Senin, 21 Desember 2020

Kelebihan dan Kekurangan dalam Pemikiran metodologi riset dan pengembangan ilmu komunikasi dan lainnya pada Mazhab Frankfurt dengan Mazhab Cicago.

A. MAZHAB FRANKFURT VS MAZHAB CHICAGO DALAM KOMUNIKASI

Dengan Pada tahun 1960an di saat tekhnologi komunikasi massa menunjukkan perkembangannya yang pesat timbul pertentangan pendapat mengenai peranan dan tentang efek komunikasi massa di antara para pakar yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt di Jerman dan Mazhab Chicago di Amerika Serikat. Para tokoh Mazhab Frankfurt dari Institut Frankfurt untuk penelitian social (Frankfurt Institut fur Sozialforschung), yakni: Th. Adorno, M. Horkheimer, W. Binjamin, Paul Lazarsfeld, dan M. Marcuce.

Mereka menampilkan suatu teori yakni “Teori Komunikasi Kritik”, dan penelitiannya dinamakan “Penelitian Kritik” (critical research). Obyek studi mereka adalah peranan media massa dalam kehidupan modern dengan “filosofi kritik” dalam bentuk lain terhadap Teori Kritik Karl Marx. Yang ditentang kelompok Mazhab Frakfurt bukan saja “determinisme Ekonomi yang marxistik”, tetapi juga “positiveisme empirik” dari penelitian komunikasi massa Amerika Serikat.

Pandangan ilmiah Teori Komunikasi Kritik bersifat normatif yang menentang kebebasan nilai dan penyempitan realitas social pada penelitian yang positivisme empirik. Ditegaskannya bahwa, realitas social harus didekati dengan “emansipasi manusia”, diteliti dengan teori social yang luas, tidak secara terpilah-pilah di antara ilmu, politik, filsafat (Hillander, 1981:24).

Teori Komunikasi Kritik muncul ketika terjadi aksi-aksi mahasiswa di Eropa Barat tahun 1960an khususnya di Jerman pada tahun 1967 yang menuntut demokrasi universitas. Aksi-aksi itu kemudian dilancarkan juga pada media massa, karena para mahasiswa merasa kecewa akan pemberitaan yang disiarkan media massa terutama surat kabar dan majalah yang dianggapnya tidak memperdulikan ketertiban hukum, tidak mengindahkan hakikat hasrat politik para mahasiswa.

Teori komunikasi Kritik semakin semarak setelah muncul Jurgen Habermas murid Horkheimer dan Adorno terutama sejak tahun 1970an dengan banyak buku mengenai pemikirannya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa lain. J. Habermas yang pada tahun 1965 menjadi Profesor di Universitas Frankfurt tampak semakin memusatkan perhatiannya kepada Perumusan Teori Komunikasi. Dengan demikian, Teori Komunikasi Kritik menjadi teori praktek komunikatif ; dicarinya kondisi-kondisi keberhasilan komunikasi bebas dalam masyarakat.

Habermas dikenal sebagai filsuf masa kini yang sangat kritis terhadap pemikiran-pemikiran Maxis, baik terhadap Maxisme Ortodoks maupun Neo-Maxisme. Dalam hubungan ini, sebagai pengganti Paradigma Kerja, maka Habermas mengacu pada Paradigma Komunikasi. Implikasi dari paradigma baru ini adalah memahami “Praxis emansipatoris” sebagai dialog-dialog dan tindakan-tindakan komunikatif yang menghasilkan “Pencerahan”. Hal ini bertolak belakang dengan teori-teori Marxis Klasik yang menempuh jalan revolusi untuk menjungkirbalikkan struktur masyarakat demi terciptanya masyarakat sosialis yang dicita-citakan. Sedangkan Habermas menempuh jalan “konsensus” dengan sasaran terciptanya “demokrasi radikal” yaitu hubungan-hubungan social yang terjadi dalam lingkup “komunikasi yang bebas kekuasaan”. Dalam konteks komunikasi ini “perjuangan kelas” dalam pandangan Marxis klasik, “revolusi politik” diganti dengan “perbincangan rasional” dimana argumen-argumen berperan sebagai unsur emansipatoris.  

Mazhab Chicago merupakan pandangan pakar penelitian Amerika Serikat yakni: Robert Ezra Park, Robert K. Meton, Paul F. Lazarsfeld, Harold D. Lasswell, Bernard Berelson, Daniel Lerner, Ithiel De Sola Pool, Wilbur Schramm, Charles Whright, David Berlo, dll.

Kelebihan :
1. mazhab yang paling besar pengaruhnya dibandingkan mazhabmazhab lainnya. 

2. pemecahan masalah kriminal, prostitusi, dan masalah-masalah lainnya yang timbul akibat industrialisasi dan urbanisasi yang berlangsung sangat cepat di Amerika. Sehingga ini memberikan kontribusi positif untuk khalayak

3. Hal-hal yang tidak bisa dikuantifikasi, ditinggalkan. Sehingga, dengan demikian, metode berfikirnyaadalah induktifyakni berfikir dari yang konkrit (khusus) menuju yang abstrak (umum).


Masa kejayaan Mazhab Chicago, penelitian komunikasi banyak menggunakan metode kuantitatif, sebagai akibat dari pendanaan dari para sponsor. Akibatnya, penelitian yang semula merupakan kegiatan kreatif perorangan berubah menjadi pekerjaan borongan. Hal ini dilakukan dalam rangka memenuhi pesanan para penyedia dana, baik pemerintah, yayasan dan perusahaan. Penelitian ini banyak dilakukan tentang persuasi, propaganda, dan efek langsung dari media massa pada khalayak.

Penelitian komunikasi ini dengan penekanan pada efek langsung itu, merupakan pengaruh Model Linear dari Shannon dan Weaver (Mathematical Model of Communication Theory). Pendekatan penelitiannya dengan memusatkan perhatian kepada individu sebagai system analisis, bukan sebagai bagian dari sistem sosial.

Mazhab Chicago menyadari bahwa media komunikasi memiliki keperkasaan dalam mempengaruhi masyarakat. Rekomendasi Mazhab Chicago: Karena efektivitasnya itu maka Media Massa perlu melakukan penyempurnaan secara sustainable agar acaranya, pengolahannya, penyajiannya, dan penyebarannya menjadi lebih efektif dan efisien. Untuk itulah diperlukan pemahaman mengenai efek komunikasi.

Pada masa selanjutnya akhir 1960 dan 1970an minat para peneliti aliran empirisme beralih ke penelitian “efek komunikasi tak langsung”. Aliran ini memperluas cakrawala pandangan tentang efek komunikasi di luar penataan agenda (agenda setting). Perkembangan berikutnya menunjukkan banyaknya penelitian yang dilakukan untuk memahami efek negatif dari Media Massa.

Penelitian yang dikembangkan oleh Mazhab Chicago dijuluki “Penelitian Administrasi” (administration research) yakni penelitian berdasarkan jasa, yang oleh karena disponsori maka masalah yang diteliti tidak ditentukan oleh si peneliti sendiri, melainkan oleh sponsor yang memesan, dan peneliti hanya sekedar pelaksana.

Jika kita bandingkan dengan aliran empirik ini dengan Mazhab Frankfurt yang beraliran kritik, tampak bahwa apabila aliran empirik menekankan pada efek komunikasi pada khalayak dengan melakukan analisis isi dalam rangka menarik kesimpulan tentang efek komunikasi, maka aliran kritik pada pengawasan sistem komunikasi. Jadi jikalau aliran kritik melakukan analisis isi, tujuannya adalah untuk mengambil kesimpulan tentang lembaga media massa yang menyebarkan pesan komunikasi, bukan untuk mengetahui efek komunikasi pada khalayak.

Mazhab Frankfurt adalah Mazhab atau aliran yang berasal dari negara Jerman. Mazhab Franfurt dengan tokoh-tokohnya Th. Adorno, M. Horkheimer, W. Benjamin, P. Lazarsfeld, dan M. Marcuce dari Institut Frankfurt untuk penelitian sosial, penelitiannya dinamakan penelitian kritik (critical research) yang menampilkan teori komunikasi kritik.

Kelebihan:
1. Beraliran kritis yakni lebih mengandalkan penalaran; segala sesuatu diuji berdasarkan logika. Jadi sesuatu itu dianggap benar bila tidak bertentangan dengan logika; sesuai dengan nalar, logis!
2. membangun suatu kontruksi ilmu sosial yang semakin solid
3. Ilmu pada saat ini masih bersih dari pengaruh pragmatis, sehingga dinamakan dengan ilmu murni (pure science). 

Kritik Mazhab Frankfurt Terhadap Mazhab Chicago dan Komunikasi Massa Amerika Serikat:

Mazhab Frankfurt mengatakan bahwa penelitian komunikasi massa yang positivistic empirik yang tidak menggunakan teori social secara umum tidak dapat mengkaji fenomena-fenomena komunikasi massa. Dalam hal penelitian tentang keefektifan pesan iklan, misalnya, disebabkan pihak sponsor ingin mengetahui apakah dana yang dikeluarkannya bermanfaat atau tidak, dan tidak mempertanyakan manfaat social dari iklan tersebut.

Bertolak dari Teori Sosial yang memandang emansipasi dari individu sebagai pusat perhatian, maka Mazhab Frankfurt berpandangan pesimistik akan peranan media massa dalam kehidupan barat yang modern. Menurut Mazhab Frankfurt, dalam kehidupan barat yang modern, kehidupan telah menjadi kebudayaan massa (mass Culture) dan individu lebih merupakan konsumen dari kebudayaan massa itu, ketimbang menjadi penikmat kebudayaan.

Sehubungan dengan itu yang berperan pada permulaan abad ke 20 adalah film, disusul radio, kemudian tv, termasuk video. Dalam perkembangan akibat dari kemajuan teknologi yang semakin canggih, ketiga jenis media massa itu saling bersaing untuk memikat perhatian dan minat khalayaknya. Tampak bahwa dalam memproduksi kebudayaan massa itu, media massa dalam operasionalisasinya tidak lagi membuat individu yang menentukan apakah estetika itu, tetapi media massa yang menentukan bagi individu apa yang harus termasuk kebudayaan. Situasi seperti itu diperkuat oleh terkonsentrasinya media cetak, surat kabar dan majalah yang semula bergiat sendiri-sendiri. Dalam hubungan ini pengaruh ekonomi tampak besar sekali.

Teori komunikasi kritik adalah teori media massa kritik yang tidak semata-mata memusatkan perhatian pada media massa sebagai ajang penelitian, tetapi dengan menjadikan konteks sosial sebagai titik tolaknya guna mempelajari fungsi media massa. Dalam hal inilah jasa teori komunikasi kritik untuk ilmu komunikasi, yakni memperhitungkan faktor-faktor penting dalam masyarakat seperti politik, ekonomi, dll, yang berbeda dengan formula Harold Lasswell yang banyak mempengaruhi penelitian komunikasi massa (Hollander 1980:29).

Habermas adalah filsuf / cendikiawan penting dalam mengkonsepsikan Teori Komunikasi Kritik berkat analisisnya secara teoretis dan metodologis tentang “Keterbukaan” dalam fungsi media massa sebagai problema sentral. Keterbukaan tersebut menyangkut hubungan pihak penguasa dengan pihak warga Negara yang menunjukkan semakin berkembangnya dan berakarnya bentuk-bentuk komunikasi umum secara informal dan struktur social.

Dampak Teori Komunikasi Kritik terhadap perkembangan ilmu komunikasi ialah timbulnya kesadaran bahwa komunikasi massa dan media massa harus dipelajari dalam konteks social agar dapat diperoleh latar belakang histories-ekonomis-politik bagi fenomena komunikasi massa. kesadaran itu, banyak penelitian dilakukan secara integral dan interdesipliner mengenai fungsi mm seperti mengenai pengaruh factor ekonomi dan politik terhadap proses komunikasi massa baik secara makro social ekonomi maupun dalam lingkup kecil seperti komunikasi kota dan desa.

Lanigan mengatakan bahwa Teori Komunikasi Kritik berfungsi sebagai “filsafat militan” (militant philosophy) dalam pertahanan komunikasi (defense of communication) sebagai aktivitas manusia yang merupakan orang selaku subjek dalam masyarakat. Lanigan juga mengatakan, Teori Komunikasi Kritik sebagai “pragmatika universal” dilandasi fenomenologis komunikasi yang merupakan subjektivitas yang melekat pada kegiatan berujar yang menyadarkan suatu produk social yaitu tatanan “kommunikation sgemeinschaft” (Lanigan dalam Nimmo & Sanders, 1953, dalam Effendy, 2000).

Dalam Teori Komunikasi Kritis ditegaskan bahwa kritik merupakan konsep kunci untuk memahami teori kritis. Konsep kritik dipergunakan mazhab Frankfurt ini memiliki kaitan dengan sejarah dengan konsep kritik yang berkembang pada masa-masa Rennaisance. 
Yang termasuk dalam kelompok teori Kritis adalah:
a. Teori Marxist.
Tokohnya Karl Marx (1818-1883). Teorinya terus memberikan inspirasi bagi perkembangan ilmu sosial juga ilmu komunikasi. Model analisisnya adalah model khas Marx atau Marxisme, yaitu model analisis yang mencoba menemukan keuntungan pihak tertentu (dan kerugian pihak lain) di balik fenomena yang dianggap biasa-biasa. Marxisme mengembangkan dua istilah pokok yakni:

1. Substrkutur atau faktor ekonomi yang berkembang dimasyarakat.

2. Superstruktur atau faktor nonekonomi seperti agama, politik, seni dan literatur. Maxs berpendapat bahwa kondisi-kondisi ekonomi dipengaruhi faktor-faktor superstrukrur.

Atas dasar analisa ini, Marx mengarahkan pemikirannya untuk melakukan REVOLUSI (perubahan secara mendasar dan cepat) struktur masyarakat.

b. Frankfrut School

Mazhab Frankfurt ialah sebuah nama yang diberikan kepada kelompok filsuf yang memiliki afiliasi dengan Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, Jerman, dan pemikir-pemikir lainnya yang dipengaruhi oleh mereka. Tahun yang dianggap sebagai tahun kemulaian Mazhab Frankfurt ini adalah tahun 1930, ketika Max Horkheimer diangkat sebagai direktur lembaga riset sosial tersebut.

Beberapa filsuf terkenal yang dianggap sebagai anggota Mazhab Frankfurt ini antara lain Theodor Adorno, Walter Benjamin, dan Jürgen Habermas. Perlu diingat bahwa para pemikir ini tidak pernah mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kelompok atau 'mazhab', dan bahwa penamaan ini diberikan secara retrospektif. Walaupun kebanyakan dari mereka memiliki sebuah ketertarikan intelektual dengan pemikiran neo-Marxisme dan kritik terhadap budaya (yang di kemudian hari memengaruhi munculnya bidang ilmu Studi Budaya), masing-masing pemikir mengaplikasikan kedua hal ini dengan cara-cara dan terhadap subyek kajian yang berbeda.

Ketertarikan Mazhab Frankfurt terhadap pemikiran Karl Marx disebabkan antara lain oleh ketidakpuasan mereka terhadap penggunaan teori-teori Marxisme oleh kebanyakan orang lain, yang mereka anggap merupakan pandangan sempit terhadap pandangan asli Karl Marx.

Menurut mereka, pandangan sempit ini tidak mampu memberikan 'jawaban' terhadap situasi mereka pada saat itu di Jerman. Setelah Perang Dunia Pertama dan meningkatnya kekuatan politik Nazi, Jerman yang ada pada saat itu sangatlah berbeda dengan Jerman yang dialami Karl Marx. Sehingga jelaslah bagi para pemikir Mazhab Frankfurt bahwa Marxisme harus dimodifikasi untuk bisa menjawab tantangan zaman.

Patut dicatat bahwa beberapa pemikir utama Mahzab Frankfurt beragama Yahudi, dan terutama di perioda awal secara langsung menjadi korban Fasisme Nazi. Yang paling tragis ialah kematian Walter Benjamin, yang dicurigai melakukan bunuh diri setelah isi perpustakaannya disita oleh tentara Nazi. Beberapa yang lainnya, seperti Theodor Adorno dan Max Horkheimer terpaksa melarikan diri ke negara lain, terutama Amerika Serikat.

c. Teori Feminist Media.

Menurut Stephen W. Littlejohn, studi-studi feminis merupakan sebuah sebutan generik bagi sebuah perspektif yang menggali pengertian dari gender dalam masyarakat. Dimulai dengan asumsi bahwa gender adalah kategori yang luas untuk memahami pengalaman manusia, pembahasan feminis bertujuan untuk mengekspose kekuatan-kekuatan dan batasan-batasan dari pembagian dunia berdasarkan gendernya.

Fatalnya, banyak teori feminis yang memberi penekanan pada sifat mengekang dari hubungan jenis kelamin di bawah dominasi patriarki. Dengan sendirinya, feminisme dalam banyak hal merupakan sebuah studi tentang distribusi kekuasaan di antara jenis-jenis kelamin.

Para feminis sepertinya meminta adanya persamaan hak bagi perempuan, sebuah pengakuan publik bahwa perempuan memiliki kualitas dan kekuatan yang sama, yang dapat tampil sama baiknya di segala bidang kehidupan. Di lain pihak, mereka sepertinya ingin mengatakan bahwa perempuan berbeda dengan laki-laki, dan bahwa kekuatan dan bentuk2 ekspresi mereka harus dihargai dalam sisi mereka sendiri. Hal tersebut menimbulkan sebuah paradoks murni, supaya perempuan dihargai dan memiliki hak-hak yang sama, kekuatan perempuan harus diakui, tetapi penyorotan pada kekuatan-kekuatan perempuan ternyata semakin memperkuat pandangan patriarkis bahwa perempuan memiliki tempat sendiri.

d. Teori Political Economi Media

Vincent Mosco dalam bukunya “The Political Economi of Communication” secara tersirat menyebutkan bahwa Posmodernitas dengan ekonomi politik tidak dapat dipisahkan keberadaannya. Hal tersebut terbukti dari beberapa teori dalam buku Mosco yang mengupas tentang adanya keterkaitan hal tersebut di atas. Di antara teori-teori tersebut adalah komodifikasi, spasialisasi dan strukturalisasi.

Komodifikasi menurut Karl Marx ialah kekayaan masyarakat dengan menggunakan produksi kapitalis yang berlaku dan terlihat seperti “kumpulan komoditas (barang dagangan) yang banyak sekali”; lalu komoditi milik perseorangan terlihat seperti sebuah bentuk dasar. Oleh karena itu kami mulai mengamati dengan sebuah analisis mengenai komoditi (barang-barang dagangan) (Mosco,1996:140). Komodifikasi diartikan sebagai transformasi penggunaan nilai yang dirubah ke dalam nilai yang lain. Dalam artian siapa saja yang memulai kapital dengan mendeskripsikan sebuah komoditi maka ia akan memperoleh keuntungan yang sangat besar.

Spasialisasi ialah sebuah sistem konsentrasi yang memusat. Dijelaskan jika kekuasaan tersebut memusat, maka akan terjadi hegemoni. Hegemoni itu sendiri dapat diartikan sebagai globalisasi yang terjadi karena adanya konsentrasi media. Sebagai contoh, media barat yang menyebarkan budaya mereka melalui media elektronik. Dari adanya hal tersebut memunculkan translator (orang-orang yang tidak dapat menyaring budaya) yang akhirnya berakibat budaya barat menjadi budaya dunia. Dan kelompok hegemoni itu sendiri adalah kelompok yang menguasai politik, media dan teknologi sekaligus.

Strukturalisasi merupakan salah satu karakteristik yang penting dari teori struktural. Yang di dalammya menggambarkan tentang keunggulan untuk memberi perubahan sosial sebagai proses yang sangat jelas mendeskripsikan bagaimana sebuah struktur diproduksi dan diproduksi ulang oleh manusia yang berperan sebagai pelaku dalam struktur ini.

e. Teori Cultural Studies.

Bidang ilmu pengetahuan yang relatif baru ini dengan sengaja mengambil kata majemuk sebagai penamaan diri, yakni studies (kajian-kajian), bukannya study (kajian). Penamaan ini dengan sendirinya menyiratkan sikap dan positioning para penggagas cultural studies terhadap kondisi ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak, saling mengklaim kebenaran, meskipun lambat laun dimengerti juga bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan bersifat parsial. Kondisi semacam itu dijawab oleh cultural studies dengan menempuh strategi inter dan multidisipliner.

Cultural studies memasukkan kontribusi teori maupun metode dari berbagai disiplin ilmu yang dipandang strategis untuk mengedepankan realita kehidupan umat manusia maupun representasinya yang dipandang krusial dalam kehidupan mutakhir.

Karena cultural studies merupakan bidang keilmuan yang multi, maka wilayah kajian, pendekatan, teori dan konsep, maupun pendekatan metodologisnya pun sangat bervariasi; sehingga tidak mungkin dibahas selengkap-lengkapnya dalam makalah ini. Berikut hanya akan dibahas beberapa hal yang saya pandang berkaitan dengan sejarah sosial

Salah satu ciri terpenting cultural studies adalah pemahamannya terhadap dunia sehari-hari sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, diomongkan, didengar, dilihat, digunjingkan, dalam kehidupan sehari-hari oleh orang kebanyakan merupakan wilayah amatan cultural studies.

f. Analisis Framing.

Sebagaimana sudah dijelaskan pada halaman sebelumnya, dalam analisis framing yang ditekankan adalah bagaimana berita dibingkai? Sisi mana yang ditekankan dan sisi mana yang hendak dilupakan analisis framing dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, paktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media.pembingkaian tersebut melalui proses yang disebut kontruksi. Disini, realitas sosial dimaknai dan dikontruksi dengan makna tertentu.

Dalam ranah penelitian media, analisis framing masuk dalam pradikma kontruksionis. Pandangan ini dipengaruhi oleh berger dan luckman. Media bukanlah satu saluran yang bebas memberitakan sesuatu apa adanya.mediajustru bersipat subyektip dan cenderung mengkonstruksi realitas. Analisis framing bertijuan untuk mengetahui bagaimana realitas dikonstruksi oleh media.dengan cara dan teknik peristiwa itu ditekankan dan ditonjolkan. Apakah dalam berita itu ada bagian yang dihilangkan, lupuk,atau sengaja disembunyikan dalam pemberitaan.

Analisis framing adalah metode untuk melihat cara bercerita(histori telling)media atas suatu peristiwa. Cara bercerita itu tergambar pada ’cara melihat’temadak realitas yang dijadikan berita. Sebagai suatu metode, analis framing banyak mendapat pengaruh dari sosiologi dan pisiologi.dan sosiologi, terutama sumbangan pemikiran dari peterberger dan erfing goffman. Dari psikologi adalah sumbangan dari teori yang berhubungan deng skema dan kognisi,dalam ranah penelitia media, analisis framing masuk dalam pradikma konstruksionis. Pandangan ini dipengaruhi oleh berger dan lukman.

Media dan berita dilihat dari para dogma konstruksionis. Fakta peristiwa adalah hasil konstruksi realitas itu bersifat subjektif. Realitas hadir karena konsep subjektif wartawan. Realitas hadir sudut pandang tertera dari wartawan.

g. Analisis Wacana.

Banyak model dan teori analisis wacana yang dikembangkan oleh para ahli. Seperti yang dijabarkan oleh Eriyanto (2001) dalam buku Analisis Wacana, ada beberapa model analisis wacana yang populer dan banyak digunakan oleh para peneliti, diantaranya adalah model dan teori analisis wacana yang dikembangkan oleh Roger Fowler dkk (1979), The van Leeuwen (1986), Sara Mills (1992), Norman Fairclough (1998) dan Teun A. Van Dijk (1998).

Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Melalui berbagai karyanya, van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat didayagunakan. Van Dijk membaginya kedalam tiga tingkatan :

· Stuktur makro. Ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa.

· Superstuktur, adalah kerangka suatu teks: bagaimana stuktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh.

· Stuktur mikro, adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisa kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai dan sebagainya.

Yang termasuk dalam kelompok Perspektif Interpretif

Teori komunikasi interpretif yang meliputi fenomenologi dan hermeneutika sedangkan teori komunikasi kritis adalah meliputi teori marxis, pemikiran Frankfurt school, teori feminist media, teori politik ekonomi media, teori cultural Studies, analisa Framing dan analisa wacana. 

Perspektif Interpretif tumbuh berdasarkan ketidakpuasan dengan teori Post Positivis, karena dianggap terlalu umum, terlalu mekanis dan tidak mampu menangkap keruwetan, nuansa, dan kompleksitas dari interaksi manusia. Perspektif interpretif mencari sebuah pemahaman bagaimana kita membentuk dunia pemaknaan melaui interaksi dan bagaimana kita berprilaku terhadap dunia yang kita bentuk itu. Dalam pencarian jenis pemahaman ini, teori interpretif mendekati dunia dan pengetahuan yang sangat berbeda dengan cara teori post positivis.

Pandangan dasar dari Perspektif Interpretif meliputi tiga bagian utama yakni:

a. Fenomenologi.

Dunia kehidupan (lebenswelt) adalah dasar makna yang dilupakan oleh ilmu pengetahuan. Begitulah ujar Hussel. Dunia kehidupan adalah unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hadapi sebelum kita meneorikan atau mereflesikannya sehari-hari. Jadi pemikirannya bukan merupakan sebuah gerakan yang kohern. Ia mungkin lebih merfleksikan pemikiran dari beberapa filsuf, termasuk didalamnya Edmund Husselr, Maurice Marleu Ponty, Martin Haidger dan Alfred Schutz.

      Secara singkat dapat dikatakan, fenomenolgi adalah kajian pemaknaan berdasaran kehidupan sehari-hari. Terbagi atas dua bagian, yakni Klasik (trasendantal) dan Modern.

b. Hermeunetika.

Adalah kajian yang menunjukkan para ilmuwan pada pentingnya teks dalam dunia sosial dan pada metode analisis yang menekankan keterhubungan antara teks, pengarang, konteks dan kalangan teorisi. Dengan demikian Heurmeneutika pada dasarnya menyediakan suatu jalan untuk menghindar dari tekanan dalam penjelasan dan kontrol pada kalangan positivis serta pemahaman subjektif atas penelitian sosial.

Pengkajian teks yang dianalis terus mengalami perkembangan dan kini studi komunikasinya meluas pada beberapa hal diantaranya, pidato, acara televisi, pertemuan bisnis, percakapan yang intim, prilaku nonverbal atau arsitektur dan dekorasi sebuah rumah.

c. Interaksionis simbolik.

Berorientasi pada prinsip bahwa orang merespon makna yang mereka bangun sejauh mereka satu sama lain berinteraksi. Setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial, yang tentu saja dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia juga menjadi instrumen penting dalam produksi budaya, masyarakat dan hubungan yang bermakna yang memengaruhi mereka. 

Referensi:

  • Ade Koesnandar, Drs. M.Pd. 1999. “Dasar-Dasar Program Audio”, Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
  • Bungin, Burhan. 2011. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi Di Masyarakat. Jakarta; Kencana Prenada Media Group.
  • Dahglren, Peter. 2002. The Public Sphere As Historical Narrative Dalam Denis McQuail. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London: Sage Publication.
  • Effendy, Onong Uchjana, 1999. Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, Rosdakarya.
  • Griffin, 2003, A First Look at Communication Theory, 5th Edition. USA: McGrraw-Hill Companies
  • Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. D.I. Yogyakarta: PT. Kanisius.
  • Katherine Miller, 2005. Communication Theoris, Perspectives, Processes, and Context, Second Edition.
  • Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. USA: Wadsworth Group
  • ----------------,  2009. Theories of Human Communication, USA: Wadsworth Group.
  • McQuail, Denis. 2011. Teori Komunikasi Massa:Terjemahan Dari Mass Communication Theory. Jakarta: Salemba Humanika.
  • ---------------, 2005. Communication Theory,  edisi 5.
  • Mosco,Vincent, 1996. The Political Economy Of Communication, SAGE Publications, London.
  • Mulyana, Deddy, 2009. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Rosdakarya, Bandung.
  • ----------------. 2008. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
  • Nasrullah Rulli. 2012. Komunikasi Antar Budaya: di Era Budaya Siber. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
  • LittleJohn, Stephen W. 2005. Theories of Human Communication – Fifth Edition. Terjemahan edisi Indonesia 1 (Chapter 1-9), dan edisi  Indonesia 2 (Chapter 10-16).
  • Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: ABiographical Approach. New York:The Free Press.  4. West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi:  Analisis dan Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.
  • Rakhmat, Jalaluddin, 2006. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, Rosdakarya.

Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line