Rabu, 03 Juni 2020

Latar Belakang munculnya Analisis Wacana dalam Perspektif Paradigma Kritis Dan Analisis Wacana Kritis Model van Dijk.

Analisis Wacana dalam Perspektif Paadigma Kritis

Pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Pandangan konstruktivisme dikatakan belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu beserta perilakuperilakunya. Pemikiran inilah yang nantinya melahirkan paradigma kritis.

Analisis wacana dalam pandangan ini menekankan konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Dalam hal ini, bahasa tidak dipahami sebagai media netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan membentuk tema, wacana, ataupun strategi-strategi tertentu. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana ketiga ini juga disebut sebagai Analisis Wacana Kritis (yang selanjutnya disingkat AWK).AWK secara lebih mendalam akan dibahas pada bagian khusus.

Dalam menganalisis wacana menurut pandangan ini, wacana tidak dipahami semata-mata sebagai studi bahasa, walaupunpada akhirnya, analisis wacana memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis. Akan tetapi, bahasa yang dianalisis menurut paradigma analisis dialektika ini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dianalisis bukan sekadar menggambarkan dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkannya dengan konteksnya. Penggambaran wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, intuisi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana kemungkinan menampilkan efek ideologi, misalnya dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas.

Analisis wacana telah mengalami perkembangan yang luar biasa cepatnya. Suatu cabang ilmu bahasa yang pada tahun 70-an belum banyak dikenal, kini telah berkembang begitu cepat dan berbagai metodenya telah digunakan oleh tidak hanya para linguis, tetapi juga para ahli ilmu sosial dan para ahli lainnya. Para ahli ilmu sosial, misalnya, kini mulai melirik kegunaan analisis wacana yang menyebut cabang ilmu ini sebagai Critical Discourse Analysis atau Analisis Wacana Kritis (AWK).

Bagi Santoso (2009), AWK adalah analisis bahasa dalam penggunaannya dengan menggunakanparadigma bahasa kritis. AWK sering dipandang sebagai oposisi analisis wacana deskriptif yang memandang wacana sebagai fenomena teks bahasa semata-mata, padahal tidak demikian. Dalam AWK, wacana tidak dipahami semata-mata sebagai kajian bahasa.AWK memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis. Hasilnya bukan untuk memperoleh gambaran dari aspek kebahasaan, melainkan menghubungkannya dengan konteks. Hal itu berarti bahwa bahasa itu dipergunakan untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan.

Piranti Analisis Wacana Kritis

  1. Common Sense dan Idiology. Idiologi yang digunakan dalam AWK sedikit berbeda dari pengertian yang biasa digunakan dalam banyak hal, terutama di bidang politik. Seperti yang dikemukakan oleh Fairclough (dalam Purwo, Ed., 2000), idiologi diinterpretasikan sebagai suatu kebijakan masyarakat yang sebagian atau seluruhnya berasal dari teori sosial secara sadar. Dalam AWK, idiologi tidak hanya terbatas pada pengertian politis, tetapi mempunyai pengertian yang lebih luas lagi. Sejak dahulu, misalnya, rakyat Indonesia telah mengenal hidup bergotong royong. Mereka mengenalnya sebelum secara resmi gotong-royong itu diangkat menjadi salah satu sila dalam Pancasila. Pengertian yang semacam itulah yang disebut dengan ideologi AWK oleh Fairclough (dalam Purwo, Ed., 2000). Bagi rakyat banyak, hidup bergotong-royong merupakan cara hidup yang sangat menonjol. Setelah bangsa Indonesia menetapkan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara, pengertian Pancasila bagi masyarakat banyak merupakan suatu “common sense” yang bersumber pada ideologi bangsa. Fairclough (dalam Purwo, Ed., 2000) menyebutnya sebagai ideological common sense. 
  2. Asumsi yang Implisit, Koherensi, dan Inferensi. Seperti analisis wacana pada umumnya, AWK juga menggunakan piranti seperti asumsi yang implisit, koherensi, dan inferensi untuk mendapatkan interpretasi yang baik dan dekat sekali dengan kenyataan atau dengan makna yang disampaikan oleh penutur atau penulis.Untuk lebih memahami piranti ini,
  3. Interpretasi Pembaca dan Interpretasi Penulis. Ada tiga dimensi atau tahap AWK yang dipaparkan oleh Kartomihardjo (dalam Purwo, Ed., 2000:116). Dimensi AWK tersebut di antaranya adalah deskripsi, interpretasi, dan eksplanasi. Deskripsi adalah hal-hal yang menyangkut properti formal dari suatu teks; interpretasi adalah hal-hal yang menyangkut hubungan antara teks dan interaksi dengan melihat teks sebagai hasil dari suatu proses produksidan sebagai sumber dalam proses interpretasi; sedangkan eksplanasi adalah hal-hal yang menyangkut hubungan antarainteraksi dan konteks sosial. Perlu diingat bahwa setiap dimensi itu, analisis terhadap wacana akan berubah. Pada tahap deskripsi yang dilakukan adalah melihat bagaimana teks disusun menurut kosakatanya, tata bahasanya, dan struktur tekstualnya. Pada tahap interpretasi, teks dianalisis sebagai suatu hasil dari proses produksi. Sementara itu, pada tahap eksplanasi, teks dianalisis sebagai suatu interaksi yang dikaitkan dengan konteks sosialnya.

