Normal Baru yang tengah digaungkan pemerintah, menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Menurut penulis, saat normal baru ini menjadi visi retoris dari tema pengendalian dan adaptasi situasi,
maka seharusnya kita menempatkan ini bukan semata kata benda (noun) keadaan, seperti terdapat dalam kamus Urban Dictionary, melainkan seharusnya menjadi paradigma berpikir.Paradigma normal baru adalah cara berpikir yang memandu perilaku untuk menanggulangi masalah dengan mengadaptasi beragam pola dan keadaaan yang berubah. Konteksnya dalam situasi pandemi, khalayak memiliki cara berpikir yang sama bahwa pandemi harus diatasi bersama-sama bukan semata-mata tugas pemerintah, sekaligus
berperilaku normal dengan menaati protokol kesehatan. Seperti menggunakan masker, rajin mencuci tangan, penerapan jarak fisik, membatasi diri dari kerumunan yang tidak diperlukan dan lain-lain. Situasi yang mungkin berbeda dengan keadaan saat normal lama.
Teori Konvergensi Simbolik
Dalam tulisannya penulis menggunakan Teori Konvergensi Simbolik dari Ernest
Bormann dalam bukunya The Force of Fantasy Restoring American Dream (1985). Teori ini fokus pada aktivitas simbolik berupa perbincangan para netizen di komunitas virtual. Awal mulanya Teori Konvergensi Simbolik memang banyak digunakan dalam penelitian kelompok
kecil, namun perkembangnya teori ini juga bisa gunakan dalam penelitian-penelitian lain. Menurut Johan F Cragan, akar konvergensi simbolik juga bisa digunakan dalam komunikasi kelompok kecil, kepentingan publik, massa dan komunikasi politik (Cragan, John F, 1998: 95) dalam Heryanto (2015:174).
Teori konvergensi simbolik menjelaskan kekuatan komunikasi di balik penciptaan
kesadaran umum (realitas simbolik) yang disebut sebagai visi retoris. Visi retoris ini
menyediakan sebuah bentuk drama dalam bentuk cara pandang, ideologi dan paradigma berpikir (Cragan, 1998: 94). dalam Heryanto (2015:174).
Ada tiga hal yang mencoba dijelaskan oleh Teori Konvergensi Simbolik yakni:
a) Proses mengenai bagaimana seseorang datang untuk berbagi realitas simbolik
umum;
b) Mengapa kelompok kesadaran mulai ada, dan dilanjutkan dengan penyediaan
pemaknaan, emosi, serta motivasi untuk bertindak diantara anggota komunitas
simboliknya;
c) Bentuk komunikasi mengindikasikan adanya sebuah kelompok kesadaran
bersama.
Dalam konvergensi simbolik komunikasi mengalir dari communicators (fantasizers), communicating (fantasizing) melalui pengungkapan tema fantasi di sebuah organisasi kelompok atau publik. Singkatnya, Teori Konvergensi Simbolik mengkaji “perbincangan” dan menjelaskan tampilan kesadaran simbolik umum di antara para nggota komunitas. Menurut
Cragan, teori ini dikembangkan sebagai teori yang berpusat pada pesan (a message centered theory) yang diperoleh dari observasi sistematik tentang fakta-fakta simbolik (Cragan, 1998:95) dalam Heryanto (2015:175). Dalam bukunya yang populer The Force of Fantasy: Restoring the American Dream, Ernest Bornmann menyatakan bahwa tujuan teori ini adalah menjelaskan bagaimana para individu berbincang antar satu dengan yang lainnya hingga mereka berbagi kesadaran umum dan menciptakan rasa memiliki identitas dan komunitas (Bormann, 1985: 8) dalam Heryanto (2015:175).Dengan kata lain, menurut penulis, teori ini, cocok untuk menganalisis dikso new Normal sehingga dapat menjelaskan tentang bagaimana realitas simbolik umum dibentuk melalui kesadaran bersama. Kesadaran tersebut dibentuk melalui pemaknaan, emosi dan
motivasi bertindak. Pilihan diksi new normal merupakan visi retoris atau semacam pesan melalui bahasa untuk membangun kesadaran bersama bahwa kita harus mengatasi sekaligus berdaptasi dengan Covid-19 di tengah situasi belum adanya vaksin yang benar-benar bisa
menggaransi kesembuhan.
Selain itu, penulis juga menggunakan konsep Kebijjakan.
Konsep Kebijakan
Kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau
oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu, Budiharjo (1993:12). Kebijakan menurut David Easton ialah keputusan yang
diambil oleh pemerintah atau pemimpin kelompok/organisasi sebagai kekuasaan untuk
mengalokasikan nilai-nilai bagi masyarakat atau anggota kelompoknya secara keseluruhan, Abidin (2004:20).
Dalam hal ini penulis mengkritisi adanya kebijakan New Normal yang tengah digagasa
pemerintah dimasa pandemic dan grafik kasus belum menurun sama sekali. Setidaknya terdapat ebberapa catatan dari penulis, yakni:
Pertama, soal waktu yang tepat kapan pemerintah akan membuat pelonggaran-
pelonggaran sebagai konsekuensi implementasi normal baru dalam kehidupan masyarakat.
Kedua, kebijakannya harus jelas dan memberi arahan.
Ketiga, dibutuhkan kepemimpinan
informasi (information leadership) dalam mengkomunikasikan kebijakan di tengah masyarakat yang sangat kompleks.
Komunikasi Kebijakan
Selain, kebijakan, pemerintah juga perlu menerapkan dan memperhatikan bagaimana kebijakan itu dikomunikasikan. Pada dasarnya, dalam komunikasi harus dipenuhi dulu syarat pemahaman (understanding) dari khalayak. Oleh karenanya, sebelum kebijakan ini dimulai
harus ada sosialisasi atau penyuluhan yang memadai. Sehingga Pemerintah perlu memformulasikan bagaimana kebijakan new normal itiu direncanakan, disusun, dikemas, dievaluasi dan dikomunikasikan.
Reference:
Review artikel: https://nasional.sindonews.com/read/50605/18/paradigma-normal-baru-1590707159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar