Sabtu, 24 Oktober 2020

Ragam Resistensi Dalam Proses Perubahan Sosial

RAGAM RESISTENSI DALAM PROSES PERUBAHAN SOSIAL.

Dalam pembahasan ini, beberapa tingkatan dan karakteristik resistensi dalam proses perubahan sosial suatu masyarakat tertentu, seperti resistensi yang dilakukan oleh masyarakat Angkringan, Desa Timbulharjo, Jawa Tengah dapat dilihat dari sebuah hasil penelitian ilmiah yang telah dilakukan oleh Maryani (2011:169-188), yakni: 

Pertama, resistensi masyarakat melalui media komunitas berhadapan langsung dengan birokrasi yang korup di desa. 

Kedua, resistensi masyarakat terhadap nilai-nilai luar yang dianggap tidak sesuai. 

Ketiga, resistensi masyarakat terhadap media mainstream. 

Keempat, resistensi masyrakat terhadap kebijakan komunikasi yang memarjinalkan kepentingan masyarakat komunitas. 

Kelima, resistensi masyarakat terhadap nilai-nilai patriarki.
a. Resistensi terhadap Birokrasi

Resistensi masyarakat melalui media komunitas berhadapan langsung dengan birokrasi yang korup. Perlawanan ini tidak dilakukan secara frontal / menggunakan kekerasan, akan tetapi melalui pesan-pesan moral atau tembang-tembang Jawa yang mengingatkan para pelaku setiap kesempatan siaran. Dengan cara seperti ini memungkinkan komunitas terus melakukan dan mempertahankan perlawanannya. Resistensi dengan cara seperti ini terbukti lebih mudah mendapatkan dukungan dari warga dan sulit dihentikan begitu saja oleh penguasa.

Ada dua sumber yang terus menjadi pemicu kekuatan untuk melakukan resistensi dari masyarakat. Pertama, dari aspk budaya Jawa. Dalam hal ini, secara budaya apa yang dianggap penyelewengan jelas ditekankan harus mendapat hukuman. Kata seorang tokoh budaya Jawa yang mengelola Rumah Budaya Tembi, menegaskan; “Kalo salah, seharusnya diberi hukuman sesuai hukum yang ada”. Selain itu, budaya Jawa juga meyakini, bahwa orang yang melakukan pelanggaran terhadap aturan akan mendapat hukum karma dari Tuhan. Kedua, proses pencerahan yang didasarkan pada perdebatan berdasarkan informasi yang dapat diakses atau dimiliki. Anggota masyarakat sering kali menjadi pemasok data penyimpangan birokrat dan menjadi sumber data yang akurat atas penyimpangan itu, dan atau menyebarkan pesan berupa cuplikan peristiwa penyimpangan birokrat yang terjadi di daerah / masyarakat lain di luar Angkringan.

b. Resistensi terhadap nilai-nilai luar yang dianggap tidak sesuai

Nilai-nilai budaya Jawa dengan segala tata krama dan filosofinya masih ingin dipertahankan oleh komunitas di Timbulharjo. Ketakutan / kekhawatiran tentang hilangnya budaya Jawa cukup sering terungkap. Terdapat kesadaran bahwa Budaya Jawa harus menjadi kekuatan untuk menghadapi budaya luar yang merek anggap tidak sesuai dengan budaya Jawa. Seorang Kordinator dan pengisi acara Slawatan Radio Angkringan, mengatakan, “kalo bisa, budaya asli itu jangan lenyaplah, jangan sampai etiket sopan santun, terutama kesusilaan, kurang. Jangan sampai budaya kita terdesak oleh budaya luar”.

Kecemasan yang dirasakan oleh mereka tentang tergerusnya nilai etika moral dalam budaya Jawa adalah menjadi alasan mereka merasa harus berupaya untuk memberikan pemahaman / menyadarkan para kalangan anak muda khususnya tentang pentingnya nilai-nilai budaya lokal / Jawa, sembari pemaknaan atas kata “kalo bisa” seperti di atas bahwa sesungguhnya gerakan mempertahankan nilai budaya jawa dengan menghindari konflik terbuka di antara masyarakat yang juga merupakan bagian dari nilai budaya Jawa.

c. Resistensi terhadap media
Untuk melakukan resistensi diperlukan informasi dan kesadaran masyarakat yang meluas melalui bantuan media. Kebutuhan itu tidak mungkin dipenuhi oleh media mainstream walaupun cakupannya lokal. Sebagai media lokal tentunya media mainstream tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan mereka, misalnya memberitakan pemilihan Lurah di Desa mereka. Untuk itu kebutuhan mereka terhadap media untuk mengangkat permasalahan dan informasi seputar Timbulharjo haruslah mereka bangun sendiri di komunitasnya. Jadi, keberadaan media komunitas Angkringan adalah untuk menutupi celah ruang yang tidak dapat dijangkau / digarap oleh media lain. Pemilihan Lurah / pemimpin lokal merupakan hal penting untuk menjadi garapan media komunitas, karena event ini tidak mungkin masuk dalam hitungan media mainstream tingkat lokal sekalipun. Ketika ada pemimpin nasionalpun peliputan media maintream masih mempertimbangkan uang atau keberpihakan politik mereka. Di sini media komunitas menjadi pengimbang dalam melakukan pencerahan politik pada anggota komunitas melalui usaha penyebaran informasi yang akurat dan obyektif bagi calon pemimpin yang akan tampil.

