Sabtu, 24 Oktober 2020

Asumsi untuk sebuah harapan dalam konteks perubahan dan beberapa faktor penyebab perubahan (internal dan eksternal), serta dan Dampak perubahan dan komunikasi.

 Bagaiman strategi komunikasi untuk menciptakan perubahan melalui pendekatan “bentuk-bentuk” komunikasi ?

Dari setiap bentuk komunikasi itu, “bagaimana kita memandang / memperlakukan masing-masing unsur/komponen pokok komunikasi” dalam perumusan strategi itu. Dari itu, yang dilakukan adalah :
a. Kajian Komunikator / Sumber
b. Kajian Pesan
c. Kajian Media
d. Kajian Komunikan / Khalayak
e. Kajian Efek

Bagaimana tentang asumsi untuk sebuah harapan dalam konteks perubahan ?

Untuk menjawab pertanyaan ini maka perlu dipahami hal-hal berikut. Pemikiran strategis / perencanaan merupakan hal yang umum dalam bidang komunikasi terkait adanya cita-cita perubahan sebagai efek. Di arena politik misalnya, membutuhkan pemikiran strategis / perencanaan terutama oleh komunikator politik / manajer politik, karena hal itu dapat membentuk basis bagi pelaksanaan komunikasi politik yang efektif. Pemikiran strategis / perencanaan dalam konteks komunikasi politik mengandung peran penting, yakni:
a. Menggugah para politisi untuk menjadikan pemikiran strategis / perencanaan yang melampaui sekedar taktik sebagai dasar bagi setiap event komunikasi politik yang penting.

 b. Memberikan dorongan kepada politisi untuk menggunakan pendekatan strategis jangka panjang dalam praktik politik.

Demi terciptanya kesejahteraan rakyat secara holistik dan sustainable, tentu dalam kualitas yang dapat dijamin. Pemikiran strategis / perencanaan politik adalah sangat penting untuk memberikan kontribusi transparan tentang pemahaman yang lebih baik terhadap hal-hal, misalnya :
a. Nilai-nilai demokrasi. 
b. Proses dan arah demokrasi,
c. Institusi-institusi demokrasi.
d. Tujuan demokrasi.

Lalu apa yang dapat kita tawarkan tentang pemikiran strategis / perencanaan terhadap proses politik dimaksud?, yakni sebagai berikut:

a. Penyampaian sebuah kesadaran bahwa strategi itu penting; kesadaran bahwa “inspirasi surgawi” seorang politisi / manajer politik / konsultan politik yang muncul secara tiba-tiba tidaklah mampu untuk mengimplementasikan berbagai macam kebijakan / program politik.

b. Siapapun yang bercita-cita mencapai suatu efek jangka panjang maka haruslah membuat rencana yang lebih sekedar pemuasan segera atas keinginannya untuk memperoleh / mempertahankan kekuasaan. Karena itu, kontinuitas dan kehandalan capaian harus masuk akal.

c. Gerakan perubahan politik dengan mengesampingkan revolusi dan kudeta hanya dapat dicapai bersama rakyat yang terpengaruh oleh perubahan-perubahan dimaksud.

d. Perubahan politik adalah suatu Proses yang panjang dan sulit.

e. Menciptakan perubahan ke dalam parameter sosial dapat diumpamakan seperti berenang di dalam kolam yang berisi lem yang pekat, atau meminjam term Weber, “seperti melubangi papan yang tebal”.

