1. Teori-teori komunikasi massa yang terdapat dalam Tradisi Sosiopsikologi adalah meliputi:
a. Cultivation Theory
Teori ini menyatakan bahwa televisi (dan media yang lain) memainkan peranan yang sangat penting dalam bagaimana orang memandang dunia mereka. Menurut Cultivation Analysis, dalam kultur modern sebagian besar orang mendapatkan informasi melalui perantaraan media (mediated) daripada memperolehnya secara langsung. Dengan demikian, sumber-sumber mediated itu dapat membentuk pengertian orang tentang realitas, khususnya kasus yang berkaitan dengan kejahatan. Cultivation Analysis menegaskan bahwa orang yang tergolong sebagai pemirsa berat (heavy viewer) memahami lingkungan sebagai lebih jahat dan menakutkan.
b. Agenda Setting Theory
Agenda Setting Thoery (Teori Penataan Agenda) pertama kali dikenalkan oleh M.E. Mc. Combs dan D.L. Shaw dalam “Public Opinion Quarterly”. Kedua pakar ini memberikan penekanan pada suatu peristiwa dimana media akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Pembahasan yang ada dalam teori ini, yaitu media massa tidak menentukan “what to think” tetapi “what to think about”.
Asumsi dasar teori dan uraian teori Agenda Setting Theory dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya. Bagaimana sebuah media massa menyajikan peristiwa, itulah yang disebut sebagai agenda media. David H. Heaver dalam karyanya yang berjudul “Media Agenda Setting and Media Manipulation” pada tahun 1981 mengatakan bahwa pers sebagai media komunikasi massa tidak mereflesikan kenyataan, melainkan menyaring dan membentuknya seperti sebuah kaleidoskop yang menyaring dan membentuk cahaya.
Mengenai Agenda Setting lebih banyak menjelaskan apa yang terjadi di dunia pilitik, Alexis S. Tan menyimpulkan bahwa media massa mempengaruhi kognisi politik dalam dua cara, yaitu :
1. Media secara efektif menginformasikan peristiwa politik kepada khalayak.
2.Media mempengaruhi persepsi khalayak mengenai pentingnya masalah politik.
2. Teori komunikasi Massa dalam Tradisi Semiotika, Paradigma Interpretive serta bermetodologi Subyektif adalah:
a. Tecnologi Determinition.
b. Semiotika.
3. Teori komunikasi Massa dalam Tradisi Sosiokultural, paradigma Interpretive serta bermetodologi Subyektif adalah:
a. Technologi Determinition.
b. Cultivation Theory.
4. Teori komunikasi Massa dalam Tradisi Kritis, paradigma kritis serta bermetodologi Subyektif adalah :
a. Cultural Studies
Teoritisi dalam Cultural Studies menegaskan bahwa media merepresentasikan ideologi-ideologi dari kelas dominan dalam suatu masyarakat. Karena media dikontrol oleh korporasi, maka informasi yang disajikan kepada publik dipengaruhi dan dibingkai dalam cara berpikir untuk mendapatkan keuntungan. Teoritisi Cultural Studies memberi perhatian pada pengaruh media dan bagaimana kekuasaan memainkan peranan dalam menafsirkan kultur.
Asumsi dasar adanya teori ini karena zaman terus berkembang dimana manusia semakin kritis dan perkembangan teknologi tidak bisa dan tidak boleh dihentikan. Informasi semakin mudah diciptakan dan didapatkan karena perkembangan media massa yang sedemikian pesat. Pesatnya perkembangan teknologi di bidang komunikasi massa mau tak mau akan memberikan banyak efek yang beragam bagi setiap individu yang menerimanya, efek ini dapat membuat pintar publik namun dapat juga menyebabkan pembodohan terhadap publik. Namun demikian, komunikasi massa tetap menjadi sebuah perwujudan dari perkembangan zaman yang seharusnya dilihat dan dijaga agar tetap selalu berefek positif sesuai dengan fungsi dari komunikasi massa itu sendiri.
Berikut ini adalah fungsi-fungsi dari komunikasi massa, antara lain :
1. Fungsi pengawasan (pengawasan peringatan dan pengawasan instrumental).
2. Fungsi interpretasi.
3.Fungsi hubungan (linkage).
4. Fungsi sosialisasi.
5.Fungsi hiburan.