Selain itu, keberadaan media maintream dianggap berperan penting dalam menyebarluaskan nilai-nilai budaya dari luar yang tidak tepat / tidak sesuai dengan filosofi budaya Jawa yang menjadi panutan bagi anggota komunitas. Pengelola media komunitas Angkringan menegaskan bahwa keberadaan media komunitas ini adalah sekaligus memosisikan diri sebagai lambang perlawanan terhadappesan-pesan yang disebarkan oleh media lain. Media Angkringan selalu berusaha memproduksi dan menyebarkan pesan-pesan yang berlawanan dengan media umumnya. Media mainstrean juga dianggap menyebarkan pesa-pesan yang melakukan pembodohan ajaran agama pada masyarakat.

d. Resistensi terhadap kebijakan pemarjinalan media lokal dan komunitas

Secara historis munculnya Angkringan dilihat dari aspek sosial dan politik secara makro adalah terjadinya reformasi di Indonesia dan berkembangnya semangat untuk mengembangkan demokratisasi. Desakan masyarakat terhadap adanya deregulasi di bidang penyiaran yang dapat mengurangi dominasi media mainstream secara nasional. Legalitas media komunitas sebagai pengakuan pada hak komunitas yang sebelumnya sering dianggap sebagai penyiaran tak legal juga diakui secara regulatif. Peraturan pemerintan No. 51 tahun 2005 tentang lembaga penyiaran komunitas yang telah menjadi perdebatan dan dipermasalahkan oleh para pengelola media komunitas karena dianggap mencerminkan ketidakpahaman mngenai situasi dan kondisi komunitas yang beragam sehingga isinya sangat merugikan / menghambat perkembangan media komunitas.

Untuk melakukan perlawanan terhadap kebijakan itu, maka Angkringan sebagai media komunitas memahami keterbatasan kekuatannya. Mereka sadar tidak mungkin melakukan sendiri karena mereka hanya media kecil dan melibatkan komunitas kecil. Akan tetapi mereka sadar bahwa masih ada ratusan media komunitas yang mengalami nasib yang sama dengan mereka. Kondisi itu kemudian melahirkan kesadaran untuk bekerja sama dengan berbagai media komunitas lainnya dalam memperjuangkan keberadaan mereka secara legal. Media Angkringan membangun jaringan dengan jaringan-jaringan media komunitas lain seperti Jaringan Radio Komunitas Yokyakarta (JRKY), Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI). Dengan demikian, mereka semakin sadar akan lawan bersama, lalu bergerak bersama memperjuangkan kepentingan bersama menghadapi berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang tidak berpihak atau merugikan kepentingan media komunitas. Bahkan perjuangan mereka sampai pada penjaringan hubungan dengan media komunitas internasional seperti Asociation Mundial de Radio Communitarias (AMARC) yang beranggotakan 3000 media komunitas dari 110 negara. Karena itu, perjuangan mereka akan tetap eksis dengan melakukan perlawanan secara bersama-sama terhadap segala bentuk kebijakan pemerintah yang mencoba memarjinalkan kepentingan mereka.

e. Resistensi terhadap nilai-nilai patriarki

Keberadaan perempuan dalam masyarakat harus diakui belum sepenuhnya lepas dari dominasi budaya patriarki, yang harus diakui memarjinalkan kaum perempuan. Secara budaya perempuan dibatasi ruang geraknya dan mendapatkan tekanan dari lingkungannya karena ia perempuan, suka atau tidak suka. Perempuan diposisikan dalam lingkup domistik baik peran maupun aktivitasnya. Di dalam kasus Angkringan beberapa perempuan secara sadar melakukan resistensi tersebut dengan terus terlibat di Angkringan walau awalnya dilarang oleh keluarga mereka karena dinilai negatif oleh tetangganya.

Para perempuan sadar bahwa di angkringan mereka memperoleh ilmu secara gratis. Mereka sadar adanya belenggu adat istiadat terhadap perempuan dan kebanyakan perempuan menerima begitu saja belenggu adat istiadat dimaksud. Karena itu dibutuhkan usaha untuk memperluas kesadaran akan hak-hak perempuan yang selama ini banyak dibatasi oleh laki-laki. Kesadaran ini sangat dibutuhkan agar resistensi dapat mereka lakukan melalui media komunitas khususnya.

SOLUSI ATAS RESISTENSI.

Beberapa macam solusi yang dapat dilakukan media komunitas dalam rangka menghadapi dan atau mencita-citakan perubahan yang lebih baik, sebagai berikut:

a. Terus membangun kesadaran masyarakat untuk konsisten menolak berbagai bentuk dominasi di tengah masyarakat.

b. Melakukan perjuangan terhadap penyakit lama birokrasi yang merugikan warga.

c. Memperjuangkan secara terus menerus agar media nasional, regional, lokal, dan media komunitas konsisten sebagai Ruang Publik.

d. Membangun kompetensi komunikasi para anggota komunitas dan jaringan agar tuntutan melakukan resistensi bisa semakin berkualitas.

e. Resistensi antara Ide, praktek dengan keberlangsungannya perlu menjadi perhatian pengelola media komunitas, sehingga perjuangan media komunitas tetap eksis dan semakin berkualitas.






Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line