Kamis, 17 Desember 2020

Ruang Publik terkait erat dengan Komodifikasi Media di Era sekarang di Indonesia. dengan masalah Komunikasi Politik di Indonesia dalam Pembangunan Demokrasi.

RUANG PUBLIK DAN MASALAH KOMUNIKASI POLITIK DI INDONESIA

A. MASALAH RUANG PUBLIK

Habermas (1962/1989) pemikir sosial yang acapkali dikaitkan dengan konsep Public Sphere.Menurut Habermas, Public Sphere dikonsepsionalisasikan sebagai suatu realitas kehidupan sosial di dalam mana terdapat suatu proses pertukaran informasi dan berbagai pandangan berkenaan dengan pokok persoalan yang tengah menjadi perhatian umum sehingga dalam proses tadi terciptalah pendapat umum. Dengan dihasilkannya pendapat umum maka pada gilirannya akan membentuk kebijakan negara dan pada akhirnya akan membentuk suatu tatanan masyarakat secara keseluruhan.
Adanya Public Sphere menyaratkan keaktifan dari warga masyarakat memanfaatkan hak-haknya untuk ikut berpikir terlibat di dalam suatu wacana yang sedang hangat pada hari suatu saat tertentu, khususnya yang berkaitan dengan permasalahan politik. Dalam perkembangan masyarakat yang makin besar maka proses terbentuknya wacana menuju opini publik tadi lalu diantarai oleh media massa.

Gagasan Habermas di atas memang bisa dibilang sebuah cita-cita ideal dalam konteks historis masa itu yang kalau kita bandingkan dengan konteks zaman sekarang tentunya prosesnya tidak sesederhana itu. Pemikiran Habermas itu bisa kita pahami dalam dua perspektif. Pertama, Habermas mencoba menggambarkan munculnya ruang publik di kalangan calon kaum borjuis dalam spirit kapitalisme liberal di abad 18. Kategori Public Sphere semacam ini dapat ditemui dalam realitas sejarah masyarakat Inggris, Perancis dan Jerman. Pada masa sebelum itu, memang bisa dikatakan tidak ada ruang sosial yang layak disebut publik sebagai lawan dari private. Dengan berkembangnya konsep negara kebangsaan, lembaga perwakilan, perekonomian, dan tidak ketinggalan lahirnya media cetak maka mulailah berkembang akar kemunculan Public Sphere di masyarakat tertentu di Eropa Barat. Dalam Public Sphere ini terdapat kelompok-kelompok sosial tertentu atas dasar pendidikan, kelas kepemilikan (biasanya pada kalangan pria) dan berproses melalui berbagai media seperti Jurnal, pamflet, dan surat kabar termasuk di dalam lingkungan tertentu seperti bar, coffee house dan berbagai club. Pertukaran informasi aktual, yang berlangsung terus menerus dalam sebuah diskusi dan seringkali dihangatkan dengan perdebatan merupakan gejala baru yang menurut Habermas amatlah berarti.

Kedua, konsep Public Sphere memasuki warna baru dengan mulai memudarnya kelompok borjuis dalam konteks masyarakat industri yang makin maju dan munculnya demokrasi massa. Dengan adanya demokrasi massa, public yang semula diwakili oleh kalangan elite terpelajar terbatas mulai dimasuki oleh masyarakat kebanyakan yang tidak begitu berpendidikan. Sementara negara, dalam kepentingannya untuk mengendalikan pertentangan kapital menjadi makin intervensionis. Batas antara wilayah publik dan private, baik dalam pengertian ekonomi politik maupun budaya makin tipis. Organisasi besar dan kelompok kepentingan menjadi partner politik kunci bagi negara, menghasilkan bentuk politik feodal baru yang makin menggantikan peran-peran yang semula dilakoni masyarakat. Berkembangnya karakteristik kepemilikan media massa, khususnya tatkala kekuatan komersial mengubah fungsi komunikasi publik menjadi Public Relation dan makin menguatnya periklanan dan hiburan, maka fungsi kritis media massa makin terkikis. Publik lalu terkotak-kotak sedemikian rupa, sehingga kehilangan daya ikatnya.

Kisah memudarnya Public Sphere masih merupakan isu yang hangat hingga kini, tentu saja dengan modifikasi versi olah kalangan pemerhati dan peneliti.Bahkan kemudian ada yang mempertanyakan akan manfaat konsep Public Sphere. Meski demikian konsep ini tetap sesuatu yang berharga guna memahami proses sosial di mana media massa menjadi salah satu kekuatan dalam konstelasi kekuatan-kekuatan yang menentukan dalam masyarakat.

Public Sphere dalam pengertian politik berarti menyediakan sebuah ruang berupa wacana, lembaga-lembaga, suatu ruang topografik di mana orang dalam perannya sebagai warga memiliki akses masuk di dalam sebuah dialog kemasyarakatan yang sedang mempersoalkan sesuatu demi kepentingan umum, atau dengan kata lain akses menuju dunia politik dalam pengertian yang luas. Ruang yang demikian ini, dengan kondisi komunikasi tertentu yang mewarnainya, menjadi sesuatu hal yang penting dalam demokrasi. Fungsi Public Sphere dengan demikian adalah memenuhi persyaratan komunikasi tertentu sabagai variabel terbentuknya demokrasi.

Pemikiran intelektual Habermas berakar dari mazhab Frankfurt dan tesisnya mengenai Public Sphere menjadi inspirasi bagi riset media kritis. Akan tetapi menurut Peters (1993), dasar pemahaman Habermas tentang demokrasi dan Public Sphere tidaklah murni dikendalikan oleh tradisi liberal Anglo-American dengan ide dasarnya tentang market place of ideas Dalam diskursus liberal (yang klasik dan bukan neo-liberal) tentang media dan demokrasi biasanya tidak menggunakan istilah Public Sphere.

Gagasan Habermas tentang Public Sphere tak sepi dari kritikan, menurut Garnham (1992), Peters (1993), dan Fraser (1992) secara umum tercatat empat dimensi yang menjadi sasaran pertanyaan dan kritik yakni : Media institutions, media representation, struktur sosial dan interaksi sosiokultural. Pemisahan ini hanyalah kepentingan memudahkan analisis karena sebenarnya keempatnya saling terkait dan tak terpisahkan.

Dimensi institusi berkenaan dengan organisasi, pendanaan, regulasi. Dimensi representasi berkaitan dengan cakupan jurnalistik. Kedua dimensi ini lebih banyak mendapat perhatian. Sementara dimensi struktur sosial lebih berhubungan dengan cakrawala yang lebih luas di mana di dalamnya terdapat faktor-faktor pembentuk Public Sphere. Sedangkan dimensi interaksi sosiokultural melihat serbaneka masyarakat pembentuk Public Sphere dan kurang memusatkan pada media massa.

Faktor-faktor dalam dimensi struktur sosial di antaranya berkaitan dengan ekologi politik dari media, menyusun batas-batas dari institusi media dan profil organisasi demikian juga sifat-sifat dari informasi dan bentuk-bentuk representasi yang memungkinkan diartikulasikan. Dimensi struktur sosial ini tentu saja akan berdampak pada pola interaksi sosiokultural. Dengan demikian struktur sosial secara kompleks membentuk seperangkat kondisi bagi Public Sphere yang bisa juga diisi oleh ketiga dimensi yang lainnya.Dimensi struktur sosial tentu saja menjadi dimensi yang paling sulit diraih sehingga bagi sebagian kalangan ahli dimensi ini sebaiknya diabaikan saja jika kita tidak ingin kehilangan fokus soal Public Sphere. Meski, perannya tidak bisa kita anggap remeh. Satu hal yang patut dicatat dalam telaah mengenai Public Sphere ini adalah bahwa dalam masyarakat yang cenderung lemah demokrasinya dan struktur masyarakatnya sangat tidak egaliter tidak akan memberi kesempatan bagi terciptanya Public Sphere.

Pada intinya, bahwa hakekat manusia selalu melakukan pemaknaan, menjadikan budaya sebagai dasar kehidupan masyarakat bahkan menyentuh aspek sosial lainnya. Praktik pemaknaan juga berlangsung di setiap aspek kehidupan sosial masyarakat. Dalam proses komodifikasi ini, sesuatu diproduksi bukan terutama atas dasar nilai guna, tetapi lebih pada nilai tukar. Artinya sesuatu di produksi bukan semata-mata memiliki kegunaan bagi khalayak, tetapi lebih karena sesuatu itu bisa dipertukarakan di pasar seperti pengiklanan. Dengan demikian orientasi produksi bukan untuk memenuhi kebutuhan objektif masyarakat tetapi lebih mendorong akumulasi modal.

Produk media tidak pernah dapat dilepaskan dari proses produksinya. Proses produksi dan produk media (teks media) selalu berada pada satu garis lurus di mana kepentingan-kepentingan dalam institusi media bertarung dan beradu di dalamnya. Itulah pula yang kemudian menyuburkan komodifikasi budaya pada ruang publik. Sehingga makin lama, praktik ini menjadi budaya.

Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line