5. Teori Difusi Informasi.
Teori ini berasal dari sosiolog Everest M Roger, sebagai tokoh difusi. Difusi adalah proses komunikasi yang menetapkan titik-titik tertentu dalam penyebaran informasi melalui ruang dan waktu, dari satu agen ke agen yang lain. Salah satu saluran komunikasi yang penting adalah media massa, karena itu model difusi mengasumsikan bahwa media massa mempunyai efek yang berbeda-beda pada waktu yang berlainan, mulai dari menimbulkan tahu sampai mempengaruhi adopsi atau rejeksi (penerimaan dan penolakan).
6. Teori Spiral of Silence
Teori Spiral of Silence dikemukakan pertama kali oleh Elizabeth Noelle Neuman, seorang sosiolog Jerman, pada tahun 1974. Dalam teori terdapat jawaban bagaimana dalam komunikasi massa, komunikasi antarpersona, dan persepsi individu terhadap pendapatnya sendiri dalam hubungannya dengan pendapat orang lain dalam masyarakat. Asumsi dasar dari teori ini adalah pemikiran sosio-psikologi 1930-an yang menyatakan bahwa pendapat pribadi sangat tergantung pada apa yang dipikirkan / diharapkan oleh orang lain, atau atas apa yang orang rasakan / anggap sebagai pendapat dari orang lain.
Dalam spiral of silence dijelaskan bahwa individu pada umumnya berusaha untuk menghindari isolasi, dalam arti sendirian mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu. Dapat disimpulkan bahwa orang akan mengamati lingkunganya untuk mempelajari pandangan-pandangan mana yang bertahan dan mendapatkan dukungan dan mana yang tidak dominan atau populer. Maksudnya adalah jika seseorang merasa pandangannya tergolong dalam jumlah yang minoritas maka ia akan cenderung sulit untuk mengekspresikan apa yang ia inginkan karena perasaan takut akan diisolasi. Sedangkan kebalikannya yaitu seseorang akan merasa semakin kuat dan luas untuk mengekspresikan dirinya karena pendapatnya termasuk pada jumlah mayoritas. Berikut ini adalah gambar yang menunjukkan hubungan tersebut.
7. Use and Gratification
Pertama kali dikemukakan oleh Elihu Katz pada tahun 1959. Adanya teori ini diawali dari dari pernyataan Katz pada sebuah artikel untuk menanggapi apa yang dikatakan oleh Bernard Berelson. Pada saat itu, Bernard menyatakan bahwa komunikasi akan mati, namun Katz menganggap pernyataan itu tidak benar karena yang sedang dalam kondisi tidak baik adalah komunikasi massa, karena pada saat itu komunikasi massa hanya dianggap sebagai sebuah persuasi.
Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?”
Di sini sikap dasarnya diringkas sebagai berikut: Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa.
Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya.
Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar.
Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian.
8. Teori Information Gap
Teori kesenjangan informasi (information gap) banyak memotivasi pelaku media massa untuk menyajikan informasi dan memperjuangkannya sebagai tindakan pembangunan. Di Indonesia, para praktisi media misalnya menjadikan pemerataan informasi sebagai alasan pendirian institusi media, demikian juga halnya dengan kebebasan pers juga dinisbahkan pada hipotesis kesenjangan informasi. Sejak tahun 1970-an Tichenor, Donohue dan Olien, mengumumkan hasil surveynya pada 1965. Dalam hasil surveynya bahwa orang yang memiliki status sosio-ekonomi lebih tinggi akan lebih cepat mendapat informasi dari pada yang berstatus rendah, maka gap pengetahuan antara keduanya akan semakin meningkat bukan menurun, "...segments of the population with higher socioeconomic status tend to acquire information at a faster rate than the lower status segments so that the gap in knowledge between these segments tends to increase rather than decrease." Hipotesis kemudian memimpin pola pembangunan dunia dengan mengemukakan isu K-gap (knowledege gap) yang melatarbelakangi usaha pembangunan berbagai negara.
9. Teori Depedency Media
Teori dependensi mengenai efek komunikasi massa dikembangkan oleh Sandra Ball Rokeach dan Melvin L. DeFleur pada tahun 1976. Dalam teori ini yang menjadi fokus perhatiannya adalah kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur kecenderungan yang terjadi pada suatu efek media massa.
Asumsi dasar dari teori ini dapat disimpulkan dalam bagan tersebut bahawa teori ini merupakan suatu pendekatan struktur sosial yang berangkat dari gagasan mengenai sifat suatu masyarakat yang modern (atau masyarakat massa), di mana media massa dapat dianggap sebagai sistem informasi yang memiliki peranan penting dalam proses pemeliharaan, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat, kelompok, atau individu dalam aktivitas sosial.
Dalam teori ini dikemukakan bahwa adanya ketergantungan antara masyarakat modern dengan media massa karena media massa dianggap sebagai sumber informasi yang dapat memberikan pengetahuan tentang apa Asumsi dasar dari teori ini dapat disimpulkan bahwa teori ini merupakan suatu pendekatan struktur sosial yang berangkat dari gagasan mengenai sifat suatu masyarakat yang modern (atau masyarakat massa), di mana media massa dapat dianggap sebagai sistem informasi yang memiliki peranan penting dalam proses pemeliharaan, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat, kelompok, atau individu dalam aktivitas sosial.
10. Teori Massifikasi Media
Teori ini disebut pula dengan Teori masyarakat Massa, memiliki pemikiran bahwa media adalah obat yang berbahaya atau kekuatan pembunuh yang berbahaya yang dapat secara langsung dan segera menembus sistem saraf manusia. Teori ini adalah contoh suatu teori besar (grand theory) atau paradigma yang dirumuskan guna menggambarkan seluruh aspek dari gejala yang ada. Teori ini mulai berkembang dan berpengaruh pada paruh abad-19 dan pada dekade awal abad ke-20. Massifikasi (industrialisai) media begitu berkembang dengan pesat, yang ditandai dengan perubahan sosial yang signifikan yaitu tumbuhnya industrialisasi media massa disusul dengan perpindahan masyarakat dari desa ke kota (urbanisasi). Teori ini lebih digambarkan dengan menggunakan teori stimulus –respon (SR) yang meyakini bahwa kegiatan mengirimkan pesan sama halnya dengan tindakan menyuntikkan obat yang bisa langsung masuk ke dalam jiwa penerima pesan, sebagaimana peluru yang ditembakkan dan langsung masuk ke dalam tubuh.
11. Teori Efek Media
George Gerbner, mantan Dekan Komunikasi Universitas Pennsylvania dan pernah membantu pemerintahan USA dalam meneliti efek tayangan TV, menyatakan mereka yang terlalu banyak menonton TV akan memiliki kepercayaan dan keyakinan yang berlebihan mengenai ‘dunia jahat yang menakutkan’. Kekerasan yang disaksikan di layar TV dapat menimbulkan ketakutan sosial yang dapat menghambat atau bahkan menghilangkan pandangan umum bahwa manusia pada dasarnya adalah baik dan dapat dipercaya serta lingkungan yang aman. Efek yang ditimbulkan disebutnya sebagai Efek Kultivasi atau dapat pula disebut sebagai Teori Kultivasi, yakni teori yang memperkirakan atau menjelaskan pembentukan persepsi, pengertian dan kepercayaan mengenai dunia sebagai hasil dari mengkomsumsi pesan media dalam jangka panjang.
Teori ini mengajukan tiga Asumsi dasar untuk mengedepankan gagasan bahwa realitas yang diperantarai TV oleh menyebabkan khalayak menciptakan realitas sosial mereka sendiri yang berbeda dengan realitas sebenarnya. Ketiga asumsi tersebut, masing-masing:
a. TV adalah media yang sangat berbeda.
b. TV membentuk cara masyarakat berpikir dan berinteraksi.
c. Pengaruh TV bersifat terbatas.
12. Priming Theory Dalam Mass Media Effect (Dalam Pandangan Arif Lutviansori).
Berbicara mengenai eksistensi media massa terutama televisi dan efek yang ditimbulkan dari media massa tersebut memang banyak menimbulkan perdebatan yang muncul. Perdebatan tersebut tidak lain adalah karena efek yang ditimbulkan di satu sisi memberikan manfaat yang sangat besar dalam memperoleh informasi bagi yang memang benar-benar mampu untuk “memfilter’ dirinya dari media massa tersebut, tetapi di sisi lain terkadang muncul efek negatif dari televisi yang contohnya dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini semua tidak terlepas dari sifat televisi sebagai media informasi dan media intertainment.
