cenderung lemah demokrasinya dan struktur masyarakatnya sangat tidak egaliter tidak akan memberi kesempatan bagi terciptanya Public Sphere.

Pada intinya, bahwa hakekat manusia selalu melakukan pemaknaan, menjadikan budaya sebagai dasar kehidupan masyarakat bahkan menyentuh aspek sosial lainnya. Praktik pemaknaan juga berlangsung di setiap aspek kehidupan sosial masyarakat. Dalam proses komodifikasi ini, sesuatu diproduksi bukan terutama atas dasar nilai guna, tetapi lebih pada nilai tukar. Artinya sesuatu di produksi bukan semata-mata memiliki kegunaan bagi khalayak, tetapi lebih karena sesuatu itu bisa dipertukarakan di pasar seperti pengiklanan. Dengan demikian orientasi produksi bukan untuk memenuhi kebutuhan objektif masyarakat tetapi lebih mendorong akumulasi modal.

Produk media tidak pernah dapat dilepaskan dari proses produksinya. Proses produksi dan produk media (teks media) selalu berada pada satu garis lurus di mana kepentingan-kepentingan dalam institusi media bertarung dan beradu di dalamnya. Itulah pula yang kemudian menyuburkan komodifikasi budaya pada ruang publik. Sehingga makin lama, praktik ini menjadi budaya.

Budaya Media dengan Komodifikasi Media

A. KONSEP BUDAYA DAN BUDAYA MEDIA

Budaya adalah bentuk praktek sosial yang semua orang dalam kategori apapun punya budaya masing-masing. Budaya adalah aspek sosial yang berkaitan dengan pemaknaan. Budaya dalam society, bersanding dengan aspek sosial lainnya seperti aspek ekonomi, pendidikan, hukum, pemerintah dan lainnya. Masyarakat yang hidup tanpa aspek ekonomi bisa disebut dengan kemiskinan atau jika masyarakat itu hidup tanpa aspek pendidikan disebut masyarakat yang akrab dengan kebodohan, tapi membayangkan sebuah masyarakat tanpa budaya adalah sesuatu yang mustahil.

Hakekat manusia selalu melakukan pemaknaan menjadikan budaya sebagai dasar kehidupan masyarakat bahkan menyentuh aspek sosial lainnya. Praktik pemaknaan juga berlangsung di setiap aspek kehidupan sosial masyarakat, oleh karena itu ada istilah budaya ekonomi atau budaya hukum.

Dalam salah satu hubungannya, yaitu budaya dan media punya keterkaitan yang lebih akrab dengan kehidupan modern. Namun, modernitas tidak semata-mata menjadi bagian identitas budaya dan hubungannya dengan media. Media sendiri adalah alat komunikasi massa yang terbagi ke dalam dua bagian besar yaitu media cetak (statis) dan media audio-visual (dinamis). Yang termasuk ke dalam kelompok media statis adalah bahan-bahan cetak (print) seperti buku, poster, selebaran dan sebagainya. Sedangkan media audio-visual yang bersifat dinamis dilengkapi dengan teknologi canggih, seperti televisi dan film. Namun media audio-visual tidak selalu harus berteknologi seperti teater, sirkus, tari-tarian, wayang dan sebagainya. Budaya tersajikan lewat Budaya Media.

Sebagai bentuk budaya dan dengan karakter budaya visualnya, kehadiran TV telah membawa konsekuensi-konsekuensi budaya yang mendalam. Kehadirannya senantiasa membawa kontroversi. TV dipuja dan sekaligus dikecam. Tak jarang pula ia digunakan oleh rezim otoriter sebagai corong propaganda dan dikuasai oleh segelintir elit penguasa dan pengusaha untuk menjaga citra dirinya di mata publik dan sebagai aparatus “public relation” (PR) untuk menjaga kepentingan citra kekuasaan bisnisnya. Sebagaimana perkembangan terkini yang menunjukkan bahwa para politisi di tanah air sudah mulai berbondong-bondong memanfaatkan potensi televisi sebagai media kampanye dan iklan politik.

