Minggu, 25 Oktober 2020

Pentingnya mengkaji berbagai teori komunikasi dalam memahami perubahan sosial dari kaca mata Teori-Teori Komunikasi.

PENTINGNYA MENGKAJI KOMUNIKASI DALAM MEMAHAMI PERUBAHAN

Komunikasi penting untuk dikaji, dan memiliki peran fundamental serta kompleks dalam kehidupan manusia dan perubahan di lingkungan/dunianya karena 3 alasan, sebagai berikut:

1.    Riwayat perkembangan komunikasi antarmanusia adalah sama dengan sejarah kehidupan manusia itu sendiri. Menurut Nordenstreng dan Varis (1973), dalam Nasution (1989:15), ada 4 penentu yang utama dalam sejarah komunikasi manusia, yaitu:

a.    Ditentukan bahasa sebagai alat tercanggih manusia,

b.    Berkembangnya seni tulisan dan berkembangnya kemampuan bicara manusia menggunakan bahasa,

c.     Berkembangnya kemampuan reproduksi kata-kata tertulis (written words) dengan menggunakan alat pencetak, sehingga memungkinkan terwujudnya komunikasi massa yang sebenarnya, dan,

d.    Lahirnya komunikasi elektronik, mulai dari telegraf, telpon, radio, televisi hingga satelit. (Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Burhan Bungin, Edisi Pertama, 2006, Cetakan Ke 4, Hal:107).

2.    Dimensi dan Persefektif Ilmu Komunikasi, dalam  (Pengantar Teori Komunikasi, Hafied Cangara-Ed,1-10, Jakarta; Rajawali Pers, 2009, Hal:51) disebutkan yaitu :

a.    Komunikasi sebagai Proses,

b.    Komunikasi sebagai Simbolik,

c.    Komunikasi sebagai Sistem, 

d.    Komunikasi sebagai Transaksional,

e.    Komunikasi sebagai Aktivitas Sosial,

f.     Komunikasi sebagai Multidimensional.

3.    Fungsi Komunikasi (Pengantar Teori Komunikasi, Hafied Cangara-Ed,1-10, Jakarta; Rajawali Pers, 2009, Hal:59) disebutkan begitu pentingnya komunikasi dalam hidup manusia, maka Harold D Lasswell mengemukakan fungsi komunikasi, antara lain :

a.    Manusia dapat mengontol lingkungannya,

b.    Beradaptasi dengan lingkungan tempat mereka berada, dan,

c.    Melakukan transformasi warisan sosial kepada generasi berikutnya.

MEMAHAMI PERUBAHAN SOSIAL DARI KACA MATA TEORI KOMUNIKASI.

Kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan antarmasyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan dalam unsurunsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang dinamis. Adapun teori-teori yang menjelaskan mengenai perubahan sosial adalah sebagai berikut.

1. Teori Evolusi ( Evolution Theory )

Teori ini pada dasarnya berpijak pada perubahan yang memerlukan proses yang cukup panjang. Dalam proses tersebut, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Ada bermacam-macam teori tentang evolusi. Teori tersebut digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu unilinear theories of evolution, universal theories of evolution, dan multilined theories of evolution.

a. Unilinear Theories of Evolution

Teori ini berpendapat bahwa manusia dan masyarakat termasuk kebudayaannya akan mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan-tahapan tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks dan akhirnya sempurna. Pelopor teori ini antara lain Auguste Comte dan Herbert Spencer.

b. Universal Theories of Evolution

Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Menurut Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen menjadi kelompok yang heterogen.

c. Multilined Theories of Evolution

Teori ini lebih menekankan pada penelitian terhadap tahaptahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya mengadakan penelitian tentang perubahan sistem mata pencaharian dari sistem berburu ke sistem pertanian menetap dengan menggunakan pemupukan dan pengairan.

Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, ada beberapa kelemahan dari Teori Evolusi yang perlu mendapat perhatian, di antaranya, sebagai berikut:

a.    Data yang menunjang penentuan tahapan-tahapan dalam masyarakat menjadi sebuah rangkaian tahapan seringkali tidak cermat.

b.    Urut-urutan dalam tahap-tahap perkembangan tidak sepenuhnya tegas, karena ada beberapa kelompok masyarakat yang mampu melampaui tahapan tertentu dan langsung menuju pada tahap berikutnya, dengan kata lain melompati suatu tahapan. Sebaliknya, ada kelompok masyarakat yang justru berjalan mundur, tidak maju seperti yang diinginkan oleh teori ini.

c.    Pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan berakhir pada puncaknya, ketika masyarakat telah mencapai kesejahteraan dalam arti yang seluas-luasnya. Pandangan seperti ini perlu ditinjau ulang, karena apabila perubahan memang merupakan sesuatu yang konstan, ini berarti bahwa setiap urutan tahapan perubahan akan mencapai titik akhir.

Namun yang kita tahu bahwa perubahan merupakan sesuatu yang bersifat terus menerus sepanjang manusia melakukan interaksi dan sosialisasi.

2. Teori Konflik (Conflict Theory)

Menurut pandangan teori ini, pertentangan atau konflik bermula dari pertikaian kelas antara kelompok yang menguasai modal atau pemerintahan dengan kelompok yang tertindas secara materiil, sehingga akan mengarah pada perubahan sosial. Teori ini memiliki prinsip bahwa konflik sosial dan perubahan sosial selalu melekat pada struktur masyarakat.

Teori ini menilai bahwa sesuatu yang konstan atau tetap adalah konflik sosial, bukan perubahan sosial. Karena perubahan hanyalah merupakan akibat dari adanya konflik tersebut. Karena konflik berlangsung terus-menerus, maka perubahan juga akan mengikutinya. Dua tokoh yang pemikirannya menjadi pedoman dalam Teori Konflik ini adalah Karl Marx dan Ralf Dahrendorf.

Secara lebih rinci, pandangan Teori Konflik lebih menitik-beratkan pada hal berikut ini:

a.    Setiap masyarakat terus-menerus berubah.

b.    Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang perubahan masyarakat.

c.    Setiap masyarakat biasanya berada dalam ketegangan dan konflik.

d.    Kestabilan sosial akan tergantung pada tekanan terhadap golongan yang satu oleh golongan yang lainnya.

3. Teori Fungsionalis (Functionalist Theory)

Konsep yang berkembang dari teori ini adalah cultural lag (kesenjangan budaya). Konsep ini mendukung Teori Fungsionalis untuk menjelaskan bahwa perubahan sosial tidak lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat. Menurut teori ini, beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat sementara unsur yang lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan unsur tersebut. Maka, yang terjadi adalah ketertinggalan unsur yang berubah secara perlahan tersebut. Ketertinggalan ini menyebabkan kesenjangan sosial atau cultural lag.

Para penganut Teori Fungsionalis lebih menerima perubahan sosial sebagai sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai suatu hal yang mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini berhenti pada saat perubahan itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh masyarakat, tetapi apabila terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan ditolak. Tokoh dari teori ini adalah William Ogburn.

Secara lebih ringkas, pandangan Teori Fungsionalis adalah sebagai berikut:

a.    Setiap masyarakat relatif bersifat stabil.

b.    Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang kestabilan masyarakat.

c.    Setiap masyarakat biasanya relatif terintegrasi.

d.    Kestabilan sosial sangat tergantung pada kesepakatan bersama (konsensus) di kalangan anggota kelompok masyarakat.

4. Teori Siklis (Cyclical Theory)

Teori ini mencoba melihat bahwa suatu perubahan sosial itu tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh siapapun dan oleh apapun. Karena dalam setiap masyarakat terdapat perputaran atau siklus yang harus diikutinya. Menurut teori ini kebangkitan dan kemunduran suatu kebudayaan atau kehidupan sosial merupakan hal yang wajar dan tidak dapat dihindari.

Sementara itu, beberapa bentuk Teori Siklis adalah sebagai berikut:

a. Teori Oswald Spengler (1880-1936)

Menurut teori ini, pertumbuhan manusia mengalami empat tahapan, yaitu anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. Pentahapan tersebut oleh Spengler digunakan untuk menjelaskan perkembangan masyarakat, bahwa setiap peradaban besar mengalami proses kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses siklus ini memakan waktu sekitar seribu tahun.

b. Teori Pitirim A. Sorokin (1889-1968)

Sorokin berpandangan bahwa semua peradaban besar berada dalam siklus tiga sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir. Siklus tiga sistem kebudayaan ini adalah kebudayaan ideasional, idealistis, dan sensasi.

1.    Kebudayaan ideasional, yaitu kebudayaan yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural.

2.    Kebudayaan idealistis, yaitu kebudayaan di mana kepercayaan terhadap unsur adikodrati (supranatural) dan rasionalitas yang berdasarkan fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal.

3.    Kebudayaan sensasi, yaitu kebudayaan di mana sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.

c. Teori Arnold Toynbee (1889-1975)

Toynbee menilai bahwa peradaban besar berada dalam siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan, dan akhirnya kematian. Beberapa peradaban besar menurut Toynbee telah mengalami kepunahan kecuali peradaban Barat, yang dewasa ini beralih menuju ke tahap kepunahannya.

5.Teori Kritis: Socrates, Kant, Marx dan Hegel

Dikutip dari tulisan Catur Alfath Satriya, dikatakan bahwa dalam era demokrasi seperti ini, perbedaan-perbedaan pendapat sering kali terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi sebuah konflik dalam perbedaan pendapat tersebut. Biasanya konflik ini terjadi karena adanya suatu pendapat yang  berusaha untuk menegasikan pendapat yang lain atau yang lebih dikenal dengan thesis dan anti-thesis. Anti-thesis iniliah yang dikenal dalam kehidupan sehari-hari sebagai kritik.

Di sini saya akan menjabarkan bagaimana sebuah pemikiran kritis muncul secara filosofis dengan menggunakan alur dari pemikiran-pemikiran filsuf barat. Ada 4 filsuf barat yang saya gunakan untuk melihat bagaimana pemikiran teori kritis berkembang yaitu Socrates, Kant, Marx dan Hegel. Teori kritis ini bisa dijadikan suatu acuan dalam melihat suatu gejala sosial-politik yang ada.

a.    Metode Socrates

Pemikiran awal kritis sebetulnya sudah dimulai pada zaman yunani kuno, ini pertama kali diperkenalkan oleh socrates dengan metode sokratesnya (socratic method). Metode ini merupakan suatu cara berpikir dimana untuk memulai suatu diskursus diawali dengan sebuah pertanyaan. Metode ini merupakan suatu metode untuk membangun diskusi yang komperhensif yang saling membantu dalam membangun suatu pengertian terhadap suatu persoalan. Metode ini merupakan suatu metode yang diperkenalkan oleh sokrates dalam bidang pendidikan. Metode sokrates ini bisa dikatakan menjadi awal atau basis dari permulaan teori kritis karena metode ini menitikberatkan kepada kedua pihak yang sedang berdiskusi tidak seperti indokrtrinasi yang hanya menekankan kepada salah satu pihak saja. Dari metode ini akan selalu muncul pertanyaan-pertanyaan yang sangat berperan dalam teori kritis.

b.    Immanuel Kant

Selanjutnya pemikiran kritis dikembangkan oleh Immanuel Kant dengan pendapatnya yaitu das ding an sich yang menyatakan bahwa manusia sebagai subjek tidak dapat menangkap realitas sebenarnya dari suatu objek. Teori Kant ini merupakan suatu teori yang berusaha untuk menjembatani 2 paham yang besar yang sebelumnya bertentangan yaitu antara rasionalisme dan empirisme. Kant menyatakan bahwa sebenarnya yang ditangkap oleh manusia terhadap suatu objek hanyalah suatu fenomena - yang bukan sebenarnya - dari realitas objek tersebut yang disebut Kant sebagai noumena. Fenomena ini merupakan penampakan dari noumena. Penampakan ini menurut Kant sudah dipengaruhi ruang dan waktu serta kualitas dan kuantitasnya. Hal ini menurut Kant sangat bergantung dari persepsi yang terdapat dalam pikiran manusia tersebut dan manusia tersebut dalam membuat persepsinya sangat dipengaruhi oleh kategori-kategori dalam menilai suatu objek yang dipersepsikan itu. Kategori inilah yang di dalam teori Kant disebut dengan kategoris imperatif. Kategoris imperatif adalah suatu keharusan dan kewajiban di dalam diri manusia yang dikaitkan dengan ide-ide metafisik tertentu.

c.    Hegel dan Marx

Selain Kant, pemikir lain yang mencoba mengembangkan teori kritis adalah Hegel. Hegel mencoba mengkritik pemikiran Kant. Dia berpendapat bahwa Kant dalam meletakkan rasio kritisnya tidak mengenal waktu, netral, dan ahistoris.Dia juga berpendapat bahwa rasio menjadi kritis apabila ia menyadari asal-usul pembentukannya sendiri. Rasio menjadi kritis apabila dihadapkan dengan suatu rintangan. Lewat proses ini rasio melangkah menjadi lebih tinggi (aufgebeung). Proses inilah yang digambarkan hegel dengan model dialektikanya. Proses ini menurut Hegel mementingkan adanya kontradiksi antar unsur. Unsur ini harus dinegasikan satu dengan yang lain untuk menghasilkan unsur yang lebih baik. Dengan kata lain, rasio kritis menurut Hegel adalah rasio yang sudah melalui refleksi atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan, dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat proses pembentukannya. Dalam teori ini Hegel sebagai tokoh idealisme dialektis, menyimpulkan bahwa pertentangan antara tesis dan anti-tesis akan menghasilkan sebuah sintesis yang semakin lama apabila terus dipertentangkan akan menjadi sebuah kebenaran absolut.

Setelah itu, proses metode dialektika ini dikembangkan oleh Karl Marx dalam konteks sosial-politik dimana untuk melakukan suatu perubahan fundamental dalam suatu sistem sosial-politik harus dilakukan suatu revolusi dengan mempertentangkan kelas borjuis dan kelas proletar. Marx mendasarkan teorinya ini dalam suasana masyarakat kapitalis dimana pada waktu itu kaum borjuis yaitu kaum pemilik modal menindas kaum proletar yaitu kaum buruh. Sehingga di dalam teorinya, apabila kaum buruh dipertentangkan dengan kaum borjuis dan kaum buruh dapat memenangkan pertentangan tersebut maka akan tercapai suatu kesejahteraan dengan ditandainya suatu masyarakat tanpa kelas. Teorinya ini disebut dengan matrealisme dialektis

Marx memberikan suatu paradigma baru dalam teori kritik. Marx mencoba mengontekstualisasikan teori kritik dengan kehidupan sosial politik masyrakat pada waktu itu. Teorinya ini juga didasari dengan analogi basis-suprastruktur dan kelas masyarakat yang akhirnya memunculkan suatu konsep sosialisme ilmiah (scientific socialism).

Teori kritis mengalami suatu perkembangan yang lebih pesat lagi di era post- Marxisme. Di era post Marxisme muncul berbagai macam mazhab-mazhab yang mencoba untuk memberikan paradigma baru dalam teori kritis seperti Mazhab frankfurt dengan tokohnya Adorno, Horkheimer, Habermas dan Mazhab Post-strukturalis dan Post-Modernis dengan tokohnya Foucault dan Derrida.


REFERENSI:

Bagus Takwin, akar-akar ideologi: Pengantar Kajian konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu (Yogyakarta: Jalasutra).

Barker, Chris, 2000: Cultural Studies; Theory and Practice. First Published, London, Sage Publication.

Bungin, Burhan, 2008: Konstruksi Sosial Media Massa : kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckmann.  Jakarta : Kencana Predana Media Group.

_____, 2007: Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Maysarakat.  Jakarta, Kencana Predana Media Group.

Hoogvelt, Ankie. M., 1976: The Sociology of Developing Societies. London, The Macmillan Press Ltd.

Indraddin dan Irwan, 2016. Strategi dan Perubahan Sosial, Publisher, Yokyakarta.

Kumara Ari Yuana, The Greatest philosophers: 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM – Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis, penerbit Andi, Yogyakarta: 2010.

Laurier, Robert, H., 2001: Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta, Bina Aksara.

Maryani, Eni, 2011: Media dan Perubahan Sosial; Suara Perlawanan Melalui Radio Komunitas. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

Ridwan, Deden – Muhadjirin, 2003: Membangun Konsensus. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.

Scott, C, James, 2000: Senjatanya Orang-Orang yang Kalah. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Syaifuddin, 2013: Konstruksi Capres Dan Wapres Dalam Media Massa, Studi Critical Discourse Analysis Terhadap Wacana Politik Editorial Surat Kabar Kompas dan Rakyat Merdeka Dalam Kampanye Pilpres RI 2009. (Disertasi pada Fakultas Ilmu Komunikasi), Bandung, Universitas Padjadjaran.

Syam, Nina W, 2009: Sosiologi Komunikasi. Bandung, Humaniora.

Soekanto, Soerjono, 2000: Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Wright, Charles, 2000: Sosiologi Komunikasi Massa. Penyunting, Jalaluddin Rahmat, Bandung.

Proses pengembangan komunikasi menjadi ilmu komunikasi.

Proses pengembangan komunikasi menjadi ilmu komunikasi

Komunikassi dalam proses pertumbuhannya merupakan studi retorika dan jurnalistik yang banyak berkaitan dengan pembentukan pendapat umum (opini public). Oleh karena itu, dalam peta ilmu pengetahuan, komunikasi dinilai oleh banyak pihak sebagai ilmu monodisiplin yang bertindak pada ilmu politik. Namun dengan perkembangan masyarakat yang begitu cepat, terutama kemajuan di bidang genetika dan teknologi komunikasi, namun dibidang-bidang lainnya telah membawa dampak makin kaburnya batas-batas kewenangan dan fungsi beberapa ilmu pengetahuan, sehingga ilmu yang tadinya monodisiplin cenderung multidisiplin. (Pengantar Ilmu Komunikasi, Hafied Cangara - Ed.1-10, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, Hal:65-66).

Komunikasi sebagai ilmu yang dapat diterapkan dalam hidup bermasyarakat, komunikasi telah lama menarik perhatian para ilmuwan dari luar bidang komunikasi sendiri. Tokoh perubahan dan adopsi beragam ilmu lainnya dalam proses ilmu komunikasi adalah sebagai berikut :

a.    John Dewey (Psikologi dan Filsafat, 1884-1894), lahir di Ann Arbor Michigan, menginginkan adanya sebuah surat kabar yang dapat mempublikasikan hasil-hasil riset ilmu pengetahuan sosial serta memperbaiki masalah-masalahsosial.

b.    Charles Horton Cooley (Sosiologi), lahir di Ann Arbor Michigan tahun 1864 meninggal tahun 1920. Proses komunikasi antarpribadi (persona) dengan orang tua dan kelompok masyarakat, dengan pembuktian observasinya yang ketat terhadap pertumbuhan kedua orang anaknya.

c.    Robert E. Park (Filsafat dan Sosiologi), sebagai staf pengajar di Universitas of Chicago, mengembangkan kemampuan analisisnya untuk mengamati perilaku manusia. Menulis disertasi The Crow and the Public pada tahun 1904, dan juga dikenal sebagai studi agenda.

d.    George Herbert Mead (Filsafat dan Psikologi), setting dengan menerbitkan catatan-catatan kuliah yang diajarkan selama tiga puluh tahun di Chicago dengan judul Mind, and Society (1934). Membantu Amerika pada berbagai proyek Perang Dunia ke-2 untuk melawan Jerman.

e.    Kurt Lewin (Psikologi), ilmuwan Jerman, memimpin diskusi mingguan yang diberi nama Guasselstrippe (the hot-air club). Kontribusinya pada ilmu komunikasi adalah bagaimana individu dipengaruhi oleh kelompok yang mereka masuki studi eksperimen. Dan juga mempelajari studi gatekeeping tentang pengendalian arus informasi lewat saluar komunikasi. meninggal tahun 1947 dengan usia 57 tahun.

f.     Nobert Weiner (Matematika), lahir di Missionari, Amerika Serikat tahun 1894, meraih doktor di Harvad University dalam usia 19 tahun. Disertasinya tentang hubungan antara Matematika dengan Filsafat. Tahun 1919 menjadi Professor matematika di MTM, sebuah Universitas Tehnik terkenal di Amerika.

g.    Harold D.Lasswell (ilmu Politik), lahir di Donnelson-Illinois (AS) pada tahun 1902, dalam tulisannya Word Politics and Personal Insecurity memperlihatkan pengaruh yang kuat dari Sigmund Freud. Menjadi professor penuh 1938. Kontribusinya ditemukan dalam bukunya Propaganda and Communication in Word History.

h.    Carl Hovland (Psikologi Eksperimen), mendirikan program komunikasi dan perubahan sikap. Bukunya berjudul Experiments on Mass Communication (1949) dan Communication and Persuation (1953).

i.      Paul F. Lazarsfefd (Matematika dan Sosiologi), lahir pada tahun 1901 dan meninggal dalam usia 75 tahun, memperoleh gelar doktor matematika dari University of Vienna di Austria tahun 1920, melalui suatu penelitian bersama Elihu Katz tentang pengaruh media massa terhadap perilaku pemilih presiden di Erie County, Ohio (1994).

j.      Claude E Shanon (Elektronika), lahir tahun 1916 lahir di sebuah kota kecil Petrosky Michigan,  melalui Lois Ridenous itulah, Schramm meminta kepada Shannon untuk memperkenalkan kedua tulisannya lewat bahasa populer dengan judul The Matematical Theory of Communication, sebagai model komunikasi pertama yang dilukiskan secara visual.

k.    Wilbur Schramm (Kesusastraan), lahir di Maretta, Ohio dalam tahun 1908, doktor di bidang kesusastraan Amerika di University of lowa pada tahun 1932. Dikenal sebagai penulis fiksi. Bukunya Mass Communication (1949), the Process and effects of Mass Communication (1984) dan The Matematical Theory of Communication tahun 1956. Juga merupakan orang pertama yang menjalin kajian dari bidang-bidang ilmu lain seperti psikologi social, antropologi, ilmu politik, ekonomi untuk pengembangan komunikasi antarmanusia.

l.      Everett M.Rogers (Sosiologi Pedesaan), berhasil meraih doktornya tahun 1957, disertasinya membicarakan tentang difusi inovasi pertanian di antara para petani disebuah masyarakat pedesaan di lowa. Ia telah menulis 25 buku komunikasi dalam berbagai aspek. (Pengantar Ilmu Komunikasi, Hafied Cangara-Ed.1-10,Jakarta:Rajawali Pers,2009, Hal:82-83).


Seluk beluk teori komunikasi, serta beberapa Kelompok teori komunikasi.

Seluk beluk teori komunikasi, serta beberapa Kelompok teori komunikasi

Menurut Littlejohn, dalam bukunya "Theories of Human Communication", secara umum dunia masyarakat ilmiah menurut cara pandang serta objek pokok pengamatannya dapat dibagi dalam 3 kelompok atau aliran pendekatan, yaitu:

a.    Pendekatan scientific (ilmiah - empiris),

b.    Pendekatan humanistic (humanoria - interperatif),

c.    Pendekatan social sciences (ilmu - ilmu sosial).

Ciri-ciri utama aliran pendekatan scientific:

a.    Umumnya berlaku di kalangan para ahli ilmu - ilmu eksakta (seperti fisika, biologi, kedokteran, matematika, dll).

b.    Ilmu diasosiasikan dengan objektivitas. Maksudnya adalah objektivitas yg menekankan prinsip standarisasi observasi dan konsistensi. Landasan filosofisnya adalah bahwa dunia ini pada dasarnya mempunyai bentuk dan struktur.

c.    Adanya pemisahan yg tegas antara known (objek atau hal yg ingin diketahui dan diteliti) dan knower (subjek pelaku/pencari pengetahuan atau pengamat).

d.    Aliran pendekatan scientific mengutamakan prinsip objektivitas.

Beberapa perbedaan pokok antara Aliran Pendekatan Scientific dan Aliran Pendekatan Humanistic antara lain:

a.Aliran pendekatan scientific mengutamakan prinsip objektivitas, maka kelompok pendekatan humanistic mengasisiasikan ilmu dengan prinsip subjektivitas.

b. Aliran scientific, ilmu bertujuan untuk menstandarisasi observasi, sedangkan aliran humanistic mengutamakan kreativitas individual.

c.  Aliran scientific berpandangan bahwa tujuan ilmu adalah mengurangi perbedaan - perbedaan pandangan tentang hasil pengamatan, sementara aliran humanistic bertujuan untuk memahami tanggapan dan hasil temuan subjektif individual.

d.  Aliran scientific memandang ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yg berada di sana (out there), di luar diri pengamat/peneliti. Sedangkan aliran humanistic melihat ilmu pengetahuannya sebagai sesuatu yg berada di sini (in here), berarti dalam diri pengamat/peneliti (pemikiran, interpretasi)

e.    Aliran scientific memfokuskan perhatiannya pada dunia hasil penemuan (discovered world), sedangkan aliran humanistic menitikberatkan perhatiannya pada dunia para penemunya (discovering person).

f.     Aliran scientific berupaya memperoleh konsensus, sementara aliran humanistic mengutamakan interpretasi - interpretasi alternatif.

g.    Aliran scientific membuat pemisahan yg tegas antara known dan knower, sedangkan aliran humanistic cenderung tidak memisahkan kedua hal tersebut.

h.    Pandangan klasik dari aliran humanistic adalah bahwa cara pandang seseorang tentang sesuatu hal akan menentukan penggamabaran dan uraiannya tentang hal tersebut. Karena sifatnya subjektif dan interperatif. Pendekatan aliran humanistic lazimnya cocok diterapkan untuk mengkaji persoalan-persoalan yg menyangkut sistemnilai kesenian, kebudayaan, sejarah, dan pengalaman pribadi.

Kelompok aliran ketiga adalah Pendekatan social sciences (ilmu - ilmu sosial). Pendekatan ini yg di terapkan oleh para pendukung kelompok aliran ini pada dasarnya merupakan gabungan atau kombinasi dari pendekatan-pendekatan aliran scientific dan  humanistic. Pendekatan ilmu sosial merupakan perpanjangan (extension) dari pendekatan ilmu alam (natural science).

Dipergunakannya 2 pendekatan scientific dan humanistic yg masing-masing berbeda prinsip ini adalah kerena yg menjadi objek studi dalam ilmu pengetahuan sosial dalah kehidupan manusia. Para ahli ilmu sosial, seperti para ahli ilmu alam harus mampu mencapai kesepakatan atau konsensus mengenai hasil temuan pengamatannya, meskipun kesepakatan atau konsensus yg dicapai tersebut sifatnya "relatif", dalam arti dibatasi oleh faktor-faktor waktu, situasi, dan kondisi tertentu.

Para ahli ilmu komunikasi yg meneliti bidang studi seperti komunikasi antarpribadi, komunikasi dalam kelompok. komunikasi organisasi, komunikasi massa, dan lain - lain umumnya banyak menerapkan metode-metode pendekatan scientific. Teori-teori yg dihasilkannya biasanya disebut sebagai teori komunikasi (communication theory). Sementara itu pendekatan-pendekatan humanistic juga banyak diterapkan dalam penelitian tentang masalah-masalah komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi massa, dan lain-lain.

 SELUK BELUK TEORI KOMUNIKASI

Teori komunikasi adalah satu pandangan dan strategi yang akan membentuk alat dan rangka kerja untuk sesuatu perkara yang hendak dilaksanakan Dalam proses komunikasi teori akan membina bentuk dan kaidah komunikasi yang hendak dibuat. Melalui penulisan ini penjelasan tentang beberapa teori komunikasi akan dibuat. Terdapat dua aspek utama yang dilihat secara tidak langsung dalam bidang ini sebagai satu bidang pengkajian yang baru. Aspek pertama ialah perkembangan dari beberapa sudut atau kejadian seperti teknologi komunikasi, perindustrian dan politik dunia. Teknologi komunikasi contohnya radio, televisi, telefon, setelit, rangkaian komputer telah menghasilkan ide untuk mengetahui apakah kesan perkembangan teknologi komunikasi terhadap individu, masyarakat dan penduduk disebuah negara. Perkembangan politik dunia, memperlihatkah bagaimana kesan politik terhadap publik sehingga menimbulkan propaganda dan pendapat umum. Seterusnya perkembangan perindustrian seperti perminyakan dan perkapalan menuntut betapa perlunya komunikasi yang berkesan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas agar mencapai maksud atau tujuan organisasi tersebut.

Aspek kedua ialah dari sudut kajian di mana para pelajar berminat untuk mengkaji bidang-bidang yang berkaitan dengan komunikasi seperti mereka yang dari bidang psikologi sosial mengkaji penggunaan teknologi baru terhadap kesan tayangan animasi kepada anak-anak , propaganda dan dinamik kelompok. penjelasan atas politik dunia seperti menganalisa propaganda Nazi yang mampu mempengaruhi pendengar sehingga mereka patuh dan bersatu. Selanjutnya kajian awal penyelidik atas perindustrian yang pada separuh abad ke-20 tertuju kepada memenuhi keinginan sektor pemasaran untuk mengetahui komunikasi dengan lebih dekat setelah pengiklanan menunjukan kepentingannya.

Oleh karena itu, bidang komunikasi mengambil langkah dan maju kedepan setelah berlakunya pengembangan dari sudut teknologi komunikasi, perindustrian dan politik dunia serta kajian-kajian yang telah dilakukan. Sehingga bidang komunikasi menjadi bidang pengkajian yang baru dan mula diminati oleh banyak orang. Namun, bidang yang menjadi asas kepada bidang komunikasi ialah bidang-bidang sains sosial seperti sosiologi, pendidikan, psikologi sosial, pengurusan, antropologi dan psikologi. Menurut Littlejohn, fungsi teori ada 9, yaitu:

a.    Mengorganisasikan dan menyimpulkan pengetahuan tentang suatu hal. Ini berarti bahwa dalam hal mengamati realitas kita tidak boleh melakukannya secara sepotong - sepotong.

b.    Memfokuskan, artinya hal-hal atau aspek-aspek dari suatu objek yg diamati harus jelas fokusnya.

c.    Menjelaskan, maksudnya adalah bahwa teori harus mampu membuat suatu penjelasan tentang hal yg diamatinya.

d.    Pengamatan, menunjukkan bahwa teori tidak saja menjelaskan tentang apa yg sebaiknya diamati, tetapi juga memberikan petunjuk bagaimana cara mengamatinya.

e.    Membuat prediksi, meskipun kejadian yg diamati berlaku pada masa lalu, namun berdasarkan data dan hasil pengamatan ini harus dibuat suatu perkiraan ttentang kadaan yg akan terjadi apabila hal-hal yg digambarkan oleh teori juga tercerminkan dalam kehidupan di masa sekarang.

f.     Fungsi heuristic atau heurisme. Aksioma umum menyebutkan bahwa teori yg baik adalah teori yg mampu merangsang penelitian. Ini berarti bahwa teori yg diciptakan dapat merangsang timbulnya upaya-upaya penelitian selanjutnya.

g.    Komunikasi, menunjukkan bahwa teori seharusnya tidak menjadi monopoli si penciptanya. Teori harus dipublikasiikan, didiskusikan, dan terbuka terhadap kritikan-kritikan.

h.    Fungsi kontrol, bersifat normatif. Hal ini dikarenakan bahwa asumsi-asumsi teori dapat kemudian berkembang menjadi norma-norma atau nilai-nilai yang dipegang dalam kehidupan sehari-hari.

i.      Fungsi Generatif, fungsi ini sangat menonjol di kalangan pendukung tradisi / aliran pendekatan interperatif dan teori kritis.

Proses pengembangan atau pembentukan teori umumnya mengikuti model pendekatan eksperimental yang lazim dipergunakan dalam ilmu pengetahuan alam. Menurut pendekatan ini, biasa disebut hypothetico- eductive method (metode hipotetis-deduktif), proses pengembangan teori melibatkan empat tahap, sebagai berikut:

a.    Developing questions (mengembangkan pertanyaan).

b.    Forming hypotheses (menyusun hipotesis).

c.    Testing the hypotheses (menguji hipotesis).

d.    Formulating theory (memformulasikan teori).

Proses dari keempat tahap pengembangan teori ini dijelaskan oleh Littlejohn melalui gambar, sebagai berikut:

 

 Pengertian tentang Ilmu dan Teori dalam Komunikasi

 

Gambar di atas menunjukkan bahwa: pertama, asumsi-asumsi teori dideduksi menjadi hipotesis. Kedua, hipotesis ini dirinci lagi ke dalam konsep-konsep operasional yang dapat dijadikan sebagai patokan untuk pengamatan / observasi. Berdasarkan hasil-hasil temuan pengamatan yang dilakukan melalui metode dan pengukuran tertentu Ketiga, dibuat generalisasi-generalisasi. Keempat, dari generalisasi-generalisasi ini akhirnya diinduksi menjadi teori.

Ada beberapa patokan yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam mengevaluasi kesahihan teori, yaitu:

a.    Theoretical scope (cakupan teoretis). Dengan demikian persoalan pokok di sini adalah apakah suatu teori yg dibangun memiliki prinsip generality atau keberlakuan umum.

b.    Appropriateness (kesesuaian), yakni apakah isi teori sesuai dengan pertanyaan- pertanyaan / permasalahan-permasalahan teoretis yang diteliti.

c.    Heuristic. Pertanyaannya adalah apakah suatu teori yang dibentuk punya potensi untuk menghasilkan penelitian atau teori - teori lainnya yang berkaitan.

d.    validity (validitas) atau konsistensi internal dan eksternal. Konsistensi internal mempersoalkan apakah konsep dan penjelasan teori konsisten dengan pengamatan. Konsistensi eksternal mempertanayakan apakah teori yg dibentuk didukung oleh teori- teori lainnya yang telah ada.

e.    Parsimony (kesederhanaan). Inti pemikirannya adalah bahwa teori yang baik adalah teori yang berisikan penjelasan-penjelasan yang sederhana.

KELOMPOK TEORI KOMUNIKASI

Kelompok teori-teori berikut ini penting dipelajari untuk memahami situasi empiric terkait perubahan social di tengah masyarakat. Menurut Littlejohn (1989), secara umum teori-teori komunikasi dapat dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama disebut kelompok "teori - teori umum" (general theories). Kelompok kedua adalah kelompok "teori - teori kontekstual" (contextual theories).

a.    Kelompok Teori-Teori Umum (general theories)

1.    Kelompok Teori-Teori Fungsional dan Struktural.

Ciri dari jenis teori ini (meskipun istilah fungsional dan struktural barangkali tidak tepat) adalah adanya kepercayaan atau pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yg berada di luar diri pengamat. Menurut pandangan ini, seorang pengamat adalah bagian dari struktur. Oleh karena itu cara pandangnya juga akan dipengaruhi oleh struktur yg berada di luar dirinya.

2.    Kelompok Teori-Teori Behavioral dan Cognitive.

Teori-teori ini merupakan gabungan dari dua tradisi yang berbeda. Asumsinya tentang hakikat dan cara menentukan pengetahuan juga sama dengan aliran strukturalis dan fungsional.

3.    Kelompok Teori-Teori Konvensional dan Interaksional.

Teori-teori ini berpandangan bahwa kehidupan sosial meruapakan suatu proses interaksi yang membangun, memelihara serta mengubah kebiasaan-kebaisaan tertentu, termasuk dalam hal ini bahasa dan simbol-simbol. Komunikasi, menurut teori ini dianggap sebagai alat perekat masyarakat (the glue of society). Kelompok teori ini berkebamng dari aliran pendekatan "interaksionisme simbolis" (symbolic interactionism) sosiologi dan filsafat bahasa ordiner. Bagi kalangan pendukung teori-teori ini, pengetahuan dapat ditemukan melalui metode interpretasi.

4.    Kelompok Teori-Teori Kritis dan Interpretif.

Gagasan-gagasannya banyak berasal dari berbagai tradisi, seperti sosiologi interpretif (interpretive sociology), pemikiran Max Weber, phenomenology dan hermeneutics, Marxisme dan aliran "Frankfurt School", serta berbagai pendekatan tekstual, seperti teori-teori retorika, biblical, dan kesusastraan. Pendekatan kelompok teori ini terutama sekali populer di negara - neara eropa.

b.    Kelompok Teori-Teori Kontekstual (contextual theories)

1.    Teori-teori Komnikasi Intrapribadi (intrapersonal communication). Kelompok teori ini menegaskan bahwa proses komunikasi yg terjadi dalam diri seseorang. Yang menjadi pusat perhatian disini adalah bagaimana jalannya proses pengolahan informasi yg dialami seseorang melalui sistem syaraf dan inderanya. Komunikasi Antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antar perorangan dan bersifat pribadi, baik yg secara langsung (tanpa medium) ataupun tidak langsung (melalui medium). TAMBAHAN: Di sini ada teori-teori komunikasi antarpribadi (interpersonal communication teories).

2.    Teori-teori Komunikasi Kelompok (group communication). Kelompok teori ini memfokuskan pembahasannya pada interaksi di antara orang-orang di dalam kelompok-kelompok kecil. Komunikasi kelompok juga melibatkan komunikasi antar pribadi. Teori-teori komunikasi kelompok antara lain membahas tentang dinamika kelompok, efisiensi, dan efektivitas penyampaian informasi dalam kelompok, pola dan bentuk interaksi, serrta pembuatan keputusan. TAMBAHAN: Di sini ada teori-teori komunikasi kelopok kecil (small group communication teories), dan teori-teori komunikasi kelompok besar (large group communication teories).

3.    Teori-teori Komunikasi Organisasi (organizational communication). Kelompok teori ini menegaskan dengan menunjuk pada pola dan bentuk komunikasi yang terjadi dalam konteks dan jaringan organisasi. Komunikasi organisasi melibatkan bentuk-bentuk komunikasi formal dan informal.

4.    Teori-teori Komunikasi Massa (mass communication). Fokus kelompok teori ini adalah pada proses komunikasi melalui media massa yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang besar. Proses komunikasi massa melibatkan aspek-aspek komunikasi intrapribadi, komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok, dan komunikasi organisasi. Teori komunikasi massa umumnya memfokuskan perhatiannya pada hal-hal yang menyangkut struktur media, hubungan media dan masyarakat, hubungan antar media dan khalayak, aspek-aspek budaya dari kmunikasi massa, serta dampak atau hasil komunikasi massa terhadap individu.

5.    TAMBAHAN; Teori-teori Komunikasi Publik / Komunikasi Luar Ruang / Komunikasi Nirmassa (Public communication). Focus kelompok teori ini adalah pada proses komunikasi yang menggunakan media luar ruang seperti spanduk, umbul-umbul, pamphlet, liflet, brosur, billboard, dan semacamnya.

6.    TAMBAHAN; Teori-teori Komunikasi Media Baru / Media Sosial (New Media Communication). Focus kelompok teori ini adalah pada proses komunikasi yang berlangsung melalui media social (daring / media baru) seperti facebook, whatsup, tweeter, line, blog, portal, instagram, dan semacamnya.

Masalah perubahan social itu terkait dengan Perspektif Komunikasi

MASALAH PERUBAHAN SOSIAL

Dalam pandangan lain tentang perubahan social dan penyimpangan dalam perubahan tersebut, para ahli lain yakni Martono (2011:9) berpandangan bahwa perubahan sosial berkaitan dengan teori perspektif struktural fungsional. Pandangan tersebut bahwa masyarakat adalah sebuah sistem yang stabil dan memiliki tatanan sosial relatif stabil dan terintegrasi dalam kehidupan seharihari. Pada pandangan tersebut terlihat bahwa kestabilan dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat dianggap sebagai kondisi dan situasi yang stabil dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sebagai penyimpangan. Menurut perspektif struktural fungsional bahwa perubahan sosial diabaikan dalam kehidupan masyarakat dan masyarakat dalam kondisi yang statis atau tetap untuk melakukan aktivitas kehidupan.

Pemahaman teori perspektif struktural fungsional bahwa masyarakat merupakan sistem yang berada dalam keseimbangan (equiliberium). Mekanisme yang dimiliki oleh masyarakat menjadikan dirinya dan menempatkan posisi serta kemampuan tetap dalam situasi dan kondisi yang seimbang. Dengan demikian, jika dalam kehidupan masyarakat melakukan perubahan secara cepat mengakibatkan rusaknya sistem. Masalah perubahan sosial, dapat kita lihat pada mitos tentang trauma yang menyatakan bahwa perubahan adalah abnormal yang dihubungkan dengan pemikiran yang menyatakan, perubahan bersifat traumatis (Lauer, 1993:11). Pada mitos ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat merupakan sesuatu yang abnormal. Pemikiran tersebut berorientasi bahwa perubahan sebagai siksaan yang terjadi akibat krisis dan terjadinya campur tangan yang tidak bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat. Pandangan tersebut mengambarkan bahwa ada beberapa penyebab terjadi penghambat perubahan dan pembangunan dalam masyarakat yaitu nilai-nilai budaya, stratifikasi, sikap, ketimpangan sosial dan pengalaman dari masyarakat tersebut.

Pandangan mengenai sebab terjadinya perubahan sosial juga dikemukakan oleh Spicer yang menyatakan bahwa orang selalu mengubah menurut cara-cara mereka, akan tetapi orang akan merintangi perubahan karena ada tiga hal yang melatarbelakangi yaitu, jika perubahan itu dibayangkan dapat mengancam keamanan mendasar, jika perubahan itu tidak dipahami dan jika perubahan tersebut dipaksa oleh mereka. Menurut Spicer bahwa perubahan dalam kehidupan masyarakat berkaitan dengan ketegangan yang dialami. Jika dalam masyarakat mengalami perubahan secara cepat mengakibatkan individu atau kelompok masyarakat belum bisa menerima atau belum siap untuk melakukan perubahan yang terjadi, sehingga masyarakat atau individu mengalami keguncangan masa depan (future shock) yang disebut dengan istilah culture shock. Hal tersebut mendasari bahwa masyarakat harus mampu penyesuaian dengan kondisi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Berbeda pandangan mitos perubahan satu arah dan pandangan utopia yang berkaitan dengan kaum evolusioner. Dalam konteks sosiologi pada teori evolusi sosial, bahwa semua masyarakat melakukan sebuah jalan atau tujuan yang seragam dan menempuh jalan tersebut yang seragam pula untuk mencapai suatu tujuan kehidupan ini (Lauer, 1993: 18). Pada mitos satu arah ini berkaitan juga dengan teori konvergensi atau teori kontradiksi yaitu masyarakat modern dan tradisional. Pada dasarnya teori ini berorientasi pada determinisme teknologi yang mengalami perubahan dan perkembangan dalam kehidupan masyarakat. Kita bisa melihat perkembangan suatu negara dari kemajuan teknologi. Masa dulu teknologi yang digunakan bersifat tradisional dan belum mengalami kemajuan. Hal ini kita terlihat sebagai dua sisi mata uang yang mempunyai maksud dan nilai yang sama. Negara dibentuk untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan masingmasing negara sangat berbeda terhadap aktivitas dalam sebuah kemajuan. Pandangan tersebut yang mendasari bahwa setiap orang melakukan tindakan yang menuju satu tujuan yang sama dan menempuh jalan atau langkah yang sama dalam mencapai suatu tujuan tersebut.

Perspektif di atas memperlihatkan adanya faktor yang mendorong terjadi perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya kata-kata sebab dan akibat. Artinya sebab terjadinya perubahan ada beberapa hal, misalnya stratifikasi, ekonomi, politik, dan sebagainya. Sedangkan akibat perubahan menimbulkan kekacauan dan kegelisahan masyarakat terhadap perubahan yang terjadi. Kajian tersebut membahas tentang strategi sosial yang akan digunakan dalam menghadapi perubahan sosial. Pada buku ini penulis mencoba menguraikan ada beberapa strategi baru yang digunakan masyarakat setelah terjadinya perubahan mata pencaharian, yang merupakan mata pencaharian utama untuk bisa bertahan hidup. Hal tersebut terjadi pada Desa Putri Puyu di mana mata pencaharian sebagai penebang kayu di hutan merupakan mata pencaharian utama masyarakat untuk bisa bertahan hidup. Akan tetapi, dengan adanya larangan pemerintah untuk tidak melakukan aktivitas di hutan sebagai mata pencaharian utama masyarakat Desa Putri Puyu, mengakibatkan tidak terpenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat, sedangkan selama ini segala kebutuhan dan keinginan masyarakat dapat terpenuhi. Hal ini terlihat bahwa perubahan mata pencaharian pada sektor ekonomi berpengaruh terhadap masalah yang timbul dalam kehidupan masyarakat setempat.

PERUBAHAN SOSIAL DALAM KONTEK KOMUNIKASI MANUSIA

Menurut Rogers dan Adhikarya, pendekatan baru dalam proses komunikasi antarmanusia, berupa pendekatan konvergensi yang didasarkan pada model komunikasi yang sirkular, telah menggantikan pendekatan model linear. Pendekatan konvergensi berusaha menuju suatu pengertian yang lebih bersifat timbal-balik di antara partisipan komunikasi dalam hal pengertian, kebutuhan, ataupun titik pandang. Selain itu, diketengahkan pula perlunya ditingkatkan partisipasi semua pihak yang ikut dalam suatu proses komunikasi, demi tercapainya suatu fokus bersama dalam memandang permasalahan yang dihadapi.

Dengan perkataan lain, pendekatan ini bertolak dari dialog antar semua pihak. Kegiatan berkomunikasi ini adakalanya menyesuaikan akan ketersediaan teknologi, tergantung pada tujuan masing-masing. Teknologi komunikasi baru adalah salah satu pendorong perubahanperubahan sosial di masyarakat. Modernisasi teknologi komunikasi menyebabkan pengawasan masyarakat menjadi lebih penting, walaupun lebih sukar dilaksanakan (Rogers, 1986). Media komunikasi adalah alat kultural yang mendorong atau mempengaruhi sikap, memberi motivasi, mengembangkan pola tingkah laku dan menyebabkan integrasi social (MacBride, 1983).

Keberadaan media komunikasi dengan konsep etika media massa, merupakan upaya penyebaran informasi dan interpretasi yang subyektif mungkin. Media massa berperan sebagai penghubung antar kelompok sosial dengan ranah kebangsaan yang bertanggung jawab untuk menyampaikan nilai-nilai luhur. Awalnya media massa hadir untuk memfasilitasi kegiatan interaksi antar individu, masyarakat, lembaga, institusi dan lainnya serta memberikan informasi lintas waktu dan tempat. Seiring perkembangan jaman, saat ini media massa berkembang menjadi pembentuk opini publik. Seringkali, media massa tak ragu-ragu menyatakan opini dan keberpihakan serta membangun wacana dalam masyarakat.

Bagi masyarakat modern, sebagian besar tugas-tugas penyampaian informasi umum dilaksanakan oleh media. Mereka akan memberitahukan hal-hal yang serius yang harus diketahui masyarakat. Apabila norma-norma sosial baru tidak diketahui umum sebagaimana halnya di negara-negara sedang berkembang, maka sebagian tugas media adalah memperluas serta mengenalkan norma-norma yang berhubungan dengan pembentukan perilaku pembangunan melalui media. Beberapa Negara sedang berkembang telah meningkatkan status petani-petani serta pekerja-pekerja terbaik mereka lewat media, demikian juga mereka tidak boleh ragu-ragu menentang kemalasan, pemborosan serta korupsi lewat media. 

Pentingnya alternatif sebagai strategi pemberdayaan manusia dalam konteks perubahan sosial .

Pemberdayaan manusia dalam konteks perubahan sosial

 Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment) berasal dari kata “power” (kekuasaan atau keberdayaan). Untuk iu, ide utama mengenai pemberdayaan ini bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Konsep kekuasaan ini juga sering dikaitkan dengan kemampuan individu untuk membuat orang lain melakukan apa yang diinginkannya, terlepas dari minat dan keinginan mereka. Istilah pemberdayaan memiliki pengertian menurut konteks budaya dan politik.