Apa yang menjadi pemikiran strategis atau perencanaan dalam konteks perubahan politik khususnya ?, perlu dipahami hal-hal sebagai berikut:

a. Arti kata “strategi” awalnya berasal dari konsep militer. Dan kata “strategi” berasal dari bahasa Yunani yakni “strategia”, artinya kepemimpinan atas pasukan, seni memimpin pasukan

b. Pertimbangan strategis memainkan peranan ketika sekelompok orang butuh dipimpin dan diberi pengarahan.

c. Di awal masa industrialisasi, term “strategi” dipakai sebatas konotasi militer saja. Baru setelah itu kepemimpinan atas sejumlah besar orang diperlukan di bidang ekonomi dan kemudian pengertian “strategi” meluas, hingga lahirlah strategi manajerial untuk memudahkan pengelolaan orang-orang dalam sebuah organisasi, bahkan sampai berkembang ke bidang politik.

d. “strategi” di ranah politik diperlukan karena politik bertujuan memimpin kelompok besar masyarakat / anggota partai politik dan organisasi ke arah sasaran khusus.

e. Karena itu, setiap pemikiran dan perencanaan yang diarahkan pada tujuan khusus dan sengaja dijalankan dengan bersandar pada tujuan dimaksud, sebenarnya merupakan “Perencanaan Strategis”.

f. Penggunaan pemikiran strategis yang kemudian berkembang di berbagai bidang telah menempatkan “strategi” dan “taktik” pada makna dan level penggunaan yang berbeda antara keduanya.

g. Secara filosofis, Carl von Clausewitz mendefinisikan hakekat perang yang berlaku hingga kini.

1. “Taktik” adalah ajaran tentang pemanfaatan angkatan perang dalam pertempuran.

2. “Strategi” adalah ajaran tentang pemanfaatan pertempuran untuk tujuan perang.

h. Menurut Clausewitz, angkatan perang merupakan sarana untuk mencapai tujuan perang itu sendiri yaitu memperoleh kemenangan. Tetapi kemenangan itu hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan akhir dari strategi, yakni perdamaian.

i. Dengan demikian, semakin tinggi tingkat “strategi”, akan semakin meujud menjadi politik yang berkesinambungan, hingga akhirnya tidak ada perubahan lagi.


Menurut pandangan Clausewitz, bahwa yang menjadi tujuan “strategi” dalam kajian politik adalah:

a. Bukan kemenangan yang nampak dipermukaan, melainkan terujud suatu kedamaian.

b. Dalam perencanaan strategi politik, untuk memahami tujuan apa yang tersembunyi di balik tujuan akhir sebuah kemenangan pemilu; jangan-jangan strategi politik adalah perlombaan yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri, memperoleh kekuasaan semata, dan banyak tujuan tersembunyi lainnya.


Pertanyaan lain adalah mengapa diperlukan pemikiran strategis atau perencanaan dalam komunikasi politik?, jawabnya sebagai berikut:

a. Pertarungan untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh.
b. Membedakan antara perencanaan taktis dan perencanaan strategis.
c. Pengaruh berbagai budaya terhadap perumusan strategis.

Bagaimana “politik dan strategi” bisa berjalan seiring sejalan ?”. 
Jawaban yang biasa muncul adalah; “kita tidak sedang berada dalam situasi perang”, atau “lawan politik kita bukan musuh”, atau “maksud dan gagasan kita sangatlah baik sehingga kedua hal tersebut dapat terujud tanpa strategi sekalipun”. Setiap ide politik yang dikemukakan oleh pemangku politik, mengandung efek:

a. Dapat memecah masyarakat pada saat ide tersebut diumumkan, Karena ide itu akan merubah keadaan, Setiap keadaan selalu ada pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan. Nicolo Machiavelli menegaskan, “setiap perubahan menciptakan adanya pihak yang menang dan pihak yang kalah. Hal ini hampir selamanya begitu, karena dalam politik, kecenderungan yang berlaku adalah yang dikenal dengan istilah “permainan jumlah nol. Oleh karena itu, setiap ide pasti akan memiliki pendukung dan penentang”.

Masi kata Machiavelli, “Itulah sebabnya semua nabi yang bersenjata memenangkan pertempuran dan yang tidak bersenjata mengalami kekalahan. Disamping yang sudah saya katakan, masyarakat biasanya memiliki sifat plin-plan; mereka sangat mudah diyakinkan untuk melakukan sesuatu, tetapi sangat sulit dipertahankan semangatnya agar tidak menyerah”.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka dalam komunikasi politik kita perlu membedakan antara perencanaan taktis dan perencanaan strategis, sebagai berikut:

a. Syarat untuk sebuah perencanaan taktis adalah adanya perencanaan strategis.