Menyikapi hal tersebut, banyak teori yang coba digali mengenai mass media effect tersebut. Beberapa waktu lalu sudah dibahas mengenai agenda setting, dan lain-lain yang kemudian melahirkan pandangan tentang fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat tentang efek yang ditimbulkan dari adanya media massa terutama televisi. Dalam kesempatan ini
Itulah mengapa kajian-kajian mengenai komunikasi menjadi sangat menarik ketika komunikasi dalam tataran praktisnya menyentuh aspek kemanusiaan. Tentu saja, aspek kemanusiaan tersebut meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, ideologi, psikologi dan kebudayaan. Itulah sebabnya juga, komunikasi tidak bisa dipisahkan dengan begitu saja dengan dimensi manusia.
Dalam proses perkembangan kebudayaan manusia, komunikasi massa menjadi proses dan bidang ilmu komunikasi yang mempunyai tingkat pengaruh yang cukup penting pada kehidupan manusia sehari-hari. Dapat dikatakan bahwa dalam perkembangan manusia, komunikasi massa memainkan peranan penting bagi perubahan dan dinamika sosial manusia. Berita, dalam konteks komunikasi massa yang berkembang sampai sekarang, selalu muncul dalam benak dan pikiran manusia. Berita yang disusun dalam benak manusia bukan merupakan peristiwa manusia. Berita bukan adalah peristiwa itu sendiri. Berita merupakan usaha rekonstruksi kerangka peristiwa yang terjadi2. Berita dalam konteks komunikasi massa, lebih merupakan inti yang disesuaikan dengan kerangka acuan yang dipertimbangkan agar peristiwa itu memiliki makna bagi para pembacanya.
Berita dalam kapasitasnya sebagai pembentuk dan dinamisator pengolahan interpretasi atas peristiwa manusia, menjadi hal yang sangat penting dalam proses pembentukan konstruk sosial. Berita, pada titik tertentu, sangat mempengaruhi manusia merumuskan pandangannya tentang dunia. Pandangan terhadap dunia adalah bingkai yang dibuat oleh manusia untuk menggambarkan tentang apa dan bagaimana dunia dipahami. Berbagai pengalaman hidup manusia dimaknai dalam bingkai tersebut. Tanpa adanya bingkai yang jelas, kejadian, peristiwa dan pengalaman manusia akan terlihat “kacau” dan chaos. Bingkai pengalaman dapat dilihat sebagai “skenario awal” yang memposisikan setiap pengalaman dan peristiwa dalam plot cerita yang kurang lebih runtut, rasional dan sistematis.
Deskripsi tersebut menggambarkan betapa besarnya peran dan posisi berita dalam pembentukan karakter cara pandang manusia terhadap dunia. Hal itu bisa dilihat secara jelas pada efek yang ditimbulkan dari berita yang disampaikan dan kemudian diterima oleh masyarakat mengenai suatu peristiwa tertentu. Oleh karena itu, dalam membicarakan masalah ini perlu dikaji dari persepsi teori yang relevan dan sesuai dengan masalah tersebut. Salah satu teori yang akan mennjadi kajian dalam makalah ini adalah teori priming.
Asumsi Teoritisnya, pada dasarnya dalam Teori Priming juga sangat berkaitan erat dengan Teori Framing, sehingga dalam kesempatan ini akan sedikit disinggung tentang asumsi teoritis dari teori priming dan framing. Framing adalah bagaimana media mengambil frame dari suatu masalah. Misalnya kalau nonton berita di Fox Channel soal Perang Irak dulu, pasti judulnya "War for Freedom" atau sejenisnya, yang intinya mendukung pemerintah AS. Lain lagi kalau baca Republika, pasti frame yang diambil adalah "Invasi AS ke Irak". Sama-sama berita mengenai perang di Irak, tapi yang satu mendukung dan yang lain menentang. Sedangkan Priming adalah politik bahasa bagaimana masyarakat menangkap berita yang disampaikan oleh media. Maksudnya, apakah berita itu dianggap penting atau tidak penting oleh masyarakat. Contohnya adalah jika kasus pemerkosaan dimuat di Pos Kota, pasti dianggap sudah biasa. Tapi jika masuk ke Kompas, masyarakat luas langsung memberi tanggapan. Jadi priming ini sangat dipengaruhi oleh kredibilitas si media itu sendiri.
Konsep Priming dari Priming Teori, pada dasarnya konsep yang dikembangkan oleh Tradisi Cognitive Neoassociation (Bryant, 2002:89). Tradisi psikologi sosial ini berada dalam lingkaran teori kognitif dalam konteks komunikasi. Priming adalah proses di mana media massa berfokus pada sebagian isu dan tidak pada isu lainnya dan dengan demikian mengubah juga standar evaluasi yang digunakan khalayak untuk menilai realitas sosial yang dihadapinya (Severin, 2005:271).
Proses priming menegaskan pola dan terminologi kunci bahwa penonjolan dan penekanan isu mempunyai hubungan sebab akibat dengan standar penilaian publik dan perhatian publik terhadap isu tertentu. Misalnya dalam kasus skandal seks anggota DPR beberapa waktu lalu terlihat adanya penonjolan atau penekanan isu tentang perilaku moral dan etika politik yang mau dikembangkan oleh media massa. Selain penekanan dan perhatian terhadap isu tertentu terdapat variabel-variabel krusial dalam konsep priming, yaitu kadar isu (isu abstrak dan isu konkret; isu skandal seks dapat dikategorikan sebagai isu konkret).
Refleksi; Priming dan Kekerasan
Selain makanan empat sehat lima sempurna- yang itu pun jarang dipenuhi karena kesulitan hidup yang menyesakkan ini, menu sehari-hari orang Indonesia adalah berita kekerasan. Sarapan paginya adalah mahasiswa dihajar tramtib, santapan makan siangnya berita santri diperkosa sampai meninggal, dan makan malamnya adalah pedagang kaki lima digebuki sampai masuk rumah sakit, sedangkan menjelang tidur disuapi dengan berita mahasiswa meninggal karena mengikuti perpeloncoan mahasiswa baru. Selain itu ada pula appetizer menyegarkan yakni polisi mengungkap kriminal seperti acara Buser, Patroli, Sigi, dll. Makanan itu selalu tersedia, lewat koran, majalah, dan televisi yang sepertinya berlomba-lomba memberitakan berita kekerasan demi kekerasan di tanah air. Sepertinya berita kekerasan adalah sensasi.
Berita-berita kekerasan yang tiap hari menjejali pikiran kita ini akan dianggap sebagai berita yang biasa saja, tak ada yang perlu dicemaskan jika ada berita satu atau dua orang di daerah sana disakiti. Berita aparat dan penegak hukum main pukul dan tendang sudah biasa. Kita sudah tahu sama tahu akan hal ini. Gejala ini sangat mencemaskan. Oleh karenanya bisa kita maklumi jika SBY meminta kepada seluruh anggota Polri melaksanakan tugas secara profesional tanpa melakukan tindakan kekerasan pada peringatan hari Bayangkara Kepolisian RI di Cikeas Bogor (1 Juli 2005).
Dalam hal ini pakar psikologi telah lama membuktikan bahwa pemaparan yang secara terus menerus dan sistematis ini bisa memengaruhi persepsi sosial, dan sikap serta perilaku dari seseorang. Gejala ini dikenal dengan nama efek priming (priming effect). Secara teori, efek priming merupakan pengaktifan suatu potential knowledge yang telah tertanam dalam memori manusia. Pengaktifan ini bertujuan untuk mempercepat pemrosesan informasi. Misalnya, perawat lebih cepat mengenali jarum suntik daripada mesin ketik karena tiap hari berhubungan dengan benda-benda medis. Sebaliknya, sekretaris lebih cepat mengenali mesin tik daripada jarum suntik.
Oleh karena itu, ketika berita kekerasan terus menerus menerpa otak kita, otak sepertinya otomatis menyimpan berita ini. Memori blue print proses priming kekerasan itu akan memengaruhi kognisi, afeksi dan psikomotorik. Suatu saat violence yang tersimpan ini akan dengan mudah diaktifkan dengan pemaparan (exposure) suatu tindakan atau berita yang berbau violence pula. Ini menjadi masalah karena kecendrungan manusia menjiplak apa yang telah ada. Apa yang dilakukan orang lain terhadap kita, secara tak sadar akan kita gunakan pula terhadap orang-orang di sekeliling kita.