Dalam hubungan mengenai budaya media terhadap komodifikasi budaya dalam ruang publik, artinya media yang dulunya sebagai media informasi publik dengan berbagai fungsi lainnya seperti edukasi dan control sosial, sekarang berkomodifikasi menjadi ruang budaya media yang berujung pada hitungan ekonomi.

Konten yang umumnya mengalir melalui saluran yang baru dibuat untuk khalayak massa yang baru, awalnya adalah campuran cerita, gambar, informasi, ide, hiburan, dan tontonan. Meskipun demikian, kosep tunggal dari budaya media (mass culture) secara umum digunakan untuk merujuk kepada semua ini (lihat Rosenberg dan White, 1957). Budaya massa meiliki referensi yang lebih luas dalam hal selera, kesukaan, cara, dan gaya dari orang-orang banyak (atau sebagian besar daripadanya). Dulu massa memiliki konotasi negative, terutama karena asosiasinya dengan pilihan budaya yang dianggap tidak berpendidikan, dianggap non-diskriminatif atau dengan khalayak kelas rendah.

Istilah ini telah using sekarang, sebagian karena perbedaan kelas kurang tajam atau jelas terlihat, dan istilah ini tidak lagi memisahkan antara minoritas dari kalangan professional terpelajar dari mayoritas kelas pekerja yang besar, miskin, dan kurang terpelajar. Hal ini juga yang membuat hierarki selera budaya tidak lagi diterima secara luas.

Bahkan dalam model busana, ide akan budaya massa sebagai fenomena kelas bawah tidak secara empiris dibenarkan karena merujuk pada pengalaman budaya normal dari semua orang pada saat tertentu (wilensky, 1964). Saat ini istilah budaya popular umumnya lebih disukai karena istilah ini dengan sederhana berarti apa yang sebagian atau banyak orang sukai. Istilah ini juga memiliki konotasi dengan apa yang popular dikalangan anak muda. Beberapa perkembangan terakhir dalam kajian budaya (culture study) dan media (sebagaimana dalam masyarakat) telah mengarah kepada penilaian yang positif atas budaya popular. Bagi beberapa ahli teori media (misal, Fiske, 1987), fakta bahwa popularitas merupakan nilai berharga dalam hal politik maupun budaya.

Munculnya budaya massa memiliki lebih dari satu interpretasi. Bauman (1972) misalnya, mengambil isu yang menyatakan bahwa media komunikasi massa menyebabkan budaya massa dan berpendapat bahwa mereka lebih seperti sebuah alat untuk membentuk sesuatu yang terjadi dalam setiap kasus sebagai hasil dari meningkatnya homogenitas cultural dalam masyarakat nasional. Menurut pandangannya, apa yang seringkali dirujuk sebagai budaya massa lebih pantas hanya merupakan budaya yang universal atau terstandardisasi. Beberapa ciri dari komunikasi massa berkonstribusi pada proses standardisasi, terutama ketergantungan terhadap pasar, supremasi organisasi skala besar, dan penerapan teknologi baru untuk produksi budaya. Pendekatan yang lebih objektif ini membantu meredakan beberapa konflik yang mencirikan perdebatan tentang budaya massa. Dalam beberapa tindakan, masalah budaya massa mencerminkan kebutuhan untuk memenuhi kemungkinan teknologi baru bagi reproduksi simbolis (Benjamin, 1977) yang menantang pemikiran atas kesenian yang sudah mapan. Isu budaya massa diatasi dalam lingkup social dan politik, tanpa terselesaikan dalam kaitannya dengan estetika.

Meskipun terdapat pencairan akan konsepsi yang bebas nilai dari budaya massa, isu yang muncul tetap bermasalah secara konseptual dan ideologis. Sebagaimana yang diperlihatkan oleh Bordieu (1986) dan yang lainnya, konsep yang berbeda mengenai nilai budaya secara kuat dihubungkan dengan perbedaan kelas social. Kepemilikan modal ekonomi biasanya setara dengan kepemilikan modal budaya dimana dalam kelas masyarakat dapat juga diuangkan dengan keuntungan material. System nilai berdasarkan kelas pernah dengan kuat memelihara superiritas budaya tinggi dan system nilai semacam itu (walaupun mungkin tidak untuk system kelas) telah melemah, walaupun isu perbedaan kualitas budaya masih ada sebagai aspek perdebatan berkelanjutan atas kebijakan budaya dan media.

