Kamis, 17 Desember 2020

Budaya Media dengan Komodifikasi Media

A. KONSEP BUDAYA DAN BUDAYA MEDIA

Budaya adalah bentuk praktek sosial yang semua orang dalam kategori apapun punya budaya masing-masing. Budaya adalah aspek sosial yang berkaitan dengan pemaknaan. Budaya dalam society, bersanding dengan aspek sosial lainnya seperti aspek ekonomi, pendidikan, hukum, pemerintah dan lainnya. Masyarakat yang hidup tanpa aspek ekonomi bisa disebut dengan kemiskinan atau jika masyarakat itu hidup tanpa aspek pendidikan disebut masyarakat yang akrab dengan kebodohan, tapi membayangkan sebuah masyarakat tanpa budaya adalah sesuatu yang mustahil.

Hakekat manusia selalu melakukan pemaknaan menjadikan budaya sebagai dasar kehidupan masyarakat bahkan menyentuh aspek sosial lainnya. Praktik pemaknaan juga berlangsung di setiap aspek kehidupan sosial masyarakat, oleh karena itu ada istilah budaya ekonomi atau budaya hukum.

Dalam salah satu hubungannya, yaitu budaya dan media punya keterkaitan yang lebih akrab dengan kehidupan modern. Namun, modernitas tidak semata-mata menjadi bagian identitas budaya dan hubungannya dengan media. Media sendiri adalah alat komunikasi massa yang terbagi ke dalam dua bagian besar yaitu media cetak (statis) dan media audio-visual (dinamis). Yang termasuk ke dalam kelompok media statis adalah bahan-bahan cetak (print) seperti buku, poster, selebaran dan sebagainya. Sedangkan media audio-visual yang bersifat dinamis dilengkapi dengan teknologi canggih, seperti televisi dan film. Namun media audio-visual tidak selalu harus berteknologi seperti teater, sirkus, tari-tarian, wayang dan sebagainya. Budaya tersajikan lewat Budaya Media.

Sebagai bentuk budaya dan dengan karakter budaya visualnya, kehadiran TV telah membawa konsekuensi-konsekuensi budaya yang mendalam. Kehadirannya senantiasa membawa kontroversi. TV dipuja dan sekaligus dikecam. Tak jarang pula ia digunakan oleh rezim otoriter sebagai corong propaganda dan dikuasai oleh segelintir elit penguasa dan pengusaha untuk menjaga citra dirinya di mata publik dan sebagai aparatus “public relation” (PR) untuk menjaga kepentingan citra kekuasaan bisnisnya. Sebagaimana perkembangan terkini yang menunjukkan bahwa para politisi di tanah air sudah mulai berbondong-bondong memanfaatkan potensi televisi sebagai media kampanye dan iklan politik.

Dalam hubungan mengenai budaya media terhadap komodifikasi budaya dalam ruang publik, artinya media yang dulunya sebagai media informasi publik dengan berbagai fungsi lainnya seperti edukasi dan control sosial, sekarang berkomodifikasi menjadi ruang budaya media yang berujung pada hitungan ekonomi.

Konten yang umumnya mengalir melalui saluran yang baru dibuat untuk khalayak massa yang baru, awalnya adalah campuran cerita, gambar, informasi, ide, hiburan, dan tontonan. Meskipun demikian, kosep tunggal dari budaya media (mass culture) secara umum digunakan untuk merujuk kepada semua ini (lihat Rosenberg dan White, 1957). Budaya massa meiliki referensi yang lebih luas dalam hal selera, kesukaan, cara, dan gaya dari orang-orang banyak (atau sebagian besar daripadanya). Dulu massa memiliki konotasi negative, terutama karena asosiasinya dengan pilihan budaya yang dianggap tidak berpendidikan, dianggap non-diskriminatif atau dengan khalayak kelas rendah.

Istilah ini telah using sekarang, sebagian karena perbedaan kelas kurang tajam atau jelas terlihat, dan istilah ini tidak lagi memisahkan antara minoritas dari kalangan professional terpelajar dari mayoritas kelas pekerja yang besar, miskin, dan kurang terpelajar. Hal ini juga yang membuat hierarki selera budaya tidak lagi diterima secara luas.

Bahkan dalam model busana, ide akan budaya massa sebagai fenomena kelas bawah tidak secara empiris dibenarkan karena merujuk pada pengalaman budaya normal dari semua orang pada saat tertentu (wilensky, 1964). Saat ini istilah budaya popular umumnya lebih disukai karena istilah ini dengan sederhana berarti apa yang sebagian atau banyak orang sukai. Istilah ini juga memiliki konotasi dengan apa yang popular dikalangan anak muda. Beberapa perkembangan terakhir dalam kajian budaya (culture study) dan media (sebagaimana dalam masyarakat) telah mengarah kepada penilaian yang positif atas budaya popular. Bagi beberapa ahli teori media (misal, Fiske, 1987), fakta bahwa popularitas merupakan nilai berharga dalam hal politik maupun budaya.

Munculnya budaya massa memiliki lebih dari satu interpretasi. Bauman (1972) misalnya, mengambil isu yang menyatakan bahwa media komunikasi massa menyebabkan budaya massa dan berpendapat bahwa mereka lebih seperti sebuah alat untuk membentuk sesuatu yang terjadi dalam setiap kasus sebagai hasil dari meningkatnya homogenitas cultural dalam masyarakat nasional. Menurut pandangannya, apa yang seringkali dirujuk sebagai budaya massa lebih pantas hanya merupakan budaya yang universal atau terstandardisasi. Beberapa ciri dari komunikasi massa berkonstribusi pada proses standardisasi, terutama ketergantungan terhadap pasar, supremasi organisasi skala besar, dan penerapan teknologi baru untuk produksi budaya. Pendekatan yang lebih objektif ini membantu meredakan beberapa konflik yang mencirikan perdebatan tentang budaya massa. Dalam beberapa tindakan, masalah budaya massa mencerminkan kebutuhan untuk memenuhi kemungkinan teknologi baru bagi reproduksi simbolis (Benjamin, 1977) yang menantang pemikiran atas kesenian yang sudah mapan. Isu budaya massa diatasi dalam lingkup social dan politik, tanpa terselesaikan dalam kaitannya dengan estetika.

Meskipun terdapat pencairan akan konsepsi yang bebas nilai dari budaya massa, isu yang muncul tetap bermasalah secara konseptual dan ideologis. Sebagaimana yang diperlihatkan oleh Bordieu (1986) dan yang lainnya, konsep yang berbeda mengenai nilai budaya secara kuat dihubungkan dengan perbedaan kelas social. Kepemilikan modal ekonomi biasanya setara dengan kepemilikan modal budaya dimana dalam kelas masyarakat dapat juga diuangkan dengan keuntungan material. System nilai berdasarkan kelas pernah dengan kuat memelihara superiritas budaya tinggi dan system nilai semacam itu (walaupun mungkin tidak untuk system kelas) telah melemah, walaupun isu perbedaan kualitas budaya masih ada sebagai aspek perdebatan berkelanjutan atas kebijakan budaya dan media.

Komunikasi massa berproses pada level budaya massa, sehingga sifat-sifat komunikasi massa sangat dipengaruhi oleh budaya massa yang berkemang di masyarakat di mana proses komunikasi itu berlangsung. Dengan demikian, maka budaya massa dalam komunikasi massa memiliki karakter:

1. Nontradisional, yaitu umumnya komunikasi massa berkaitan erat dengan budaya popular. Acara-acara infotainment, seperti AFI, API, KDI dan sebagainya adalah salah satu contoh karakter budaya massa ini.