Perencanaan taktis hanya bermanfaat apabila sebuah strategi direncanakan secara cermat.
Perancanaan taktis menjawab pertanyaan: apa, kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa.
Keputusan di tingkat taktis digunakan untuk mencapai setiap tujuan strategis. Hal ini sangat bergantung pada pengetahuan tentang konteks, ruang lingkup, dan kemampuan pribadi pemangku politik.
Karenanya, perencanaan taktis hendaknya tidak direncanakan di tingkat strategis, melainkan oleh pimpinan yang ada di tingkat taktis, karena pimpinan ditingkat ini memiliki pengetahuan yang cukup yang dibutuhkan untuk sebuah perencanaan taktis.
Keputusan mendasar pada perencanaan taktis yang faktanya ditetapkan oleh strategi dan sekaligus oleh perencanaan jadwal dan operasional, merupakan sarana untuk implementasi strategi.
Tanpa perencanaan taktis dan opersional, sebuah strategi bisa saja ada, tetapi tidak akan efektif karena tidak diimplementasikan. Karena itu, implementasi strategi maupun perencanaan taktis adalah hal yang sangat penting.
Di mata para pembual, perencara taktis kerap direndahkan sebagai pihak yang hanya mengambil keputusan jangka pendek, karena keputusan itu tidak terintegrasi dengan strategi secara menyeluruh, dituding tidak memiliki tujuan dan arah. Dengan demikian, hal itu bukan merupakan keputusan yang taktis, melainkan hanya mencerminkan sikap para aktivis semata. 

Contoh, keputusan UU Pilkada tidak langsung oleh Dewan baru-baru ini.
Perencana taktis yang sesungguhnya akan bergerak dalam rencana yang bersandar pada kerangka kerja / pedoman strategis dan penggunaan pengetahuan yang tepat tentang situsi lingkungan, dan secara terampil dapat memanfaatkan situasi untuk keberhasilan yang gemilang, bersifat holistik, dan sustainabel.
Selain itu, bagi seorang perencana komunikasi politik perlu memahami pengaruh berbagai budaya terhadap perumusan strategis, sebagai berikut:

a. Perlu diingat bahwa mekanisme pengambilan keputusan strategis dan pemikiran strategis tidak bergantung pada perbedan geografis, budaya, ataupun perbedaan lainnya.

b. Strategi diarahkan pada sebuah penolakan sasaran.

Untuk mencapai sasaran dimaksud, prasyarat yang dibutuhkan dibuat melalui perencanaan. Hal ini berlaku sama di seluruh dunia.
Bagaimanapun, BUDAYA akan mempengaruhi jenis strategi yang diambil, karena budaya merupakan bagian dari kondisi lingkungan yang spesifik, meskipun pengaruhnya akan jauh lebih besar di tingkat taktis.
Pada akhirnya, apakah itu budaya terbuka terhadap sikap berkonflik ataupun budaya yang berlandaskan pada konsensus (musyawarah-mufakat) hanya relevan untuk keputusan-keputusan taktis. Jika tidak tentu tidak akan terjadi perang / konplik di belahan dunia. Justeru di negara yang menganut musyawarah-mufakatlah kerap terjadi konflik dalam bentuk perang atau kekerasan.
Faktor budaya seperti; orientasi agama, sosial, latar belakang sejarah, bentuk komunikasi tertentu, dsb, patut diperhitungkan dalam penyusunan strategi dan taktik. Namun faktor itu tidak kalah penting dari pada faktor lain seperti struktur kebutuhan, kerangka hukum, atau struktur organisasi, yang pada dasarnya sudah dibentuk oleh pengaruh budaya.
Intinya, pada saat membuat perencanaan, menyusun strategi harus memperhatikan keadaan lingkungan secara umum, termasuk faktor budaya.