Komunikasi massa berproses pada level budaya massa, sehingga sifat-sifat komunikasi massa sangat dipengaruhi oleh budaya massa yang berkemang di masyarakat di mana proses komunikasi itu berlangsung. Dengan demikian, maka budaya massa dalam komunikasi massa memiliki karakter:

1. Nontradisional, yaitu umumnya komunikasi massa berkaitan erat dengan budaya popular. Acara-acara infotainment, seperti AFI, API, KDI dan sebagainya adalah salah satu contoh karakter budaya massa ini.

2. Budaya massa juga bersifat merakyat, tersebar di basis massa sehingga tidak mengerucut di tingkat elite, namun apabila ada elite yang terlibat dalam proses ini, maka itu bagian dari basis massa itu sendiri.

3. Budaya massa juga memproduksi produk-produk massa seperti umpamannya infotainment adalah produk pemberitaan yang diperuntukkan kepada massa secara luas. Semua orang dapat memanfaatkannya sebagai hiburan umum.

4. Budaya massa sangat berhubungan dengan budaya popular sebagai sumber budaya massa. Bahkan secara tegas dikatakan bahwa, bukan popular kalau bukan budaya massa, artinya budaya tradisional juga dapat menjadi popular apabila menjadi budaya massa. Contohnya adalah Srimulat, Ludruk, maupun Campursari. Pada mulanya kesenian tradisional berkembang di masyarakat tradisonal dengan karakter-karakter tradisonal, namun ketika kesenian ini dikemas di media massa, maka sentuhan-sentuhan popular mendominasi seluruh kesenian tradisional itu, baik cerita, kostum, latar, dan sebagainya tidak lagi menjadi konsumsi masyarakat pedesaan namun secara missal menjadi konsumsi semua lapisan masyarakat di perdesaan dan perkotaan.

5. Budaya massa, terutama yang diproduksi oleh media massa diproduksi menggunakan biaya yang cukup besar, karena itu dana yang besar itu harus menghasilkan keuntungan untuk kontinuitas budaya massa itu sendiri, karena itu budaya massa diproduksi secara komersial agar tidak saja menjadi jaminan keberlangsungan sebuah kegiatan budaya massa namun juga menghasilkan keuntungan bagi capital yang diinventasikan pada kegiatan tersebut.

6. Budaya massa juga diproduksi secara esklusif menggunakan simbol-simbol kelas social sehingga terkesan diperuntukkan kepada masyarakat modern yang homogen, terbatas dan tertutup. Namun sebenarnya budaya massa yang eksklusif ini terbuka untuk siapa saja yang ingin menikmatinya. Syarat utama dari ekslusifitas budaya massa ini adalah keterbukaan dan kesediaan terlibat dalam perubahan budaya secara missal.

B.   EFEK MEDIA TERHADAP BUDAYA

Jika kita menganggap media massa sebagai sebuah aspek dalam masyarakat (dasar atau struktur), maka terdapat pilihan materialism. Terdapat teori yang penting yang memandang budaya tergantung pada struktur ekonomi dan kekuasaan dari masyarakat. Teori ini berasumsi bahwa siapapun yang memiliki atau mengontrol media, dapat memilih atau membatas apa yang mereka lakukan.

Jika memandang media dari sisi konten (lebih ke aspek budaya), maka pilihan idealism yang muncul. Media diasumsikan memiliki pengaruh signifikan yang potensial, tetapi ide dan nilai yang dibawa oleh media (dalam kontennya) yang dilihat sebagai penyebab utama perubahan social, tidak perduli siapa pemilik dan pengontrolnya. Pengaruhnya dianggap bekerja melalui motivasi dan tindakan individu. Pandangan ini menuntun kepada keyakinan yang kuat terhadap beragam efek media yang potensial, baik maupun buruk. Contoh-contohnya termasuk promosi media mengenai perdamaian dan pemahaman internasional (atau memiliki efek yang berlawanan) dari niali-nilai dan perilaku baik yang pro maupun anti social; dan pencerahan atau sekularisasi dan modernisasi masyarakat tradisional. Bentuk idealism atau mentalisme juga terkait dalam media berada di balik pandangan yang berubah dalam bentuk media dan teknologi, dapat mengubah cara kita mendapatkan pengalaman dengan cara yang penting dan bahkan hubungan kita dengan orang lain (sebagaimana teori McLuhan 1962, 1964).