Efek priming bisa terjadi melalui dua cara. Pertama, terjadinya di atas ambang kesadaranya (supraliminal priming) yakni kita tahu bahwa kita sedang mencerna suatu informasi yang tersaji. Contohnya, ketika dengan antusias melihat iklan di televisi, atau dengan semangat membaca berita pembunuhan, peperangan, perkosaan yang diekspos secara vulgar. Kedua, terjadinya di bawah ambang kesadaran (subliminal priming). Contoh sederhananya adalah pembicaraan sepintas lalu dari tetangga tentang seseorang, tanpa sadar kita akan menilai orang tersebut sesuai dengan informasi yang kita dengar.
Sedangkan menurut sumbernya, efek priming bisa dibedakan atas beberapa kategori. Pertama, material priming dimana sumber priming adalah suatu objek, benda, dan teks. Kay dkk (2004) menyimpulkan bahwa pemaparan suatu material semata, walau tanpa dibumbui oleh kata-kata mampu memengaruhi sikap dan perilaku dari mereka yang terkena pemaparan. Selain benda, yang termasuk ke dalam material priming ini adalah kata, kalimat, dan teks, nama. Kedua, procedural priming yakni sumber priming adalah suatu prosedur atau tata cara yang cenderung berulang-ulang dilakukan. Cara penanganan kasus yang sama walau salah akan cenderung dinilai wajar karena seringnya dilakukan tanpa ada kesadaran untuk meninjau ulang keabsahannya.
Masyarakat kekerasan (Violence Society)
Implikasi dari fenomena priming bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini ada dua macam. Pertama, terciptanya suatu pelembagaan kekerasan (violence institutionalism). Kedua, akibat yang pertama, violence priming menjadi katalisator bagi perubahan perilaku masyarakat dari masyarakat santun menjadi masyarakat yang beringas (violence society). Pelembagaan kekerasan terjadi karena adanya pemaparan kekerasan melalui prosedural dan material priming yang tak pernah dievaluasi kewajarannya dalam kehidupan bernegara.
Banyak kasus di tengah masyarakat dimana konflik diselesaikan dengan kekerasan atau di bawah todongan senjata (procedural priming), mulai dari level RT sampai tingkat nasional. Perselisihan antar tetangga bisa memicu perang batu antar RT. Ketidaksesuain politik antara dua kubu partai politik yang berseteru, diselesaikan dengan pengerahan massa alias tukang pukul kedua belah pihak. Pendemo harus dipukuli karena dengan cara ini lah diyakini bisa menyurutkan tuntutan mereka. Sepertinya tak ada cara lain dalam menyelesaikan masalah kalau tidak dengan menggunakan kekerasan. Akibatnya kekerasan menjadi suatu alternatif yang utama dan menjadi solusi ampuh yang pertama kali muncul dalam benak kita.
Kita cermati, lebih 30 tahun di bawah pemerintahan Orde Baru, material priming dan procedural priming kekerasan dan budaya kekerasan (militerisme) tumbuh subur. Tanpa disadari efeknya sudah menggantikan memori bangsa yang awal mulanya lembut dan sopan santun menjadi memori baru yang penuh kekerasan, emosi brutal, dan berbau konflik adu fisik. Tak ada bukti sampai sekarang frekuensi pemaparan violence ini semakin lemah, sebaliknya malah semakin gencar. Violence priming tanpa disadari telah melembaga melalui proses internalisasi. Sepertinya kita berada dalam suatu masa transisi dari masyarakat yang santun menjadi masyarakat kekerasan (violence society).9
Di lain pihak memang ada priming religiusitas (religiousity priming) sebagai penyeimbang kekerasan yang disertai dengan himbauan arif untuk berperilaku lembut dari para ulama dan kaum agamawan. Tapi nampaknya pemaparannya kalah kuat dengan violence priming. Priming religiusitas tak menarik karena tak begitu marketable bagi media masa dan stasiun-stasiun tivi kita. Kita memang selalu butuh sensasi dan secara tak sadar (atau sadar?) telah membiarkan otak kita diplesteri dengan berita-berita yang lambat laun memengaruhi perilaku sosial kita. Lantas sampai kapan violence priming ini kita biarkan terus merusak frekuensi kebaikan yang telah diajarkan para leluhur dan adat-adat ketimuran, dan sampai kapan kita terjebak ke dalam pembentukan violence society?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar