Sabtu, 12 Desember 2020

Model Strategi Perubahan dan Implikasi Komunikasi dalam organisasi politik dalam Masyarakat Demokratis

A.   KONSEP EVALUASI

Dalam membahas tentang “Evaluasi Pelaksanaan  Strategi Perubahan dan Implikasi Komunikasi dalam Organisasi Jenis Apapun  dan Masyarakat”, kita perlu sedikit memahami terlebih dahulu pengertian / konsep evaluasi dan beberapa konsep utama lainnya yang terdapat di dalam tema ini.

Dalam pandangan Suranto (2019) ditegaskan, suatu program termasuk program komunikasi merupakan rangkaian kegiatan yang direncanakan secara sengaja dan sistematis untuk mencapai tujuan tertentu. Pelaksanaan suatu program merupakan rangkaian keputusan yang dibuat atas dasar hasil evaluasi terhadap komponen-komponen program yang terdiri dari konteks, input, proses dan produk. Tujuan yang ditetapkan dalam sebuah program bersumber dari pemikiran rasional yang diperoleh dari hasil pengkajian tentang kebutuhan dan kebijakan organisasi. Penyusunan program komunikasi dilakukan berdasar hasil identifikasi terhadap sumber daya yang relevan, dana, sarana-prasarana, media, segmentasi, prosedur, serta strategi yang dapat digunakan untuk memberdayakan sumber daya yang ada secara efektif. Pada tahap proses, program komunikasi diharapkan dapat dilaksanakan dengan baik dan didukung secara optimal oleh sumber daya yang ada, sehingga pelaksanaan program komunikasi dapat dilaksanakan secara efektif, hambatan-hambatan yang ditemukan dapat diatasi, dan dukungan-dukungan terhadap proses / pelaksanaan program dapat dipertahankan untuk menunjang pencapaian tujuan. Pada akhirnya, produk atau tujuan yang dihasilkan oleh program komunikasi dapat dilihat dari tingkat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya serta dampak-dampak program terhadap sasaran khalayak/masyarakat.Untuk mengetahui apakah program komunikasi efektif dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, maka dilakukan suatu evaluasi.

Evaluasi merupakan salah satu rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kualitas, kinerja, maupun produktivitas suatu lembaga dalam melaksanakan kegiatan atau program. Melalui evaluasi akan diperoleh informasi tentang sejauhmana suatu kegiatan dapat dilaksanakan, selanjutnya informasi ini digunakan untuk perbaikan kegiatan tersebut. Idealnya setiap program atau kegiatan perlu dievaluasi untuk mengetahui tingkat keberhasilannya dan untuk mendapatkan informasi sebagai bahan pertimbangan apakah program itu perlu direvisi, dilanjutkan, ataukah dihentikan. Tanpa evaluasi, pihak manajemem tidak pernah memperoleh informasi tentang tingkat keberhasilan suau kegiatan.

Menurut Royse, Thyer dan Padgett (2010:12), evaluasi merupakan bagian dari proses manajerial yang diterapkan untuk memperoleh informasi sebagai acuan dalam pembuatan keputusan. Zaenal Arifin (2009:5) mendefinisikan evaluasi sebagai suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) dari sesuatu, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu dalam rangka pembuatan keputusan.

Meminjam pandangan Rafles Abdi Kusuma (dengan sedikit perubahan), dikatakan bahwa yang dimaksud evaluasi adalah latihan untuk memahami secara mendalam dan menginformasikan keputusan untuk menilai suatu program secara efektif. Evaluasi juga adalah sebuah aktivitas yang memiliki peran yang penting dalam perencanaan komunikasi nasional. Evaluasi Perencanaan jarang dilakukan pada berbagai sector organisasi maupun masyarakat seperti di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, dan lain-lain.

Saat ini tidak ada satu atau lebih hal yang mengenai usulan strategi komunikasi sebaik unit evaluasi dan sejumlah mekanisme umpan balik untuk mengawasi penetapan dari beberapa strategi di bidang tersebut. Yang tidak mengusulkan satu atau lebih strategi komunikasi seperti halnya suatu unit evaluasi dan beberapa umpan balik mekanisme untuk monitoring pengundangan strategi seperti itu di dalam bidang tersebut.

Kebutuhan akan informasi yang dapat dipercaya, untuk mengumpulkan aplikasi metoda penelitian evaluasi yang sistematis, namun jarang dilakukan, jika sekiranya, memperdebatkan. Dengan difusi media membantu jarak belajar strategi dan dorongan perencanaan komunikasi di tingkatan nasional. Seseorang dengan pengalaman evaluasi penelitian sudah menjadi tamu dihormati pada forum internasional dalam segala bentuk. Kehadiran mereka biasanya juga dbentuk pada misi perencanaan dan studi kelayakan kelompok yang mana misi tersebut untuk membantu pemerintah menganalisis komunikasi yang mereka butuhkan dan merumuskan kebijakan inovasi untuk perluasan media massa dalam pembangunan.

Sekalipun begitu, kendati kebutuhan yang diperlukan untuk evaluasi sebagai sebuah alat untuk keefektifan sistem perencanaan dan menejemen, kecemasan dan kecurigaan sering terjadi di antara pengurus dan perencana komunikasi pada satu pihak dan pengawas pada pihak lainnya. Kelompok ini kenyataannya sering ragu-ragu tentang usulan dan tujuan orang yang bebeda dengan mereka. Mereka yang ragu biasanya didasari pada sejumlah faktor perencana dan administrator, apapun latar belakang mereka atau keanggotaan institusi yang tidak kebal dari tekanan politis dan serentak harus membenarkan tindakan mereka di dalam suatu milisi politis. Pada kelompok ini, penelitiannya tidak mendapat pengesahaan dan kekuatan politik yang menguntungkan yang seringkali dipandang tidak relevan, buruk, atau sebagai ancaman palsu. Pada gilirannya, penilai sering ditakutkan oleh sikap acuh tak acuh administrator dan perencana akan hasil study evaluasi. Maka mereka terganggu oleh sebagian dari metodologi yang tidak sesuai dengan bidang mereka terutama sebelum percobaan tingkat tinggi dan tehnik penelitian psycometrik.

Inti dari pandangan Rafles Abdi Kusuma tentang hubungan antara perencanaan komunikasi dan diskusi evaluasi pada tulisan ini adalah bahwa pada setiap tingkatan berisikan hubungan dengan sebuah variasi metode penelitian dan sumber data, walaupun sebagian besar dari sistem pantas menggandakan pertimbangan dari metode dan interval sumber. Duplikasi saran yang berupa sumber data dan perencanaan evaluasi dasar itu sebaiknya tidak menyimpang dari kenyataan dari perencanaan dan implementasi suatu sistem komunikasi. Bagaimanapun penyimpangan adalah sesuatu hal yang alami dari suatu pengambilan kebijakan untuk memandu suatu system. Karena itu makna dari pengumpulan data adalah untuk mengarahkan pada keputusan tersebut.


Sepanjang definisi kebijakan, para perencana komunikasi biasanya lebih suka bertanya pada hal yang normatif mengenai jasa dan investasi yang seharusnya dikerjakan. Sepanjang tingkatan desain sistem, isu strategis mengenai apa yang dapat dilakukan menjadi hal yang penting, saat pemeliharaan dan implementasi ditandai oleh kebutuhan untuk menentukan bagaimana kebijakan dapat dijalankan dan kemudian dilembagakan dengan cara yang paling efisien. Pada tingkat paling akhir, dugaan akan dampak dari suatu sistem, diperoleh dari pertanyaan mengenai seberapa baik suatu sistem yang diterapkan, sebagaimana yang telah di disain sebagaimana seharusnya. Idealnya, tahap-tahap memberi makna ke dalam dan menguatkan satu sama lain, walaupun perencanaan itu mengalami evaluasi dan perencanaan itu sering dipisah dari aktivitas yang menyertakan hal yang menyimpang dari harapan.

Hal yang dapat ditingkatkan di antara hubungan perencanaan komunikasi dengan evaluasi adalah sebagai berikut; Tahap pertama, perencana harus memberikan informasi yang lebih baik dan kritik-kritk yang dapat meningkatkan aktivitas pengajaran sistem evaluasi. Kedua, perencana komunikasi harus membedakan antara model penelitian yang digunakan untuk membantu sebuah sistem pekerjaan yang lebih baik, dan seharusnya penelitian ditujukan untuk menemukan bagaimana sistem bekerja dengan cara yang khusus.

Adapun hal-hal yang dapat dilakukan oleh tim evaluasi untuk meningkatkan perencanaan komunikasi yaitu sebagai berikut:

a. Para perencana komunikasi harus lebih mengenali lingkungan politik organisasi yang sebenarnya terjadi di dalam perencanaan komunikasi. Perencanaan yang meliputi kekuasaan pastilah menjadi hal yang menarik dan sampai saat itu kompromi dan negosiasi harus terus menerus dilakukan. Tuntutan perencanaan komunikasi harus berdasarkan hanya pada kriteria yang objektif. Ambisi pribadi yang buta dan tekanan institusi yang berlebihan membuat siatuasi menjadi lebih panas.

b. Anggapan pemikiran utama dari penilai merupakan sistem komunikasi dari lingkungan organik sistem komunikasi lebih memiliki pandangan seperti fenomena perubahan yang relatif stabil, yang memeberikan pengaruh dan tanggapan terhadap bermacam-macam lingkungan dan seringkali berlawanan arah. Jenis ini disebut Model Evaluasi Multidimensional, analisis mendalam dari akibat-akibat dan cukupnya waktu untuk menimbang dari akibat tersebut sama halnya dengan pilihan kebijakan perjanjian untuk mengantarkan perencanaan usaha kemasa yang akan datang.

Baru-baru ini percobaan pengaruh dari sebuah rencana komunikasi bahwa evaluasi dapat dijadikan sebauah pengaruh positif dalam perencanaan komunikasi ketika dan jika membuat keputusan dan peneliti sejati sepakat untuk bergabung. Hal ini menghendaki pengevaluasi orientasi keputusan dan akan mengorbankan beberapa cara kasar untuk menguntungkan pengambil keputusan. Sama baiknya perencana-perencana yang tidak hanya bagian dari jumlah informasi tetapi juga akan mempengaruhi sejumlah penyedia informasi sebelum keputusan dari kebijakan umum diambil.

Tentang evalusasi dalam organisasi dimaksud, menurut Suranto (2019) bahwa, kemampuan mengevaluasi di dalam organisasi adalah salah satu kemampuan yang sangat penting, baik bagi seorang pimpinan maupun anggota. Hal ini disebabkan setiap orang memiliki tugas dan peranan dalam suatu organisasi. Apakah dia seorang pimpinan atau seorang anggota biasa, dia mempunyai kewajiban untuk mengetahui seberapa berhasil dalam melaksanakan tugas, apakah ada hambatan dalam pelaksanaan tugas, sehingga dapat dikatakan bahwa semua orang perlu melakukan evaluasi, sekurang-kurangnya terkait dengan tugas masing-masing. Selanjutnya informasi keberhasilan pelaksanaan tugas tersebut dibutuhkan oleh orang lain agar tugas dan pekerjaan di dalam suatu organisasi dapat dilaksanakan dengan harmonis. Setiap orang yang ada dalam organisasi perlu bekerjasama dan berkordinasi untuk mencapai tujuan. Asumsi Teori Integratif dalam organisasi menempatkan evaluasi pada salah satu aktivitas organisasi, artinya dengan evaluasi maka semua elemen yang ada di dalam suatu organisasi mendapatkan informasi untuk perbaikan kinerja dan selanjutnya untuk mencapai tujuan bersama.

Evaluasi di suatu organisasi berbeda dengan evaluasi yang kita lakukan sehari-hari di dalam keluarga yang orientasinya untuk kepentingan pribadi. Hal ini disebabkan, kedudukan setiap orang di dalam suatu organisasi selalu merepresentasikan jabatan dan kedudukan formal.Pada tingkat hirarki jabatan manapun juga, keterampilan evaluasi merupakan modal untuk menuju sukses. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam organisasi, semakin penting keterampilan evaluasi ini. Hasil penelitian menunjukkan kenyataan bahwa para manajer puncak menghabiskan 35% waktu mereka untuk mengevaluasi diri sendiri (self evaluation) maupun mengevaluasi kinerja staf dan kinerja organisasi pada umumnya, (Bovee & Thill, 2007:5). Temuan penelitian Eriansyah (2015:233) menunjukkan bahwa di era keterbukaan informasi, semua organisasi dituntut untuk meningkatkan penyampaian informasi kepada pihak internal maupun eksternal.

Konsep Evaluasi Program

Dalam tulisan Sumardi (2000:28) yang mengutip pandangan Valades & Bamberger (1994), menyatakan bahwa evaluasi program merupakan aktivitas manajemen internal maupun ekternal yang dimaksudkan untuk mengukur kelayakan suatu desain program dan metode implementasinya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan, baik tujuan khusus maupun tujuan desain program dalam skala luas. Selain itu, evaluasi program juga dimaksudkan untuk mengukur dampak yang dihasilkan dari program itu, baik dampak yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan, dan juga untuk mengukur faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat dan distribusi manfaat yang dihasilkan. Pada akhirnya evaluasi program dapat digunakan sebagai rujukan (guidlines) untuk meningkatkan kinerja dari suatu program yang sedang berlangsung sekaligus untuk mengestimasi dampak yang mungkin didapat dari program itu dan juga untuk mengevaluasi kinerja suatu program yang telah berlangsung.

Selanjutnya Valadez & Bamberger (1994) menegaskan pula bahwa informasi yang diperoleh melalui kegiatan evaluasi program ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak, seperti penentu kebijakan (decision maker), perencana proyek, dan juga seorang manager dalam beberapa hal, yaitu: 1). Membantu untuk memperbaiki metode yang digunakan untuk mengidentifikasi dan menyeleksi suatu program agar selalu konsisten dengan tujuan yang telah ditentukan, dan juga untuk meyakinkan tingkat keberhasilan yang mungkin diperoleh dari program itu serta membantu untuk memilih strategi yang paling ekonomis dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan; 2). Evaluasi program dapat dimanfaatkan untuk menentukan apakah implementasi program itu dapat menjangkau orang-orang yang menjadi sasaran (beneficiary) program; 3). Mengukur apakah implementasi program itu mampu mencapai tujuan sosial dan ekonomis yang telah ditentukan; dan 4). Mengukur dampak program terhadap pembangunan (pendidikan, ekonomi, dan pertahanan) dalam skala luas.

B. PENTINGNYA STRATEGI KOMUNIKASI DALAM EVALUASI

Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen yang harus dilalui oleh setiap fungsi manajemen dalam suatu organisasi, termasuk fungsi pendukung berupa komunikasi. Perencanaan dibuat agar tujuan komunikasi ini mencapai hasil yang diinginkan, yakni komunikasi yang efektif. Kegiatan komunikasi dapat dikatakan efektif bila terjadi pemahaman antara komunikator dan komunikan (stakeholder di luar organisasi). Setelah adanya pemahaman ini maka para stakeholder akan muncul kepercayaan (trust) kepada organisasi.

Dalam menyusun strategi komunikasi organisasi terdapat tiga pendekatan yang perlu dilakukan, yakni; 1). Melihat isu-isu besar yang berulang, isu yang sensitif, dan isu yang diprediksi akan berkembang. 2). Melakukan analisis hubungan antar unit eselon I atas isu-isu tersebut. 3). Melakukan assesment internal dan eksternal menggunakan SWOT analisis. 4). Menyusun grand design strategi komunikasi.


Dalam kaitan itu, yang perlu dilakukan adalah memperjelas secara keseluruhan tujuan komunikasi, yakni hal yang diinginkan dan informasi apa yang dibutuhkan stakeholders. Tiga hal umum dari tujuan komunikasi antara lain memberikan informasi/pemahaman, melakukan persuasi, atau melakukan klarifikasi atas suatu isu. Organisasi vital yang berbentuk holding organization umumnya memiliki stakeholders beragam. Stakeholders seluruh unit pada dasarnya merupakan stakeholders. Cara terbaik untuk menentukan tujuan komunikasi adalah menentukan kebutuhan stakeholders, apa yang mereka butuhkan dan apa yang diinginkan dari organisasi. Membuat daftar keinginan dan kebutuhan informasi tersebut menjadi kunci dalam menentukan tujuan komunikasi yang tepat bagi setiap stakeholder.

Selanjutnya, key message yang disusun tergantung dari isu yang ingin dikendalikan. Jika isunya adalah soal pelayanan, maka key message yang dapat disampaikan adalah Departemen PR melalui unit kerjanya senantiasa berupaya mempermudah birokrasi dan membantu satuan kerja di setiap unit. Sementara itu, channel merupakan media yang menjadi penghubung antara organisasi dengan para stakeholders. Media dibedakan menjadi dua cluster besar, yakni media below the line-above the line, dan new media yang terdiri dari jejaring sosial media. Pemilihan media ini tergantung key message, stakeholder, dan tentu saja dana yang tersedia. Pembuatan konten informasi dari key message menjadi kunci, content is king.

Setiap isu yang dingin diarahkan memiliki waktu dalam penyampaiannya. Tanpa momentum yang tepat, dampak yang diinginkan akan berisiko tidak tercapai maksimal. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, waktu sangat berarti. Sebuah berita bisa obselete bahkan dalam hitungan jam, apalagi dalam penanganan krisis komunikasi. Ibarat api, jika tidak segera dipadamkan, maka dampak kerusakaannya semakin meluas.

Strategi komunikasi yang sudah disusun diharapkan menjadi panduan praktisi PR organisasi sehingga kegiatan-kegiatan komunikasi yang dijalankan jelas target yang ingin dicapai dan alokasi sumber daya-sumber daya untuk mencapainya. Strategi komunikasi menjadi acuan bahan evaluasi kegiatan PR sehingga strategi ke depannya menjadi lebih baik. Strategi komunikasi merupakan dokumen perencanaan. Gagal membuat strategi komunikasi berarti merencanakan kegagalan komunikasi dan evaluasi.

C. PENTINGNYA EVALUASI DALAM ORGANISASI SEBAGAI STRATEGI PERUBAHAN.

Materi ini diadopsi dari buku “Perencanaan & Evaluasi Program Komunikasi”, karangan Suranto (2019), ia katakana bahwa pada tataran faktual, nampak jelas bahwa media komunikasi yang dikelola secara manual akan tidak berdaya melawan kekuatan disruptif teknologi digital. Industri lama: ritel tradisional dilibas oleh ecommerce; media cetak dikalahkan oleh media online; layanan taksi tradisional tersisih oleh layanan taksi berbasis sharing economy. Khusus terkait penggunaan media, jelas sekali bahwa masyarakat lebih memilih menggunakan media online berbasis teknologi android untuk mendapatkan informasi, dari pada media konvensional. Liu & Kim (2013) menyebut bahwa untuk mendapatkan informasi kesehatan, hukum, politik, masyarakat sudah beralih menggunakan media sosial berbasis android (76%), sementara sisanya masih setia dengan media tradisional.

Untuk meningkatkan peluang mendapatkan dampak positif, diperlukan kompetensi untuk menyusun perencanaan dan melakukan evaluasi program komunikasi. Bagi sebuah organisasi modern, perencanaan dan evaluasi memiliki fungsi yang sangat penting. Perencanaan berfungsi sebagai pedomandalam melaksanakan suatu program, kegiatan, maupun kebijakan. Evaluasi berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh informasi tingkat keberhasilan pelaksanaan program. Dengan perencanaan yang matang, maka organisasi itu akan dapat mengelola segala sumber daya untuk mendukung tujuan.

Dapat dikatakan bahwa salah satu ciri organisasi adalah harus memiliki perencanaan dalam menyongsong dan menyiapkan masa depan. Misalnya organisasi pemerintah desa, setiap akhir tahun menyusun Rencana Kerja Pembangunan (RKP) Desa, kemudian menggunakan RKP tersebut untuk menyusun Rencana Anggaran dan Belanja Desa (RAPBDesa) tahun berikutnya. Selanjutnya apakah pelaksanaan program sesuai dengan perencanaan, perlu dilakukan evaluasi. Dengan demikian kegiatan evaluasi bertujuan untuk memperoleh informasi yang secara objektif mengungkap tingkat keberhasilan pelaksanaan program.

Perkembangan teknologi telah menyebabkan terjadinya perubahan dalam cara evaluasi di suatu organisasi. Evaluasi terkait dengan kehadiran pengurus maupun anggota di suatu organisasi dicatat dengan sistem presensi online, transaksi dilakukan secara elektronik, sehingga sentuhan personal sangat berkurang. Dalam hal ini penting untuk diperhatikan langkah-langkah sebagai upaya menjaga agar keharmonisan relasi antarkolega maupun antara anggota dengan pengurus tetap dapat dipertahankan dan ditingkatkan.

Tujuan dan Orientasi Evaluasi

Tujuan evaluasi secara umum adalah untuk mendapatkan informasi yang menggambarkan sejauhmana tingkat keberhasilan implementasi suatu program. Kemudian meningkatkan daya nalar dan daya kerja untuk memperbaiki pelaksanaan program, mencari jawaban dan solusi atas permasalahan yang terjadi selama pelaksanaan program. Menurut Crawford (2006:6) evaluasi adalah suatu disiplin ilmu yang sangat penting dan menarik bagi siapapun:pendidik, pengurus organisasi, politikus, para eksekutif, funders. Di kalangan masyarakat maju, evaluasi dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dengan berbagai orientasi, antara lain: 1). Berorientasi pada tujuan; 2). Beorientasi pada manajemen; 3). Beorientasi pada konsumen; 4). Berorientasi pada keahlian; 5). Berorientasi pada pesaing-pesaing. Tabel 6.2. berikut ini menjelaskan tujuan dan orientasi dari kegiatan evaluasi.

Tabel 6.2 Orientasi Evaluasi

Sumber: Suranto, 2019. Perencanaan & Evaluasi Program Komunikasi, Yogyakarta: Pena Pressindo, hal.89

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil yang diperioleh dari kegiatan evaluasi adalah berupa informasi dan rekomendasi. Informasi dan rekomendasi dari evaluator merupakan bahan pertimbangan bagi pihak manajemen untuk mengambil keputusan terhadap program. Ada empat kemungkinan keputusan yang diambil oleh pihak manajemen, yaitu:

a. Menghentikan program, apabila informasi yang diperoleh sebagai hasil evaluasi menunjukkan bahwa program tersebut tidak mendatangkan manfaat, tidak sesuai dengan kebutuhan, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.

b. Merevisi program, apabila temuan evaluasi menunjukkan ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan tetapi hanya kesalahan kecil).

c. Melanjutkan program, apabila informasi dari hasil evaluasi menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan manfaat yang signifikan.

d. Menyebarluaskan program, apabila hasil evaluasi menunjukkan bahwa program tersebut sangat membantu, dan pada dasarnya banyak komunitas di tempat lain yang memerlukan terpaan program. Oleh karena itu program disebarluaskan (didesiminasikan) di tempat lain, karena program tersebut berhasil dengan baik sehingga dapat dinikmati oleh kalangan yang lebih luas. 

D. MERANCANG EVALUASI PROGRAM KOMUNIKASI

Pandangan pakar komunikasi seperti Courtland L. Bovee dan John V. Thill (2007:4) menegaskan bahwa untuk mencapai sukses organisasi, baik di bidang bisnis maupun sosial, diperlukan program-program komunikasi yang terencana, menjangkau khalayak di dalam maupun di luar organisasi. Program komunikasi adalah serangkaian kegiatan di bidang komunikasi, berupa kegiatan pengiriman dan penerimaan informasi untuk mencapai tujuan tertentu. Karena ada istilah serangkaian, maka di dalam program komunikasi itu terdapat beberapa kegiatan. Misalnya dalam program kampanye tertib berlalulintas, maka di dalamnya terdapat kegiatan sosialisasi, memilih waktu yang tepat, mengidentifikasi karakteristik audience, menentukan komunikator, merancang pesan, menyiapkan media sosialisasi, dan sebagainya.

Kemampuan dan kontribusi dalam mensukseskan program komunikasi adalah salah satu kemampuan yang sangat penting, baik bagi seorang pimpinan maupun anggota. Seorang pimpinan harus mampu mengelola program komunikasi, sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi. Pada tahap perencanaan, seorang pimpinan memiliki peran penting dalam merumuskan kebijakan, pada giliran berikutnya kebijakan ini dijabarkan dalam berbagai program dan kegiatan, termasuk di dalamnya program dan kegiatan komunikasi. Solatun Dulah Sayuti (2014:39) mengemukakan, praktik perancangan, pembuatan, pelaksanaan, dan pengendalian kebijakan merupakan satu set tindakan yang dilakukan oleh pimpinan atau oleh manajemen, dan ada kalanya didampingi para professional yang menjadi konsultan dan pendamping bagi jajaran pimpinan.

Program komunikasi merupakan rangkaian kegiatan yang direncanakan secara sengaja dan sistematis untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan yang ditetapkan dalam program komunikasi bersumber dari pemikiran rasional yang diperoleh dari hasil pengkajian tentang kebutuhan dan kebijakan organisasi. Penyusunan program komunikasi dilakukan berdasar hasil identifikasi terhadap sumber daya yang relevan, dana, sarana-prasarana, media, segmentasi, prosedur, serta strategi yang dapat digunakan untuk memberdayakan sumber daya yang ada secara efektif. Pada tahap proses, program komunikasi diharapkan dapat dilaksanakan dengan baik dan didukung secara optimal oleh sumber daya yang ada, sehingga pelaksanaan program komunikasi dapat dilaksanakan secara efektif, hambatan-hambatan yang ditemukan dapat diatasi, dan dukungandukungan terhadap proses/pelaksanaan program dapat dipertahankan untuk menunjang pencapaian tujuan. Pada akhirnya, produk atau tujuan yang dihasilkan oleh program komunikasi dapat dilihat dari tingkat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya serta dampak-dampak program terhadap sasaran khalayak/masyarakat.Untuk mengetahui apakah program komunikasi efektif dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, maka dilakukan evaluasi. Untuk dapat melakukan evaluasi, dawali dengan kegiatan merancang evaluasi, atau sering disebut dengan menyusun proposal evaluasi.

Metode Evaluasi

Metode evaluasi menjelaskan tentang cara evaluasi yang digunakan. Cara evaluasi ini menginformasikan tentang langkah-langkah evaluasi, mencakup: pendekatan evaluasi, tempat dan waktu evaluasi, subjek evaluasi, metode pengumpulan data, teknik analisis data, dan kriteria keberhasilan,dengan penjelasan, sebagai berikut:

a. Pendekatan evaluasi, menjelaskan tentang model evaluasi yang digunakan. Dalam hal ini evaluator menjelaskan alasan rasional, bahwa berdasarkan survei pendahuluan dan dokumen usulan evaluasi, diketahui karakteristik permasalahannya, ditetapkan tujuan melakukan evaluasi, sehingg evaluator menetapkan model evaluasi yang paling relevan. Misalnya, masalah yang dievaluasi adalah keefektifan pelaksanaan program pelatihan komunikasi interpersonal guru dengan siswa, maka model atau pendekatan yang tepat digunakan adalah training evaluation model dari Kirkpatrick. Model ini merupakan model evaluasi yang dapat digunakan untuk mengukur efektifitas pelatihan pada domain reaction, Learning, Behavior dan result sebuah pelatihan”.

b. Tempat dan waktu evaluasi, menjelaskan tentang tempat dilaksanakannya evaluasi, sedangkan waktu evaluasi sebaiknya dijabarkan ke dalam jadwal pelaksanaan evaluasi. Pada sub bab ini perlu dijelaskan alasan pemilihan tempat dan waktu. Prinsipnya, evaluasi akan optimal apabila dilaksanakan pada tempat dan waktu yang tepat. Contoh, “Evaluasi program pelatihan kecakapan komunikasi interpersonal guru dan siswa akan dilaksanakan di Kota Bekasi pada bulan Maret sampai Agustus 2020”.

c. Subjek evaluasi, menjelaskan pihak-pihak yang menjadi sumber data. Sering disebut sebagai populasi dan sampel. Populasi adalah keseluruhan anggota komunitas yang menjadi satuan amatan evaluasi, sedangkan sampel adalah sebagian dari anggota populasi yang terpilih sebagai responden atau sumber data. Contoh, populasi evaluasi guru-guru SMA di Kota Bekasi yang pernah memperoleh pelatihan komunikasi interpersonal guru dengan siswa, yaitu sebanyak 100 orang guru, misalnya. Sampel diambil secara berstrata mengikuti jenjang kepangkatan guru, besaran sampel ditentukan dengan mengacu Nomogram Harry King, yaitu 85 orang.”

d. Metode pengumpulan data, menjelaskan cara yang digunakan evaluator untuk mengumpulkan data dari lapangan. Data dapat dikumpulkan melalui metode: 1). Kuesioner, yaitu membagikan daftar pertanyaan untuk diisi oleh responden; 2). Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab kepada narasumber, 3). Focus Group Discussion (FGD) yakni dengan cara meyelenggarakan forum diskusi; 4). Observasi, yakni dengan mengamati proses atau aktivitas, Dokumentasi, yakni mengambil data sekunder dari dokumen yang sudah ada.

e. Teknik analisis data, menjelaskan cara yang digunakan untuk mengolah data, apakah diolah secara kuantitatif atau kualitatif. Teknik analisis data yang digunakan harus disesuaikan dengan rumusan masalah, jenis data, dan kriteria keberhasilan sehingga dapat disimpulkan temuan evaluasi dengan tepat. Contoh, evaluasi program pelatihan komunikasi interpersonal guru dengan siswa ini menghasilkan data lapangan yang diperoleh dari FGD, kuesioner, dan observasi. Pada tahap analisa ini evaluator membandingkan antara data hasdil evaluasi yang diperoleh dari FGD, Angket dan observasi dengan kriteria / standar pencapaian / keberhasilan, kemudian memberikan judgement atas keberhasilan atau efektivitas pelatihan.

E. UPAYA EVALUATOR UNTUK BERSINERGI DENGAN POWER

Sebagaimana dijabarkan oleh Sumardi (2008), bahwa power dalam sebuah organisasi dapat digambarkan misalnya seperti power peneliti terhadap kepala sekolah; kepala sekolah terhadap para guru; para guru terhadap orang tua; orang dewasa terhadap siswa, dsb. Di dalam konteks sekolah, kepala sekolah mempunyai power yang lebih tinggi dibandingkan guru, murid, dan/atau orang tua. Seringkali kebijakan sekolah sangat dipengaruhi oleh kepentingan power itu yang mengakibatkan jalannya manajemen sekolah terasa kurang efektif. Ilsustrasi di atas menunjukkan bahwa power dalam kehidupan organisasi masih dirasa sangat dominan. Dominasi ini telah mengakibatkan kebijakan tertentu banyak merepresentasi kepentingan individual. Dengan demikian, ketika proses evaluasi kebijakan dilaksanakan dan rekomendasi telah disampaikan, power seringkali mengabaikannya. Hal inilah yang sering mengakibatkan kegiatan evaluasi menjadi kurang berguna dalam melakukan fungsinya sebagai media untuk perbaikan dan peningkatan.

Seperti diuraikan sebelumnya bahwa proses evaluasi yang dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai implementasi suatu program kebijakan publik seringkali tidak mampu menjalankan fungsinya secara efektif. Ketidakefektifan ini lebih disebabkan oleh ‘keengganan’ decision maker untuk menggunakan rekomendasi sebagai input untuk melakukan perubahan atau perbaikan program kebijakan. Sebuah delima bagi evaluator ketika rekomendasi yang diberikan kepada pihak penentu kebijakan tidak mendapatkan apresiasi positif. Di satu sisi, evaluator telah menghabiskan banyak dana, waktu, dan tenaga untuk mengumpulkan berbagai informasi tentang efektivitas implementasi suatu program kebijakan. Sedangkan di sisi lain penentu kebijakan tidak mengapresiasi rekomendasi yang telah diberikan itu.

Ketika kasus ini terjadi, seorang evaluator harus berupaya mencari strategi solutif untuk melakukan sinergi pemahaman dengan decision maker. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh seorang evaluator untuk bersinergi dengan decision maker adalah memberikan keyakinan kepada decision maker bahwa proses evaluasi merupakan bagian dari system manajemen yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan implementasi suatu program kebijakan dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Upaya ini bisa dilakukan apabila terjadi komunikasi harmonis antara seorang evaluator dengan pihak decision maker dalam konteks system manajemen yang utuh. Komunikasi dua arah yang harmonis ini diharapkan mampu membuka sekat yang sering menimbulkan ‘kucurigaan’ antara decision maker dan evaluator. Komunikasi dua arah ini sebaiknya dilakukan sebelum proses evaluasi dilakukan. Dengan demikian, peran evaluator dalam system manajemen itu dapat dipahami oleh pihak decision maker, sehingga aspek keurigaan yang sering muncul dapat diminimalisasi yang pada akhirnya rekomendasi yang diberikan oleh evaluator dapat diapresiasi secara positif.

Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mencapai hubungan sinergis antara evaluator dengan decision maker, yaitu:

a. Evaluator dan decision maker harus memposisikan dirinya masing-masing sebagai mitra kerja yang saling menguntungkan.

b. Evaluator dan decision maker harus secara spesifik menyatakan tujuan yang ingin dicapai dari sebuah proses evaluasi itu.

c. Dalam melakukan proses evaluasi, evaluator harus mampu memahami secara detail tujuan kebijakan yang ingin dicapai oleh organisasi.

d. Evaluator harus mampu menunjukkan dan menawarkan potensi atau kemampuannya untuk melakukan proses evaluasi dengan baik.

e. Tumbuhkan sikap saling percaya antara evaluator, decision maker dan orang-orang yang terlibat dalam organisasi dimana program kebijakan itu dimplementasikan.

Dengan mengimplementasikan tindakan-tindakan di atas, peran dan fungsi evaluasi akan secara efektif dapat dioptimalkan dan pada akhirnya rekomendasi yang dihasilkan akan diapresiasi oleh decision maker sebagai pemegang power.

Selain itu dalam melakukan aktivitas evaluasi, seorang evaluator harus mampu mengidentifikasi struktur power yang ada dalam organisasi itu. Seorang evaluator harus mampu membedakan power mana yang menjadi kunci dalam menentukan kebijakan, mana yang paling berpengaruh, dan mana yang hanya menjadi ‘korban’ dari keputusan itu. Dengan mengidentifikasi struktur power ini, evaluator akan mampu menentukan kelompok mana yang harus melaksanakan rekomendasi dan kelompok mana yang akan dipengaruhi ole rekomendasi itu. Dengan demikian tindakan evaluasi akan lebih efektif. Seringkali seorang evaluator mengabaikan strategi ini, sehingga pada akhirnya pemegang power tidak mengakui rekomendasi yang diberikan berdasarkan proses evaluasi yang telah dilakukan dan akhirnya proses evaluasi itu menjadi useless.

Seorang pemegang power yang cerdas mestinya mampu menggunakan kekuasaanya secara objektif tanpa dipengaruhi oleh kepentingan idividu, kelompok, dan organisisasi secara sempit. Power yang dimiliki harus digunakan untuk mensikapi dan mencermati secara positif berbagai rekomendasi sebagai input yang esensial dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan program kebijakan yang telah, sedang, dan akan diimplementasikan. Evaluasi harus diakui sebagai bagian dari system manajemen yang peran dan fungsinya untuk meningkatkan efektivitas kebijakan.

Ada beberapa jenis power yang dapat dibedakan berdasarkan karakteristiknya, yaitu:

a. Personal Power

Power jenis ini biasa disebut juga referent power, charismatic power, dan power of personality. Power ini mengacu pada kemampuan seorang pemimpin untuk mengembangkan kekuatan kepribadian bawahannya. Dalam hal ini, seorang pemimpin berusaha menunjukkan kepercayaan yang tinggi kepada bawahannya dengan maksud untuk menarik dan menguasai bawahan itu. Pemimpin itu berusaha memahami kebutuhan setiap orang yang ingin dipengaruhi dan berjanji untuk memenuhi kebutuhan itu. Sejalan dengan itu, orang yang menjadi bawahannya itu juga cenderung berusaha mematuhi pemimpin itu, karena adanya keterpaksaan.

b. Legitimate Power

Power jenis ini biasa disebut juga position power dan official power. Power jenis ini mengacu pada power yang didelegasikan secara sah oleh otoritas yang lebih tinggi. Otoritas itu memberikan power kepada seorang pemimpin untuk melakukan kontrol terhadap seluruh jajaran terkait, serta memberikan penghargaan dan hukuman kepada bawahan. Orang-orang berusaha menerima power jenis ini karena mereka percaya bahwa power itu diperlukan untuk menghindari tindakan anarkis di masyarakat. Selain itu, mereka menerima power ini karena adanya tekanan dari orang atau teman sejawat yang telah lebih dulu menerima power jenis itu.

c. Expert Power

Power ini juga biasa dikenal sebagai authority of knowledge. Power ini diperoleh oleh seseorang melalui proses pembelajaran khusus dan muncul karena pengetahuan yang dimiliki oleh seorang pemimpin tentang suatu situasi yang sangat kompleks. Power ini sangat tergantung pada pendidikan, pelatihan, dan pengalaman yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Power jenis ini dianggap sebagai power yang sangat penting dalam era masyarakat teknologi. Kaum pekerja cenderung mempercayai pemimpin yang mempunyai kepakaran khusus dalam situasi tertentu.

d. Reward Power

Power ini mengacu pada kapasitas seseorang untuk mengontrol dan melakukan sesuatu tindakan karena ingin dinilai oleh orang lain. Power ini muncul karena kemampuan seorang pemimpin untuk menaikan gaji bawahan, merekomendasikan bawahan untuk naik jabatan, atau kemampuan untuk menciptakan proses kerja yang menyenangkan. Tindakan-tindakan seperti itu telah menciptakan power yang dapat digunakan untuk mengontrol bawahan.

e. Coercive Power

Power ini mengacu pada kapasitas seorang pimpinan untuk menghukum bawahan atau mengancam bawahan itu. Pimpinan yang mempunyai coercive power dapat mengancam kenyamanan dan keamanan pekerjaan seorang pegawai bawahan; membuat perubahan-perubahan jadwal kerja pegawai bawahan yang bersifat menghukum; dan dalam kasus yang ekstrim melakukan kekuatan fisik untuk mempengaruhi bawahan. Coercive power biasa menggunakan situasi ‘menakutkan’ sebagai motivator. Power jenis ini sebenarnya mempunyai lebih banyak pengaruh negatif kepada orang lain.

Dalam konteks evaluasi program, jenis power yang berimplikasi positif terhadap proses evaluasi itu adalah posisition power dan personal power. Dengan jenis power ini, seorang pemimpin sebagai penentu kebijakan mampu menciptakan jaringan hubungan interpersonal yang lebih luas, sehingga informasi tentang implementasi program kebijakan pun dapat diketahui lebih luas pula yang pada akhirnya feedback terhadap implementasi program kebijakan itu dapat segera dilakukan. Lebih penting lagi, melalui jenis power ini, seorang pimpinan akan mampu menjaga hubungan baik dengan semua orang termasuk evaluator kebijakan. 

F. IMPLIKASI EVALUASI KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI.

Perubahan dan perkembangan yang cepat dalam hal komunikasi dan manajemen pengetahuan, menuntut adanya sistem penilaian yang efektif bagi kinerja organisasi. Berbagai model telah diciptakan oleh para ahli untuk system penilaian kinerja sehingga organisasi dapat memilih menggunakannya sesuai dengan jenis organisasi, visi, misi, struktur dan tenaga kerja. Sistem penilaian kinerja di Aerofood ACS Denpasar dilakukan setiap semester dengan menggunakan checklist yang di dalamnya terdapat indikator penilaian yaitu disiplin, loyalitas/tanggung jawab, sikap terhadap supervisi, kerja sama dengan teman sekerja, tingkat pengetahuan tentang pekerjaan, kualitas pekerjaan, kuantitas pekerjaan inisiatif/prakarsa, kemauan untuk perbaikan peningkatan, pengembangan, kemampuan perencanaan dan mengorganisir, kemampuan memotivasi bawahan dan kemampuan mengambil keputusan. Penilaian dilakukan oleh atasan langsung dan atasan dari atasan langsung.

Dari hasil wawancara dengan 35 karyawan, diduga bahwa responden menilai sistem penilaian kinerja yang diterapkan kurang terbuka, tujuan yang dicapai kurang jelas, bersifat kurang adil sehingga menyebabkan karyawan merasa kurang puas. Penerapan sistem penilaian kinerja yang berkaitan dengan prosedur, evaluasi, transparansi, rasa adil, objektif, kepuasan terhadap hasil evaluasi dan pengurangan stres kerja dinilai oleh seluruh responden dengan hasil yang kurang baik. Alexia Deneire et al. (2014) meneliti tentang bagaimana karakteristik sistem penilaian kinerja yang digunakan untuk guru sekolah menengah mempengaruhi kepuasan kerja. Hasil penelitian menunjukkan system penilaian kinerja yang digunakan dianggap memiliki keputusan yang adil, baik dan memiliki dampak positif terhadap kepuasan kerja dan kejelasan system penilaian dianggap memiliki kualitas sehingga berdampak pada kepuasan kerja.

Menurut pandangan Fletcher (2001) bahwa penilaian kinerja memiliki pendekatan strategis dan mengintegrasikan kebijakan organisasi dan kegiatan sumber daya manusia. Namun, reaksi dan konflik di sisi karyawan sering tak terelakkan. Ketidakpuasan dan ketidakadilan yang dialami dalam proses penilaian dan evaluasi dapat menyebabkan sistem penilaian kinerja menjadi gagal (Taylor et al., 2011). Ada tiga unsur kepuasan terkait dengan sistem penilaian kinerja. Pertama adalah kepuasan terhadap peringkat penilaian, peringkat yang lebih tinggi menimbulkan reaksi positif terhadap penilaian dan berhubungan dengan kepuasan proses penilaian tersebut. Elemen kedua adalah kepuasan dengan para penilai. Di sini, peran yang menentukan bahwa pengawas memiliki hal untuk meyakinkan hasil positif menjadi berbeda, karena para penilai karyawan harus memberikan umpan balik atas kinerja mereka. Elemen ketiga adalah kepuasan terhadap umpan balik penilaian kinerja, umpan balik sangat penting karena dapat berpengaruh potensial terhadap respon karyawan terhadap peringkat penilaian (Kacmar et al., 2013).

Dalam penelitian bersama Gary Roberts dan Michael Pregitzen (2007), pernah meneliti tentang mengapa karyawan tidak menyukai sistem penilaian kinerja yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor utama ketidakmampuan di dalam memberikan umpan balik kepada karyawan akan menyebabkan hasil penilaian menjadi ambigu. Ketika para manajer gagal untuk memberikan umpan balik secara korektif dan jujur, karyawan yang berkinerja rendah akan membebankan biaya dan pekerjaan kepada rekan kerja yang memiliki kinerja tinggi, sehingga meningkatkan kebencian dan menyebabkan stres kerja. Hanafiah et al. (2007) Arif Devi Dwipayana, W.G. Supartha dan D.K. Sintaasih.

Hasil penelitian Longenecker dan Nykodym (1996) menemukan bahwa bawahan percaya penilai adalah kunci keberhasilan sistem dengan penekanan pada hal yang lebih efektif yakni perencanaan, umpan balik yang berkelanjutan dan pemantauan kinerja yang lebih baik oleh pengawas. Menurut Wright (2013), karyawan menemukan penilaian lebih berguna ketika mereka spesifik dan terfokus, terencana dan dipersiapkan dengan baik, mudah dimengerti dan ketika mereka memiliki lebih banyak keterlibatan dan kontrol atas proses. Keberhasilan sistem penilaian juga tergantung pada persepsi karyawan, untuk aspek-aspek penting dari proses penilaian keadilan dan reaksi mereka. Alhasil, dengan perasaan ketidakpuasan, ketidakadilan dalam proses dan ketidakadilan dalam evaluasi, setiap system penilaian akan ditakdirkan untuk gagal (Cardy dan Dobbins, 1994). Skarlicki dan Folger (1997) menunjukkan bahwa proses penilaian dapat menjadi sumber ketidakpuasan yang ekstrim ketika karyawan percaya sistem bias, politik atau tidak relevan. Steven et al. (2011) memberikan perspektif yang lebih lengkap dan terbaik mengenai praktek untuk penilaian kinerja karyawan dalam organisasi global. Perspektif yang dihasilkan adalah pelatihan yang memadai harus disediakan untuk para penilai dan yang dinilai dalam rangka menghindari banyak kesalahan penilaian yang umum dalam penilaian kinerja.

Begitu pula Khim Onget al. (2008) telah melakukan penelitian pada penilaian guru di sekolah dasar Singapura. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji atribut dari sistem penilaian kinerja, bagaimana atribut-atribut mempengaruhi kepuasan dan stres yang dialami dengan sistem penilaian kinerja, sikap terhadap bonus kinerja, kepuasan kerja, dan motivasi, dan kegotong-royongan yang dirasakan di antara para guru. Hasil dari temuan menunjukkan bahwa keadilan dan kejelasan sistem penilaian kinerjaterkait dengan kepuasan yang lebih besar dengan system penilaian kinerja. Sebagai kesimpulan, penelitian ini memberikan wawasan tentang bagaimana berbagai atribut dari sistem penilaian kinerja yang berhubungan dengan hasil seperti kepuasan kerjadan motivasi. Temuan ini dapat membantu untuk merancang dan mengimplementasikan sistem penilaian kinerja yang lebih efektif. Rabia Karimi et al. (2011) meneliti hubungan sistem penilaian kinerja dan kepuasan kerja karyawan di organisasi internasional nirlaba yang menunjukkan bahwa ada korelasi hubungan positif dan signifikan antara sistem penilaian kinerja dan kepuasan kerja. Hasil dari penelitian ini adalah sejalan dengan Khan (2007) dan berbeda dengan studi penelitian Bricker (1992) yang menyatakan bahwa karyawan tidak puas dengan sistem penilaian kinerja yang diadopsi oleh organisasi mereka. Banyak peneliti menegaskan bahwa kepuasan karyawan adalah kunci untuk individu yang lebih baik dan atau kinerja organisasi (Schneider et al., 2003).Kepuasan kerja adalah evaluasi individu tentang tugas dan konteks pekerjaannya yang diukur berdasarkan dimensi karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, dan pengalaman emosional di tempat kerja.

Namun apapun kondisi yang berkembang dalam psikologis karyawan suatu organisasi, karyawan pasti mendapatkan evaluasi kerja di mana ia diberikan umpan balik atas apa yang dilakukannya selama bekerja. Tujuannya, tentu saja untuk perbaikan atau peningkatan kinerja karyawan di kemudian hari. Selain berisi tentang kelemahan dan kekurangan karyawan, evaluasi juga menginformasikan kekuatan dan kelebihan. “Diharapkan, kelemahannya mengalami perubahan dan pengembangan ke arah yang baik, sedangkan kekuatannya terus meningkat,” ujar Hayu Prima Indrastuti, konsultan karier dari experd. Sayangnya, tak semua karyawan mendapatkan evaluasi positif. Nah, ketika atasan menilai hasil kerja anda tidak memuaskan, anda pasti ingin buru-buru membela diri. Tindakan ini wajar saja karena pada dasarnya setiap orang merasa sudah memberikan yang terbaik.

Namun sebaiknya para karyawan untuk tidak terlalu membela diri dengan cara negatif atau menganggap personal hasil evaluasi tersebut. Selain “nilai” karyawan akan lebih buruk di hadapan atasan, karyawan juga akan dianggap kurang matang secara emosional dan mengganggu hubungan kerja dengan atasan. Sebaliknya, sikap kooperatif dan mampu menerima evaluasi, menunjukkan seseorang siap berkembang dan menghadapi perubahan.

Evaluasi atau penilaian kinerja (performance evaluation / appraisal) seringkali menimbulkan rasa sakit bagi pihak yang dievaluasi maupun yang mengevaluasi. Banyak perusahaan, apalagi di Asia, agak malas melakukan evaluasi kinerja seluruh karyawannya. Kebanyakan mereka melakukan evaluasi kinerja sekali setahun, yakni untuk menentukan bonus akhir tahun. Penyebab utama dari praktik evaluasi kinerja yang tidak intens ini adalah faktor psikologis yang ditimbulkan dari apa yang disebut dengan evaluasi kinerja. Penilaian kinerja menimbulkan suasana yang tidak nyaman, terutama bagi karyawan yang dinilai kinerjanya. Kondisi ini menjadikan beban pula bagi atasan atau orang yang melakukan penilaian kinerja. Salah-salah, hubungan antara yang dinilai dan yang menilai menjadi ikut terganggu.

Tetapi, perasaan ewuh-pekewuh semacam itu sudah saatnya ditanggalkan jika kita ingin maju. Di era sekarang, banyak perusahaan terkemuka melakukan penilaian kinerja dengan frekuensi yang semakin sering. Ada yang setiap 3 bulan sekali, bahkan ada yang setiap 1 bulan sekali. Bahkan ada kecenderungan, pada sejumlah perusahaan, penilaian kinerja dilakukan sekali seminggu. Hal ini dimungkinkan karena mereka mempunyai piranti lunak yang dengan mudah mencatat pencapaian kinerja setiap orang ataupun setiap bagian dan unit, khususnya bagi mereka yang sudah mengimplementasikan dan mengotomasikan sistem manajemen kinerja balanced scorecard. Semuanya jadi transparan dan mudah.

Sesungguhnya, sistem evaluasi kinerja merupakan alat retensi yang efektif, karena mayoritas karyawan ingin dan butuh umpan-balik konstruktif terhadap apa yang mereka kerjakan. Sayangnya, mayoritas supervisor enggan melakukan penilaian kinerja. Masalahnya, penilaian kinerja memerlukan komunikasi atas penilaian pribadi dan sangat memakan waktu, khususnya jika supervisor hanya melakukan evaluasi tahunan yang memaksa mereka untuk mengingat-ingat kembali pengalaman yang terjadi selama satu tahun. Banyak pakar HR setuju bahwa penilaian kinerja sekali setahun tidak akan berhasil karena penilaian kinerja itu terfokus kepada kejadian-kejadian luar biasa atau untuk melihat-lihat kembali masalah di masa lalu yang sudah teratasi. Sebaliknya, karyawan membutuhkan evaluasi kinerja regular, terus berlangsung dan dengan panduan terstruktur untuk membantu mereka menetapkan dan mencapai target pekerjaan maupun karir mereka.

Evaluasi kinerja juga memiliki dampak positif. Menurut Mondy & Noe (2005), kegunaan dari evaluasi / penilaian kinerja, sebagai berikut:

a. Perencanaan Sumber Daya Manusia.

b. Rekrutmen dan Seleksi.

c. Pelatihan dan Pengembangan.

d. Perencanaan dan Pengembangan Karir.

e. Program Kompensasi.

f. Hubungan Karyawan Internal.

g. Penilaian Potensi Tenaga Kerja. 

Referensi:

Ade Koesnandar, Drs. M.Pd. 1999. “Dasar-Dasar Program Audio”, Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Griffin, EM. (2003). A First Look at Communication Theory, 5th Edition. USA: McGraw-Hill

Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. USA: Wadsworth Group

Jogiyanto, MBA, PH. D. 1991. Pengenalan Komputer.

John Markoff (November 22, 2002). "Pentagon Plans a Computer System That Would Peek at Personal Data of Americans". The New York Times.

Kim, Young Yun, 1984. Searching for creative integration. Dalam William B. Gudykunst dan Young Yun Kim (ed). Methods for intercultural Communication Reasearch. Beverly Hills: sage publishers.

Kuswandi, 1996. Komunikasi Massa (Sebuah Analisis Media Televisi), Cet. I : Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Maletzke, Gerhad. 1978. Intercultural and International Communication. Dalam Heins Dietrich Fishcer dan John C. Merill (ed) Intercultural & International Communication. New York: Hastings House Publishers. 

 Suranto, 2019. Perencanaan & Evaluasi Program Komunikasi, Yogyakarta: Pena Pressindo.

Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line