Terdapat beberapa metode perencanaan strategis yang dikenal di dalam aktivitas politik, sebagai berikut:
a. Model kemiliteran.
b. Model perencanaan korporasi.
c. Model perencanaan politik.

Dalam pandangan mintzberg telah merumuskan mazhab terhadap pembentukan strategi, sebagai berikut:
a. Mazhab Desain, yakni memandang perencanaan strategi sebagai sebuah proses konseptual yang non-formal, yang merupakan ciri khas dari gaya kepemimpinan yang penuh percaya diri. Model / pola mazhab desain ini dikenal dengan istilah “SWOT” (Strength=Kekuatan, Weakness=Kelemahan, Opportunities=Peluang, dan Threats=Ancaman).

b. Mazhap Perencanaan, Pada mazhab ini menekankan posisi pemimpin sebagai pemegang peranan kunci.
Mazhap Posisi, menekankan pada isi strategi (pembedaan, diversifikasi, dsbnya), tidak terlalu mementingkan proses pembentukan strategi itu sendiri.

Selain ketiga mazhab di atas, terdapat enam mazhab tambahan untuk diketahui, yakni:

a. Mazhab Wirausaha, perencanaan strategi sebagai proses viioner dari seorang pemimpin dengan sifat kepemimpinan yang kuat.

b. Mazhab Pembelajaran, strategi berasal dari sebuah proses pembelajaran kolektif.

c. Mazhab Politik, strategi yang memusatkan perhatian pada konflik dan eksploitasi kekuasaan dalam sebuah proses.

d. Mazhab Budaya, menekankan dimensi kolektif dan koperatif dari sebuah proses.

e. Mazhab Lingkungan Hidup, menekankan pembentukan strategi sebagai jawaban yang pasif terhadap kekuatan eksternal.

f. Mazhab Konfigurasi, berusaha menyatukan semua mazhab dengan mengaitkannya pada konteks episode yang berbeda dalam sebuah proses.
Sebagai ilustrasi tentang model strategi dalam proses perang, kita dapat memahami melalui salah satu model strategi yakni model kemiliteran, sebagai berikut:

a. Seorang perencana perlu memiliki pengetahuan dasar dan wawasan mengenai konsep dan prinsip perang, bisa dengan cara membaca karya Admiral J.C. Wylie (1967) yakni “Military Strategy: General Theory of Power Control”.

Tujuan awal seorang perencana strategi dalam perang adalah memiliki kontrol atas musuhnya. Kontrol terjadi melalui suatu pola perang yang dimanipulasi dengan cara agar titik berat perang tersebut bergerak ke arah yang menguntungkan si perencana strategi dan merugikan musuh.
Titik berat perang menentukan hasil perang tersebut. Karena itu, tujuan utama strategi adalh memindahkan titik berat perang bagi keuntungan pihak sendiri.
Hal itu bergantung pada beberapa faktor; hakekat perang, tempat dan waktu perang, serta bobot titik berat perang.
Dalam hubungan dengan Model Kemiliteran di atas, beberapa konsep yang perlu dipahami, menurut Clausewitz, Perang adalah suatu tindakan kekerasan untuk memaksa musuh agar memenuhi kehendak kita. Musuh tidak boleh dibinasakan, tetapi hanya boleh dikalahkan, karena kita tidak akan bisa memaksakan kehendak kita kepada musuh yang sudah tiada. Perang laut klasik adalah pengadaan dan penggunaan kontrol rute laut dan selat kerap sangat menentukan bagi penataan kekuasaan di darat dan di udara. Ini untuk kepentingan keselamaan pasukan dan logistik perang. Pengawasan udara yang penting adalah untuk menjaga teritorial darat. Menghancurkan angkatan perang udara musuh sebelum mereka memiliki peluang menyerang adalah cara paling praktis untuk menghindar dari serangan mereka terhadap angkatan perang sendiri. Perang darat, medan perang menetukan jenis pertempuran yang dapat diterapkan, jenis persenjataan yang digunakan, jenis pasukan, dan jenis gerakan yang dilakukan. Perang gerilya, yang menjadi tujuan utama bukanlah memenangkan pertempuran yang menentukan, melainkan membuat kerugian atau kerusakan sebesar-besarnya pada pasukan musuh, dan menghancurkan semangat musuh dengan menggunakan satuan-satuan kecil yang independen. Strategi ini sangat berguna jika pihak musuh memiliki kekuatan perang yang lebih besar, dan medan yang dipilih memungkinkan jenis perang ini. Anda bia membaca strategi perang gerlya Cina-Jelang di bawah MAO TSE-Tung sebagai awal jenis perang ini, dan perang Vietnam dengan evektivitas yang sangat tinggi.

Selain Model Kemiliteran di atas, terdapat model yang lain yang penting dipahami yakni Model Perencanaan Korporasi, sebagai berikut:

a. Perencanaan korporasi merupakan analisis sistematis dan perumusan tujuan yang mengarah ke depan, yang mencakup ara dan pilihan-pilihan bersikap, pilihan optimal yang dimiliki dan penetapan instruksi-instruksi untuk merealisasikannya seara rasional.

b. Strategi produk dan strategi pasar emengikuti aturan klasik perencanaan strategis. Untuk hal ini anda harus belajar strategi korporasi jepang dengan prinsip dasar SUN TZU.

Terdapat model lain yakni Model Perencanaan Politis. Ada dua pola yang diutamakan dalam model ini, yakni:
a. Pola perencanaan berdasarkan analisis SWOT.

b. Pola perencanaan konseptual, ada 3 pase :
1. Analisis Situasi.
2. Keputusan Strategis.
3. Implementasi strategis.

Pola perencanaan konseptual Model Perencanaan Politis, yakni:
a. Misi.
b. Fakta tentang organisasi sendiri.
c. Fakta pesaing.
d. Fakta lingkungan eksternal (faktor sosial, politis, ekonomis, ekologis).
e. Kekuatan dan kelemahan.
f. Sub-strategi.
g. Target image.
h. Tujuan.
i. Kelompok target terkait target image dan tujuan.
j. Pesan kelompok target.instrumen kunci terkait k. kelompok target.
l. Kerangka kerjauntuk publikasi PR.
m. Kerangka kerja untuk perencanaan taktis.
Rencana dan jadwal operasi.

 FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN (INTERNAL DAN EKSTERNAL).
Dalam mempelajari konsep perubahan, dikenal dua penyebab pokok perubahan ini, yakni:

a. Perubahan yang tidak direncanakan dalam ujud gerak / dinamika sosial.

Dalam setiap masyarakat pasti ada dinamika (gerak untuk perubahan). Masyarakat yang dinamis adalah masyarakat yang mengalami berbagai bentuk / macam perubahan yang cepat. Dengan pemahaman seperti itu, kita dapat menempatkan dinamika itu sebagai inti jiwa masyarakat. Banyak pakar perubahan modern yang telah mencurahkan perhatiannya pada masalah-masalah perubahan sosial dan budaya masyarakat. Untuk dapat memetakan dan melihat faktor-faktor pemicu perubahan yang terjadi pada masyarakat modern, yang penting untuk pertama kali kita pahami bahwa para ahli perubahan sering membedakan dua hal, sebagai berikut:

1. Masyarakat perkotaan (urban community)
2. Masyarakat pedesaan (rural community)

Beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat kota (urban community) bila dibandingkan dengan masyarakat desa (rural community), perbedaan mana telah menjadi pemicu terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat, sebagai berikut :

1. Kehidupan keagamaan di kota lebih longgar (secular trend) dibandingkan kehidupan keagamaan di desa (religious trend). Penyebabnya cara berpikir masyarakat kota lebih rasional.

2. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain (individualist). Sedangkan orang desa lebih mementingkan kelompok. Kehidupan keluarga di kota sukar disatukan karena perbedaan kepentingan, politik, agama dan sebagainya. Para individu di kota kurang berani seorang diri menghadapi orang lain dengan latar belakang yang berbeda. Nyatanya kebebesan pada individu di kota tak dapat memberikan kebebasan yang sebenarnya kepada yang bersangkutan.

3. Pembagian kerja diantara warga-warga kota lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata. Dengan latar belakang yang berbeda individu mendalami suatu bidang khusus yang menyebabkan muncul gejala hidup sendirian secara individualistik, yang akhirnya menimbulkan kelompok (small group) yang didasarkan pada pekerjaan, keahlian, dan kedudukan sosial yang sama yang membentuk pembatasan pada pergaulan hidup. Didesa adalah sebaliknya.

4. Kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan lebih terbuka karena system pembagian kerja yang beragam.

5. Interaksi yang terjadi antara individu didasarkan pada factor kepentingan pribadi, tidak seperti interaksi didesa lebih didasarkan pada kepentingan sosial.

6. Jalan hidup yang cepat dikota mengakibatkan pentingnya factor waktu untuk mengejar kebutuhannya. Sebaliknya pembagian waktu didesa lebih longgar berdasarkan musim.

7. Responsif dalam penerimaan pengaruh dari luar. Hal ini sering menimbulkan pertentangan paham antara golongan tua dan golongan muda.

Selain itu, terdapat beberapa faktor pendorong perubahan sosial yang lain. Mengapa orang-orang desa kerap meninggalkan tempat tinggalnya di desa, disebabkan oleh beberapa faktor, sebaga berikut:

1. Lapangan pekerjaan di desa pada umumnya kurang. Ini menimbulkan pengangguran yang tersamar (disguised unemployment).

2. Penduduk desa terutama kaum muda-mudi, merasa tertekan oleh adat-istiadat yang ketat, mengakibatkan suatu cara hidup yang monoton.

3. Di desa tidak banyak kesempatan untuk menambah pengetahuan. Kondisi sosial seperti ini menekan orang menjadi sulit untuk mendapatkan kemajuan hidup.

4. Kurangnya persediaan tempat rekreasi, kalaupun ada jumlahnya sangat minim. Faktor seperti ini bisa menimbulkan rasa jenu berkepanjangan warga untuk tetap bertahan hidup di desa.

5. Bagi penduduk desa yang mempunyai keahlian di luar bertani membutuhkan pasaran yang lebih luas dari hasil produksinya. Ini tidak mungkin didapatkan di desa, melainkan adanya di kota.

Namun juga terdapat beberapa factor pendorong / penarik bagi orang desa pergi ke kota, faktor mana adalah bersumber dari kota, sebagai berikut:

1. Kebanyakan orang desa beranggapan bahwa di kota banyak tersedia lapangan pekerjaan serta merta dengan tingkat penghasilan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat penghasilan di desa.

2. Di kota lebih banyak kesempatan untuk mendirikan usaha karena ditunjang oleh keberadaan Bank atau lembaga-lembaga keuangan lainnya.

3. Kelebihan modal di kota lebih banyak dari pada didesa.

4. Pendidikan lanjutan lebih banyak ada di kota dan lebih mudah untuk berkesempatan untuk masuk sekolah.

5. Kota merupakan suatu tempat yang lebih menguntungkan untuk mengembangkan jiwa dengan sebaik-baiknya dan dengan seluas-luasnya, terutama dalam mencapai keberhasilan hidup.

6. Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam orang dari segala lapisan.

b. Perubahan yang direncanakan melalui resistensi media komunitas.

Perubahan sosial pada tingkat komunitas dapat terjadi melalui adanya usaha sadar / melalui proses perencanaan dari kalangan masyarakat anggota komunitas. Hal ini dapat dilakukan melalui beberapa bentuk resistensi, yakni;

1. Membangun resistensi terhadap terhadap pihak-pihak di dalam komunitas.
2. Membangun resistensi terhadap terhadap pihak-pihak di luar komunitas.
3. Membangun resistensi secara kelembagaan.
4. Membangun resistensi secara verbal.
5. Membangun resistensi secara partisipatif.
6. Membangun resistensi dengan cara mengabaikan.
7. Membangun resistensi secara menyiasati hukum.
8. Membangun resistensi secara berjaringan.
9. Kepemilikan alat-alat komunikasi dan terpaan media.
10. Pertemuan-pertemuan kelompok / anggota komunitas untuk tujuan media literacy.

DAMPAK PERUBAHAN DAN KOMUNIKASI.

Sehubungan dengan perbedaan di atas maka factor urbanisasi sering menjadi sorotan. Urbanisasi selain dimaknai sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota, urbanisasi juga merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan, yang mengakibatkan terjadi “over population” sebagai gejala kota yang umum terjadi di negara agraris dan ekonominya masih terbelakang. Akibat lain dari urbanisasi sebagai salah satu pemicu terjadinya perubahan adalah sbb :

1. Munculnya kota pemerintahan.
2. Munculnya kota perdagangan.
3. Munculnya kota Industri.
4. Munculnya kota percampuran antara kota pemerintahan, perdangangan, dan industry, seperti yang terjadi pada ibu kota Indonesia.

Oleh karena itu, beberapa akibat negatif dari urbanisasi yang terlalu cepat di kota, yang dipicu oleh berbagai faktor yang telah dijelaskan di atas,sebagai berikut :

1. Meningkatnya jumlah kelompok pengangguran di kota.
2. Meningkatnya kualitas dan kuantitas kriminalitas di kota.
3. Masyarakat kota kian dihadapkan pada persoalan perwismaan karena lahan tingga semakin sempit dan mahal.
4. Merebaknya kenakalan / kejahatan anak-anak.
5. Berkembangnya persoalan rekreasi

Konteks Komunitas

Beberapa dampak yang diharapkan dari usaha sebuah perubahan yang dekehendaki melalui usaha resistensi dalam suatu komunitas dapat meujud dalam bentuk sebagai berikut:

1. Anggota komunitas memiliki resistensi terhadap berbagai pengaruh yang datang dari luar.

2. Tumbuhnya kesadaran akan relasi kuasa di antara anggota komunitas.

3. Terbangunnya resistensi masyarakat di luar komunitas yang memiliki hubungan jaringan dengan media komunitas sebagai dampak perluasan jaringan komunitas untuk resistensi.

4. Terbangunnya resistensi secara kelembagaan terhadap lembaga formal dan informal yang ada di desa-desa, sekaligus diharapkan berdampak dalam menekan masalah urbanisasi.

5. Terbangunnya resistensi anggota komunitas melalui kemampuan skill verbal karena hal ini penting dalam usaha penyebarluasan pesan-pesan kepada anggota komunitas maupun pada jaringan komunitas di luar komunitas itu.

6. Terbangunnya resistensi anggota dalam ujud partisipasi komunitas terhadap lingkungan sekitar, bahkan pengaruhnya sampai di luar komunitas itu.

7. Terbangunnya resistensi bersama anggota dan jaringan komunitas melalui cara mengabaikan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mencoba memarginalkan kepentingan atau keberadaan mereka.

8. Terbangunnya resistensi bersama anggota dan jaringan komunitas melalui usaha kajian materi-materi hukum pada media komunitas.

9. Terbangunnya resistensi bersama anggota jaringan komunitas melalui usaha bersama dalam memperjuangkan kepentingan bersama anggota jaringan.

10. Adanya dorongan pada anggota komunitas akan kepemilikan alat-alat komunikasi dan terpaan media.

11. Pertemuan-pertemuan kelompok / anggota komunitas untuk tujuan media literacy. Hal ini akan membawa banyak manfaat dalam ujud pemahaman mereka tentang apa pentingnya memiliki media komunikasi dan bagaimana sebaiknya / langkah-langkah bijak dalam menggunakan media komunikasi.

Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line