Karakteristik Analisis Wacana Kritis

Rosidi dan Jufri (dalam Arifin, Ed. 2004:11) memaparkan beberapa karakteristik AWK. Karakteristik AWK meliputi prinsip tindakan, konteks, hegemoni (ideologi dan kekuasaan), dan sejarah (historis).

Prinsip pertama adalah prinsip tindakan. Prinsip tindakan pada hakikatnya memandang suatu wacana sebagai sesuatu yang bertujuan, baik bertujuan memengaruhi, berdebat, membujuk, menanggapi, maupun menyarankan dan tentunya masih banyak tujuan-tujuan lain yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca melalui wacana yang dibuatnya. Dengan demikian, berdasarkan prinsip yang pertama ini, wacana dapat dipahami sebagai suatu interaksi antara penulis dan pembaca atau penutur dan petutur yang memiliki tujuan tertentu.

Selain itu, menurut Fairclough dan Wodak (dalam Yuris, 2008), wacana dapat dipahami sebagai tindakan (actions), yaitu mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Seseorang berbicara dan menulis menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Selain itu, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar dan terkontrol, bukan sesuatu di luar kendali atau diekspresikan secara tidak sadar.

Prinsip kedua adalah prinsip konteks. Konteks yang meliputi latar, situasi, peristiwa, dan kondisi sangat penting dikaji dalam AWK. Menurut Suparno (dalam Arifin, 2004:11), kajian kewacanaan dalam konteks itu meliputi topik, partisipan (penulis/penutur dan pembaca/petutur), waktu dan tempat, saluran komunikasi, kode, situasi komunikasi, budaya atau adat istiadat berkomunikasi. 

Fairclough dan Wodak (dalam Yuris, 2008) berpendapat bahwa wacana dipandang, diproduksi, dimengerti dan dianalisis dalam konteks tertentu. Kemudian Guy Cook (dalam Papirus Biru, 2006) menjelaskan bahwa analisis wacana memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang berkomunikasi dengan siapa dan mengapa; khalayaknya siapa, situasi apa, melalui medium apa, bagaimana, perbedaan tipe dan perkembangan komunikasi,serta hubungan masing-masing pihak. Tiga hal sentaralnya adalah teks, konteks, dan wacana. Teksmerupakan semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak pada kertas, tetapi semua jenis ekspresi komunikasi,ucapan, musik gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks merupakan memasukan semua jenis situasi dan hal yang berada diluar teks dan memengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipannya, situsai saat teks itu diproduksi, dan fungsi yang dimaksud. Wacana dimaknai sebagai suatu konteks dan teks secara bersama. Fokus penekanannya dalam hal iniadalah analisis wacana menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi.

Prinsip ketiga adalah hegemoni (ideologi dan kekuasaan). Pada hakikatnya sebuah wacana adalah cermin dari hegemoni atau ideologi tertentu. Hegemoni, menurut Fairclough (dalam Arifin, Ed. 2004:12), “lebih menekankan pada teori kekuasaan dengan pemahaman bahwa kekuasaan suatu komunitas yang dominan dapat menguasai komunitas yang lain.”

Dengan kata lain, AWK mempertimbangkan elemen kekuasaan. Wacana dalam bentuk teks, percakapan atau apa pun tidak di pandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. Sebagai contohnya adalah kekuasaan laki-laki terhadap wanita dalam wacana mengenai seksisme, kekuasaan kulit putih terhadap kulit hitam dalam wacana mengenai rasisme, kekuasaan perusahaan dalam bentuk dominasi pengusaha kelas atas terhadap bawahan, dan sebagainya.