Selama lebih dari satu generasi dalam penelitian tentang efek media massa, terdapat perkembangan pemikiran mengenai efek proses tersebut. Jika sebelumnya DeFleur memperhitungkan variabel-variabel psikologis dalam proses efek, maka dia selanjutnya mengembangkan teorinya dengan memasukkan variable norma budaya dalam efek media. Teori yang disebut Cultural Norms ini beranggapan bahwa media tidak hanya memiliki efek langsung terhadap individu, tetapi juga mempengaruhi kultur, pengetahuan kolektif, dan norma serta nilai-nilai dari suatu masyarakat. Media massa telah menghadirkan seperangkat citar (image), gagasan dan evaluasi dari mana audience dapat memilih dan menjadikan acuan bagi perilakunya. Misalnya dalam hal perilaku seksual, media massa memberikan suatu pandangan kumulatif mengenai apa yang dianggap normal dan apa yang disetujui atau tidak disetujui.

Pergeseran pemikiran yang ditandai oleh perbedaan antara Model Psikodinamik dan Teori Norma Budaya ini terlihat dari karakteristik efek pada kedua pemikiran tersebut. Pada Model Psikodinamik, efek adalah sesuatu yang diinginkan oleh pengirim pesan berlangsung secara singkat (segera dan sementara) berkaitan dengan perubahan sikap, informasi, dan perilaku pada individu dan relatif terjadi tanpa melalui media. Secara umum efek-efek tersebut relevan denga gagasan kampanye, suatu usaha yang direncanakan secara sadar untuk menggunakan publisitas untuk kepentingan memberikan informasi dan memotivasi.

System media membawa perubahan yang sangat mendasar dalam cara integrasi social, reproduksi budaya, dan partisipasi politik (J.M. Ferry, 1994:vii). Media menyebarkan keseluruh tubuh social tidak hanya ide pembebasan, tetapi juga nilai-nilai hedonis sehingga akhirnya mempengaruhi integrasi social. Integrasi social menghadapi kendala dalam bentuk individualism narcisik. Hanyut dalam arus hedonism individual, individu semacam ini cenderung memuja kultus masa kini. Hedonism individualis ini mengabaikan kontrol sosial dari instansi tradisional sehingga norma-norma tradisional meredup, (S.Charles, 2004:32).

C.   KOMODIFIKASI MEDIA

Komodifikasi merupakan istilah baru yang mulai muncul dan dikenal oleh para  ilmuwan  sosial.  Komodifikasi  mendeskripsikan cara  kapitalisme melancarkan tujuannya dengan mengakumulasi kapital, atau, menyadari transformasi nilai guna menjadi nilai tukar.  Komoditas dan komodifikasi adalah dua hal yang memiliki hubungan objek dan proses,  dan menjadi salah satu indikator kapitalisme global yang kini tengah terjadi. Dalam ekonomi politik media komodifikasi adalah salah satu bentuk penguasaan media selain strukturasi dan spasialisasi.

Komodifikasi  menurut  Vincent  Mosco  digambarkan  sebagai  cara kapitalisme  dengan  membawa  akumulasi  tujuan  kapitalnya  atau mudahnya dapat digambarkan sebagai sebuah perubahan nilai fungsi atau guna menjadi sebuah nilai tukar. Dan sekarang ini telah sangat banyak sekali bentuk komodifikasi yang muncul dalam perkembangan kehidupan manusia.  Karena  mulai  banyak  juga  yang  dijadikan  komoditas  oleh manusia.

Terkait dengan komodifikasi yang terjadi di media, Mosco memformulasikan tiga bentuk komodifikasi, yakni komodifikasi isi, komodifikasi khalayak, dan komodifikasi pekerja.

1.    Komodifikasi Isi (Content Comodificationmenjelaskan bagaimana content atau isi media yang diproduksi merupakan komoditas yang ditawarkan. Proses komodifikasi ini berawal dengan mengubah data-data menjadi system makna oleh pelaku media menjadi sebuah produk yang akan dijual kepada konsumen, khalayak maupun perusahaan pengiklan (1996:146-147). Artinya media tidak hanya berhenti pada proses pembentukan kultur semata melalui konten yang didistribusikan, melainkan juga menjadikan budaya itu sebagai sebuah komoditas yang bias dijual. Sejalan dengan konteks ini, Adorno dan Hokheimer menyodorkan tesis tentang industri budaya. Bahwa media dan hiburan yang disajikan melalui media massa pada dasarnya telah menjadi industri di era kapitalisme pasca-Perang Dunia II baik dalam mensirkulasikan komoditas budaya maupun dalam memanipulasi kesadaran manusia (Hokheimer dan Adorno, 1972 dalam Agger, 2009:180). Industri budaya pada dasarnya juga menjelaskan bagaimana budaya menjadi sesuatu yang memanipulasi kesadaran manusia. Budaya pop, sebagaimana dicontohkan Hokheimer dan Adorno, bukanlah menjadi media akhir dan yang paling tinggi yang bisa digunakan untuk melakukan perlawanan terhadap hegemoni kapitalis sebagaimana diulas oleh Karl Marx, melainkan budaya pop itu sendiri mengandung iklan dan hiburan yang diberikan kepada khalayak hanya sebagai kedok untuk menutupi aktivitas Kapital melalui media massa (hal. 182-183).

2.    Komodifikasi khalayak (Audience Comodification). Dengan memakai wacana yang dipopulerkan oleh Smythe (1977) dalam The Audience Commodity, komodifikasi khalayak ini menjelaskan bagaimana sebenarnya khalayak tidak secara bebas hanya sebagai penikmat dan konsumen dari budaya yang didistribusikan melalui media. Khalayak pada dasarnya merupakan entitas komoditi itu sendiri yang bisa dijual. Misalnya, dalam industri media massa saat ini, dicontohkan Smythe dengan berbagai program acara di industri pertelevisian, ada tiga entitas yang saling memengaruhi yakni: 1). Perusahaan media, 2). Pengiklan, dan 3). Khalayak itu sendiri. Khalayak mendapatkan program tayangan yang dapat menghibur hingga memberikan informasi secara gratis dari perusahaan televisi. Perusahaan media membuat program untuk disaksikan oleh khalayak dan selanjutnya jumlah khalayak yang menonton dan juga waktu yang disediakan untuk menonton inilah yang dijual kepada pihak pengiklan. Sementara pengiklan membayar biaya iklan produk mereka dan menayangkan melalui media dengan harapan mendapatkan perhatan khalayak yang pada akhirnya khalayak akan menggunakan produk tersebut.

3.Komodifikasi pekerja (Labour Comodification). Bahwa perusahaan media massa pada kenyataannya tak berbeda dengan pabrik-pabrik. Para pekerja tidak hanya memproduksi konten dan mendapatkan perhargaan terhadap upaya menyenangkan khalayak sebagai pekerja yang terlibat dalam mendistribusikan konten sebagai sebuah komoditas (Vincen Mosco, 1996:158). Kemajuan teknologi informasi merupakan salah satu contoh bagaimana tanpa sadar khalayak juga mentransformasikan dirinya tidak sekadar menjadi konsumen atau objek komoditas kepada pengiklan, melainkan juga telah menjadi produsen dalam industry budaya. Fenomena user content generated di internet menjelaskan bagaimana khalayak memproduksi konten media dan sekaligus mendistribusikan serta menjadi konsumen dari konten tersebut. Misalnya, kehadiran informasi pengguna seperti status, foto, dan sebagainya yang ada social media seperti facebook atau twitter. Informasi inilah yang didistribusikan dan bisa dikonsumsi oleh khalayak yang terkoneksi ke social media tersebut dan pada akhirnya melalui simulasi jejaring khalayak yang pada mulanya menjadi konsumen perlahan berubah menjadi produsen.

Not the Destiny Line