Pengertian pemberdayaan sebenarnya mencakup kekuatan itu sendiri, kemandirian, pilihan sendiri, kedaulatan hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dianut seseorang atau masyarakat, kapasitas untuk memperjuangkan hak, kemerdekaan, pembuatan keputusan sendiri, menjadi bebas, kebangkitan, dan kapabilitas. Model pemberdayaan masyarakat dapat dibedakan melalui 3 tingkat, yaitu: mikro, meso, dan makro. Pada tingkat Mikro, pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individual melalui bimbingan, konseling, stress management, serta crisis intervention , tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Pada tingkat Meso, pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien, pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Terakhir, pada tingkat Makro, pemberdayaan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobying, pengorganisasian masyarakat, dan managemen konflik merupakan beberapa strategi dalam pendekatan ini.

Bagaimana tentang model pekerjaan sosial dan analisis jaringan sumber dalam memahami proses perubahan social ?. Proses adopsi dan inovasi sebuah teknologi suatu kelompok masyarakat, tidak terlepas dari bentuk penyikapan individu atau kelompok sosial yang menerima teknologi tersebut. Sikap individu yang satu dengan yang lain sudah tentu berbeda. Ada dua pendapat utama yang memperlakukan teknologi dalam kehidupan manusia.

Pertama, teknologi dianggap netral, tergantung dari kelompok masyarakat yang mendukungnya. Kedua, teknologi dianggap berpihak pada kelompok pemodal, pemegang kekuasaan. Adopsi teknologi snagat dipengaruhi pandangan tersebut. Salah satu upaya untuk memperkenalkan teknologi tersebut adalah melalui pemberdayaan sosial. Untuk itu diperlukan sebuah strategi pemberdayaan sosial, salah satu melalui model pendamping. Model ini memosisikan pendamping sebagai moderator, fasilitator, motifator, transformator, dinamisator dan sebagainya, sehingga terjadi proses transfer of knowleage. Posisi pendamping dalam proses ini adalah sebagai seorang “pekerja sosial” yang memandu anggota masyarakat menyelesaikan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi.

Model pekerja sosial pada intinya merupakan sebuah proses pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan aktor-aktor tertentu yang diposisikan sebgai seorang pekerja sosial. Fokus utama pekerja sosial adalah meningkatkan keberfungsian sosial merupakan hasil interaksi individu dengan berbagai sistem sosial di masyarakat.

Pendidikan Alternatif Sebagai Strategi Pemberdayaan

Berbicara tentang pendekatan pendidikan alternative sebagai bagian dari strategi pemberdayaan, hal seperti ini bukan tergolong mudah. Proses pendidikan pada dasarnya merupakan sebuah proses penyadaran (freire), ada juga yang menyebut pendidikan sebagai upaya yang dilakukan individu atau kelompok untuk memperoleh ilmu, memperolrh suatu pencerahan untuk mencapai derajat kehidupan yang lebih baik. Pendidikan alternatif dapat dipakai sebuah praktik pendidikan yang berbasis pada kepentingan masyarakat. Pemaknaan ini lebih didasarkan pada sebuah asumsi bahwa orang yang membutuhkan pendidikan adalah masyarakat, untuk itu masyarakatlah yang palinh tahu mengenai apa yang ia butuhkan untuk kehidupannya. Proses ini harus menyatu dengan perkataan dan tindakan (freire).


Kerangka Pemberdayaan – PEKKA ID

Konseptual tentang manusia sebagai obyek pembangunan dan Strategi perubahan sosial, dan Strategi dasar perubahan sosial yang perlu dibangun / lakukan.

Dalam pandangan lain tentang perubahan social dan penyimpangan dalam perubahan tersebut, para ahli lain yakni Martono (2011:9) berpandangan bahwa perubahan sosial berkaitan dengan teori perspektif struktural fungsional. Pandangan tersebut bahwa masyarakat adalah sebuah sistem yang stabil dan memiliki tatanan sosial relatif stabil dan terintegrasi dalam kehidupan seharihari. Pada pandangan tersebut terlihat bahwa kestabilan dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat dianggap sebagai kondisi dan situasi yang stabil dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sebagai penyimpangan. Menurut perspektif struktural fungsional bahwa perubahan sosial diabaikan dalam kehidupan masyarakat dan masyarakat dalam kondisi yang statis atau tetap untuk melakukan aktivitas kehidupan.

Pemahaman teori perspektif struktural fungsional bahwa masyarakat merupakan sistem yang berada dalam keseimbangan (equiliberium). Mekanisme yang dimiliki oleh masyarakat menjadikan dirinya dan menempatkan posisi serta kemampuan tetap dalam situasi dan kondisi yang seimbang. Dengan demikian, jika dalam kehidupan masyarakat melakukan perubahan secara cepat mengakibatkan rusaknya sistem. Masalah perubahan sosial, dapat kita lihat pada mitos tentang trauma yang menyatakan bahwa perubahan adalah abnormal yang dihubungkan dengan pemikiran yang menyatakan, perubahan bersifat traumatis (Lauer, 1993:11). Pada mitos ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat merupakan sesuatu yang abnormal. Pemikiran tersebut berorientasi bahwa perubahan sebagai siksaan yang terjadi akibat krisis dan terjadinya campur tangan yang tidak bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat. Pandangan tersebut mengambarkan bahwa ada beberapa penyebab terjadi penghambat perubahan dan pembangunan dalam masyarakat yaitu nilai-nilai budaya, stratifikasi, sikap, ketimpangan sosial dan pengalaman dari masyarakat tersebut.

Pandangan mengenai sebab terjadinya perubahan sosial juga dikemukakan oleh Spicer yang menyatakan bahwa orang selalu mengubah menurut cara-cara mereka, akan tetapi orang akan merintangi perubahan karena ada tiga hal yang melatarbelakangi yaitu, jika perubahan itu dibayangkan dapat mengancam keamanan mendasar, jika perubahan itu tidak dipahami dan jika perubahan tersebut dipaksa oleh mereka. Menurut Spicer bahwa perubahan dalam kehidupan masyarakat berkaitan dengan ketegangan yang dialami. Jika dalam masyarakat mengalami perubahan secara cepat mengakibatkan individu atau kelompok masyarakat belum bisa menerima atau belum siap untuk melakukan perubahan yang terjadi, sehingga masyarakat atau individu mengalami keguncangan masa depan (future shock) yang disebut dengan istilah culture shock. Hal tersebut mendasari bahwa masyarakat harus mampu penyesuaian dengan kondisi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Berbeda pandangan mitos perubahan satu arah dan pandangan utopia yang berkaitan dengan kaum evolusioner. Dalam konteks sosiologi pada teori evolusi sosial, bahwa semua masyarakat melakukan sebuah jalan atau tujuan yang seragam dan menempuh jalan tersebut yang seragam pula untuk mencapai suatu tujuan kehidupan ini (Lauer, 1993: 18). Pada mitos satu arah ini berkaitan juga dengan teori konvergensi atau teori kontradiksi yaitu masyarakat modern dan tradisional. Pada dasarnya teori ini berorientasi pada determinisme teknologi yang mengalami perubahan dan perkembangan dalam kehidupan masyarakat. Kita bisa melihat perkembangan suatu negara dari kemajuan teknologi. Masa dulu teknologi yang digunakan bersifat tradisional dan belum mengalami kemajuan. Hal ini kita terlihat sebagai dua sisi mata uang yang mempunyai maksud dan nilai yang sama. Negara dibentuk untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan masingmasing negara sangat berbeda terhadap aktivitas dalam sebuah kemajuan. Pandangan tersebut yang mendasari bahwa setiap orang melakukan tindakan yang menuju satu tujuan yang sama dan menempuh jalan atau langkah yang sama dalam mencapai suatu tujuan tersebut.

Perspektif di atas memperlihatkan adanya faktor yang mendorong terjadi perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya kata-kata sebab dan akibat. Artinya sebab terjadinya perubahan ada beberapa hal, misalnya stratifikasi, ekonomi, politik, dan sebagainya. Sedangkan akibat perubahan menimbulkan kekacauan dan kegelisahan masyarakat terhadap perubahan yang terjadi. Kajian tersebut membahas tentang strategi sosial yang akan digunakan dalam menghadapi perubahan sosial. Pada buku ini penulis mencoba menguraikan ada beberapa strategi baru yang digunakan masyarakat setelah terjadinya perubahan mata pencaharian, yang merupakan mata pencaharian utama untuk bisa bertahan hidup. Hal tersebut terjadi pada Desa Putri Puyu di mana mata pencaharian sebagai penebang kayu di hutan merupakan mata pencaharian utama masyarakat untuk bisa bertahan hidup. Akan tetapi, dengan adanya larangan pemerintah untuk tidak melakukan aktivitas di hutan sebagai mata pencaharian utama masyarakat Desa Putri Puyu, mengakibatkan tidak terpenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat, sedangkan selama ini segala kebutuhan dan keinginan masyarakat dapat terpenuhi. Hal ini terlihat bahwa perubahan mata pencaharian pada sektor ekonomi berpengaruh terhadap masalah yang timbul dalam kehidupan masyarakat setempat.

STRATEGI DASAR PERUBAHAN SOSIAL

Dalam dalil yang umum dikatakan bahwa setiap upaya penciptaan perubahan sosial, memerlukan suatu strategi tertentu yang perlu diperhatikan. Terdapat beberapa strategi perubahan sosial yang dapat diterapkan yaitu:

a.    Strategi fasilitatifAgen perubahan sosial dalam strategi ini bertindak sebagai fasilitator yang menyediakan berbagai sumber daya, informasi dan sebagai saran konsultasi. Strategi ini lebih sesuai diterapkan pada kelompok yang memiliki beberapa karakteristik, yaitu : menganggap bahwa suatu masalah yang dihadapinya membutuhkan suatu perubahan; terbuka untuk menerima bantuan dari pihak luar; serta mengharapkan terlibat dalam mengubah dirinya.

b.    Stratego redukatifStrategi ini digunakan apabila diketahui adanya hambatan-hambatan sosial budaya dalam upaya penerimaan suatu inovasi, terutama berkaitan dengan kelemahan pengetahuan atau pendidikan dan keterampilan dalam memanfaatkan suatu inovasi.

c.    Strategi persuasifStrategi ini merupakan upaya melakukan perubahan masyarakat dengan cara membujuk masyarakat tersebut untuk melakukan perubahan. Strategi ini menekankan kemampuan pada agen perubahan dalam dua hal, yaitu: menyusun dan menyeleksi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh suatu masyarakat dan berupa untuk mencarikan jalan keluarnya; dan mengunakan bujukan melalui keterlibatan perasaan dan antisipasi terhadap faktor nonrasional, yaitu mempertimbangkan nilai-nilai budaya lokal.

d.    Strategi kekuasaan. Strategi kekuasaan merupakan strategi yang digunakan untuk melakukan perubahan dengan cara paksaan, menggunakan kekerasan atau ancaman. Strategi ini sering kali mendapat pandangan negatif atau tidak mengenakkan, karna kelompok sasran berada pada bayang-bayang ketakutan atau kecemasan akan terjadinya perubahan. Strategi ini diperlukan mengingat kekerasan mempunyai hubungan yang signifikan dengan perubahan sosial.

e.    Strategi kekerasan versus nonkekerasanPenggunaan kekerasan memang efektif dan tampaknya diperlukan dalam beberapa situasi. Namun strategi kekerasan harus diposisikan sebagai strategi alternatif terakhir ketika strategi lain tidak mampu memengaruhi perubahan tertentu. Menurut pandangan Mao, jenis perubahan tertentu memerlukan kekerasan, sedangkan perubahan yang lain perlu dilakukan secara nonkekerasan. Strategi nonkekerasan dapat dicapai melalui musyawarahn metode demokrasi, kritik, persuasi (bujukan) serta pendidikan.

Sabtu, 24 Oktober 2020

Ragam Resistensi Dalam Proses Perubahan Sosial

RAGAM RESISTENSI DALAM PROSES PERUBAHAN SOSIAL.

Dalam pembahasan ini, beberapa tingkatan dan karakteristik resistensi dalam proses perubahan sosial suatu masyarakat tertentu, seperti resistensi yang dilakukan oleh masyarakat Angkringan, Desa Timbulharjo, Jawa Tengah dapat dilihat dari sebuah hasil penelitian ilmiah yang telah dilakukan oleh Maryani (2011:169-188), yakni: 

Pertama, resistensi masyarakat melalui media komunitas berhadapan langsung dengan birokrasi yang korup di desa. 

Kedua, resistensi masyarakat terhadap nilai-nilai luar yang dianggap tidak sesuai. 

Ketiga, resistensi masyarakat terhadap media mainstream. 

Keempat, resistensi masyrakat terhadap kebijakan komunikasi yang memarjinalkan kepentingan masyarakat komunitas. 

Kelima, resistensi masyarakat terhadap nilai-nilai patriarki.
a. Resistensi terhadap Birokrasi

Resistensi masyarakat melalui media komunitas berhadapan langsung dengan birokrasi yang korup. Perlawanan ini tidak dilakukan secara frontal / menggunakan kekerasan, akan tetapi melalui pesan-pesan moral atau tembang-tembang Jawa yang mengingatkan para pelaku setiap kesempatan siaran. Dengan cara seperti ini memungkinkan komunitas terus melakukan dan mempertahankan perlawanannya. Resistensi dengan cara seperti ini terbukti lebih mudah mendapatkan dukungan dari warga dan sulit dihentikan begitu saja oleh penguasa.

Ada dua sumber yang terus menjadi pemicu kekuatan untuk melakukan resistensi dari masyarakat. Pertama, dari aspk budaya Jawa. Dalam hal ini, secara budaya apa yang dianggap penyelewengan jelas ditekankan harus mendapat hukuman. Kata seorang tokoh budaya Jawa yang mengelola Rumah Budaya Tembi, menegaskan; “Kalo salah, seharusnya diberi hukuman sesuai hukum yang ada”. Selain itu, budaya Jawa juga meyakini, bahwa orang yang melakukan pelanggaran terhadap aturan akan mendapat hukum karma dari Tuhan. Kedua, proses pencerahan yang didasarkan pada perdebatan berdasarkan informasi yang dapat diakses atau dimiliki. Anggota masyarakat sering kali menjadi pemasok data penyimpangan birokrat dan menjadi sumber data yang akurat atas penyimpangan itu, dan atau menyebarkan pesan berupa cuplikan peristiwa penyimpangan birokrat yang terjadi di daerah / masyarakat lain di luar Angkringan.

b. Resistensi terhadap nilai-nilai luar yang dianggap tidak sesuai

Nilai-nilai budaya Jawa dengan segala tata krama dan filosofinya masih ingin dipertahankan oleh komunitas di Timbulharjo. Ketakutan / kekhawatiran tentang hilangnya budaya Jawa cukup sering terungkap. Terdapat kesadaran bahwa Budaya Jawa harus menjadi kekuatan untuk menghadapi budaya luar yang merek anggap tidak sesuai dengan budaya Jawa. Seorang Kordinator dan pengisi acara Slawatan Radio Angkringan, mengatakan, “kalo bisa, budaya asli itu jangan lenyaplah, jangan sampai etiket sopan santun, terutama kesusilaan, kurang. Jangan sampai budaya kita terdesak oleh budaya luar”.

Kecemasan yang dirasakan oleh mereka tentang tergerusnya nilai etika moral dalam budaya Jawa adalah menjadi alasan mereka merasa harus berupaya untuk memberikan pemahaman / menyadarkan para kalangan anak muda khususnya tentang pentingnya nilai-nilai budaya lokal / Jawa, sembari pemaknaan atas kata “kalo bisa” seperti di atas bahwa sesungguhnya gerakan mempertahankan nilai budaya jawa dengan menghindari konflik terbuka di antara masyarakat yang juga merupakan bagian dari nilai budaya Jawa.

c. Resistensi terhadap media
Untuk melakukan resistensi diperlukan informasi dan kesadaran masyarakat yang meluas melalui bantuan media. Kebutuhan itu tidak mungkin dipenuhi oleh media mainstream walaupun cakupannya lokal. Sebagai media lokal tentunya media mainstream tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan mereka, misalnya memberitakan pemilihan Lurah di Desa mereka. Untuk itu kebutuhan mereka terhadap media untuk mengangkat permasalahan dan informasi seputar Timbulharjo haruslah mereka bangun sendiri di komunitasnya. Jadi, keberadaan media komunitas Angkringan adalah untuk menutupi celah ruang yang tidak dapat dijangkau / digarap oleh media lain. Pemilihan Lurah / pemimpin lokal merupakan hal penting untuk menjadi garapan media komunitas, karena event ini tidak mungkin masuk dalam hitungan media mainstream tingkat lokal sekalipun. Ketika ada pemimpin nasionalpun peliputan media maintream masih mempertimbangkan uang atau keberpihakan politik mereka. Di sini media komunitas menjadi pengimbang dalam melakukan pencerahan politik pada anggota komunitas melalui usaha penyebaran informasi yang akurat dan obyektif bagi calon pemimpin yang akan tampil.

Selain itu, keberadaan media maintream dianggap berperan penting dalam menyebarluaskan nilai-nilai budaya dari luar yang tidak tepat / tidak sesuai dengan filosofi budaya Jawa yang menjadi panutan bagi anggota komunitas. Pengelola media komunitas Angkringan menegaskan bahwa keberadaan media komunitas ini adalah sekaligus memosisikan diri sebagai lambang perlawanan terhadappesan-pesan yang disebarkan oleh media lain. Media Angkringan selalu berusaha memproduksi dan menyebarkan pesan-pesan yang berlawanan dengan media umumnya. Media mainstrean juga dianggap menyebarkan pesa-pesan yang melakukan pembodohan ajaran agama pada masyarakat.

d. Resistensi terhadap kebijakan pemarjinalan media lokal dan komunitas

Secara historis munculnya Angkringan dilihat dari aspek sosial dan politik secara makro adalah terjadinya reformasi di Indonesia dan berkembangnya semangat untuk mengembangkan demokratisasi. Desakan masyarakat terhadap adanya deregulasi di bidang penyiaran yang dapat mengurangi dominasi media mainstream secara nasional. Legalitas media komunitas sebagai pengakuan pada hak komunitas yang sebelumnya sering dianggap sebagai penyiaran tak legal juga diakui secara regulatif. Peraturan pemerintan No. 51 tahun 2005 tentang lembaga penyiaran komunitas yang telah menjadi perdebatan dan dipermasalahkan oleh para pengelola media komunitas karena dianggap mencerminkan ketidakpahaman mngenai situasi dan kondisi komunitas yang beragam sehingga isinya sangat merugikan / menghambat perkembangan media komunitas.

Untuk melakukan perlawanan terhadap kebijakan itu, maka Angkringan sebagai media komunitas memahami keterbatasan kekuatannya. Mereka sadar tidak mungkin melakukan sendiri karena mereka hanya media kecil dan melibatkan komunitas kecil. Akan tetapi mereka sadar bahwa masih ada ratusan media komunitas yang mengalami nasib yang sama dengan mereka. Kondisi itu kemudian melahirkan kesadaran untuk bekerja sama dengan berbagai media komunitas lainnya dalam memperjuangkan keberadaan mereka secara legal. Media Angkringan membangun jaringan dengan jaringan-jaringan media komunitas lain seperti Jaringan Radio Komunitas Yokyakarta (JRKY), Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI). Dengan demikian, mereka semakin sadar akan lawan bersama, lalu bergerak bersama memperjuangkan kepentingan bersama menghadapi berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang tidak berpihak atau merugikan kepentingan media komunitas. Bahkan perjuangan mereka sampai pada penjaringan hubungan dengan media komunitas internasional seperti Asociation Mundial de Radio Communitarias (AMARC) yang beranggotakan 3000 media komunitas dari 110 negara. Karena itu, perjuangan mereka akan tetap eksis dengan melakukan perlawanan secara bersama-sama terhadap segala bentuk kebijakan pemerintah yang mencoba memarjinalkan kepentingan mereka.

e. Resistensi terhadap nilai-nilai patriarki

Keberadaan perempuan dalam masyarakat harus diakui belum sepenuhnya lepas dari dominasi budaya patriarki, yang harus diakui memarjinalkan kaum perempuan. Secara budaya perempuan dibatasi ruang geraknya dan mendapatkan tekanan dari lingkungannya karena ia perempuan, suka atau tidak suka. Perempuan diposisikan dalam lingkup domistik baik peran maupun aktivitasnya. Di dalam kasus Angkringan beberapa perempuan secara sadar melakukan resistensi tersebut dengan terus terlibat di Angkringan walau awalnya dilarang oleh keluarga mereka karena dinilai negatif oleh tetangganya.

Para perempuan sadar bahwa di angkringan mereka memperoleh ilmu secara gratis. Mereka sadar adanya belenggu adat istiadat terhadap perempuan dan kebanyakan perempuan menerima begitu saja belenggu adat istiadat dimaksud. Karena itu dibutuhkan usaha untuk memperluas kesadaran akan hak-hak perempuan yang selama ini banyak dibatasi oleh laki-laki. Kesadaran ini sangat dibutuhkan agar resistensi dapat mereka lakukan melalui media komunitas khususnya.

SOLUSI ATAS RESISTENSI.

Beberapa macam solusi yang dapat dilakukan media komunitas dalam rangka menghadapi dan atau mencita-citakan perubahan yang lebih baik, sebagai berikut:

a. Terus membangun kesadaran masyarakat untuk konsisten menolak berbagai bentuk dominasi di tengah masyarakat.

b. Melakukan perjuangan terhadap penyakit lama birokrasi yang merugikan warga.

c. Memperjuangkan secara terus menerus agar media nasional, regional, lokal, dan media komunitas konsisten sebagai Ruang Publik.

d. Membangun kompetensi komunikasi para anggota komunitas dan jaringan agar tuntutan melakukan resistensi bisa semakin berkualitas.

e. Resistensi antara Ide, praktek dengan keberlangsungannya perlu menjadi perhatian pengelola media komunitas, sehingga perjuangan media komunitas tetap eksis dan semakin berkualitas.






Asumsi untuk sebuah harapan dalam konteks perubahan dan beberapa faktor penyebab perubahan (internal dan eksternal), serta dan Dampak perubahan dan komunikasi.

 Bagaiman strategi komunikasi untuk menciptakan perubahan melalui pendekatan “bentuk-bentuk” komunikasi ?

Dari setiap bentuk komunikasi itu, “bagaimana kita memandang / memperlakukan masing-masing unsur/komponen pokok komunikasi” dalam perumusan strategi itu. Dari itu, yang dilakukan adalah :
a. Kajian Komunikator / Sumber
b. Kajian Pesan
c. Kajian Media
d. Kajian Komunikan / Khalayak
e. Kajian Efek

Bagaimana tentang asumsi untuk sebuah harapan dalam konteks perubahan ?

Untuk menjawab pertanyaan ini maka perlu dipahami hal-hal berikut. Pemikiran strategis / perencanaan merupakan hal yang umum dalam bidang komunikasi terkait adanya cita-cita perubahan sebagai efek. Di arena politik misalnya, membutuhkan pemikiran strategis / perencanaan terutama oleh komunikator politik / manajer politik, karena hal itu dapat membentuk basis bagi pelaksanaan komunikasi politik yang efektif. Pemikiran strategis / perencanaan dalam konteks komunikasi politik mengandung peran penting, yakni:
a. Menggugah para politisi untuk menjadikan pemikiran strategis / perencanaan yang melampaui sekedar taktik sebagai dasar bagi setiap event komunikasi politik yang penting.

 b. Memberikan dorongan kepada politisi untuk menggunakan pendekatan strategis jangka panjang dalam praktik politik.

Demi terciptanya kesejahteraan rakyat secara holistik dan sustainable, tentu dalam kualitas yang dapat dijamin. Pemikiran strategis / perencanaan politik adalah sangat penting untuk memberikan kontribusi transparan tentang pemahaman yang lebih baik terhadap hal-hal, misalnya :
a. Nilai-nilai demokrasi. 
b. Proses dan arah demokrasi,
c. Institusi-institusi demokrasi.
d. Tujuan demokrasi.

Lalu apa yang dapat kita tawarkan tentang pemikiran strategis / perencanaan terhadap proses politik dimaksud?, yakni sebagai berikut:

a. Penyampaian sebuah kesadaran bahwa strategi itu penting; kesadaran bahwa “inspirasi surgawi” seorang politisi / manajer politik / konsultan politik yang muncul secara tiba-tiba tidaklah mampu untuk mengimplementasikan berbagai macam kebijakan / program politik.

b. Siapapun yang bercita-cita mencapai suatu efek jangka panjang maka haruslah membuat rencana yang lebih sekedar pemuasan segera atas keinginannya untuk memperoleh / mempertahankan kekuasaan. Karena itu, kontinuitas dan kehandalan capaian harus masuk akal.

c. Gerakan perubahan politik dengan mengesampingkan revolusi dan kudeta hanya dapat dicapai bersama rakyat yang terpengaruh oleh perubahan-perubahan dimaksud.

d. Perubahan politik adalah suatu Proses yang panjang dan sulit.

e. Menciptakan perubahan ke dalam parameter sosial dapat diumpamakan seperti berenang di dalam kolam yang berisi lem yang pekat, atau meminjam term Weber, “seperti melubangi papan yang tebal”.

Apa yang menjadi pemikiran strategis atau perencanaan dalam konteks perubahan politik khususnya ?, perlu dipahami hal-hal sebagai berikut:

a. Arti kata “strategi” awalnya berasal dari konsep militer. Dan kata “strategi” berasal dari bahasa Yunani yakni “strategia”, artinya kepemimpinan atas pasukan, seni memimpin pasukan

b. Pertimbangan strategis memainkan peranan ketika sekelompok orang butuh dipimpin dan diberi pengarahan.

c. Di awal masa industrialisasi, term “strategi” dipakai sebatas konotasi militer saja. Baru setelah itu kepemimpinan atas sejumlah besar orang diperlukan di bidang ekonomi dan kemudian pengertian “strategi” meluas, hingga lahirlah strategi manajerial untuk memudahkan pengelolaan orang-orang dalam sebuah organisasi, bahkan sampai berkembang ke bidang politik.

d. “strategi” di ranah politik diperlukan karena politik bertujuan memimpin kelompok besar masyarakat / anggota partai politik dan organisasi ke arah sasaran khusus.

e. Karena itu, setiap pemikiran dan perencanaan yang diarahkan pada tujuan khusus dan sengaja dijalankan dengan bersandar pada tujuan dimaksud, sebenarnya merupakan “Perencanaan Strategis”.

f. Penggunaan pemikiran strategis yang kemudian berkembang di berbagai bidang telah menempatkan “strategi” dan “taktik” pada makna dan level penggunaan yang berbeda antara keduanya.

g. Secara filosofis, Carl von Clausewitz mendefinisikan hakekat perang yang berlaku hingga kini.

1. “Taktik” adalah ajaran tentang pemanfaatan angkatan perang dalam pertempuran.

2. “Strategi” adalah ajaran tentang pemanfaatan pertempuran untuk tujuan perang.

h. Menurut Clausewitz, angkatan perang merupakan sarana untuk mencapai tujuan perang itu sendiri yaitu memperoleh kemenangan. Tetapi kemenangan itu hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan akhir dari strategi, yakni perdamaian.

i. Dengan demikian, semakin tinggi tingkat “strategi”, akan semakin meujud menjadi politik yang berkesinambungan, hingga akhirnya tidak ada perubahan lagi.


Menurut pandangan Clausewitz, bahwa yang menjadi tujuan “strategi” dalam kajian politik adalah:

a. Bukan kemenangan yang nampak dipermukaan, melainkan terujud suatu kedamaian.

b. Dalam perencanaan strategi politik, untuk memahami tujuan apa yang tersembunyi di balik tujuan akhir sebuah kemenangan pemilu; jangan-jangan strategi politik adalah perlombaan yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri, memperoleh kekuasaan semata, dan banyak tujuan tersembunyi lainnya.


Pertanyaan lain adalah mengapa diperlukan pemikiran strategis atau perencanaan dalam komunikasi politik?, jawabnya sebagai berikut:

a. Pertarungan untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh.
b. Membedakan antara perencanaan taktis dan perencanaan strategis.
c. Pengaruh berbagai budaya terhadap perumusan strategis.

Bagaimana “politik dan strategi” bisa berjalan seiring sejalan ?”. 
Jawaban yang biasa muncul adalah; “kita tidak sedang berada dalam situasi perang”, atau “lawan politik kita bukan musuh”, atau “maksud dan gagasan kita sangatlah baik sehingga kedua hal tersebut dapat terujud tanpa strategi sekalipun”. Setiap ide politik yang dikemukakan oleh pemangku politik, mengandung efek:

a. Dapat memecah masyarakat pada saat ide tersebut diumumkan, Karena ide itu akan merubah keadaan, Setiap keadaan selalu ada pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan. Nicolo Machiavelli menegaskan, “setiap perubahan menciptakan adanya pihak yang menang dan pihak yang kalah. Hal ini hampir selamanya begitu, karena dalam politik, kecenderungan yang berlaku adalah yang dikenal dengan istilah “permainan jumlah nol. Oleh karena itu, setiap ide pasti akan memiliki pendukung dan penentang”.

Masi kata Machiavelli, “Itulah sebabnya semua nabi yang bersenjata memenangkan pertempuran dan yang tidak bersenjata mengalami kekalahan. Disamping yang sudah saya katakan, masyarakat biasanya memiliki sifat plin-plan; mereka sangat mudah diyakinkan untuk melakukan sesuatu, tetapi sangat sulit dipertahankan semangatnya agar tidak menyerah”.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka dalam komunikasi politik kita perlu membedakan antara perencanaan taktis dan perencanaan strategis, sebagai berikut:

a. Syarat untuk sebuah perencanaan taktis adalah adanya perencanaan strategis.

Perencanaan taktis hanya bermanfaat apabila sebuah strategi direncanakan secara cermat.
Perancanaan taktis menjawab pertanyaan: apa, kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa.
Keputusan di tingkat taktis digunakan untuk mencapai setiap tujuan strategis. Hal ini sangat bergantung pada pengetahuan tentang konteks, ruang lingkup, dan kemampuan pribadi pemangku politik.
Karenanya, perencanaan taktis hendaknya tidak direncanakan di tingkat strategis, melainkan oleh pimpinan yang ada di tingkat taktis, karena pimpinan ditingkat ini memiliki pengetahuan yang cukup yang dibutuhkan untuk sebuah perencanaan taktis.
Keputusan mendasar pada perencanaan taktis yang faktanya ditetapkan oleh strategi dan sekaligus oleh perencanaan jadwal dan operasional, merupakan sarana untuk implementasi strategi.
Tanpa perencanaan taktis dan opersional, sebuah strategi bisa saja ada, tetapi tidak akan efektif karena tidak diimplementasikan. Karena itu, implementasi strategi maupun perencanaan taktis adalah hal yang sangat penting.
Di mata para pembual, perencara taktis kerap direndahkan sebagai pihak yang hanya mengambil keputusan jangka pendek, karena keputusan itu tidak terintegrasi dengan strategi secara menyeluruh, dituding tidak memiliki tujuan dan arah. Dengan demikian, hal itu bukan merupakan keputusan yang taktis, melainkan hanya mencerminkan sikap para aktivis semata. 

Contoh, keputusan UU Pilkada tidak langsung oleh Dewan baru-baru ini.
Perencana taktis yang sesungguhnya akan bergerak dalam rencana yang bersandar pada kerangka kerja / pedoman strategis dan penggunaan pengetahuan yang tepat tentang situsi lingkungan, dan secara terampil dapat memanfaatkan situasi untuk keberhasilan yang gemilang, bersifat holistik, dan sustainabel.
Selain itu, bagi seorang perencana komunikasi politik perlu memahami pengaruh berbagai budaya terhadap perumusan strategis, sebagai berikut:

a. Perlu diingat bahwa mekanisme pengambilan keputusan strategis dan pemikiran strategis tidak bergantung pada perbedan geografis, budaya, ataupun perbedaan lainnya.

b. Strategi diarahkan pada sebuah penolakan sasaran.

Untuk mencapai sasaran dimaksud, prasyarat yang dibutuhkan dibuat melalui perencanaan. Hal ini berlaku sama di seluruh dunia.
Bagaimanapun, BUDAYA akan mempengaruhi jenis strategi yang diambil, karena budaya merupakan bagian dari kondisi lingkungan yang spesifik, meskipun pengaruhnya akan jauh lebih besar di tingkat taktis.
Pada akhirnya, apakah itu budaya terbuka terhadap sikap berkonflik ataupun budaya yang berlandaskan pada konsensus (musyawarah-mufakat) hanya relevan untuk keputusan-keputusan taktis. Jika tidak tentu tidak akan terjadi perang / konplik di belahan dunia. Justeru di negara yang menganut musyawarah-mufakatlah kerap terjadi konflik dalam bentuk perang atau kekerasan.
Faktor budaya seperti; orientasi agama, sosial, latar belakang sejarah, bentuk komunikasi tertentu, dsb, patut diperhitungkan dalam penyusunan strategi dan taktik. Namun faktor itu tidak kalah penting dari pada faktor lain seperti struktur kebutuhan, kerangka hukum, atau struktur organisasi, yang pada dasarnya sudah dibentuk oleh pengaruh budaya.
Intinya, pada saat membuat perencanaan, menyusun strategi harus memperhatikan keadaan lingkungan secara umum, termasuk faktor budaya.

Terdapat beberapa metode perencanaan strategis yang dikenal di dalam aktivitas politik, sebagai berikut:
a. Model kemiliteran.
b. Model perencanaan korporasi.
c. Model perencanaan politik.

Dalam pandangan mintzberg telah merumuskan mazhab terhadap pembentukan strategi, sebagai berikut:
a. Mazhab Desain, yakni memandang perencanaan strategi sebagai sebuah proses konseptual yang non-formal, yang merupakan ciri khas dari gaya kepemimpinan yang penuh percaya diri. Model / pola mazhab desain ini dikenal dengan istilah “SWOT” (Strength=Kekuatan, Weakness=Kelemahan, Opportunities=Peluang, dan Threats=Ancaman).

b. Mazhap Perencanaan, Pada mazhab ini menekankan posisi pemimpin sebagai pemegang peranan kunci.
Mazhap Posisi, menekankan pada isi strategi (pembedaan, diversifikasi, dsbnya), tidak terlalu mementingkan proses pembentukan strategi itu sendiri.

Selain ketiga mazhab di atas, terdapat enam mazhab tambahan untuk diketahui, yakni:

a. Mazhab Wirausaha, perencanaan strategi sebagai proses viioner dari seorang pemimpin dengan sifat kepemimpinan yang kuat.

b. Mazhab Pembelajaran, strategi berasal dari sebuah proses pembelajaran kolektif.

c. Mazhab Politik, strategi yang memusatkan perhatian pada konflik dan eksploitasi kekuasaan dalam sebuah proses.

d. Mazhab Budaya, menekankan dimensi kolektif dan koperatif dari sebuah proses.

e. Mazhab Lingkungan Hidup, menekankan pembentukan strategi sebagai jawaban yang pasif terhadap kekuatan eksternal.

f. Mazhab Konfigurasi, berusaha menyatukan semua mazhab dengan mengaitkannya pada konteks episode yang berbeda dalam sebuah proses.
Sebagai ilustrasi tentang model strategi dalam proses perang, kita dapat memahami melalui salah satu model strategi yakni model kemiliteran, sebagai berikut:

a. Seorang perencana perlu memiliki pengetahuan dasar dan wawasan mengenai konsep dan prinsip perang, bisa dengan cara membaca karya Admiral J.C. Wylie (1967) yakni “Military Strategy: General Theory of Power Control”.

Tujuan awal seorang perencana strategi dalam perang adalah memiliki kontrol atas musuhnya. Kontrol terjadi melalui suatu pola perang yang dimanipulasi dengan cara agar titik berat perang tersebut bergerak ke arah yang menguntungkan si perencana strategi dan merugikan musuh.
Titik berat perang menentukan hasil perang tersebut. Karena itu, tujuan utama strategi adalh memindahkan titik berat perang bagi keuntungan pihak sendiri.
Hal itu bergantung pada beberapa faktor; hakekat perang, tempat dan waktu perang, serta bobot titik berat perang.
Dalam hubungan dengan Model Kemiliteran di atas, beberapa konsep yang perlu dipahami, menurut Clausewitz, Perang adalah suatu tindakan kekerasan untuk memaksa musuh agar memenuhi kehendak kita. Musuh tidak boleh dibinasakan, tetapi hanya boleh dikalahkan, karena kita tidak akan bisa memaksakan kehendak kita kepada musuh yang sudah tiada. Perang laut klasik adalah pengadaan dan penggunaan kontrol rute laut dan selat kerap sangat menentukan bagi penataan kekuasaan di darat dan di udara. Ini untuk kepentingan keselamaan pasukan dan logistik perang. Pengawasan udara yang penting adalah untuk menjaga teritorial darat. Menghancurkan angkatan perang udara musuh sebelum mereka memiliki peluang menyerang adalah cara paling praktis untuk menghindar dari serangan mereka terhadap angkatan perang sendiri. Perang darat, medan perang menetukan jenis pertempuran yang dapat diterapkan, jenis persenjataan yang digunakan, jenis pasukan, dan jenis gerakan yang dilakukan. Perang gerilya, yang menjadi tujuan utama bukanlah memenangkan pertempuran yang menentukan, melainkan membuat kerugian atau kerusakan sebesar-besarnya pada pasukan musuh, dan menghancurkan semangat musuh dengan menggunakan satuan-satuan kecil yang independen. Strategi ini sangat berguna jika pihak musuh memiliki kekuatan perang yang lebih besar, dan medan yang dipilih memungkinkan jenis perang ini. Anda bia membaca strategi perang gerlya Cina-Jelang di bawah MAO TSE-Tung sebagai awal jenis perang ini, dan perang Vietnam dengan evektivitas yang sangat tinggi.

Selain Model Kemiliteran di atas, terdapat model yang lain yang penting dipahami yakni Model Perencanaan Korporasi, sebagai berikut:

a. Perencanaan korporasi merupakan analisis sistematis dan perumusan tujuan yang mengarah ke depan, yang mencakup ara dan pilihan-pilihan bersikap, pilihan optimal yang dimiliki dan penetapan instruksi-instruksi untuk merealisasikannya seara rasional.

b. Strategi produk dan strategi pasar emengikuti aturan klasik perencanaan strategis. Untuk hal ini anda harus belajar strategi korporasi jepang dengan prinsip dasar SUN TZU.

Terdapat model lain yakni Model Perencanaan Politis. Ada dua pola yang diutamakan dalam model ini, yakni:
a. Pola perencanaan berdasarkan analisis SWOT.

b. Pola perencanaan konseptual, ada 3 pase :
1. Analisis Situasi.
2. Keputusan Strategis.
3. Implementasi strategis.

Pola perencanaan konseptual Model Perencanaan Politis, yakni:
a. Misi.
b. Fakta tentang organisasi sendiri.
c. Fakta pesaing.
d. Fakta lingkungan eksternal (faktor sosial, politis, ekonomis, ekologis).
e. Kekuatan dan kelemahan.
f. Sub-strategi.
g. Target image.
h. Tujuan.
i. Kelompok target terkait target image dan tujuan.
j. Pesan kelompok target.instrumen kunci terkait k. kelompok target.
l. Kerangka kerjauntuk publikasi PR.
m. Kerangka kerja untuk perencanaan taktis.
Rencana dan jadwal operasi.

 FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN (INTERNAL DAN EKSTERNAL).
Dalam mempelajari konsep perubahan, dikenal dua penyebab pokok perubahan ini, yakni:

a. Perubahan yang tidak direncanakan dalam ujud gerak / dinamika sosial.

Dalam setiap masyarakat pasti ada dinamika (gerak untuk perubahan). Masyarakat yang dinamis adalah masyarakat yang mengalami berbagai bentuk / macam perubahan yang cepat. Dengan pemahaman seperti itu, kita dapat menempatkan dinamika itu sebagai inti jiwa masyarakat. Banyak pakar perubahan modern yang telah mencurahkan perhatiannya pada masalah-masalah perubahan sosial dan budaya masyarakat. Untuk dapat memetakan dan melihat faktor-faktor pemicu perubahan yang terjadi pada masyarakat modern, yang penting untuk pertama kali kita pahami bahwa para ahli perubahan sering membedakan dua hal, sebagai berikut:

1. Masyarakat perkotaan (urban community)
2. Masyarakat pedesaan (rural community)

Beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat kota (urban community) bila dibandingkan dengan masyarakat desa (rural community), perbedaan mana telah menjadi pemicu terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat, sebagai berikut :

1. Kehidupan keagamaan di kota lebih longgar (secular trend) dibandingkan kehidupan keagamaan di desa (religious trend). Penyebabnya cara berpikir masyarakat kota lebih rasional.

2. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain (individualist). Sedangkan orang desa lebih mementingkan kelompok. Kehidupan keluarga di kota sukar disatukan karena perbedaan kepentingan, politik, agama dan sebagainya. Para individu di kota kurang berani seorang diri menghadapi orang lain dengan latar belakang yang berbeda. Nyatanya kebebesan pada individu di kota tak dapat memberikan kebebasan yang sebenarnya kepada yang bersangkutan.

3. Pembagian kerja diantara warga-warga kota lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata. Dengan latar belakang yang berbeda individu mendalami suatu bidang khusus yang menyebabkan muncul gejala hidup sendirian secara individualistik, yang akhirnya menimbulkan kelompok (small group) yang didasarkan pada pekerjaan, keahlian, dan kedudukan sosial yang sama yang membentuk pembatasan pada pergaulan hidup. Didesa adalah sebaliknya.

4. Kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan lebih terbuka karena system pembagian kerja yang beragam.

5. Interaksi yang terjadi antara individu didasarkan pada factor kepentingan pribadi, tidak seperti interaksi didesa lebih didasarkan pada kepentingan sosial.

6. Jalan hidup yang cepat dikota mengakibatkan pentingnya factor waktu untuk mengejar kebutuhannya. Sebaliknya pembagian waktu didesa lebih longgar berdasarkan musim.

7. Responsif dalam penerimaan pengaruh dari luar. Hal ini sering menimbulkan pertentangan paham antara golongan tua dan golongan muda.

Selain itu, terdapat beberapa faktor pendorong perubahan sosial yang lain. Mengapa orang-orang desa kerap meninggalkan tempat tinggalnya di desa, disebabkan oleh beberapa faktor, sebaga berikut:

1. Lapangan pekerjaan di desa pada umumnya kurang. Ini menimbulkan pengangguran yang tersamar (disguised unemployment).

2. Penduduk desa terutama kaum muda-mudi, merasa tertekan oleh adat-istiadat yang ketat, mengakibatkan suatu cara hidup yang monoton.

3. Di desa tidak banyak kesempatan untuk menambah pengetahuan. Kondisi sosial seperti ini menekan orang menjadi sulit untuk mendapatkan kemajuan hidup.

4. Kurangnya persediaan tempat rekreasi, kalaupun ada jumlahnya sangat minim. Faktor seperti ini bisa menimbulkan rasa jenu berkepanjangan warga untuk tetap bertahan hidup di desa.

5. Bagi penduduk desa yang mempunyai keahlian di luar bertani membutuhkan pasaran yang lebih luas dari hasil produksinya. Ini tidak mungkin didapatkan di desa, melainkan adanya di kota.

Namun juga terdapat beberapa factor pendorong / penarik bagi orang desa pergi ke kota, faktor mana adalah bersumber dari kota, sebagai berikut:

1. Kebanyakan orang desa beranggapan bahwa di kota banyak tersedia lapangan pekerjaan serta merta dengan tingkat penghasilan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat penghasilan di desa.

2. Di kota lebih banyak kesempatan untuk mendirikan usaha karena ditunjang oleh keberadaan Bank atau lembaga-lembaga keuangan lainnya.

3. Kelebihan modal di kota lebih banyak dari pada didesa.

4. Pendidikan lanjutan lebih banyak ada di kota dan lebih mudah untuk berkesempatan untuk masuk sekolah.

5. Kota merupakan suatu tempat yang lebih menguntungkan untuk mengembangkan jiwa dengan sebaik-baiknya dan dengan seluas-luasnya, terutama dalam mencapai keberhasilan hidup.

6. Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam orang dari segala lapisan.

b. Perubahan yang direncanakan melalui resistensi media komunitas.

Perubahan sosial pada tingkat komunitas dapat terjadi melalui adanya usaha sadar / melalui proses perencanaan dari kalangan masyarakat anggota komunitas. Hal ini dapat dilakukan melalui beberapa bentuk resistensi, yakni;

1. Membangun resistensi terhadap terhadap pihak-pihak di dalam komunitas.
2. Membangun resistensi terhadap terhadap pihak-pihak di luar komunitas.
3. Membangun resistensi secara kelembagaan.
4. Membangun resistensi secara verbal.
5. Membangun resistensi secara partisipatif.
6. Membangun resistensi dengan cara mengabaikan.
7. Membangun resistensi secara menyiasati hukum.
8. Membangun resistensi secara berjaringan.
9. Kepemilikan alat-alat komunikasi dan terpaan media.
10. Pertemuan-pertemuan kelompok / anggota komunitas untuk tujuan media literacy.

DAMPAK PERUBAHAN DAN KOMUNIKASI.

Sehubungan dengan perbedaan di atas maka factor urbanisasi sering menjadi sorotan. Urbanisasi selain dimaknai sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota, urbanisasi juga merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan, yang mengakibatkan terjadi “over population” sebagai gejala kota yang umum terjadi di negara agraris dan ekonominya masih terbelakang. Akibat lain dari urbanisasi sebagai salah satu pemicu terjadinya perubahan adalah sbb :

1. Munculnya kota pemerintahan.
2. Munculnya kota perdagangan.
3. Munculnya kota Industri.
4. Munculnya kota percampuran antara kota pemerintahan, perdangangan, dan industry, seperti yang terjadi pada ibu kota Indonesia.

Oleh karena itu, beberapa akibat negatif dari urbanisasi yang terlalu cepat di kota, yang dipicu oleh berbagai faktor yang telah dijelaskan di atas,sebagai berikut :

1. Meningkatnya jumlah kelompok pengangguran di kota.
2. Meningkatnya kualitas dan kuantitas kriminalitas di kota.
3. Masyarakat kota kian dihadapkan pada persoalan perwismaan karena lahan tingga semakin sempit dan mahal.
4. Merebaknya kenakalan / kejahatan anak-anak.
5. Berkembangnya persoalan rekreasi

Konteks Komunitas

Beberapa dampak yang diharapkan dari usaha sebuah perubahan yang dekehendaki melalui usaha resistensi dalam suatu komunitas dapat meujud dalam bentuk sebagai berikut:

1. Anggota komunitas memiliki resistensi terhadap berbagai pengaruh yang datang dari luar.

2. Tumbuhnya kesadaran akan relasi kuasa di antara anggota komunitas.

3. Terbangunnya resistensi masyarakat di luar komunitas yang memiliki hubungan jaringan dengan media komunitas sebagai dampak perluasan jaringan komunitas untuk resistensi.

4. Terbangunnya resistensi secara kelembagaan terhadap lembaga formal dan informal yang ada di desa-desa, sekaligus diharapkan berdampak dalam menekan masalah urbanisasi.

5. Terbangunnya resistensi anggota komunitas melalui kemampuan skill verbal karena hal ini penting dalam usaha penyebarluasan pesan-pesan kepada anggota komunitas maupun pada jaringan komunitas di luar komunitas itu.

6. Terbangunnya resistensi anggota dalam ujud partisipasi komunitas terhadap lingkungan sekitar, bahkan pengaruhnya sampai di luar komunitas itu.

7. Terbangunnya resistensi bersama anggota dan jaringan komunitas melalui cara mengabaikan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mencoba memarginalkan kepentingan atau keberadaan mereka.

8. Terbangunnya resistensi bersama anggota dan jaringan komunitas melalui usaha kajian materi-materi hukum pada media komunitas.

9. Terbangunnya resistensi bersama anggota jaringan komunitas melalui usaha bersama dalam memperjuangkan kepentingan bersama anggota jaringan.

10. Adanya dorongan pada anggota komunitas akan kepemilikan alat-alat komunikasi dan terpaan media.

11. Pertemuan-pertemuan kelompok / anggota komunitas untuk tujuan media literacy. Hal ini akan membawa banyak manfaat dalam ujud pemahaman mereka tentang apa pentingnya memiliki media komunikasi dan bagaimana sebaiknya / langkah-langkah bijak dalam menggunakan media komunikasi.

Not the Destiny Line