Di samping itu, ideologi adalah salah satu konsep sentral dalam AWK karena setiap bentuk teks, percakapan, dan sebaginya adalah praktik ideologi atau pancaran ideologi tertentu. Wacana bagi ideologi adalah suatu meduim untuk menunjukkan cara kelompok dominan mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak mengenai kekuasaan yang mereka miliki sehingga absah dan benar (Yuris, 2008).

Sesungguhnya, pemakai bahasa tidak hanya berkedudukan sebagai pembicara, penulis, pendengar, dan pembaca, tetapi mereka juga merupakan bagian dari anggota sosial tertentu, bagian dari kelompok professional, agama, komunitas atau masyarakat tertentu. Hal ini mengimplikasikan bahwa AWK tidak membatasi analisisnya pada hal-hal yang ada di dalam teks atau struktur wacana saja, tetapi juga menghubungkan kekuasaan dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya tertentu.

Kekuasaan dalam hubungannya dengan wacana penting untuk melihat apa yang disebut dengan kontrol. Bentuk kontrol tersebut terhadap wacana bisa bermacam-macam. Bisa berupa kontrol atas konteks, yang secara mudah dapat dilihat dari siapakah yang boleh dan harus berbicara, dan sementara siapa pula yang hanya mendengar dan mengiyakan. Selain konteks, kontrol tersebut juga diwujudkan dalam bentuk mengontorol struktur wacana. Hal ini dapat dilihat daripenonjolan atau pemakaian kata-kata tertentu.

Prinsip keempat adalah prinsip historis. Berdasarkan prinsip historis ini, sebuah teks dianalisis dengan pertimbangan bahwa wacana tersebut ketika diproduksi ada pada konteks tertentu. Jadi, untuk menganalisis sebuah wacana perlu diperhatikan konteks saat wacana tersebut diproduksi.Historis, menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks (Fairclough dan Wodak dalam Yuris, 2008).

Dengan kata lain, salah satu aspek penting untuk dapat memahami teks adalah dengan menempatkan wacana tersebut pada konteks historis tertentu. Misalnya, kita melakukan analisis wacana teks selebaran mahasiswa menentang Suharto. Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis saat teks itu diciptakan, seperti bagaimana situasi sosial politik saat itu. Oleh karena itu, pada saat melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengenai mengapa wacana seperti itu berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.

Berdasarkan beberapa karakteristik AWK tersebut, Fairclough (dalam Papirus Biru, 2006) memandang bahasa sebagai praktik kekuasaan. Karena bahasa secara sosial dan historis dianggap sebagai bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial; dalam menganalisis wacana, Fairclough memusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu.

Model Analisis wacana kritis

Adapun analisis wacana dalam bentuk analisis wacana kritis (critical discourse analysis/CDA) berarti peneliti menganalisis wacana pada level naskah beserta sejarah dan konteks wacana tersebut. Analisis wacana CDA memiliki dua model , yaitu CDA model Norman Fairclough yang melihat teks (naskah) memiliki konteks (Gambar 1) dan CDA dari Ruth Wodak yang menilai teks (naskah) mempunyai sejarah (Gambar 2). Untuk diketahui, CDA memiliki karakteristik sebagai berikut (Wodak, 1996:17-20 dalam Titscher, 2000:146-147):

(1) CDA is concerned with Social Problem

(2) Power Relation have to do with Dis- course

(3) Society and Culture are dialecti- cally related to discourse

(4) Language use may be ideological

(5) Discourse are historical and can only be understood in relation of their context

(6) The connection between text and society is not direct, but is manifest through some inter- mediary such as the socio-cognitive one ad- vanced in the socio-psychological model of text comprehension

(7) Discourse analysis is interpretative and explanatory

(8) Discourse is a form of social behavior

Dalam bukunya, Critical Discourse Analisis : The Critical Study of Language (1997:98) membuat model CDA seperti tampak dalam Gambar 1. Dari gambar ini tampak bahwa teks memiliki konteks baik berdasarkan “process of pro- duction” atau “text production”-nya; “process of interpretation” atau “text consumption” maupun berdasarkan praktik sosio-kulturalnya.

Model ini sekaligus memberi implikasi bahwa dalam memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan “realitas” di balik teks kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks. Proses pengumpulan data yang multilevel dalam CDA Fairlough ini,

Hal ini memperlihatkan bahwa untuk memahami wacana, kita perlu mengumpulkan data pada level makro, meso, hingga mikro. Posisi metode pengumpulan data menunjukkan prioritas. Jika urutan pertama tidak dapat dilakukan, maka urutan selanjutnya.

Untuk CDA dari Ruth Wodak (Titscher, 2000:155) menyajikan model seperti tampak dalam gambar CCC. Model ini melihat naskah memiliki sejarah perjalanannya, sehingga ia dikenal dengan Discourse- Historical Method. Perjalanan tersebut bukan saja terjadi pada dimensi bahasa, melainkan juga pada dimensi pemikiran si pembuat naskah. Keduanya dipengaruhi oleh dimensi psikologis si pembuat naskah yang berinteraksi dengan situasi dan kondisi komunikasi.

Seperti halnya untuk model CDA Fairclough, agar kita dapat menangkap makna naskah dan sejarah perjalanan yang mempengaruhinya, kita perlu menggali data pada setiap dimensi. Posisi metode pengumpulan data menunjukkan prioritas. Jika urutan pertama tidak dapat dilakukan, maka urutan selanjutnya. 

Analisis Wacana Kritis Model van Dijk 

Menurut Erianto (2005) dari sekian banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh beberapa ahli, model van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Hal ini kemungkinan karena van Dijk mengolaborasi elemen-elemen wacana sehingga dapat didayagunakan dan dipakai secara praktis. Model yang dipakai oleh van Dijk disebut "Kognisi Sosial". Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisii atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Dalam hal ini harus dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga memperoleh suatu pengetahuan mengapa teks bias semacam itu.

Model van Dijk dalam Margaret Watherell (2001) ingin menjawab tentang hubungan antara wacana, kekuasaan, dominasi, dan struktur sosial. Secara khusus, model van Dijk mengkaji struktur, strategi atau properti teks, interaksi verbal atau peristiwa komunikasi berperan model reproduksi. Wacana yang muncul dalam bentuk teks dipandang sebagai hal alamiah dan wajar. Bahasa dan kekuasaan dikaitkan dengan praktikinstitusi sosial, khususnya struktur sosial dan struktur politik. Kekuasaan di belakang wacana meindahkan fokus pada urutan wacana sebagai dimensi urutan sosial dari institusi sosial dan diangkat yang berhubungan kekuasaan. Kekuasaan dapat dimenangkan dengan perjuangan sosial, dan melalui perjuangan sosial yang memungkinkan menang atau juga kalah.

Model kerja van Dijk melihat suatu wacana terdiri atas berbagai struktur/tingkatan, yang masing-masing saling mendukung. Van Dijkmembaginya menjadi tiga tingkatan, yaitu:

1. Struktur makro; yaitu merupakan makna global/umum suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks.

2. Superstruktur; adalah kerangka suatu teks. Bagaimana struktur dan elemen itu disusun dalam suatu teks secara utuh

3. Struktur mikro; yaitu makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kta, kalimat, proposisi, anak kalimat yang dipakai.

Menurut van Dijk (dalam Erianto, 2005: 226), meskipun terdiri dari beberapa elemen, semua elemen tersebut merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu dengan lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks, dan pada akhirnya pilihan kata kata dan kalimat yang digunakan. Bila digambarkan, maka maka struktur teks sebagai berikut.

Dalam pandangan van Dijk, segala teks dapat dianalisis dengan menggunakan elemen tersebut. Meski terdiri atas berbagai elemen, namun semua elemen itu merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan. Secara lebih jelas, gambaran elemen wacana tersebut disajikan sebagai berikut.

Dalam pandangan van Dijk, semua teks dapat dianalisis dengan menggunakan elemen seperti di atas. Meski terdiri dari berbagai elemen, namun semua elemen tersebut merupakan suatu kesatuan dan saling berhubungan.

Tambahan Referensi:

Gazali. (2018). Penerapan Strategi Analisis Wacana Kritis Model Vandijk Untuk Meningkatkan Kemampuan Mahasiswa Menganalisis Prosa Fiksi Dan Drama. Dalam Jurnal Literasi Vol 2, No 1 (2018).

Hamad, Ibnu. (2007). Lebih Dekat dengan Analisis Wacana. Dalam Jurnal Mediator Volume 8 Nomor 2, Desember 2007. Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

Kadek Juliantari, Ni. Paradigma Analisis Wacana Dalam Memahami Teks Dan Konteks Untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman. Dalam Jurnal Acarya Pustaka, Vo.3, No.1, Juni 2017,

Tidak ada komentar:

Not the Destiny Line