2. Budaya massa juga bersifat merakyat, tersebar di basis massa sehingga tidak mengerucut di tingkat elite, namun apabila ada elite yang terlibat dalam proses ini, maka itu bagian dari basis massa itu sendiri.

3. Budaya massa juga memproduksi produk-produk massa seperti umpamannya infotainment adalah produk pemberitaan yang diperuntukkan kepada massa secara luas. Semua orang dapat memanfaatkannya sebagai hiburan umum.

4. Budaya massa sangat berhubungan dengan budaya popular sebagai sumber budaya massa. Bahkan secara tegas dikatakan bahwa, bukan popular kalau bukan budaya massa, artinya budaya tradisional juga dapat menjadi popular apabila menjadi budaya massa. Contohnya adalah Srimulat, Ludruk, maupun Campursari. Pada mulanya kesenian tradisional berkembang di masyarakat tradisonal dengan karakter-karakter tradisonal, namun ketika kesenian ini dikemas di media massa, maka sentuhan-sentuhan popular mendominasi seluruh kesenian tradisional itu, baik cerita, kostum, latar, dan sebagainya tidak lagi menjadi konsumsi masyarakat pedesaan namun secara missal menjadi konsumsi semua lapisan masyarakat di perdesaan dan perkotaan.

5. Budaya massa, terutama yang diproduksi oleh media massa diproduksi menggunakan biaya yang cukup besar, karena itu dana yang besar itu harus menghasilkan keuntungan untuk kontinuitas budaya massa itu sendiri, karena itu budaya massa diproduksi secara komersial agar tidak saja menjadi jaminan keberlangsungan sebuah kegiatan budaya massa namun juga menghasilkan keuntungan bagi capital yang diinventasikan pada kegiatan tersebut.

6. Budaya massa juga diproduksi secara esklusif menggunakan simbol-simbol kelas social sehingga terkesan diperuntukkan kepada masyarakat modern yang homogen, terbatas dan tertutup. Namun sebenarnya budaya massa yang eksklusif ini terbuka untuk siapa saja yang ingin menikmatinya. Syarat utama dari ekslusifitas budaya massa ini adalah keterbukaan dan kesediaan terlibat dalam perubahan budaya secara missal.

B.   EFEK MEDIA TERHADAP BUDAYA

Jika kita menganggap media massa sebagai sebuah aspek dalam masyarakat (dasar atau struktur), maka terdapat pilihan materialism. Terdapat teori yang penting yang memandang budaya tergantung pada struktur ekonomi dan kekuasaan dari masyarakat. Teori ini berasumsi bahwa siapapun yang memiliki atau mengontrol media, dapat memilih atau membatas apa yang mereka lakukan.

Jika memandang media dari sisi konten (lebih ke aspek budaya), maka pilihan idealism yang muncul. Media diasumsikan memiliki pengaruh signifikan yang potensial, tetapi ide dan nilai yang dibawa oleh media (dalam kontennya) yang dilihat sebagai penyebab utama perubahan social, tidak perduli siapa pemilik dan pengontrolnya. Pengaruhnya dianggap bekerja melalui motivasi dan tindakan individu. Pandangan ini menuntun kepada keyakinan yang kuat terhadap beragam efek media yang potensial, baik maupun buruk. Contoh-contohnya termasuk promosi media mengenai perdamaian dan pemahaman internasional (atau memiliki efek yang berlawanan) dari niali-nilai dan perilaku baik yang pro maupun anti social; dan pencerahan atau sekularisasi dan modernisasi masyarakat tradisional. Bentuk idealism atau mentalisme juga terkait dalam media berada di balik pandangan yang berubah dalam bentuk media dan teknologi, dapat mengubah cara kita mendapatkan pengalaman dengan cara yang penting dan bahkan hubungan kita dengan orang lain (sebagaimana teori McLuhan 1962, 1964).

Selama lebih dari satu generasi dalam penelitian tentang efek media massa, terdapat perkembangan pemikiran mengenai efek proses tersebut. Jika sebelumnya DeFleur memperhitungkan variabel-variabel psikologis dalam proses efek, maka dia selanjutnya mengembangkan teorinya dengan memasukkan variable norma budaya dalam efek media. Teori yang disebut Cultural Norms ini beranggapan bahwa media tidak hanya memiliki efek langsung terhadap individu, tetapi juga mempengaruhi kultur, pengetahuan kolektif, dan norma serta nilai-nilai dari suatu masyarakat. Media massa telah menghadirkan seperangkat citar (image), gagasan dan evaluasi dari mana audience dapat memilih dan menjadikan acuan bagi perilakunya. Misalnya dalam hal perilaku seksual, media massa memberikan suatu pandangan kumulatif mengenai apa yang dianggap normal dan apa yang disetujui atau tidak disetujui.

Pergeseran pemikiran yang ditandai oleh perbedaan antara Model Psikodinamik dan Teori Norma Budaya ini terlihat dari karakteristik efek pada kedua pemikiran tersebut. Pada Model Psikodinamik, efek adalah sesuatu yang diinginkan oleh pengirim pesan berlangsung secara singkat (segera dan sementara) berkaitan dengan perubahan sikap, informasi, dan perilaku pada individu dan relatif terjadi tanpa melalui media. Secara umum efek-efek tersebut relevan denga gagasan kampanye, suatu usaha yang direncanakan secara sadar untuk menggunakan publisitas untuk kepentingan memberikan informasi dan memotivasi.

System media membawa perubahan yang sangat mendasar dalam cara integrasi social, reproduksi budaya, dan partisipasi politik (J.M. Ferry, 1994:vii). Media menyebarkan keseluruh tubuh social tidak hanya ide pembebasan, tetapi juga nilai-nilai hedonis sehingga akhirnya mempengaruhi integrasi social. Integrasi social menghadapi kendala dalam bentuk individualism narcisik. Hanyut dalam arus hedonism individual, individu semacam ini cenderung memuja kultus masa kini. Hedonism individualis ini mengabaikan kontrol sosial dari instansi tradisional sehingga norma-norma tradisional meredup, (S.Charles, 2004:32).

C.   KOMODIFIKASI MEDIA

Komodifikasi merupakan istilah baru yang mulai muncul dan dikenal oleh para  ilmuwan  sosial.  Komodifikasi  mendeskripsikan cara  kapitalisme melancarkan tujuannya dengan mengakumulasi kapital, atau, menyadari transformasi nilai guna menjadi nilai tukar.  Komoditas dan komodifikasi adalah dua hal yang memiliki hubungan objek dan proses,  dan menjadi salah satu indikator kapitalisme global yang kini tengah terjadi. Dalam ekonomi politik media komodifikasi adalah salah satu bentuk penguasaan media selain strukturasi dan spasialisasi.

Komodifikasi  menurut  Vincent  Mosco  digambarkan  sebagai  cara kapitalisme  dengan  membawa  akumulasi  tujuan  kapitalnya  atau mudahnya dapat digambarkan sebagai sebuah perubahan nilai fungsi atau guna menjadi sebuah nilai tukar. Dan sekarang ini telah sangat banyak sekali bentuk komodifikasi yang muncul dalam perkembangan kehidupan manusia.  Karena  mulai  banyak  juga  yang  dijadikan  komoditas  oleh manusia.

Terkait dengan komodifikasi yang terjadi di media, Mosco memformulasikan tiga bentuk komodifikasi, yakni komodifikasi isi, komodifikasi khalayak, dan komodifikasi pekerja.

1.    Komodifikasi Isi (Content Comodificationmenjelaskan bagaimana content atau isi media yang diproduksi merupakan komoditas yang ditawarkan. Proses komodifikasi ini berawal dengan mengubah data-data menjadi system makna oleh pelaku media menjadi sebuah produk yang akan dijual kepada konsumen, khalayak maupun perusahaan pengiklan (1996:146-147). Artinya media tidak hanya berhenti pada proses pembentukan kultur semata melalui konten yang didistribusikan, melainkan juga menjadikan budaya itu sebagai sebuah komoditas yang bias dijual. Sejalan dengan konteks ini, Adorno dan Hokheimer menyodorkan tesis tentang industri budaya. Bahwa media dan hiburan yang disajikan melalui media massa pada dasarnya telah menjadi industri di era kapitalisme pasca-Perang Dunia II baik dalam mensirkulasikan komoditas budaya maupun dalam memanipulasi kesadaran manusia (Hokheimer dan Adorno, 1972 dalam Agger, 2009:180). Industri budaya pada dasarnya juga menjelaskan bagaimana budaya menjadi sesuatu yang memanipulasi kesadaran manusia. Budaya pop, sebagaimana dicontohkan Hokheimer dan Adorno, bukanlah menjadi media akhir dan yang paling tinggi yang bisa digunakan untuk melakukan perlawanan terhadap hegemoni kapitalis sebagaimana diulas oleh Karl Marx, melainkan budaya pop itu sendiri mengandung iklan dan hiburan yang diberikan kepada khalayak hanya sebagai kedok untuk menutupi aktivitas Kapital melalui media massa (hal. 182-183).

2.    Komodifikasi khalayak (Audience Comodification). Dengan memakai wacana yang dipopulerkan oleh Smythe (1977) dalam The Audience Commodity, komodifikasi khalayak ini menjelaskan bagaimana sebenarnya khalayak tidak secara bebas hanya sebagai penikmat dan konsumen dari budaya yang didistribusikan melalui media. Khalayak pada dasarnya merupakan entitas komoditi itu sendiri yang bisa dijual. Misalnya, dalam industri media massa saat ini, dicontohkan Smythe dengan berbagai program acara di industri pertelevisian, ada tiga entitas yang saling memengaruhi yakni: 1). Perusahaan media, 2). Pengiklan, dan 3). Khalayak itu sendiri. Khalayak mendapatkan program tayangan yang dapat menghibur hingga memberikan informasi secara gratis dari perusahaan televisi. Perusahaan media membuat program untuk disaksikan oleh khalayak dan selanjutnya jumlah khalayak yang menonton dan juga waktu yang disediakan untuk menonton inilah yang dijual kepada pihak pengiklan. Sementara pengiklan membayar biaya iklan produk mereka dan menayangkan melalui media dengan harapan mendapatkan perhatan khalayak yang pada akhirnya khalayak akan menggunakan produk tersebut.

3.Komodifikasi pekerja (Labour Comodification). Bahwa perusahaan media massa pada kenyataannya tak berbeda dengan pabrik-pabrik. Para pekerja tidak hanya memproduksi konten dan mendapatkan perhargaan terhadap upaya menyenangkan khalayak sebagai pekerja yang terlibat dalam mendistribusikan konten sebagai sebuah komoditas (Vincen Mosco, 1996:158). Kemajuan teknologi informasi merupakan salah satu contoh bagaimana tanpa sadar khalayak juga mentransformasikan dirinya tidak sekadar menjadi konsumen atau objek komoditas kepada pengiklan, melainkan juga telah menjadi produsen dalam industry budaya. Fenomena user content generated di internet menjelaskan bagaimana khalayak memproduksi konten media dan sekaligus mendistribusikan serta menjadi konsumen dari konten tersebut. Misalnya, kehadiran informasi pengguna seperti status, foto, dan sebagainya yang ada social media seperti facebook atau twitter. Informasi inilah yang didistribusikan dan bisa dikonsumsi oleh khalayak yang terkoneksi ke social media tersebut dan pada akhirnya melalui simulasi jejaring khalayak yang pada mulanya menjadi konsumen perlahan berubah menjadi produsen.

Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line