Kamis, 11 Juni 2020

Pelajaran yang dapat diambil dalam konteks Pemilu di Indonesia

Di Indonesia, khususnya setelah reformasi konsep marketing politik mulai populer dan diterapkan dalam menghadapi Pemilu. Persaingan Parpol yang jumlahnya banyak memaksa setiap elite politik untuk senantiasa membuat kreasi unik dan menarik demi memikat perhatian publik. Salah satu proses kampanye yang penting dilakukan ketika jumlah partai sangat banyak adalah membangun diferensiasi antara satu dengan yang lainnya. Menurut Heywood (2014, hlm. 289) Parpol memiliki peran fundamental bagi jalannya politik modern sehingga peran dan pengaruh mereka seringkali ada begitu saja dengan sendirinya. Sebagai “mesin politik” yang diorganisasikan untuk memenangkan Pemilu dan meraih kekuasaan pemerintahan, partai-partai mulai eksis baru pada awal abad ke-19.

Pasca bergulirnya reformasi peta politik di Indonesia mengalami perubahan yang ditandai dengan munculnya partai-partai baru. Hal ini terlihat pada Pemilu 1999 yaitu Pemilu pertama pada masa reformasi yang diikuti oleh 48 Parpol dan perolehan suara dimenangkan oleh PDIP sebesar 33,74 persen. Pelaksanaan Pemilu 2004 merupakan sejarah penting dalam politik Indonesia karena memungkinkan rakyat memilih wakil mereka untuk menjabat di DPR, DPD, dan DPRD. Pemilu calon anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2004, yang selanjutnya disebut Pemilu Legislatif diikuti oleh 24 Parpol peserta yang dimenangkan oleh Partai Golkar dengan perolehan suara sebesar 21,58 persen diikuti PDIP pada posisi kedua sebesar 18,53 persen dan diikuti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan perolehan suara 10,57 persen. Partai Demokrat yang notabene partai baru dan dibentuk pada masa reformasi ini sudah menempati posisi 5 (lima) besar dan mencalonkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai calon presiden.

Pada Pemilu Legislatif 2009 jumlah peserta Pemilu meningkat dibandingkan sebelumnya. Pemilu ini diikuti oleh 44 Parpol yaitu 38 partai nasional dan 6 partai lokal Aceh. Pemilu Legislatif 2009 ini dimenangkan oleh Partai Demokrat yang ditopang oleh sosok SBY sebagai dewan pembina partai dan juga sebagai presiden RI periode 2004-2009 dengan meraih 20,85 persen suara. Lahirnya Parpol baru pada awal-awal reformasi dan setelah Pemilu tahun 2004 meningkatkan persaingan dalam Pemilu. Dengan sosok sentral seperti Prabowo Subianto yang diusung Partai Gerindra dan juga Wiranto yang diusung Partai Hanura sekaligus ketua umum partai, membuat publik mudah untuk mengenal partai-partai baru ini. Dalam perolehan suara Pemilu Legislatif 2009 masing-masing menempati peringkat ke-8 dan peringkat ke-9. 

Pelaksanaan Pemilu 2014 merupakan pemilihan wakil-wakil rakyat secara langsung yang ketiga kalinya di Indonesia. Peserta Pemilu Legislatif 2014 diikuti oleh 12 Parpol. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tampil sebagai pemenang dengan memeroleh jumlah suara 18,95 persen, posisi kedua ditempati oleh Partai Golkar dengan jumlah suara 14,75 persen, dan Partai Gerindra menempati posisi ketiga dengan jumlah suara 11,81 persen.

Dari keempat Pemilu pascareformasi dapat dilihat bahwa Pemilu akan senantiasa diikuti banyak Parpol. Dalam kondisi seperti ini, para pemilih tak akan mampu mengingat begitu banyak nama partai dan program-program utama serta nama-nama para kandidat yang ditawarkan suatu partai. Dengan demikian, mayoritas partai-partai yang ikut Pemilu akan sulit dikenal pemilih, apalagi membedakannya dengan partai lain. Cukup beralasan untuk mengatakan bahwa partai-partai tidak gampang mencapai target sasaran dengan cara-cara kampanye dan kegiatan kehumasan konvensional. Tantangan besar khususnya akan dihadapi partai-partai baru. Tanpa langkah terobosan, partai-partai baru akan sulit untuk meraih suara, bahkan hanya sekadar untuk dikenal baik oleh pemilih. Langkah-langkah terobosan itu hanya bisa dilakukan dengan strategi yang jitu, termasuk menerapkan pemasaran politik (Nursal, 2004, hlm. 10).

Referensi Tambahan:

Nurdiansyah, Fahmi. (2018). Marketing politik DPP Partai Gerindara pada Pemilu Legislatif 2014.Dalam Jurnal ilmu Politik Volume 9 Nomor 1, April 2018

Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line