Minggu, 25 Oktober 2020

Pentingnya mengkaji berbagai teori komunikasi dalam memahami perubahan sosial dari kaca mata Teori-Teori Komunikasi.

PENTINGNYA MENGKAJI KOMUNIKASI DALAM MEMAHAMI PERUBAHAN

Komunikasi penting untuk dikaji, dan memiliki peran fundamental serta kompleks dalam kehidupan manusia dan perubahan di lingkungan/dunianya karena 3 alasan, sebagai berikut:

1.    Riwayat perkembangan komunikasi antarmanusia adalah sama dengan sejarah kehidupan manusia itu sendiri. Menurut Nordenstreng dan Varis (1973), dalam Nasution (1989:15), ada 4 penentu yang utama dalam sejarah komunikasi manusia, yaitu:

a.    Ditentukan bahasa sebagai alat tercanggih manusia,

b.    Berkembangnya seni tulisan dan berkembangnya kemampuan bicara manusia menggunakan bahasa,

c.     Berkembangnya kemampuan reproduksi kata-kata tertulis (written words) dengan menggunakan alat pencetak, sehingga memungkinkan terwujudnya komunikasi massa yang sebenarnya, dan,

d.    Lahirnya komunikasi elektronik, mulai dari telegraf, telpon, radio, televisi hingga satelit. (Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Burhan Bungin, Edisi Pertama, 2006, Cetakan Ke 4, Hal:107).

2.    Dimensi dan Persefektif Ilmu Komunikasi, dalam  (Pengantar Teori Komunikasi, Hafied Cangara-Ed,1-10, Jakarta; Rajawali Pers, 2009, Hal:51) disebutkan yaitu :

a.    Komunikasi sebagai Proses,

b.    Komunikasi sebagai Simbolik,

c.    Komunikasi sebagai Sistem, 

d.    Komunikasi sebagai Transaksional,

e.    Komunikasi sebagai Aktivitas Sosial,

f.     Komunikasi sebagai Multidimensional.

3.    Fungsi Komunikasi (Pengantar Teori Komunikasi, Hafied Cangara-Ed,1-10, Jakarta; Rajawali Pers, 2009, Hal:59) disebutkan begitu pentingnya komunikasi dalam hidup manusia, maka Harold D Lasswell mengemukakan fungsi komunikasi, antara lain :

a.    Manusia dapat mengontol lingkungannya,

b.    Beradaptasi dengan lingkungan tempat mereka berada, dan,

c.    Melakukan transformasi warisan sosial kepada generasi berikutnya.

MEMAHAMI PERUBAHAN SOSIAL DARI KACA MATA TEORI KOMUNIKASI.

Kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan antarmasyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan dalam unsurunsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang dinamis. Adapun teori-teori yang menjelaskan mengenai perubahan sosial adalah sebagai berikut.

1. Teori Evolusi ( Evolution Theory )

Teori ini pada dasarnya berpijak pada perubahan yang memerlukan proses yang cukup panjang. Dalam proses tersebut, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Ada bermacam-macam teori tentang evolusi. Teori tersebut digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu unilinear theories of evolution, universal theories of evolution, dan multilined theories of evolution.

a. Unilinear Theories of Evolution

Teori ini berpendapat bahwa manusia dan masyarakat termasuk kebudayaannya akan mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan-tahapan tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks dan akhirnya sempurna. Pelopor teori ini antara lain Auguste Comte dan Herbert Spencer.

b. Universal Theories of Evolution

Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Menurut Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen menjadi kelompok yang heterogen.

c. Multilined Theories of Evolution

Teori ini lebih menekankan pada penelitian terhadap tahaptahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya mengadakan penelitian tentang perubahan sistem mata pencaharian dari sistem berburu ke sistem pertanian menetap dengan menggunakan pemupukan dan pengairan.

Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, ada beberapa kelemahan dari Teori Evolusi yang perlu mendapat perhatian, di antaranya, sebagai berikut:

a.    Data yang menunjang penentuan tahapan-tahapan dalam masyarakat menjadi sebuah rangkaian tahapan seringkali tidak cermat.

b.    Urut-urutan dalam tahap-tahap perkembangan tidak sepenuhnya tegas, karena ada beberapa kelompok masyarakat yang mampu melampaui tahapan tertentu dan langsung menuju pada tahap berikutnya, dengan kata lain melompati suatu tahapan. Sebaliknya, ada kelompok masyarakat yang justru berjalan mundur, tidak maju seperti yang diinginkan oleh teori ini.

c.    Pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan berakhir pada puncaknya, ketika masyarakat telah mencapai kesejahteraan dalam arti yang seluas-luasnya. Pandangan seperti ini perlu ditinjau ulang, karena apabila perubahan memang merupakan sesuatu yang konstan, ini berarti bahwa setiap urutan tahapan perubahan akan mencapai titik akhir.

Namun yang kita tahu bahwa perubahan merupakan sesuatu yang bersifat terus menerus sepanjang manusia melakukan interaksi dan sosialisasi.

2. Teori Konflik (Conflict Theory)

Menurut pandangan teori ini, pertentangan atau konflik bermula dari pertikaian kelas antara kelompok yang menguasai modal atau pemerintahan dengan kelompok yang tertindas secara materiil, sehingga akan mengarah pada perubahan sosial. Teori ini memiliki prinsip bahwa konflik sosial dan perubahan sosial selalu melekat pada struktur masyarakat.

Teori ini menilai bahwa sesuatu yang konstan atau tetap adalah konflik sosial, bukan perubahan sosial. Karena perubahan hanyalah merupakan akibat dari adanya konflik tersebut. Karena konflik berlangsung terus-menerus, maka perubahan juga akan mengikutinya. Dua tokoh yang pemikirannya menjadi pedoman dalam Teori Konflik ini adalah Karl Marx dan Ralf Dahrendorf.

Secara lebih rinci, pandangan Teori Konflik lebih menitik-beratkan pada hal berikut ini:

a.    Setiap masyarakat terus-menerus berubah.

b.    Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang perubahan masyarakat.

c.    Setiap masyarakat biasanya berada dalam ketegangan dan konflik.

d.    Kestabilan sosial akan tergantung pada tekanan terhadap golongan yang satu oleh golongan yang lainnya.

3. Teori Fungsionalis (Functionalist Theory)

Konsep yang berkembang dari teori ini adalah cultural lag (kesenjangan budaya). Konsep ini mendukung Teori Fungsionalis untuk menjelaskan bahwa perubahan sosial tidak lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat. Menurut teori ini, beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat sementara unsur yang lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan unsur tersebut. Maka, yang terjadi adalah ketertinggalan unsur yang berubah secara perlahan tersebut. Ketertinggalan ini menyebabkan kesenjangan sosial atau cultural lag.

Para penganut Teori Fungsionalis lebih menerima perubahan sosial sebagai sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai suatu hal yang mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini berhenti pada saat perubahan itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh masyarakat, tetapi apabila terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan ditolak. Tokoh dari teori ini adalah William Ogburn.

Secara lebih ringkas, pandangan Teori Fungsionalis adalah sebagai berikut:

a.    Setiap masyarakat relatif bersifat stabil.

b.    Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang kestabilan masyarakat.

c.    Setiap masyarakat biasanya relatif terintegrasi.

d.    Kestabilan sosial sangat tergantung pada kesepakatan bersama (konsensus) di kalangan anggota kelompok masyarakat.

4. Teori Siklis (Cyclical Theory)

Teori ini mencoba melihat bahwa suatu perubahan sosial itu tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh siapapun dan oleh apapun. Karena dalam setiap masyarakat terdapat perputaran atau siklus yang harus diikutinya. Menurut teori ini kebangkitan dan kemunduran suatu kebudayaan atau kehidupan sosial merupakan hal yang wajar dan tidak dapat dihindari.

Sementara itu, beberapa bentuk Teori Siklis adalah sebagai berikut:

a. Teori Oswald Spengler (1880-1936)

Menurut teori ini, pertumbuhan manusia mengalami empat tahapan, yaitu anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. Pentahapan tersebut oleh Spengler digunakan untuk menjelaskan perkembangan masyarakat, bahwa setiap peradaban besar mengalami proses kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses siklus ini memakan waktu sekitar seribu tahun.

b. Teori Pitirim A. Sorokin (1889-1968)

Sorokin berpandangan bahwa semua peradaban besar berada dalam siklus tiga sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir. Siklus tiga sistem kebudayaan ini adalah kebudayaan ideasional, idealistis, dan sensasi.

1.    Kebudayaan ideasional, yaitu kebudayaan yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural.

2.    Kebudayaan idealistis, yaitu kebudayaan di mana kepercayaan terhadap unsur adikodrati (supranatural) dan rasionalitas yang berdasarkan fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal.

3.    Kebudayaan sensasi, yaitu kebudayaan di mana sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.

c. Teori Arnold Toynbee (1889-1975)

Toynbee menilai bahwa peradaban besar berada dalam siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan, dan akhirnya kematian. Beberapa peradaban besar menurut Toynbee telah mengalami kepunahan kecuali peradaban Barat, yang dewasa ini beralih menuju ke tahap kepunahannya.

5.Teori Kritis: Socrates, Kant, Marx dan Hegel

Dikutip dari tulisan Catur Alfath Satriya, dikatakan bahwa dalam era demokrasi seperti ini, perbedaan-perbedaan pendapat sering kali terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi sebuah konflik dalam perbedaan pendapat tersebut. Biasanya konflik ini terjadi karena adanya suatu pendapat yang  berusaha untuk menegasikan pendapat yang lain atau yang lebih dikenal dengan thesis dan anti-thesis. Anti-thesis iniliah yang dikenal dalam kehidupan sehari-hari sebagai kritik.

Di sini saya akan menjabarkan bagaimana sebuah pemikiran kritis muncul secara filosofis dengan menggunakan alur dari pemikiran-pemikiran filsuf barat. Ada 4 filsuf barat yang saya gunakan untuk melihat bagaimana pemikiran teori kritis berkembang yaitu Socrates, Kant, Marx dan Hegel. Teori kritis ini bisa dijadikan suatu acuan dalam melihat suatu gejala sosial-politik yang ada.

a.    Metode Socrates

Pemikiran awal kritis sebetulnya sudah dimulai pada zaman yunani kuno, ini pertama kali diperkenalkan oleh socrates dengan metode sokratesnya (socratic method). Metode ini merupakan suatu cara berpikir dimana untuk memulai suatu diskursus diawali dengan sebuah pertanyaan. Metode ini merupakan suatu metode untuk membangun diskusi yang komperhensif yang saling membantu dalam membangun suatu pengertian terhadap suatu persoalan. Metode ini merupakan suatu metode yang diperkenalkan oleh sokrates dalam bidang pendidikan. Metode sokrates ini bisa dikatakan menjadi awal atau basis dari permulaan teori kritis karena metode ini menitikberatkan kepada kedua pihak yang sedang berdiskusi tidak seperti indokrtrinasi yang hanya menekankan kepada salah satu pihak saja. Dari metode ini akan selalu muncul pertanyaan-pertanyaan yang sangat berperan dalam teori kritis.

b.    Immanuel Kant

Selanjutnya pemikiran kritis dikembangkan oleh Immanuel Kant dengan pendapatnya yaitu das ding an sich yang menyatakan bahwa manusia sebagai subjek tidak dapat menangkap realitas sebenarnya dari suatu objek. Teori Kant ini merupakan suatu teori yang berusaha untuk menjembatani 2 paham yang besar yang sebelumnya bertentangan yaitu antara rasionalisme dan empirisme. Kant menyatakan bahwa sebenarnya yang ditangkap oleh manusia terhadap suatu objek hanyalah suatu fenomena - yang bukan sebenarnya - dari realitas objek tersebut yang disebut Kant sebagai noumena. Fenomena ini merupakan penampakan dari noumena. Penampakan ini menurut Kant sudah dipengaruhi ruang dan waktu serta kualitas dan kuantitasnya. Hal ini menurut Kant sangat bergantung dari persepsi yang terdapat dalam pikiran manusia tersebut dan manusia tersebut dalam membuat persepsinya sangat dipengaruhi oleh kategori-kategori dalam menilai suatu objek yang dipersepsikan itu. Kategori inilah yang di dalam teori Kant disebut dengan kategoris imperatif. Kategoris imperatif adalah suatu keharusan dan kewajiban di dalam diri manusia yang dikaitkan dengan ide-ide metafisik tertentu.

c.    Hegel dan Marx

Selain Kant, pemikir lain yang mencoba mengembangkan teori kritis adalah Hegel. Hegel mencoba mengkritik pemikiran Kant. Dia berpendapat bahwa Kant dalam meletakkan rasio kritisnya tidak mengenal waktu, netral, dan ahistoris.Dia juga berpendapat bahwa rasio menjadi kritis apabila ia menyadari asal-usul pembentukannya sendiri. Rasio menjadi kritis apabila dihadapkan dengan suatu rintangan. Lewat proses ini rasio melangkah menjadi lebih tinggi (aufgebeung). Proses inilah yang digambarkan hegel dengan model dialektikanya. Proses ini menurut Hegel mementingkan adanya kontradiksi antar unsur. Unsur ini harus dinegasikan satu dengan yang lain untuk menghasilkan unsur yang lebih baik. Dengan kata lain, rasio kritis menurut Hegel adalah rasio yang sudah melalui refleksi atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan, dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat proses pembentukannya. Dalam teori ini Hegel sebagai tokoh idealisme dialektis, menyimpulkan bahwa pertentangan antara tesis dan anti-tesis akan menghasilkan sebuah sintesis yang semakin lama apabila terus dipertentangkan akan menjadi sebuah kebenaran absolut.

Setelah itu, proses metode dialektika ini dikembangkan oleh Karl Marx dalam konteks sosial-politik dimana untuk melakukan suatu perubahan fundamental dalam suatu sistem sosial-politik harus dilakukan suatu revolusi dengan mempertentangkan kelas borjuis dan kelas proletar. Marx mendasarkan teorinya ini dalam suasana masyarakat kapitalis dimana pada waktu itu kaum borjuis yaitu kaum pemilik modal menindas kaum proletar yaitu kaum buruh. Sehingga di dalam teorinya, apabila kaum buruh dipertentangkan dengan kaum borjuis dan kaum buruh dapat memenangkan pertentangan tersebut maka akan tercapai suatu kesejahteraan dengan ditandainya suatu masyarakat tanpa kelas. Teorinya ini disebut dengan matrealisme dialektis

Marx memberikan suatu paradigma baru dalam teori kritik. Marx mencoba mengontekstualisasikan teori kritik dengan kehidupan sosial politik masyrakat pada waktu itu. Teorinya ini juga didasari dengan analogi basis-suprastruktur dan kelas masyarakat yang akhirnya memunculkan suatu konsep sosialisme ilmiah (scientific socialism).

Teori kritis mengalami suatu perkembangan yang lebih pesat lagi di era post- Marxisme. Di era post Marxisme muncul berbagai macam mazhab-mazhab yang mencoba untuk memberikan paradigma baru dalam teori kritis seperti Mazhab frankfurt dengan tokohnya Adorno, Horkheimer, Habermas dan Mazhab Post-strukturalis dan Post-Modernis dengan tokohnya Foucault dan Derrida.


REFERENSI:

Bagus Takwin, akar-akar ideologi: Pengantar Kajian konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu (Yogyakarta: Jalasutra).

Barker, Chris, 2000: Cultural Studies; Theory and Practice. First Published, London, Sage Publication.

Bungin, Burhan, 2008: Konstruksi Sosial Media Massa : kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckmann.  Jakarta : Kencana Predana Media Group.

_____, 2007: Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Maysarakat.  Jakarta, Kencana Predana Media Group.

Hoogvelt, Ankie. M., 1976: The Sociology of Developing Societies. London, The Macmillan Press Ltd.

Indraddin dan Irwan, 2016. Strategi dan Perubahan Sosial, Publisher, Yokyakarta.

Kumara Ari Yuana, The Greatest philosophers: 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM – Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis, penerbit Andi, Yogyakarta: 2010.

Laurier, Robert, H., 2001: Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta, Bina Aksara.

Maryani, Eni, 2011: Media dan Perubahan Sosial; Suara Perlawanan Melalui Radio Komunitas. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

Ridwan, Deden – Muhadjirin, 2003: Membangun Konsensus. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.

Scott, C, James, 2000: Senjatanya Orang-Orang yang Kalah. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Syaifuddin, 2013: Konstruksi Capres Dan Wapres Dalam Media Massa, Studi Critical Discourse Analysis Terhadap Wacana Politik Editorial Surat Kabar Kompas dan Rakyat Merdeka Dalam Kampanye Pilpres RI 2009. (Disertasi pada Fakultas Ilmu Komunikasi), Bandung, Universitas Padjadjaran.

Syam, Nina W, 2009: Sosiologi Komunikasi. Bandung, Humaniora.

Soekanto, Soerjono, 2000: Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Wright, Charles, 2000: Sosiologi Komunikasi Massa. Penyunting, Jalaluddin Rahmat, Bandung.

Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line